PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)
Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.
RINGKASAN
Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia).
PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik
solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik. Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida), perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar (25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan
Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut di- dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansilarutan PHA.
1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp (ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu 500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua). Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.
Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata nilai swelling index.
DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-β -hydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.
SUMMARY
The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough, light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling, conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in natural environments, and these called biodegradable polymers.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by adjusting on its composition. The objective of this research using material hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of production worlwide.
In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration, to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film. The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e. absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical observation.
Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39 FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity.
ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as 0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment), while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of 50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the solvent are considered as increased viscosity level.
The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The
Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the optimum value compared with another combination treatment, that valued as 115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment). The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of swellingindex.
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli
1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984 di Bojonegoro – Jawa Timur
Tanggal lulus : Februari 2007
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli
1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)
Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.
RINGKASAN
Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia).
PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik
solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik. Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida), perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar (25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan
Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut di- dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansilarutan PHA.
1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp (ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu 500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua). Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.
Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni (Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh nyata nilai swelling index.
DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-β -hydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.
SUMMARY
The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough, light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling, conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in natural environments, and these called biodegradable polymers.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by adjusting on its composition. The objective of this research using material hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of production worlwide.
In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration, to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film. The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e. absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical observation.
Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39 FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity.
ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as 0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment), while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of 50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the solvent are considered as increased viscosity level.
The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The
Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the optimum value compared with another combination treatment, that valued as 115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment). The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature. ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the value of swellingindex.
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli
1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA F34102044
Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984 di Bojonegoro – Jawa Timur
Tanggal lulus : Februari 2007
BIODATA RINGKAS
Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli
1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I, Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F (Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor) kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. PATI SAGU ... 4
B. HIDROLISAT PATI SAGU ... 5
C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkonoates) ... 7
D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) ... 8
E. Ralstonia eutropha ... 10
F. PROSES PRODUKSI PHA ... 12
G. PROSES HILIR PHA ... 14
H. PELARUT BIOPLASTIK ... 15
1. Kloroform ... 18
2. Asam Asetat Glasial ... 19
3. Dimetilformamida ... 20
III.BAHAN DAN METODE ... 23
A. BAHAN DAN ALAT ... 23
1. Bahan ... 23
2. Alat ... 23
B. METODE PENELITIAN ... 24
1. Tahapan Penelitian ... 24
a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA ... 25
c. Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan
Lembaran PHA ... 26 2. Prosedur Penelitian ... 27 a. Pembuatan Bahan Baku (PHA) ... 27 b. Pembuatan Larutan Bioplastik ... 27 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. MENENTUKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN PHA ... 29
a. Absorbansi (Optical Density) ... 32 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ... 34 c. Viskositas ... 36 d. SwellingIndex ... 38 B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN ... 40 a. Absorbansi (Optical Density) ... 40 b. Kekeruhan (Turbidimetry) ... 42 c. Viskositas ... 44 d. SwellingIndex ... 46 C. MENENTUKAN PENGARUH PERLAKUAN DALAM
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Karakter fisik PHA dan pebandingannya dengan bahan
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Tanaman sagu ... 4 Gambar 2. Granula pati sagu ... 5 Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa ... 6 Gambar 4. Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) ... 7 Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Laferty et al., 1988) ... 9
Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha ... 11 Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001) ... 13 Gambar 8. Struktur kimia kloroform ... 18 Gambar 9. Struktur kimia asam asetat ... 20 Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida ... 21 Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian ... 24 Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik ... 28 Gambar 13. Diagram alir prosedur penelitian ... 28 Gambar 14. Reaksi polimer dan pelarut dan reaksi penambahan
pemlastis ... 30 Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan
PHA-pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi ... 33 Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan
PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan ... 35 Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan
PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas ... 37 Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan
PHA-pelarut dan suhu dengan nilai swelling index ... 39 Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan
Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut
terhadap nilai absorbansi ... 41 Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap nilai kekeruhan ... 42 Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan
PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan ... 43 Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan
PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas ... 44 Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap peningkatan nilai viskositas... 45 Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap nilai indeks swelling ... 46 Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut
terhadap nilai indeks swelling ... 47 Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan
kloroform ... 49 Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan
asam asetat glasial ... 50 Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Disisi lain, plastik menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius karena sulit terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan. Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan beberapa melalui pendekatan seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan plastik biodegradabel.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu jenis plastik biodegradabel yang paling menjanjikan. PHA memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah (Van Wegen et al., 1998). Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan.
Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala ekonomi. Nilai jual produk plastik PHA yaitu $ 16/kg yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai jual produk plastik berbasis petrokimia yang hanya sekitar $ 1/kg. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan strain-strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis.
tahun 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Cadangan pati sagu tiap tahunnya diperkirakan hanya 0,05 – 1 % yang dimanfaatkan untuk ekspor, 10 % sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89 % beum termanfaatkan dengan baik (Wiyono et al., 1990).
Menurut penelitian Atifah (2006) tentang pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli(3-hidroksialkanoat) oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan kaku (Kim et al, 1994). Penggunaan bahan tambahan seperti pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar PHB dengan pemlastis dapat bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe, 1981).
PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).
Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) didapatkan pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko (2003) menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat dengan naiknya suhu proses.
B. TUJUAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PATI SAGU
Sagu adalah tanaman berbiji tunggal (monokotil) yang berasal dari
keluarga Palmae, marga Metroxylon, Ordo Spadiciflorae (Gambar 1).
Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi ini berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra yang berarti batang atau empulur
dan xylon yang berarti xylem. (Flach, 1997)
Gambar 1. Tanaman sagu
Potensi pemanfaatan sagu di Indonesia sangat besar. Saat ini
setidaknya ada hutan sagu 1,25 juta hektare (Ha) di Papua dan Maluku, serta
148 ribu ha lahan sagu semi budidaya di kepulauan Riau, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan tersebut merupakan lahan
sagu terbesar di dunia. Sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia karena sagu mampu
menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektare (Ha), jauh melebihi beras
atau jagung. Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang
hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton (Humas,
2006).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang
terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai
selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α
-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997).
Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman
sagu dengan bantuan air. Tahapan proses pengolahan pati sagu secara
tradisional meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan,
penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan
pengemasan (Haryanto dan Pangloli, 1992). Menurut Abner dan
Miftahorrahman (2002), secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat
dihasilkan 100-600 kg pati sagu kering. Rendemen untuk pengolahan yang
ideal adalah 15 %.
Pati sagu merupakan butiran atau granula yang berwarna putih
mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Pati sagu memiliki granula yang
berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 μm dan
suhu gelatinisasinya berkisar antara 60-72 0C (Knigt, 1969). Gambar granula
pati sagu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Granula pati sagu (Winarno, 1997)
B. HIDROLISAT PATI SAGU
Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah nama dagang dari larutan
hidrolisis pati, larutan ini merupakan cairan jernih dan kental dengan
komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara
kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pati menjadi molekul glukosa dapat
(C6H10O5)n + n H2O (C6H12O6)n
pati Katalis, panas Glukosa
Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa(Winarno, 1997)
Hidrolisis pati secara kimiawi dengan menggunakan asam lebih mudah
dilakukan dibandingkan secara enzimatis. Peralatan yang diperlukan juga
tidak terlalu rumit. Namun timbul beberapa masalah, seperti peralatan yang
digunakan harus tahan korosi dan DE (dextrose equivalent) yang dihasilkan
lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981).
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik
prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi
proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian murah, dihasilkan lebih sedikit
produk samping dan abu serta kerusakan warna yang dapat diminimalkan
(Norman di dalam Birch et al., 1981).
Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga
tahapan dalam mengkonversi pati yaitu : gelatinisasi, likuifikasi dan
sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari larutan
pati yang disebabkan adanya kenaikan suhu (di atas 55oC), likuifikasi
merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya
viskositas. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas
enzim α-amilase yang memecah ikatan α-(1,4)-glikosidik di bagian dalam
rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung
6-7 maltosa (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
Proses selanjutnya adalah sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses
hidrolisis oligosakarida (hasil dari tahap likuifikasi) lebih lanjut oleh enzim
tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa (Chaplin dan Bucle, 1990).
Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) selanjutnya akan
memutuskan rantai molekul maltosa menjadi glukosa bebas. Tidak seperti
likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya
memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam
Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
Menurut penelitian Akyuni (2004) tentang pemanfaatan sagu untuk
secara enzimatis memiliki nilai DE tertinggi (50,83) pada tahap likuifikasi
diperoleh dengan waktu proses selama 210 menit dan pada konsentrasi α
-amilase 1,75 U/g pati, pH hasil proses likuifikasi ditepatkan menjadi 4-4,5
sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi. Pada tahap sakarifikasi, nilai DE
tertinggi (98,99) diperoleh pada konsentrasi amiloglukosidase 0,3 U/g pati dan
waktu sakarifikasi 48 jam.
C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)
PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) adalah suatu famili poliester
thermoplastis bermolekul tinggi yang terbentuk secara alami atau melalui cara
bioteknologi khusus (Utz et al., 1991). PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) dan
kopolimer Poly-β-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate
(PHB-co-PHV) merupakan dua tipe famili PHA yang paling banyak diteliti secara
intensif dan telah banyak dijumpai di pasaran. PHA alami mengandung
sekelompok n-alkil. Struktur PHA dapat dilihat pada Gambar 4.
Berbeda dengan plastik konvensional yang dibuat dari bahan berbasis
petrokimia, PHA dibuat dari bahan baku tumbuhan yang dapat diperbarui
yang digunakan sebagai substrat fermentasi (Yoshida et al., 1996). PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) terakumulasi di dalam bakteri sebagai hasil ketidakseimbangan nutrisi yang terjadi saat kelebihan karbon dan energi. PHA
memiliki sifat termoplastik dan elastomer tergantung dari komposisi
monomernya dan dapat terdegradasi secara sempurna.
PHA dibentuk dalam sitoplasma sel, bentuknya dapat berupa granula
dan kristal. Granula tersebut mengandung PHA depolimerase yang terdapat
dalam membran protein atau pada sitoplasma yang menyebabkan terjadinya
O
R O
O n
PHA rantai pendek R = H, CH3, CH2CH3
PHA rantai menengah R = (CH2)2CH3–(CH2)8CH3
degradasi polimer. PHA memiliki karakteristik kimia dan fisik yang
dibutuhkan bagi penggunaannya sebagai termoplastik komersial. Polimer ini
dapat digunakan lebih lanjut melalui pencetakan larutan maupun pelelehan
untuk membentuk serat, film, plastik fleksibel, dan plastik rigid
(Timmins et al., 1993).
Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) PHA
memiliki densitas yang berkisar antara 1.171 dan 1.260 g.cm-3. Nilai densitas
yang lebih rendah berhubungan dengan densitas amorf, sedangkan nilai
densitas yang lebih tinggi berkenaan dengan densitas kristalin. Titik leleh
PHA bervariasi dan biasanya berada diantara 157 dan 188oC. PHA memiliki
karakteristik thermoplastik dan dapat diekstrusi dan/atau diberi penekanan.
PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan
mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik seperti pada limbah kompos
aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut
(Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). PHA dapat
digunakan sebagai benang jahit pada operasi medis, peralatan rekaman karena
sifat piezoelektrik yang baik, substitusi untuk poliester sintetis pada
pembuatan serat dan sebagai bahan kemasan. Selain itu PHA dapat juga
ditenun menyerupai wool katun sehingga cocok digunakan sebagai popok
bayi (Crueger dan Crueger, 1984).
D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate)
Poly-β-Hydroxybutyrate (PHB) sebagai salah satu jenis PHA merupakan suatu polimer linier dan di bawah kondisi normal merupakan
komponen yang relatif tidak reaktif. PHB dengan kopolimer Poly-β
-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-co-PHV) memiliki sifat-sifat termoplastik yang baik. PHB sering dibandingkan dengan
polipropilen karena sifat fisiknya yang serupa. Perbedaannya adalah bahwa
PHB sangat rapuh untuk beberapa penggunaan, dengan rasio elastisitas
hampir dua kelas lebih rendah dibandingkan dengan polipropilen.
Perbandingan sifat-sifat kimia PHB dan polipropilen dapat dilihat pada
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia polipropilen (PP) dan poly-β-hydroxybutyrate (PHB)
PARAMETER PP PHB
Titik Cair, Tm (oC) 171-186 171-182
Suhu Transisi Kaca, Tg (oC) -15 5-10
Kristalinitas (%) 65-70 65-80
Densitas (gcm-3) 0,905-0,94 1,23-1,5
Bobot Molekul, (Mw (x105) 2,2-7,0 1-8
Distribusi Bobot Molekul 5-12 2.2-3.0
Modulus Kelenturan (Gpa) 1,7 3,5-4,0
Kekuatan Tarik (Mpa) 39 40
Pemanjangan Hingga Putus (%) 400 6-8
Retensi Terhadap Ultraviolet Buruk Baik
Retensi Terhadap Pelarut Baik Buruk
Permeabilitas Oksigen (cm3m-2atm-1d-1) 1700 45
Sumber : Timmins et al., (1993)
Kopolimer PHB-co-PHV lebih fleksibel sehingga lebih disukai untuk
beberapa penggunaan (Poirier et al.,1995 seperti dikutip oleh
Ayorinde et al., 1998). Sperling dan Carraher di dalam Kroschwitz (1990)
menambahkan bahwa dengan kandungan komonomer yang rendah polimer
tersebut menyerupai polivinilklorida yang tidak plastis, sedangkan dengan
kandungan monomer yang cukup polimer ini memiliki sifat seperti
polipropilen. Struktur kimia molekul PHB dapat dilihat pada Gambar 5.
O O
n
CH3
| CH
CH2
O || C
Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Lafferty et al. di dalam
Pada konsentrasi yang tinggi dengan menurunnya kristalinitas, maka
polimer ini lunak dan liat seperti polietilen. Meskipun PHB lebih rapuh dan
lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan dengan poliester komersial,
namun PHB memiliki resistansi yang lebih besar terhadap radiasi ultraviolet
dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger di dalam Brock, 1984).
Ketahanan kimia PHB terhadap minyak sangat baik dan polimer tersebut juga
bersifat tahan terhadap cairan dan impermeable (Kemmis, 1993).
Penggunaan PHB memberikan keuntungan dari sisi pertimbangan
lingkungan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis. Dawes dan
Sutherland (1976) menyatakan bahwa PHB merupakan polimer linier.
Degradasinya memerlukan aktivitas proteolitik yang diikuti dengan hidrolisis
oleh PHB depolimerase menjadi dimer dan selanjutnya dipecah menjadi
monomer-monomer.
Menurut Hrabak (1992), PHB mempunyai karakteristik mirip
polipropilen dengan tiga keunikan, yaitu termoplastik, 100% tahan air, dan
100% biodegradable. Lindsay (1992) dan Holmes di dalam Bassett (1988)
menambahkan bahwa PHB mempunyai beberapa karakteristik yang banyak
diinginkan seperti ketahanan terhadap uap air dan tidak larut di air. Karakter
inilah yang membedakan PHB dengan biodegradable plastik yang lain. PHB
juga mempunyai impermeabilitas yang baik terhadap oksigen.
E. Ralstonia eutropha
Menurut Ishizaki dan Tanaka (1991) Ralstonia eutropha merupakan
bakteri kemoautotrof fakultatif yang dapat mengakumulasi poli-β
-hydroksyalkanoates (PHA) sebagai cadangan energi dalam kondisi kultur
yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus Ralstonia eutropha
berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter 0,5-1,0 mikrometer
dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha memiliki flagel
Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha (www.metabolix.com, 2006)
Ralstonia eutropha termasuk dalam bakteri gram negatif yang mampu
mengakumulasi PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) sebagai cadangan energi di
bawah kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen (Ishizaki
dan Tanaka, 1991). Akumulasi PHA terjadi setelah kondisi keterbatasan
oksigen terjadi. Bobot kering sel dan perolehan PHA lebih tinggi pada kondisi
keterbatasan oksigen dibandingkan kondisi keterbatasan amonium. Kemmish
(1993) mengatakan bahwa Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi hingga
80 % polimer dalam berat kering sel.
Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian
sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang
dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia
eutropha. Pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung tiga jenis gen yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phaA, phbB, dan phbC.
PhbA (yaitu ketothiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk
menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi D-β
-hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang
membutuhkan NADPH). Molekul D-β-hidroksibutiril-KoA membentuk unit
monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu
suatu PHB sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis
didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan
yang dikode sebagai gen phbZ. Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R. eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Babel et al. di dalam Scheper (2001) menyatakan bahwa meskipun
faktor-faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau
Fe2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara
kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk
yang hampir sama. Konsentrasi intraseluler asetil-KoA yang tinggi akan
menunjang sintesis asetoasetil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi
(reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan. Secara umum, pasokan nutrisi yang
tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan
kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis
PHB. Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/ (melalui siklus
TCA) dan jumlah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka
reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk
mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian,
jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi
(Babel et al. di dalam Scheper, 2001).
F. PROSES PRODUKSI PHA
Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu
kultivasi dan isolasi PHA. Tahap kultivasi merupakan tahap pertumbuhan
biomas sel dan akumulasi biopolimer PHA. Setelah kultivasi berakhir,
dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap
isolasi biopolimer. Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut
(solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based). Pemisahan tanpa pelarut pada dasarnya adalah proses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti
dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi. Pemisahan dengan pelarut merupakan
proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti dengan presipitasi dengan
air/metanol (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Tinjauan umum proses
KULTIVASI TAHAP 1
PRODUKSI BIOMASSAA
Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang
KULTIVASI TAHAP 2
AKUMULASI POLIMER PHA
Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas
PEMANENAN
ISOLASI
Tanpa Pelarut
• Pelarutan biomassa
non-PHA
• Sentrifugasi / ultrafiltrasi
Dengan Pelarut
• Ekstraksi PHA dengan
pelarut
• Presipitasi dengan metanol
/air
Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA
(Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).
Secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch (curah),
fed-batch (terumpani) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fed-batch banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA
di-dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed-batch, densitas
biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci
menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut
dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi
secara konstan (Nielsen dan Villadsen di dalam Rehm et al., 1993). Terkait
dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha,
beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi
fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal bagi akumulasi PHB (Lee dan Choi di dalam Babel dan
Steinbuthchell, 2001).
Menurut Atifah (2006), hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai
sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA baik
pada kultivasi batch (curah) maupun pada kultivasi fed-batch. Akan tetapi,
kultivasi fed-batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu adalah yang paling
di dalam sel meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi sel.
Konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel dapat meningkat lebih dari
dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan
dengan hasil kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel) pada
kondisi karbon berlebih dengan indikasi nutrisi pembatas berupa magnesium,
sulfat, nitrogen dan fosfat. Ralstonia eutropha tumbuh paling baik pada
konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal
0,108/jam dan rendemen molekuler (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula.
G. PROSES HILIR PHA
Ketika tahapan kultivasi telah selesai, sel yang mengandung PHA
harus dipisahkan dari media kultivasi dengan berbagai prosedur konvensional
seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah
agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. di dalam Scheper,
2001). Hal ini senada dengan Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988),
proses pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan
cara sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya
adalah pemisahan PHB/PHAs dari biomassa. Pemisahan PHA/PHB dari
biomassanya dapat dilakukan dengan ekstraksi pelarut, proses digest dengan
sodium hipoklorit dan proses digest secara enzimatis (Lee, 1996).
Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah
ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform,
metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan) namun proses tersebut
membutuhkan pelarut dalam jumlah besar (Lee, 1996). Beberapa metode lain
juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah
bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium
hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya
(Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).
Lee et al. (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang
mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama satu jam pada suhu 30oC
dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Apabila waktu
meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan
menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH
digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu murah dan ramah lingkungan, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan selama proses
ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.
PHA diketahui dapat larut dalam kloroform (Lafferty et al. di dalam
Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama digunakan untuk mengekstrak
PHA dari biomassa mikrobial. Larutan PHA-kloroform dipanaskan pada suhu
40oC selama 20 jam. PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan kertas
saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dan larutan PHA-kloroform.
Kloroform diuapkan pada ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk
suatu lapisan PHA kering yang lebih murni.
H. PELARUT BIOPLASTIK
Mellan (1950) menjelaskan bahwa pelarut dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok polar dan non polar. Terdapat kecenderungan kuat
bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa
kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan
perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis (Keenan et al., 1984). Perbedaan
dari kedua kelompok tersebut adalah potensial elektrik. Kelompok non polar
tidak memiliki potensial elektrik pada molekulnya, sedangkan kelompok polar
memiliki potensial elektrik pada molekulnya. Pelarut yang memiliki gugus
karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar.
Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan
senyawa yang bersifat non polar. Senyawa polar hanya dapat larut dalam
pelarut polar, misalnya air (Mellan,1950) .
Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai
mengandung atom yang sangat elektronegatif, seperti oksigen, maka efek
induktif (dorongan elektron dalam ikatan kovalen menuju elektron yang lebih
elektronegatif) menyebabkan rantai terpolarkan. Oleh karenanya tarikan
dipol-dipol terjadi dan bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai
tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya tarik
antara dipol-imbasan dan dipol tetap disebut gaya imbas (gaya induksi) dan
biasanya kecil. Jenis gaya ini dikenal dengan gaya London atau gaya dispersi.
Elektron pada suatu saat tertentu dalam atom, tidak tersebar secara setangkup
diseputar intinya, karena lebih banyak elektron berada pada suatu sisi daripada
sisi yang lainnya. Akibatnya terjadi dipol sementara, dengan cara yang sama
dipol sementara terjadi pada rantai polimer dan mengimbas dipol pada rantai
tetangganya, menghasilkan tarikan antar rantai. Untuk rantai polimer yang
mempunyai dipol, gaya tarik atau gaya Van Der Waals, dan sebagian besar
disebabkan oleh gaya London (Cowd didalam Clark, 1991).
Gaya Van Der Waals tersusun dari beberapa gaya tarik antar molekul.
Gaya-gaya tersebut adalah gaya orientasi, gaya induksi dan gaya
dispersi/London. Apabila molekul-molekul yang membentuk kristal molekuler
mempunyai momen dipol dan molekul-molekul mempunyai orientasi yang
tepat, maka akan terjadi gaya tarik dipol-dipol. Gaya yang timbul disebut gaya
orientasi. Gaya tarik molekul atau atom non polar dengan molekul polar cukup
besar karena adanya induksi kepada molekul atau atom yang non polar. Gaya
tarik yang terjadi disebut gaya induksi, sedangkan molekul-molekul polar
seperti gas mulia tidak mempunyai dipol, molekulnya simetris, adanya
perpindahan sedikit dari kedudukan inti dan elektron dalam molekul,
menyebabkan terjadinya dipol pada molekul lain akibat induksi, hingga terjadi
gaya tarik, yang disebut gaya tarik dispersi (Sukardjo, 1989).
Tarikan antar-rantai jenis lainnya yang penting adalah akibat ikatan
hidrogen yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk khas antar aksi
dipol-dipol. Ketika atom hidrogen terikat pada atom yang sangat elektronegatif,
maka inti hidrogen hampa akan elektron pelindung sebab awan pasangan
elektron tertarik pada atom yang lebih elektronegatif (efek imbas). Inti
hidrogen kemudian membentuk ujung yang positif dipol kuat dan mencari
daerah kerapatan elektron tinggi misalnya atom elektronegatif (mempunyai
muatan) yang terbentuk pada rantai tetangganya. Hasilnya adalah tarik
Cairan dapat menjadi pelarut yang baik bagi suatu polimer apabila
molekul-molekul dari cairan tersebut menyerupai unit-unit struktural polimer
secara kimia dan fisik (Allcock dan Lampe, 1981). Sedang menurut Rabek
(1983), pelarut polimer yang baik adalah pelarut yang memiliki parameter
kelarutan sama atau mirip dengan parameter kelarutan polimer yang akan
dilarutkan. Parameter kelarutan itu adalah gaya dispersi, kapasitas ikatan
hidrogen serta polaritas dan interaksi induksi. Parameter kelarutan ketiga
pelarut dapat dilihat pada Tabel 2 .
Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut*
Pelarut
Gaya
Dispersi
Kapasitas Ikatan
Hidrogen
Polaritas dan
Interaksi Induksi
Kloroform 8,65 1,5 2,8
Asam asetat 7,1 3,9 6,6
Dimetilformamida 8,52 6,7 5,5
*) Rabek, 1983
Suatu pelarut yang ideal ditandai oleh kemampuannya untuk
melarutkan sejumlah polimer dalam selang temperatur yang dibatasi oleh
temperatur kristalisasi larutan atau temperatur pengadukan yang rendah dan
pada temperatur dimana tekanan uap larutan sebesar 1 torr (1 torr = 1/760 atm
= 133,322 N m-2 (SI)). Pada prakteknya pelarut polimer ideal seperti itu tidak
ada. Suatu bahan yang bersifat non-pelarut ditandai dengan
ketidakmampuannya untuk melarutkan polimer pada temperatur berapapun di
bawah tekanan atmosfer (Rabek,1983).
Allock dan Lampe (1981) menjelaskan bahwa pelarut yang baik
bersifat mudah menguap sehingga akan menguap dengan laju penguapan yang
sesuai pada suhu ruangan atau sedikit di atas suhu ruang. Pelarut ini juga
tidak terlalu volatil sehingga tidak akan menguap terlalu cepat dan
membentuk gelembung atau endapan semikristalin. Penguapan yang terlalu
cepat dalam pembuatan film dapat menyebabkan pendinginan film sehingga
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut
seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran
diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Kelarutan PHB dalam
beberapa pelarut dapat dilihat pada Lampiran 2.
1. Kloroform (CHCl3)
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3),
merupakan pelarut aprotik yaitu pelarut yang molekul-molekulnya tidak
ikut serta dalam kesetimbangan yang melibatkan proton, memiliki tetapan
dielektrik sebesar 4,81 (Rivai, 1995). Kloroform sering digunakan sebagai
bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar
di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan,
namun mudah menguap, memiliki stuktur molekul tetrahedral
(Anonim3, 2005).
Gambar 8. Struktur kimia kloroform (Anonim3, 2005)
Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak
berwarna, berbau harum, dan sangat toksik. Senyawa ini bersifat toksik
dan narkotik, sehingga tidak digunakan secara luas sebagai pelarut. Cairan
ini juga bersifat stabil dengan titik didih rendah (Mellan, 1950). Kloroform
juga memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan khusus seperti pelarut lemak, minyak, lilin, alkaloid dan
lain-lain. Kloroform digunakan sebagai pelarut yang umum pada industri
lemak, gum, minyak, parafin/lilin, plastik dan polimer (Anonim3, 2005).
Kloroform dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan
dengan sebagian besar pelarut lainnya. Sifat fisika dan kimia kloroform
Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform*
Parameter Nilai
Berat Molekul 119,3
Titik Didih 60-62 oC
Titik Beku -63,5 oC
Gravitasi Spesifik 1,499 (15 oC)
Panas Spesifik 0,233 Cal/g atau B.t.u/lb/oF
Kalor Laten Penguapan
59,1 Cal/g 106,4 B.t.u/lb
Viskositas
5,63 millipoise (20 oC)
5,10 millipoise (30 oC)
*) Mellan (1950)
2. Asam Asetat Glasial (CH3COOH)
Asam asetat glasial merupakan larutan yang mengandung 99.5 %
asam asetat (methane carboxylic acid atau ethanoic acid). Termasuk
dalam golongan senyawaan asam karboksilat. Jernih, asam organik yang
tidak berwarna, memiliki bau yang khas seperti cuka, digunakan sebagai
pelarut dalam industri karet, plastik, serat asetat, obat-obatan, dan
fotografi. Asam asetat glasial mendidih pada suhu 118°C, dan memiliki
densitas sebesar 1.049 g/mL pada 25°C. mudah terbakar pada titik nyala
api 39°C. Asam asetat larut pada semua perbandingan dalam air, etil
alkohol, dan dietil eter dengan ikatan hidrogen, bersifat sangat korosif
(Anonim1, 2005).
Asam asetat glasial juga digunakan untuk sintesis anhidrat asam
asetat, ester, garam, zat warna, zat wangi, bahan farmasi, plastik, serat
buatan, selulosa dan sebagai penambah makanan. Asam asetat glasial ini
bersifat racun, berbahaya dan termasuk bahan yang korosif. Cairan dan
uapnya dapat menyebabkan luka bakar yang hebat pada seluruh jaringan
tubuh manusia, jika tertelan dapat menyebabkan kerusakan yang fatal, dan
jika terhirup berbahaya bagi paru-paru dan gigi, bersifat mudah terbakar
Gambar 9. Struktur kimia asam asetat (Anonim1, 2005)
Asam asetat adalah pelarut yang polar, sama seperti etanol dan
air dengan konstanta dielektrik sebesar 6,2. Seperti halnya pelarut
kloroform dan hexana, asam asetat glasial tidak hanya melarutkan
senyawa-senyawa polar seperti gula dan garam organik, tetapi juga dapat
melarutkan senyawa non-polar seperti minyak dan elemen lain (polimer).
Hal ini memungkinkan asam asetat menjadi pelarut yang dapat dipakai
secara luas oleh industri (Anonim1, 2005).
Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial*
Sifat fisik/kimia Nilai
Penampakan jernih/bening,tak berwarna
Bau Kuat, seperti cuka
Kelarutan Sangat larut (berbagai perbandingan)
Densitas 1,05 kg/L
pH 2,4 (1.0M solution)
Titik didih 118 0 C (244F)
Titik lebur 16,6 0 C (63F)
Molaritas 60,05 g/mol
*) Anonim1, 2005
3. Dimetilformamida (HCON(CH3)2
Dimetilformamida merupakan gugus alkil dari formamida,
termasuk golongan amida yang merupakan turunan asam karboksilat,
gugus –OH diganti dengan –NH2 atau amoniak dan satu H diganti dengan
asil. Pada suhu kamar berbentuk cairan yang jernih, larut dalam air dan
pelarut organik pada umumnya. Dimetilformamida termasuk pelarut yang
sering digunakan dalam reaksi kimia, dalam keadaan murni tidak berbau,
C
namun DMF yang terdegdradasi karena penanganan teknik memiliki bau
amis yang berasal dari pengotor dimetilamina (Anonim4, 2006).
Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida (Anonim4, 2006)
Dimetilformamida adalah pelarut polar yang aprotik dengan titik
didih yang tinggi, larut dalam pelarut organik yang lain yaitu alkohol, eter,
aseton, benzene dan kloroform. Disintesa dari asam formiat dan
dimetilamin. DMF tidak stabil dalam basa kuat seperti NaOH atau asam
kuat seperti HCl atau H2SO4 dan akan kembali ke dalam bentuk asam
formiat dan dimetilamnia, terutama pada suhu tinggi. Digunakan sebagai
pelarut dalam produksi serat akrilik , plastik, obat-obatan, pestisida, kulit
sintetis, serat dan film (Howard, 1993; Gescher, 1993). Dimetilformamida
dapat menembus hampir semua jenis plastik dan membuat plastik
mengembang. Sifat fisika dan kimia dimetilformamida dapat dilihat pada
Tabel 5. Dimetilformamida dapat menyebabkan kanker manusia (bersifat
karsinogenik), itu juga menyebabkan cacat pada janin. Pada beberapa
sektor industri wanita dilarang bekerja dengan DMF (Farquharson et al.,
1983).
Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida*
Sifat fisik/kimia Nilai
Bobot Molekul 73,09 g/mol
Penampakan Cairan jernih
Densitas, fase 0,944 g/cm³, cairan
Titik lebur -61 °C (212 K) Titik didih 153 °C (426 K) Konstanta dielektrik 36,7
Indeks polaritas 6,4 Titik nyala 58 °C
*)Anonim4, 2006
CH
3Menurut penelitian Wijanarko (2003) pelarut terbaik adalah kloroform
dengan nilai absorbansi 0.04 + 0.01 dan nilai swelling index sebesar 5.28 +
2.82. Hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan viskositas larutan PHA. Waktu
pencampuran PHA setelah jam ke-48 menunjukkan fasa dan homogenitas
larutan yang tidak signifikan dilihat dari pengamatan visual.