• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kolesting ekskerta ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan cara mempuasakan puyuh selama 24 jam kemudian diberikan ransum sesuai dengan kebutuhan puyuh pada tiap-tiap perlakuan. Ekskreta di kumpulkan tiap- tiap ulangan sebanyak 10 ekor selama 24 jam kemudian di keringkan dengan suhu 60°C selama 24 jam. Setalah kering sampel digiling terlebih dahulu kemudian diambil 5 gram untuk dianalisa kadar lemak kasar, 3 gram untuk menganalisa bahan kering dan bahan organik.

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Lemak dan Absorbsi Lemak Pada Tabel 1dicantumkan rataan konsumsi lemak dan absorbsi lemak pada penambahan piperin 60 mg kg-1 BB (T4) nyata (P<0.05) menurunkan dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 4). Konsumsi ransum yang menurun pada penambahan piperin 60 mg kg-1 BB (T4) menyebabkan konsumsi lemak ikut menurun. Kedua hal tersebut menyebabkan absorbsi lemak dalam saluran pencernaan menurun juga. Efek piperin ini dapat juga merangsang fungsi lambung dan intensitas aliran saliva serta sekresi asam lambung yang membantu dalam pencernaan lemak (Puvača et al. 2014). Menurut Ahmad et al. (2012) kandungan piperin yang tinggi menyebabkan laju degradasi akan meningkat mengakibatkan lemak yang tercerna keluar bersama ekskreta. Puvača et al. (2014) menyatakan bahwa penambahan lada hitam nyata mempengaruhi absorbsi lemak kasar dan meningkatkan performa produksi. Menurunnya konsumsi lemak kasar juga akan berdampak pada penurunan absorbsi lemak kasar (Kiha et al. 2012).

Tabel 4 Rataan konsumsi lemak dan absorbsi lemak.

Peubah Perlakuan

T0 T1 T2 T3 T4

Konsumsi Lemak (g ekor-1 hari-1)

0.96±0.03a 0.97±0.03a 0.94±0.03a 0.95±0.02a 0.89±0.02b Absorbsi Lemak

(%) 82.72±3.47a 80.67±4.05a 75.04±0.24b 74.41±4.80b 67.09±2.61c Keterangan: aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan

berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). T0: Ransum Kontrol (tanpa piperin). T1: T0 + 15 mg piperin kg-1 BB.T2: T0 + 30 mg piperin kg-1 BB. T3: T0 + 45 mg piperin kg-1 BB. T4 : T0 + 60 mg piperin kg-1 BB.

Uji lanjut orthogonal polynomial perlakuan penambahan piperin terhadap konsumsi lemak kasar menunjukkan respon negatif linear dengan persamaan garis linear YKL=-0.0107x+0.972 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.7095. Penambahan piperin terhadap absorbsi lemak kasar menunjukan respon negatif linear dengan persamaan YAL=-0.250187x+83.4895 dan (R2)=0.4031 sehingga disimpulkan bahwa penambahan piperin kedalam ransum maka akan berkorelasi negatif dengan menurunnya konsumsi lemak kasar dan absorbsi lemak kasar.

Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Puyuh Umur 6-13 Minggu Ransum dan Konsumsi Air

Pada Tabel 5 penambahan piperin 60 mg kg-1 BB (T4) nyata (P<0.05) menurunkan konsumsi ransum dan meningkatkan konsumsi air dibandingkan dengan 0 (T0), 15 (T1), 30 (T2) dan 45 mg kg-1 BB (T3). Konsumsi air pada kontrol (T0) dan 30 mg kg-1 BB (T2) nyata (P<0.05) menurun dibandingkan perlakuan T1. T3 dan T4. Menurunnya konsumsi ransum perlakuan T4 yang ditambahkan piperin 60 mg kg-1 BB disebabkan ransum beraroama yang tajam serta mempunyai rasa

11 pedas yang dapat menurunkan palatabilitas pakan. Menurut Windisch et al. (2008b) kandungan zat aktif (piperine) yang terdapat dalam lada hitam menyebabkan ransum sangat berarom tajam (bau) dan rasa pedas yang dapat membatasi penggunaannya untuk pakan ternak. Amad et al. (2011) dan Brenes dan Roura (2010) menyatakan bahwa penambahan phytogenic feed additive yang berasal dari rempah-rempah dapat mempengaruhi rasa seperti piperin (rasa pedas) dari senyawa

phytogenic sehingga konsumsi pakan akan menurun. Penambahan piperin berdampak pada meningkatnya konsumsi air akibat ransum yang pedas yang ada didalam pakan. Adanya kandungan piperin dalam ransum dapat membantu proses thermogenesis dalam tubuh sehingga akan berdampak pada meningkatnya konsumsi air. Meningkatnya konsumsi air minum membantu melepaskan panas tubuh akibat dari proses thermogenesis dalam pembentukan kalori sebagai usaha untuk menyeimbangkan suhu tubuh. Menurut Brown et al. (2006) dan Boschmann

et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi air yang banyak menginduksi respon thermogenic yang lebih besar sehingga pelepasan panas yang dihasilkan oleh proses termogenisis akan dapat menyeimbangkan suhu tubuh.

Uji lanjut orhogonal polynomial terhadap konsumsi air minum menunjukan respon positif linear dengan persamaan YM=0.3412x+50.742 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.3061. Hal ini menunjukan bahwa penambahan piperin kedalam ransum puyuh umur 6-13 minggu positif meningkatkan konsumsi air minum. Tabel 5 Rataan konsumsi ransum, konsumsi air minum, produksi telur, produksi

massa telur dan konversi ransum.

Peubah Perlakuan

T0 T1 T2 T3 T4

Konsumsi ransum (g ekor-1 hari-1)

19.94±0.61a 19.19±0.66a 19.40±0.65a 19.50±0.49 18.49±0.19b Konsumsi air minum (ml ekor-1 hari-1) 53.23±6.96c 62.93±5.33b 64.28±5.44b 60.27±4.65b 80.16±4.43a Produksi

telur (%) 56.85±3.52a 64.60±3.71a 63.73±2.29a 56.03±3.75a 45.18±2.91b Produksi

massa telur (g ekor-1)

524.80±37.32a 531.96±6.31a 522.3±16.42a 511.58±37.49a 409.23±24.23b Konversi

ransum 2.41±0.4 2.21±0.12 2.24±0.08 2.10±0.15 2.06±0.09 Keterangan: aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). T0: Ransum kontrol (tanpa piperin). T1: T0 + 15 mg piperin kg-1 BB.T2: T0 + 30 mg piperin kg-1 BB. T3: T0 + 45 mg piperin kg-1 BB. T4 : T0 + 60 mg piperin kg-1 BB.

Produksi Telur (Quail Day) dan Produksi Massa Telur

Rataan produksi telur selama 8 minggu (umur 6-13 minggu) dalam penelitian ini adalah 45.05%-59.57% (Tabel 5). Pada perlakuan T2 yang mengandung piperin 30 mgkg-1 BB nyata (P<0.05) meningkatkan produksi telur puyuh dibandingkan dengan perlakuan T4 (60 mg piperin kg-1) akan tetapi tidak nyata pada perlakuan T0, T1 dan T3. Produksi telur pada penambahan piperin 60

12

mg kg-1 BB (T4) nyata (P<0.05) menurun dibandingkan perlakuan lain. hal ini dikarenakan rendahnya konsumsi ransum yang berpengaruh terhadap konsumsi

nutrisi ransum yang ada didalam pakan. Menurut Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa produksi telur dipengaruhi oleh strain, umur, konsumsi ransum, konsumsi air minum, konsumsi mineral dan kandungan protein ransum, sedangkan Widjastuti dan Kartasudjana (2006) menjelaskan bahwa konsumsi ransum dan konsumsi energi yang rendah pada puyuh fase produksi mengakibatkan penurunan produksi telur dan produksi massa telur. Estimasi dosis piperin yang optimal untuk produksi telur didapatkan pada penambahan piperin antara 20-30 mg kg-1 BB yaitu 64.27%-64.29% (Lampiran 16).

Produksi telur puyuh umur 6-13 minggu dapat dilihat pada Gambar 1. Produksi telur puyuh umur 6-13 minggu mengalami peningkatan setiap minggunya. Produksi telur puyuh tertinggi pada minggu ke-6 terjadi pada perlakuan T1 disusul perlakuan T3 yaitu sebesar 13.10% dan 11.79%. Produksi telur terendah dihasilkan pada perlakuan T2 yaitu sebesar 5.36%. Rata-rata peningkatan produksi telur tertinggi terjadi pada minggu ke-8. Produksi telur tertinggi pada minggu ke-8 terjadi pada perlakuan T0 sebesar 60.71%, sedangkan produksi terendah terjadi pada perlakuan T4 sebesar 47.14%.

Seluruh perlakuan mengalami peningkatan produksi telur sampai minggu ke-13. Produksi tertinggi pada minggu ke-13 terjadi pada perlakuan T2 sebesar 80.99% sedangkan terendah terjadi pada perlakuan T4 sebesar 62.14%. Estimasi meningkatnya puncak produksi dengan modeling polinomial didapatkan bahwa perlakuan kontrol akan mengalami titik puncak pada umur 14 minggu sedangkan pada perlakuan lainya antara umur 34 -35 minggu lebih lama dibandingkan dengan kontrol (lampiran 17). Menurut Nys dan Guyot (2011) bahwa produksi puncak puyuh normal berkisar antara umur 15-16 minggu sebesar 90%-95%.

Rataan produksi massa telur pada penelitian ini yaitu 409.23-531.96 g ekor-1 (Tabel 5). Penambahan piperine 60 mg kg-1 BB nyata (P<0.05) menurunkan

Gambar 1 Rataan produksi telur setiap minggu umur 6-13 minggu.

T0; Ransum kontrol (tanpa piperin), T1; T0 + 15 mg piperin kg -1 BB, T2; T0 + 30 mg piperin kg-1 BB. T3; T0 + 45 mg piperin kg-1 BB, T4 ; T0 + 60 mg piperin kg-1 BB. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 6 7 8 9 10 11 12 13 P roduk si t elur quail day (%) Umur (minggu)

13 produksi massa telur dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan konsumsi ransum dan presentase produksi telur menurun yang menyebabkan produksi massa telur menurun juga. Berbeda dengan hasil penelitian Al-Harthi et al. (2009) bahwa penambahan rempah-rempah seperti lada hitam, cardomon dan kumin (jintan) dapat meningkatkan massa telur dan berat telur. Produksi massa telur yang rendah akan berkorelasi positif dengan menurunya produksi telur sedangkan produksi massa telur merupakan hasil kali produksi telur dengan berat telur sehingga akan berkorelasi positif (Sh et al. 2013). Lebih lanjut Vercese et al. (2012) menjelaskan bahwa massa telur dipengaruhi oleh berat telur, produksi telur dan heat stress.

Uji lanjut orhogonal polynomial perlakuan penambahan piperin terhadap massa telur menunjukkan respon negatif linear dengan persamaan garis Ymassa =-25.152x+575.22 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.6048 sehingga dapat dinyatakan bahwa penambahan piperin kedalam ransum dapat menurunkan produksi massa telur. Titik optimal massa telur pada persamaan ini terdapat pada kontrol (T0) sebesar 575.22 g.

Konversi Ransum

Konversi ransum pada panambahan piperin dalam pakan puyuh dalam penelitian ini menunjukan pengaruh yang tidak nyata. Rataan konversi ransum dalam penelitian ini berkisar 2.10-2.41 (Tabel 5). Konversi ransum perlakuan dengan penambahan piperin 60 mg kg-1 BB (T4) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi lebih rendah diikuti bobot telur yang dihasilkan lebih tinggi. Nilai konversi ransum erat kaitannya dengan konsumsi ransum dan kemampuan ternak dalam merubah ransum menjadi daging dan telur. Semakin rendah angka konversi ransum semakin efisien penggunaan ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang digunakan. Menurut Leeson dan Summers (2005), faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, kandungan nutrisi ransum, berat telur dan temperatur (suhu).

Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik dan Kualitas Kimia Telur Puyuh Umur 9-13 Minggu

Berat Telur

Perlakuan penambahan piperin dalam ransum pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap berat telur. Rataan berat telur pada penelitian ini adalah 8.97 g butir-1 (Tabel 6). Hasil ini sesuai dengan standar berat telur puyuh yang dikemukakan oleh Tserveni-Goussi dan Fortomaris (2011) yaitu berkisar 6-16 g butir-1. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu konsumsi protein (Darmawan et al. 2013; Tuleun dan Adenkola 2013), hormon (Latifa 2007) dan umur puyuh (Tserveni-Goussi dan Fortomaris 2011). Lebih lanjut (Leeson dan Summers (2005)) menyatakan bahwa protein atau asam amino merupakan nutrisi yang berperan penting dalam menggontrol berat telur.

Berat Albumin Telur

Penambahan piperin kedalam ransum tidak menunjukan perbeda yang nyata terhadap berat albumin. Rataan berat albumin yaitu 5.29 g (55.99%) (Tabel 6). Hal

14

ini menunjukan bahwa penggunaan piperine tidak mempengaruh berat albumin. Berat albumin telur biasanya dipengaruhi oleh berat telur, umur, genetik (Zita et al.

2009) dan hormon (Latifa 2007). Rataan berat albumin pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Tserveni-Goussi dan Fortomaris (2011) yang memakai perlakuan ransum basal yaitu 7.80 g (56.83%). Presentase albumin telur normal puyuh berkisar antara 60%-63% dari berat telur (Li-Chan dan Kim 2007) atau 52%-62% dari berat telur (Nys dan Guyot 2011).

Tabel 6 Kualitas fisik dan kimia telur puyuh umur 9-13 Minggu.

Peubah

Perlakuan

T0 T1 T2 T3 T4

Berat telur (g) 8.86±0.17 9.01±0.17 8.75±0.25 9.17±0.11 9.05±0.27 Berat putih telur (g) 5.25±0.15 5.24±0.14 5.29±0.24 5.51±0.12 5.19±0.18

(%) 56.13±0.72 54.91±1.27 55.74±1.31 56.74±0.75 56.47±1.47

Berat kuning telur

(g) 2.91±0.19 3.21±0.18 3.10±0.24 3.13±0.12 3.01±0.27

(%) 30.79±0.79 32.47±1.39 32.67±1.27 32.12±0.89 32.39±1.87

Berat kerabang (g) 1.18±0.07a 1.11±0.07ab 1.10±0.05b 1.09±0.03b 1.03±0.02b (%) 12.79±0.61a 11.62±0.49b 11.49±0.19b 11.26±0.25b 11.13±0.47b Ketebalan kerabang

(mm) 0.168±0.05a 0.165±0.06a 0.160±0.0ab 0.163±0.05ab 0.155±0.006b

Haugh unit 91.81±0.92c 93.41±1.13ab 93.15±0.86abc 94.45±0.71a 92.11±0.84bc

Skor kuning telur 7.53±0.16d 8.18±0.19c 8.37±0.04c 8.70±0.26b 8.98±0.11a Lemak kuning telur

(%) 23.28± 2.56 25.41±3.69 24.66±1.19 26.01±0.55 25.82±2.91

Kolesterol kuning

telur (mg 100g-1) 279.26± 9.16a 230.02± 8.36b 226.34± 20.12b 148.38± 33.73c 145.46±31.21c

Keterangan: aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). T0: Ransum kontrol (tanpa piperin). T1: T0 + 15 mg piperin kg-1 BB.T2: T0 + 30 mg piperin kg-1 BB. T3: T0 + 45 mg piperin kg-1 BB. T4 : T0 + 60 mg piperin kg-1 BB.

Berat Kuning Telur

Penambahan piperin tidak berpengaruh nyata terhadap berat kuning telur. Rataan berat kuning telur yaitu 3.07 g (32.09%) (Tabel 6). Rataan berat kuning telur penelitian ini pada kisaran sama dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Kumari

et al. (2008) yaitu 4.74g (34.61%). Presentase kuning telur berkisar antara 28-29% dari berat telur (Li-Chan dan Kim 2007) akan tetapi menurut Nys dan Guyot (2011) berkisar antara 30-33%. Rajkumar et al. (2009) dan Darmawan et al. (2013) menyatakan bahwa ukuran telur lebih terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan albumen, meskipun fakta bahwa albumin masih penting untuk menentukan ukuran telur. Menurut Zita et al. (2013) dan Dunn (2011), berat kuning telur dipengaruhi oleh genotif dan umur serta kandungan kolesterol. Berat Kerabang Telur dan Tebal Kerabang Telur

Penambahan piperin nyata (P<0.05) mempengaruhi berat kerabang telur dan presentase kerabang telur (Tabel 6), perlakuan T0 (kontrol) nyata (P<0.05)

15 menurun berat kerabang telur dibandingkan dengan perlakuan T2, T3 dan T4 tetapi tidak berbeda nyata dengan T1. Persentase berat kerabang telur pada kontrol (T0) nyata meningkatkan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rataan ketebalan telur perlakuan kontrol (T0) nyata (P<0.05) meningkatkan dibandingkan dengan penambahan 60 mg kg-1 BB (T4) dan tidak nyata pada perlakuan T1, T2, dan T3. Hal ini disebabkan karena konsumsi ransum yang turun mengakibatkan menurunnya konsumsi Ca pada penambahan 60 mg kg-1 BB (T4), konsumsi Ca pada perlakaun T4 sebesar 0.40 gram. Menurun Duke et al. (2012) menyatakan bahwa penambahan piperin kedalam ransum dapat menghambat transportasi kalsium ke dalam mitokondria kemudian mitokondria akan melepaskan kalsium dan merangsang aktifitas ATP-ase (SPI) (Duke et al. 2012). Zhang et al. (2013) dan Yoon et al. (2015) menyatakan bahwa piperin akan menghambat aktifitas enzym Ca2+ATP-ase dalam mentranspor ion-ion kalsium melintasi membran sel yang berdampak pada penyerapan kalsium yang kurang sempurna (Gambar 2). Terhambatnya penyerapan kalsium mengakibatkan menurunnya kualitas telur yaitu berat telur dan kekuatan kerabang telur (berat dan ketebalan kerabang). Kandungan Ca dan fospor dalam ransum dapat mempengaruhi berat kerabang dan ketebalan telur. Kualitas kerabang telur, dan bentuk telur dapat dipengaruhi oleh umur dan kandungan nutrisi mineral yang terdapat pada pakan seperti kalsium, magnesium dan fospor sebagai kontituen anorganik (Hincke et al. 2011; Darmawan et al. 2013). Leeson dan Summers (2005) dan Karoui et al. (2009) menyatakan bahwa nutrisi mineral yang berperan terhadap ketebalan dan kekuatan kerabang telur yaitu kalsium, magnesium, karbonat, fospor, vitamin D3 dan bahan nutrisi organik lain meliputi protein. Rataan presentasi berat kerabang pada penambahan piperin lebih tinggi dibandingkan dengan standar menurut Nys dan Guyot (2011) yaitu 7-9%.

Uji lanjut orthogonal polynomial perlakuan penambahan piperin terhadap berat kerabang telur menunjukkan respon negatif linear dengan persamaan garis YBK=-0.0022x+1.1665 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.4626 sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi dosis piperin ditambahan kedalam ransum maka akan berkorelasi negatif dengan menurunkan berat kerabang telur. Sedangkan

Gambar 2 Aktifitas enzim Ca2+ATP-ase. Hambatan enzim ditandai oleh persilangan (Gropper et al. 2008)

16

Uji lanjut orthogonal polynomial terhadap presentasi berat kerabang telur menunjukan respon negatif linear dengan persamaan Y%BK=-0.0246x+12.394 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.555 ini menunjukan bahwa penambahan piperine kedalam ransum puyuh umur 6-13 minggu berkorelasi negatif menurunkan presentase berat kerabang telur. Penambahan piperin juga berkorelasi negatif terhadap ketebalan kerabang telur dengan persamaan linear YTK=-0.00018x+0.1675 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.4201. Titik optimal skor warna telur didapatkan pada perlakuan sebesar 8.98 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol

Haugh unit (HU)

Nilai haugh unit merupakan ukuran kualitas telur bagian dalam. Nilai haugh unit didapat dari hubungan antara tinggi putih telur dan bobot telur. Penambahan piperin 45 mg kg-1 BB (T3) nyata (P<0.05) meningkatkan haugh unit dibandingkan dengan kontrol (T0) dan T4 (60 mg piperin kg-1 BB) tetapi tidak berbedanya nyata dengan perlakuan T1 (15 mg piperin kg-1 BB )dan T2 (30 mg kg-1 BB). Rataan

haugh unit selama 8 minggu penelitian berkisar antara berkisar antara 91.81-94.45 (Tabel 6). Penambahan piperin dapat meningkatkan biovabilitas nutrisi salah satunya asam amino, glukosa dan beta-karotine (Khan et al. 2006; Atal dan Bedi 2010; Ahmad et al. 2012). Menurut Nugraha et al. (2013) meningkatnya penyerapan asam amino dapat mempertahankan ovomucin dan lesitin sehingga meningkatkan kualitas telur. Asam amino digunakan untuk ningkatkan kekentalan putih telur, sehingga haugh unit akan meningkat. Honkatukia et al. (2013) menjelaskan bahwa ovomucin protein mampu mengontrol kualitas albumin dan membantu proses kekentalan albumin telur. Nugraha et al. (2013) menjelaskan bahwa kandungan ovomucin didalam putih telur mempengaruhi nilai haugh unit, putih telur yang semakin tinggi, maka nilai haugh unit yang diperoleh semakin tinggi. Pada penelitian ini kualiats telur puyuh dikatagorikan mempunyai kualitas terbaik (AA). Menurut Standar United States Department of Agriculture (USDA 2011), nilai haugh unit dari 31 dikategorikan kualiats C, nilai haugh unit unit berkisar 31-60 dikatagorikan kualitas B, nilai haugh unit berkisar 60-72 dikatagorikan A, nilai haugh unit lebih dari 72 dikatagorikan AA.

Uji lanjut orthogonal polynomial penambahan piperin terhadap nilai haugh unit menunjukkan respon kuadratik dengan persamaan garis YHU = 0.002 x2+0.132 x+91.752 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.413. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa penambahan piperin antara 15-45 mg kg-1 BB kedalam ransum dapat meningkatkan nilai haugh unit berkisar antara 93.41-94.45 akan tetapi penambahan piperine 60 mg kg-1 BB cenderung menurunkan nilai haugh unit

berkisar 92.11 tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (T0). Estimasi dosis piperin yang optimal yang tepat yang didapatkan dari persamaan ini yaitu dengan menambahkan piperin 30 mg kg-1 BB (T3) menghasilkan estimasi nilai haugh unit

antara 93.91 lebih besar dibandingkan dengan kontrol (T0) (Lampiran 19). Skor Warna Kuning Telur (Yolk)

Penambahan piperin 60 mg kg-1 BB (T4) nyata (P<0.05) meningkatkan skor telur sebesar 8.98 dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan yang ditambahkan piperin 15 mg kg-1 BB (T1) dan 30 mg kg-1 BB (T2)

masing-17 masing 8.19 dan 9.37 nyata (P<0.05) meningkatkan dibandingkan kontrol (T0) sebesar 7.53 (Tabel 6). Menurunnya produksi telur pada perlakuan T4 berdampak pada meningkatnya nilai skor kuning telur. Menurut Astriana et al. (2013) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi warna yolk, diantaranya adalah nisbah telur dan ransum, dimana laju produksi telur menyebabkan keragaman warna kuning telur. Ketika produksi meningkat, xantofil dalam ransum menyebar ke banyak kuning telur sehingga warna kuning telur menurun, dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan penelitian Kim et al. (2015) bahwa menurunnya produksi telur akan berdampak meningkatnya warna kuning telur yang disebabkan karena penumpukan xantofil yang tinggi. Menurut Ahmad et al. (2012) dan Atal dan Bedi (2010) piperin mampu meningkatkan penyerapan beta-karotin (carotenoid) dan nutrisi-nutrisi lain didalam tubuh. Beta-karotine merupakan zat yang dapat mempengaruhi pigmen warna kuning telur dan mempunyai fungsi yang sama dengan xantopil (Hermana et al. 2014). Lebih lanjut Hammershoj et al. (2010) menyatakan bahwa warna kuning telur dipengaruhi oleh konsumsi zeaxanthin, lutein, alpa-carotine,beta-karotine dan karatinoid.

Uji lanjut orthogonal polynomial pada perlakuan penambahan piperin terhadap skor warna kuning telur menunjukkan respon positif linear dengan persamaan garis Yyolk=-0.02278x+7.69985 dengan nilai koefisien determinasi (R2)=0.8797. Hal ini menunjukan bahwa penambahan piperin kedalam ransum akan berkorelasi positif dengan meningkatnya skor warna kuning telur.

Lemak kuning telur

Kandungan lemak kasar kuning telur pada panambahan piperin dalam pakan puyuh dalam penelitian ini menunjukan pengaruh yang tidak nyata. Rataan lemak kasar penelitian ini berkisar 23.28%-26.01 % (Tabel 6). Kandungan lemak kasar dalam telur pada penambahan piperin 30 mg kg-1 BB (T3) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan standar menurut Song et al. (2000) yaitu 31.48%-32.33%. Menurut Nys dan Guyot (2011) faktor yang mempengaruhi kualitas kimia telur yaitu jenis pakan, jenis ternak, genetik dan hormon.

Kolesterol kuning telur

Perlakuan penambahan piperin 15-60 mg kg-1 BB nyata (P<0.05) menurunkan kolesterol kuning telur dibandingkan dengan kontrol (T0), secara numerik dapat dilihat ada penurunan sekitar 17.63 % - 47.91%. Kadar kolesterol dalam kuning telur yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 145.46–279.26 mg 100g-1 (Tabel 6)lebih rendah dibandingkan dengan standar USDA (2015) yaitu 880 mg 100g-1. Penurunan kolesterol dalam kuning telur disebabkan karena konsumsi lemak dan obsorbsi lemak menurun yang menyebabkan menurunnya kandungan kolesterol yang ada di dalam telur (El-Bagir et al. 2006). Menurut Puvača et al.

(2014b) bahwa penambahan lada hitam (piperin) kedalam ransum dapat penghambatan enzim sintesis asetil-CoA yang diperlukan untuk biosintesis kolesterol sehingga akan terjadi ganguan proses pembentukan kolesterol. Lebih lanjut menurut Puvača et al. (2015) menjelaskan bahwa penambahan rempah-rempah dan tanaman obat dapat menfasilitasi aktifitas enzim yang terlibat dalam

18

konversi kolesterol menjadi asam empedu dan selanjutnya akan mengakibatkan konsentrasi kolesterol akan menurun.

Mekanisme penurunan kolesterol oleh piperin terjadi melalui penghambatan secara langsung aktifitas enzim HMG-CoA (3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim-A)

reduktase oleh β-karoten (Gambar 3). Penghambatan aktifitas enzim ini menyebabkan tidak terbentuknya mevalonat dari HMG-CoA, dimana mevalonat ini akan diubah menjadi skualen, lanosterol, Dihidrolanosterol, D-8-dimetilsterol, 7-dihirokolesterol dan akhirnya menjadi kolesterol. Karotenoid adalah antioksidan yang dapat mencegah oksidasi lipid dan menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase dalam pembentukan mevalonat, sehingga sintesis kolesterol terganggu (Gropper dan Smith 2012a). Pembentukan kolesterol terjadi melalui beberapa tahapan salah satunya adalah pembentukan mevalonat dari Acetyl-CoA.

Kolesterol yang ditemukan dalam kuning telur disintesis di hati ternak unggas, ditransfer melalui darah dalam bentuk lipoprotein dan kemudian dideposisikan ke follikel (Hammad et al. 1998). Menurut Sloan et al. (1994) bahwa kolesterol dalam darah secara nyata berkolerasi negatif dengan kolesterol dalam telur, disaat kadar kolesterol dalam darah tinggi, maka kolesterol dalam telur rendah begitu juga sebaliknya. Sebagian besar kolesterol yang ditemukan dalam kuning telur disintesis di hati ternak unggas, ditransfer melalui darah dalam bentuk lipoprotein dan kemudian dideposisikan ke follikel (Hammad et al. 1996). Secara nyata dapat diasumsikan bahwa ada hubungan antara level kolesterol dalam kuning telur dengan kolesterol yang ada dalam darah. Kolesterol yang berasal dari tubuh berasal dari kolesterol eksogen dan endogen. Kolesterol eksogen berasal dari makanan, sedangkan kolesterol endogen dibentuk sendiri oleh sel-sel tubuh terutama dihati.

Gambar 3 Pembentukan kolesterol dari asetil-Ko-A. Hambatan HMG-KoA reduktase ditandai oleh persilangan (Puvača et al. 2014a)

19 Pengaruh Perlakuan terhadap Profil Lemak Darah dan Malondialdehyde

(MDA) Umur 13 Minggu Trigliserida Serum

Rata-rata kadar trigliserida serum pada penelitian ini berkisar antara 1249.26-1630.07 mg dl-1 (Tabel 7). Pengaruh penambahan piperin kedalam pakan tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap trigliserida didalam serum. Respon piperin ini berbeda yang dikemukakan oleh Puvača et al. (2014a) dan (Maneesai et al. 2012) yang menyatakan bahwa pemberian lada hitam atau piperin nyata menurunkan trigliserida di dalam serum darah. Tidak berpengaruh penambahan piperin kemungkinan dikarena kandungan nutrien ransum yang dikonsumsi pada masing-masing perlakuan relatif sama, oleh karena itu pengaruh panambahan piperin dalam ransum belum terlihat secara signifikan. Rataan kandungan trigliserida serum puyuh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Güçlü et al. (2008), kandungan trigliserida dalam serum puyuh pada penambahan sumber minyak nabati antara 797.7-1186.3 mg dl-1. Tingginya trigliserida disebabkan karena banyaknya asam lemak yang diubah menjadi trigliserida untuk ditransport dan disimpan. Asam lemak ini didapatkan dari pemecahan makanan yang bersumber dari karbohidrat, lemak dan protein. Sebelum asam lemak disimpan dalam bentuk energi, asam lemak harus diubah menjadi komponen lipid yang lebih hidrofobik yaitu trigliserida. Menurut Gropper dan Smith (2012a) trigliserida dalam pakan diserap oleh pencernaan kemudian dikemas menjadi lipoprotein, salah satunya adalah cylomikron kemudian diedarkan kedarah dan berpengaruh pada pembentukan telur salah satunya. Meningkatnya trigliserida juga bisa disebabkan oleh hormon estrogen yang merupakan hormon steroid (Mueller et al. 2015).

Tabel 7 Rataan profil lemak darah dan MDA serum puyuh umur 13 minggu

Peubah Perlakuan T0 T1 T2 T3 T4 Trigliserida serum (mg dl-1) 1324.35±123.95 1249.26±188.29 1543.17±137.19 1630.07±143.42 1504.61±185.32 Kolesterol serum (mg dl-1) 149.68±39.70 142.10±20.33 140.59±27.96 139.59±22.28 132.49±29.23 HDL serum (mg dl-1) 57.94± 15.35 38.23±24.72 62.18±21.85 52.03±10.46 53.99±19.37 MDA serum (µmol L-1) 8.35± 1.63a 7.27±0,82b 6.64±2.21b 4.08±2.11bc 2.24±1.61c

Keterangan: aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). T0: Ransum kontrol

Dokumen terkait