• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. METODE PENELITIAN

1. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu (a) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA, (b) Menentukan interaksi faktor-faktor perlakuan dan (c) Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian Menentukan interaksi faktor-faktor perlakuan

Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA Mulai

Selesai

a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA dalam pelarut organik meliputi jenis pelarut, perbandingan pelarut-PHA dan suhu Hal ini didasarkan pada pernyataan Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi

sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004).

Identifikasi pengaruh perlakuan dilakukan dengan analisis ANOVA mengggunakan rancangan percobaan acak blok faktorial 3x2x3 dengan ulangan/replikasi sebagai bloknya. Variabel respon dalam penelitian ini adalah nilai absorbansi, kekeruhan, viskositas dan

indeks swelling. Masing-masing perlakuan yang dimaksud adalah :

A. Jenis pelarut yang digunakan A1 = kloroform

A2 = asam asetat glasial A3 = dimetilformamida B. Suhu

B1 = suhu kamar (25oC)

B2 = 500 C

C. Perbandingan PHA dengan pelarut C1 = 1:10

C2 = 1:20 C3 = 1:30

Model umum rancangan percobaan adalah sebagai berikut :

Yijkl = μ + Ai + Bj + Ck + Dl + (AB)ij+ (AC)ik+ (BC)jk + (ABC) ijk + ε l(ijk)

Yijkl =

Nilai pengamatan untuk pengaruh perlakuan A (jenis pelarut) taraf ke-i, perlakuan B (Suhu) taraf ke-j, dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) taraf ke-k pada blok ke-l (l=1,2)

μ = Rata-rata sebenarnya

Ai = Pengaruh taraf ke-i perlakuan A (jenis pelarut)

Bj = Pengaruh taraf ke-j perlakuan B (suhu)

Ck = Pengaruh taraf ke-k perlakuan C (perbandingan

PHA-pelarut)

Dl = Pengaruh blok taraf ke-l

(AB)ij =

Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A (jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan B (suhu) pada taraf ke-j

(AC)ik =

Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A (jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k

(BC)jk =

Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan B (suhu) pada taraf ke-j dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k

(ABC)ijk =

Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A (jenis pelarut) pada taraf ke-i, perlakuan B (suhu) pada taraf ke-j dan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k

εl(ijk) = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-l dalam kombinasi perlakuan (ijk)

b. Menentukan Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan

Pengkajian interaksi faktor-faktor perlakuan dilakukan dengan

cara menguji lanjut analisis ragam hasil tahapan penentuan

faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA . Uji lanjut menggunakan metode LSR.

c. Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan Lembaran PHA.

Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA dilakukan dengan mengkaji mekanisme pembentukan lembaran

pada polimer dan kaitannya dengan variabel respon pada perlakuan penelitian. Pengamatan fisik setelah pelarutan juga dilakukan untuk mengamati jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang dapat menghasilkan lembaran setelah terjadinya proses pelarutan.

2. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini ada dua tahapan. Tahap pertama adalah

pembuatan bahan baku bioplastik untuk menghasilkan PHA dan tahap yang kedua adalah tahap penelitian utama yaitu analisa kinerja pelarut bioplastik.

(a) Pembuatan Bahan Baku (PHA)

Pembuatan bahan baku bertujuan untuk memperoleh PHA sebagai bahan utama pembuatan film bioplastik. Pembuatan bahan baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, produksi PHA

secara fed batch, dan proses hilir PHA. Proses pembuatan bahan baku

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

(b) Pembuatan Larutan Bioplastik (Allcock dan Lampe, 1981; Laffety et al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983)

Larutan bioplastik dibuat melalui proses pencampuran antara PHA dan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. Menurut Lee (1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian pelarut, oleh karena itu penelitian ini menggunakan konsentrasi dibawah 20 bagian pelarut dan diatas 20 bagian pelarut, jadi perbandingan PHA-pelarut yang digunakan adalah 1:10, 1:20 dan 1:30.

Perlakuan suhu dilakukan pada suhu ruang dan suhu 500C. Lama

pelarutan adalah 4 jam, sesuai dengan penelitian Sugiarti, R. (2003) dan Akmaliah, P. (2003) mengenai pembuatan film bioplastik dengan menggunakan substrat hidrolisat minyak sawit. Rangkaian alat untuk proses pelarutan bioplastik dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik

(A) Suhu kamar (25o C), (B) Suhu 500C

Analisa kelarutan PHA dilakukan dengan pengujian karakteristik

larutan bioplastik yang meliputi sifat fisik larutan yaitu nilai optical

density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA. Prosedur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Diagram prosedur penelitian adalah seperti pada Gambar 13.

Gambar 13. Diagram prosedur penelitian Pembuatan bahan baku :

a. Persiapan substrat

Pembuatan hidrolisat pati sagu Persiapan kultur dan media kultivasi

b. Produksi PHA secara fed batch

c. Proses hilir

Mulai

Pelarutan PHA dengan berbagai perlakuan

Selesai

Analisa Kelarutan PHA

(Absorbansi, kekeruhan, viskositas dan index swelling,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN PHA Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lainnya dalam larutan tersebut. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) tentang pengaruh pelarut bioplastik yang menyarankan untuk menggunakan perlakuan suhu, maka pada penelitian ini pencampuran dilakukan pada suhu kamar (25oC) dan suhu 500C. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi yang terjadi. Apabila terjadi peningkatan suhu, beberapa polimer terurai akibat kehilangan monomernya satu per satu (Cowd di dalam Clark, 1991). Polimer yang terurai monomernya akan lebih mudah direaksikan dengan senyawa lain. Pelarut yang digunakan dalam analisa ini merupakan pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam produksi biopolimer. Menurut Lafferty et al. di- dalam Rehm and Reid (1988), kelarutan PHB dalam beberapa pelarut, menunjukkan kelarutan tinggi pada pelarut kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida (Lampiran 2). Pelarut PHA adalah aseton, benzena, butil asetat, butil propionat, kloroform, 1,2-dikloroethana, dietilformamida, dimetil karbonat, dimetil sulfoxida, dimetilformamida, etil asetat, metil asetat, asam asetat glasial, 1,1,2,2-tetrakloroethana, 1,1,2-trikloroethana, 1,2,3-trikloropropana, toluena, dan xilena (Noda, 1998). Durrans dan Davies (1988) juga menyatakan hal yang sama bahwa kloroform, dimetilformamida dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang.

Mekanisme pelarutan polimer dalam suatu pelarut yang sesuai didahului dengan meregangnya rantai polimer pada suatu dimensi mekanik. Hasil peregangan ini adalah terurainya ikatan sambung silang yang ada di dalam polimer. Lalu pelarut masuk ke dalam jaringan polimer, sehingga volumenya naik secara isotropicaly (sama ke setiap arah). Pelarut meningkatkan pemisahan ikatan sambung silang dalam polimer dengan

menggunakan simetri bola (ke segala arah, semua vektor dengan panjang faktor konstan), sehingga semua gaya dorong menjadi seimbang dan menyebabkan imbibisi pelarut dalam polimer (Gordon, 1963). Proses ini diilustrasikan seperti pada Gambar 14. Setelah pelarut berimbibisi ke dalam molekul PHA, maka rantai PHA menjadi lebih meregang. Ketika pemlastis ditambahkan, maka pemlastis tersebut akan mudah untuk tersisip di antara rantai-rantai PHA.

Gambar 14. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff, 1958)

Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHA dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai polimer berinteraksi dengan molekul pelarut sesuai maka akan terdapat kecenderungan ujung positif suatu dipol menuju ke arah ujung negatif dipol yang lain. Pada rantai polimer sendiri, bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya ini disebut gaya van der waals (gaya orientasi) dan biasanya kecil.

Polimer

Polimer larut sempurna atau menggembung oleh pelarut tertentu. Jika polimer itu larut, maka dengan menambahkan lebih banyak polimer, proses kelarutannya mungkin terjadi lebih lambat atau bahkan dicegah oleh kekentalan larutan yang semakin tinggi, bukan karena tercapainya keadaan jenuh. Beberapa kaidah umum dapat diterapkan untuk menjelaskan kerumitan tadi. Kaidah “pelarut melarutkan senyawa sejenisnya”, sehingga polimer dan pelarut yang sama strukturnya akan mendorong terjadinya pelarutan, misalnya polimer polar akan cenderung larut pada pelarut polar. Kelarutan polimer berkurang dengan bertambahnya massa molekul. Jika suatu polimer dapat larut dalam pelarut yang cocok dan kemudian ditambahkan bukan pelarut (atau jika larutan polimer dituangkan ke dalam bukan pelarut yang jumlahnya berlebihan), maka polimer akan mengendap (Cowd di dalam Clark, 1991).

PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik, seperti pada limbah kompos aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut (Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi biodegradasi suatu polimer adalah geometri molekuler ikatan rantai panjang (berkaitan dengan panjang rantai polimer atau bobot molekulnya), kompleksibilitas struktur polimer (berkaitan dengan kerumitan struktur polimer seperti adanya rantai cabang, rantai rangkap, amorf, dan kristalin) dan sifat hidrofilik polimer (kelarutan dalam air) (Andrady, 2000). Pelarut tidak mengakibatkan berubahnya geometri molekuler ataupun struktur rantai PHA karena fungsi pelarut adalah untuk meregangkan ikatan antar monomer PHA sehingga pemlastis dapat lebih mudah berikatan dengan PHA, setelah itu pelarut dapat dipisahkan dari PHA dengan cara evaporasi. Oleh karena itu, pelarutan PHA tidak mempengaruhi efektifitas biodegdradasi PHA di alam. Hal ini tentunya berbeda dengan penambahan pemlastis dalam PHA yang mempengaruhi biodegradasi PHA di alam, karena menurut Cuq (1997), penambahan pemlastis pada bahan polimer mengakibatkan terjadinya modifikasi pada susunan tiga dimensi molekul, menaikkan mobilitas rantai, menurunkan gaya tarik intermolekul dan Tg (suhu

peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau peralihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin) bahan amorf.

Penentuan jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk pembuatan film biopolimer dengan bahan dasar PHA merupakan hal yang sangat penting. Jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk PHA akan menghasilkan lembaran PHA tanpa penambahan pemlastis. Analisa kelarutan bioplastik PHA dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA.

a. Absorbansi (Optical Density)

Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer, dengan panjang gelombang yang sesuai untuk absorbansi cahaya yang maksimal oleh PHA. Rabek (1983) menjelaskan bahwa aktivitas optik pada larutan biopolimer terdiri dari rotasi cahaya yang terpolarisasi secara liniear di sekitar sumbu perputaran cahaya. Hal ini terjadi ketika cahaya melewati sejumlah polimer dalam keadaan cair atau terlarut. Absorbsi sinar ultraviolet dan radiasi elektromagnetik cahaya tampak oleh rantai utama polimer mengakibatkan transisi di antara tingkat energi elektronik dari makromolekul, hasilnya merupakan spektrum absorbsi elektron.

Dasar dari spektroskopi adalah interaksi dari radiasi dengan bahan dari panjang gelombang yang sangat pendek sampai sangat tinggi. Tidak semua zat dapat menyerap energi radiasi dari sinar, tetapi hanya jika energi tersebut dibutuhkan oleh zat untuk mengadakan perubahan kimia molekul. Jadi, hanya sinar yang mempunyai energi atau panjang gelombang tertentu yang diserap oleh molekul (Winarno, 1973). Panjang gelombang yang sesuai untuk absorbsi cahaya yang maksimal oleh PHA yaitu pada 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).

Rabek (1983) menjelaskan bahwa absorbansi juga berkaitan dengan penyebaran cahaya di dalam larutan biopolimer. Penyebaran cahaya pada media yang homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi

yang rendah, sedangkan pada media yang tidak homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang tinggi dimana cahaya tersebut disebarkan ke semua arah.

Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut, karena pelarut mampu meregangkan rantai ikatan molekul PHA sehingga terdispersi secara merata di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, nilai absorbansi yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah, karena pelarut tidak mampu memisahkan ikatan antar molekul PHA, hal ini mengakibatkan PHA tidak terdispersi secara merata. Data nilai absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 6. Gambar 15 menunjukkan histogram hubungan jenis dan perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai absorbansi larutan.

Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi

Dari histogram pada Gambar 15 terlihat bahwa dengan semakin banyak pelarut yang digunakan maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa peningkatan absorbansi cahaya berhubungan dengan konsentrasi. Semakin besar konsentrasi pelarut maka nilai absorbansi semakin kecil, begitu pula sebaliknya, apabila konsentrasi pelarut kecil maka nilai absorbansi juga

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

N il a i A b so rb an si

semakin besar karena adanya peningkatan hamburan cahaya. Data tabel (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai absorbansi yang paling rendah adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 dan suhu PHA-pelarutan 50oC yang memiliki nilai absorbansi sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Ini berarti bahwa PHA dapat larut dengan baik pada pelarut kloroform.

Nilai absorbansi yang paling tinggi adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 dan suhu pelarutan 500C, yaitu 87.8125 (ulangan pertama) dan 44,125 (ulangan kedua). PHA dalam asam asetat tidak terdispersi secara merata. Oleh karena itu, dibutuhkan sampai 125 kali pengenceran sehingga didapatkan pembacaan nilai absorbansi yang baik, yaitu antara 0.2 sampai 0.8. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansilarutan PHA.

b. Kekeruhan (Turbidimetry)

Kekeruhan berhubungan dengan konsentrasi zat yang diukur dan intensitas sorotan cahaya yang melewati larutan (Anonim7, 2006). Apabila seberkas sinar ditembuskan ke dalam cairan yang tidak homogen, sebagian sinar dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan yang tidak seragam. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi dan massa molekul zat terlarut (Cowd di dalam Clark, 1991) .

Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya hampir sama dengan pengukuran absorbansi larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang tersuspensi dalam pelarut. Sorotan cahaya akan mengirimkan gelombang cahaya yang lalu dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari kekeruhan. Semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan yang memiliki nilai kekeruhan yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang rendah pada larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cahaya yang diserap oleh partikel PHA yang terdispersi di dalam larutan.

Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif dengan pengujian nilai absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan histogram seperti Gambar 16 yang menunjukkan hasil nilai kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 500C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552 FTU pada ulangan pertama dan 490 FTU pada ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU (ulangan pertama) dan 38 FTU (ulangan kedua). Hasil lengkap pengujian kekeruhan dapat dilihat pada Lampiran 9.

Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan

Analisis keragaman (Lampiran 10) menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.

0 100 200 300 400 500 600 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

N ila i K e k e ru h a n

c. Viskositas

Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya konsentrasi dan dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian pada polimer yang mengandung gugus terionkan seperti gugus asam karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1%, rantai-rantai dalam larutan dapat bertindihan dan akibat gaya tolak menolak antar muatan sejenis pada rantai yang berdampingan, serta pengionan tak sempurna yang mungkin terjadi, maka rantai tidak memanjang terlalu banyak (Cowd di dalam Clark, 1991). Menurut Allcock dan Lampe (1991), peningkatan viskositas yang tinggi diduga disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.

Pada penelitian didapatkan hasil analisis ragam (Lampiran 12) bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981) bahwa besarnya peningkatan viskositas dari larutan berbeda-beda nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang digunakan.

Histogram peningkatan nilai viskositas (Gambar 17) menunjukkan bahwa kenaikan viskositas tertinggi terjadi pada PHA yang dilarutkan pada perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat lebih cermat didapatkan data bahwa nilai peningkatan viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu kamar sebesar 0.06 Cp untuk ulangan pertama dan 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10 pada suhu 500 C yang memiliki peningkatan nilai 0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil dari pergeseran fluida sehingga kekentalan

dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya geserannya (shear force). Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah (Srivastava, 1989).

Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas

Pada pelarutan dengan menggunakan PHB blanko dapat dilihat pada Lampiran 5, bahwa kenaikan viskositas yang terjadi sangat besar ketika PHB blanko dilarutkan pada kloroform dengan suhu 50oC. Peningkatan nilai viskositas ini menandakan pelarut dapat melakukan imbibisi dan meningkatnya pembentukan rantai PHB yang membelit satu sama lain yang membentuk ikatan seperti gulungan (Gordon, 1963). Peningkatan suhu akan menyebabkan rantai molekul PHB menjadi terpisah lebih jauh dan meregang (Cowd di dalam Clark, 1991), sehingga molekul pelarut dapat melakukan proses imbibisi ke dalam molekul PHB blanko dengan baik.

Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti yang diutarakan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa salah satu ciri polimer (biopolimer) adalah menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

P e ni ngk ta n V is c os it a s

d. Swelling Index

Kemampuan suatu polimer untuk menyerap pelarut dan mengalami pengembangan volume tertentu merupakan fenomena yang umum. Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Menurut Rabek (1983), apabila suatu jenis biopolimer dilarutkan dalam cairan pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) pada suatu tingkatan tertentu tergantung pada interaksi antara biopolimer terlarut dengan pelarutnya.

Fenomena suatu polimer menyerap pelarut dan mengalami pengembangan saat pelarutan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama, polimer “mengambil” atau menyerap pelarut dan mengembang menjadi suatu gel (swelling). Tahap pertama tersebut terjadi pada semua polimer linear, bercabang, amorf, dan berikatan silang. Tahap kedua pelarutan terdiri dari pemecahan gel untuk menghasilkan larutan molekul polimer sebenarnya di dalam pelarut yang diberikan (Allcock dan Lampe, 1981).

Larutan PHA dengan pelarut kloroform memberikan nilai indeks swelling yang paling tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C yang bernilai 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua). Hasil ini sejalan dengan pendapat Pruett (1988) yang menyatakan bahwa polipropilen yang memiliki sifat menyerupai PHA memberikan nilai swelling yang tinggi terhadap pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan 0.4116 untuk ulangan yang kedua. Histogram nilai indeks swelling dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai swelling index

Nilai indeks swelling yang besar pada kloroform menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe (1981) penyerapan pelarut oleh polimer ini disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan yang lentur pada suhu ruangan, sehingga molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi polimer dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila terdapat ikatan silang. Rantai ikatan silang dapat memberikan pembatas pada tingkat kemampuan rantai untuk memisah dan akhirnya menghambat terjadinya swelling. Data nilai indeks swelling dapat dilihat pada Lampiran 15.

Analisis ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis PHA-pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh terhadap nilai swelling index sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko (2003), yang menyatakan bahwa jenis pelarut mempengaruhi nilai swelling index larutan PHA hidrolisat minyak sawit.

0 20 40 60 80 100 120 140 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Dokumen terkait