• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Kehidupan dalam Selibat

Dalam dokumen SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK (Halaman 49-57)

BAB III KAUL, PERMANDIAN DAN TAHAPAN KEHIDUPAN

C. Tahapan Kehidupan dalam Selibat

Bernard R. Bornot membagi tahapan hidup selibat dalam empat tahap berdasarkan pemikiran Erik Erikson. Erik Erikson membedakan tahapan hidup dalam suatu dilemma khusus untuk diatasi dan ditata. Setiap penanganan memiliki hasil yang berbeda, bisa positif atau negatif. Pendekatan Erikson menampilkan bahwa tiap tahap hidup selibat diasosiasikan dengan sebuah dilemma yang khas dan menuntut kekuatan khusus untuk mengatasinya serta menumbuhkan keutamaan khusus pula. 75

1. Adolescent Celibacy (masa puber hingga masuk umur 20-an)

Tantangan pada tahap ini yaitu: mengembangkan sebuah visi hidup dalam model selibat sebagai hidup yang bernilai, dan bernegosiasi terhadap dorongan fisik seksualitas remaja untuk mengijinkan seseorang dalam berkomitmen pada hidup selibat (sebuah tugas yang sukar dalam budaya sekarang yang menekankan kesenangan diri dan hiperseksual).

74

Tom Jacobs, Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. h. 53.

75

Dalam masa remaja, isu utama adalah bagaimana seseorang menangani dorongan fisik, kerinduan emosional, fantasi imajinatif dan hasrat psikologis yang terdalam. Kita berada dalam dunia yang menawarkan seks bebas tetapi sekaligus dunia dimana seks perlu dikontrol. Tahap pertama dari kehidupan selibat menuntut penanganan dilema seksualitas dengan tidak mengikuti dorongan seksual apapun. Orang yang tidak bernegosiasi dengan tantangan keremajaan ini harus akan bernegosiasi ulang seluruh perspektif dikemudian hari, seperti Agustinus, jika mereka mau menerima kemungkinan hidup selibat dan memutuskan untuk hidup di dalamnya.

Kekuatan yang dihasilkan dari penanganan yang sukses adalah hidup selibat dalam arti fisik. Keberhasilannya adalah sebuah kemampuan untuk menjadi sungguh manusia tanpa mesti aktif secara seksual dan tanpa merasa terganggu dan frustrasi.76

2. Generative Celibacy (umur 20-an hingga awal 30-an)

Tantangan utamanya adalah kebutuhan akan pasangan dan anak (banyak orang mendefinisikan hidup mereka dalam arti ini). Tapi dalam hidup selibat lebih menyangkut keturunan (generativity). Tahun-tahun dalam hidup selibat saat ini lebih berhubungan dengan kebutuhan akan keturunan (generativity). 77

Tahap kedua dalam hidup selibat menyangkut kebutuhan akan munculnya kerinduan untuk menjadi Bapa atau Ibu. Penanganan yang berhasil dari tahap pertama memampukan orang untuk komitmen pada hidup selibat dengan hidup

76

Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”. Artikel di akses tanggal 2 Januari 2008 dari http://www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat.htm.

77

li

tanpa aktif seksual dalam arti fisik. Orang yang memutuskan untuk secara seksual aktif mencari partner lebih bersifat fisik daripada psikologi dari pasangannya akan membawa perpisahan atau perceraian di kemudian hari.

Bagi yang tetap, dalam awal kedewasaan, orang selibat disibukkan dalam soal pendidikan dan latihan yang di syaratkan supaya secara tetap hidup dalam komunitas yang dia telah pilih sebagai sebuah konteks hidup yang bermakna, hidup seksual secara tidak aktif. Hingga 30 tahun yang lalu, formasi bagi hidup selibat membatasi tantangan keintiman dengan larangan yang keras terhadap teman eksklusif dan membatasi kontak dengan keluarga. Orang dewasa yang masih mudah menghayati hidup selibat umumnya tidak menghadapi tantangan yang mendalam dalam keintiman.

Imam muda atau religius dalam pelayanannya di paroki atau bidang lain berhadapan dengan keluarga-keluarga muda dengan anak. Pada saat ini semakin disadari konsekwensi dari pilihan untuk tidak memiliki pasangan hidup dan anak (keturunan). Yang utama disini bukan soal fisik dan psikologi tetapi perbandingan dan kesadaran akan kematian generasinya.

Dilema seorang selibat adalah perbandingan. Itu nampak ketika kita mengunjungi keluarga-keluarga di paroki atau saudara sepupu yang berkeluarga, teman-teman yang berkeluarga dan melihat rumah dan cara mereka membesarkan anak yang penuh hidup. Kemudian membandingkan bahwa mereka seumur dengan kita dan bahkan lebih muda. Dan dalam hati mungkin kita bilang: “Saya juga bisa” atau ada dorongan “Ayo kamu bisa”. Ketika kita kembali ke biara kita

merasa kosong dan tidak bermakna. Pengalaman ini mendorong kaum selibat untuk memiliki anak sendiri atau keluarga sendiri.78

Penanganan terhadap tahap ini menuntut kaum selibat akan keradikalan dan kematian pribadi dari eksistensinya. Seorang selibat harus sadar bahwa pilihan untuk hidup selibat menyangkut bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketiadaan keturunan. Mungkin pernah dipikirkan sebelumnya tetapi sekarang sungguh menjadi suatu penderitaan yang luar biasa. Karena begitu menyakitkan pribadi harus meninjau kembali komitmen, berpikir ulang bahwa mungkin ia tidak pernah menyadarinya apa artinya tidak memiliki anak atau keturunan. Penanganan terhadap krisis ini memaksa kaum selibat terhadap makna yang lebih penuh dari ide generavitas Erikson: bukan hanya soal tanggungjawab terhadap keturunan dan pemeliharaan dari anak sendiri, tetapi juga bagi komunitas sebagai keseluruhan, untuk kehidupan, pendidikan dan kebaikan generasi di kemudian hari dan masa depan semua generasi, untuk kebudayaan, untuk iman dan kasih di bumi ini, untuk gereja, untuk kerajaan Allah. Pada tahap ini, kaum selibat harus menerima kenyataan bahwa selibat bukan hanya ketidakaktifan seksual tetapi juga ketidakaktifan peran Bapa dan ibu. Keberhasilan pada tahap ini adalah kemampuan untuk menjadi produktif dan bertanggungjawab tanpa menjadi orang tua dan/atau merasa tercabut dan tidak sempurna.

3. Intimate Celibacy (umur 30-an tengah hingga 50-an)

78

liii

Umur-umur ini menantang seorang selibat untuk membagi kehidupan batin dengan orang lain yang padanya ia memberi perhatian dan merupakan konsekwensi dari hasrat untuk masuk dalam persahabatan yang intim dengan orang tersebut.79

Tantangan di sini adalah keinginan, hasrat, kebutuhan dari kaum selibat untuk persahabatan, orang-orang yang kepadanya mereka membagi hidup keseharian. Isu pokoknya bukan seks, bukan anak dan keluarga tetapi Keintiman (bagaimana saya berhubungan dengan orang lain). Dalam tahapan ini, kaum selibat tiba pada pengalaman kesendirian, keheningan dan mungkin keterasingan karena dirinya dan hidupnya tidak disharingkan secara intim dengan orang lain. Orang berhasrat untuk membagi kepribadiannya, dalam kepenuhan dan kedalamannya dengan yang lain dan ingin orang lain melakukan yang sama. Intimasi menyangkut relasi antar pribadi, atau satu dengan beberapa seperti dalam sebuah keluarga, komunitas persaudaraan, sebagaimana juga dalam Trinitas. Kaum selibat sering menghadapi kenyataan bahwa dia tidak hidup dalam keintiman yang demikian. Keberhasilan pada tahap tiga ini adalah keintiman relasi yaitu sebuah kemampuan untuk menjadi teman sharing dalam hidup bagi yang lain tanpa menikah dan tanpa merusak pemberian dirinya kepada Allah baik secara fisik atau psikologi.80

Pentingnya intimasi ditekankan oleh Keith Clark dalam bukunya Being

Sexual and Celibate dan An Experience of celibacy: a creative reflection on intimacy, loneliness, sexuality and commitment. Dalam dua buku ini dibicarakan

79

Gonsa Saur, “Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya”.

80

banyak soal Intimacy. “Ada suatu kebutuhan lain yang memberikan makna kepada seksualitas manusia. Kebutuhan itu adalah keintiman relasi dengan orang lain. Kebutuhan itu adalah kebutuhan pribadi yang terdalam yang kita miliki, dan itu adalah kebutuhan spiritual. Seksualitas manusia adalah menyangkut soal keintiman”.81 Bagi kita religius intimacy berarti tanpa seks, tanpa keluarga dan anak. Saya pikir disinilah makna Persaudaraan kita untuk mengekspresikan kasih Sang Ilahi karena disadari bahwa sebagai manusia kita butuh cinta dan dicintai dan kita dipanggil menuju kemurnian cinta dalam ziarah pertobatan yang tak pernah akhir.

4. Integral Celibacy (umur 50-an akhir, pensiunan atau kematian)

Umur ini menantang kaum selibat untuk memelihara makna dan harapan ketika puncak sumbangan kepada kemanusiaan semakin menurun. Yang menjadi perhatian mereka bukan pada pertanyaan yang tidak ada gunanya tetapi yang memiliki kegunaan bagi keseluruhan, dalam menemukan alasan untuk menguatkan teman-teman dan kelompok pensiun atau yang mendekati kematian. Dan untuk merasa secara pribadi bernilai dan penting ketika tidak seorangpun secara intim hadir bersamanya yang dengannya ia telah membagi semuanya. Atau dalam kata lain di sebut kebijaksanaan.82

Tetapi kaum selibat mesti antisipasi beberapa krisis baru pada tahap ini, sekalipun ia telah berhasil bernegosisi pada tahap-tahap sebelumnya. Orang yang tidak mampu bernegosiasi dengan kenyataan ini akan merasa terpisah, lelah atau

81

Keith Clark. Being Sexual and Celibate. (Michigan: Ave Maria Press,1985). h. 142.

82

lv

kecewa. Sementara yang berhasil akan memahami makna yang mendalam dan kelayakan hidup mereka dan akan dengan positif menghadapi pengalaman baru mereka termasuk kesempatan baru untuk membagi kebijaksanaan. Pribadi yang demikian akan tetap hadir kepada komunitas. Mereka akan tetap terlibat secara fisik, generatif, intim dengan potensi yang kreatif yang akan memahkotai hidup mereka dan membawa berkat yang besar kepada orang (saudara) yang dengannya mereka berkomunikasi.

BAB IV

TUJUAN DAN PENGARUH SELIBAT DALAM KEHIDUPAN ROHANIAWAN KATOLIK

Hidup selibat bukanlah putusan yang satu kali dibuat. Kedewasaan dalam hidup selibat adalah hal pencapaian keutamaan dari setiap tahap dan semua tahap. Kehidupan selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal ketidakaktifan seksual, tidak menikah, gersang, hidup sendiri. Tiap tahap menuntut kekhususan motivasinya sendiri dan memiliki rationalitasnya sendiri.83

Hidup selibat harus menunjukkan secara istimewa bahwa kerajaan Allah mengatasi segala barang duniawi, dan hidup lajang harus menjadi tanda dari seluruh hidup kristiani. Tetapi oleh karena harapan eskatologis termasuk ciri hidup rahmat yang khas, maka secara istimewa diperlihatkan dalam hidup lajang pula dan sebagai harapan eskatologis tidak merupakan bagian dari hidup kristiani, melainkan suatu aspek yang menjiwai hidup seluruhnya, maka seluruh hidup selibat harus menjadi tanda dari harapan eskatologis. Mengenai keperawanan atau selibat dikatakan bahwa secara istimewa melambangkan barang-barang sorgawi juga keperawanan itu mengingatkan kepada seluruh umat beriman akan ketentuan Allah di masa yang akan datang.84

83

Gonsa Saur, Selibat: Pilihan dan Konsekuensinya. Artikel di ambil dari http//www.geocities.com/peace_and_all_good/art_selibat. htm

84

lvii

Dalam dokumen SELIBAT DALAM GEREJA ROMA KATOLIK (Halaman 49-57)

Dokumen terkait