• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN

2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

Tujuan seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang adalah supaya asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, ada 4 (empat) faktor yang harus diperhatikan oleh para pencucinya, yakni:42

Faktor pertama, kepemilikan yang sebenarnya dan sumber yang sesungguhnya dari uang yang dicuci itu harus disembunyikan. Tidak ada gunanya untuk melakukan pencucian uang apabila setiap orang mengetahui siapa yang memiliki uang tersebut apabila uang itu nantinya muncul di akhir dari proses pencucian uang itu.

Faktor kedua, bentuk uang tersebut harus berubah.Dana yang berasal dari perdagangan narkoba hampir dipastikan berupa uang tunai. Uang tunai ini harus dapat diubah bentuknya menjadi alat pembayaran lain, misalnya berbentuk cek.

41

Bismar Nasution,Loc.Cit.

42

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 31-33.

Kongres Amerika Serikat pada waktu membicarakan mengenai undang-undang

money laundering mengemukakan sebagai berikut:

In typical drug organization, the proceed generated by the drug traffickers are almost entirely in the form of cash. The typical denomination of currency in street circulation is a twenty dollars bill. As the profits for street sales move up the ladder of the trafficking organization-from the street seller to the wholesaler to the importer-these twenty-dollars bills, so crumpled and covered with dirt and drug residue that they will often jam the counting machines, are bundled together and collected in warehouse. Regularly, the volume becomes so large that it is to count it. Handling this volume of cash is often a more serious logistical problem for the trafiicker than the handling of the drugs themselves”. (One hundred billion dollars in twenty-dollars bills weighs about 26 million pounds.)

Tidak ada seorang pun yang ingin mencuci uang sejumlah £3 juta dalam bentuk uang-uang kertas £20-an hanya untuk berpayah-payah dengan memproses uang senilai £3 juta yang akhirnya muncul dalam bentuk uang-uang kertas £20-an juga. Antara lain, apabila terlibat jumlah uang tunai yang besar sekali, mengubah bentuk uang tunai itu berarti juga melakukan pengurangan tumpukannya. Berbeda dengan keyakinan umum, kita tidak dapat misalnya, memasukkan uang kertas senilai £1 juta ke dalam suatu attache case.Satu juta pound (£1 juta) yang terdiri atas mata uang kertas £50 hampir setinggi 10 kaki (10 feet high).

Faktor ketiga, jejak yang ditinggalkan oleh proses pencucian uang harus tersamar atau tidak dapat diketahui (obscured). Tujuan dari pencucian uangakan sia-sia apabila orang lain dapat mengikuti jalannya proses pencucian uang dari permulaan sampai akhir proses tersebut.

Faktor yang terakhir, pengawasan terus menerus harus dilakukan terhadap uang tersebut.Pada akhirnya banyak orang yang muncul ketika uang itu sedang dicuci mengetahui bahwa uang tersebut adalah uang haram (dirty money)

dan apabila mereka dapat mengambil atau mencurinya, maka kecil sekali kemungkinannya bagi pemilik uang itu untuk dapat mengambil tindakan hukum terhadap perbuatan tersebut.

Pencucian uang biasanya termanifestasi dalam transaksi yang berkali-kali dan sering kali dilakukan secara simultan.43 Pada umumnya, supaya keempat faktor diatas tercapai, maka proses pencucian uang harus dilakukan dengan menempuh beberapa tahap. Para pakar telah membagi proses money laundering

ke dalam 3 tahap, yaitu: 1) Placement

Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system).44 Atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.45 Jeffrey Robinson menggunakan istilah immersion bagi tahap pertama ini, yaitu yang berarti

consolidation and placement.46

Placement adalah tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.47 Pada tahap

placement, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang

43

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 58.

44

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 33.

45

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Loc.Cit.

46

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit

47

diperoleh dari perdagangan narkoba yang pada umumnya terdiri dari uang-uang yang berdenominasi kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan lebih berat daripada narkobanya sendiri, dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Kemudian uang itu didepositokan langsung ke dalam suatu rekening di bank, atau digunakan untuk membeli sejumlah instrumen-instrumen moneter (monetary instruments) seperti cheques, money orders, dan lain-lain kemudian menagih uang tersebut serta mendepositokannya ke dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat ditempatkan pada satu bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Oleh karena uang yang telah ditempatkan di satu bank itu selanjutnya dapat dipindahkan lagi ke bank lain, baik di negara tersebut maupun di negara lain, maka uang tersebut bukan saja telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, tetapi telah pula masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.48

Jeffrey Robinson memberikan contoh bagaimana dalam tahap immerson, pencucian uang dilakukan.Seorang pengedar narkoba (drug dealer) yang mengumpulkan uang tunai sejumlah £5 juta dihadapkan pada tugas yang berat untuk menempatkan uang tersebut sebanyak-banyaknya ke dalam sistem perbankan (banking system). Tidak seperti halnya pemalsu uang yang harus dapat memasukkan uang palsu yang dibuatnya ke dalam sirkulasi, pencuci uang (laundryman) terpaksa mengandalkan rekening-rekening bank (bank accounts), surat berharga yang dikeluarkan oleh kantor pos (postal

48

orders), cek bepergian (traveler’s checks), dan negotiable instruments lainnya untuk menyalurkan uang tunai itu ke dalam sistem perbankan.49

2) Layering

Pekerjaan dari pihak pencuci uang (lauderer) belum berakhir dengan ditempatkannya atau didepositokannya uang tunai tersebut ke dalam sistem keuangan.50 Layering adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan lain. Transfer harta kekayaan hasil kejahatan ini dilakukan berkali-kali, melintasi negara, memanfaatkan semua wahana investasi. Dengan dilakukan layering, penegak hukum mengalami kesulitan untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut atau mempersulit pelacakan (audit trail). Pada tahap ini, pelaku pencucian uang bermaksud memperpanjang rangkaian dan memperumit transaksi, sehingga asal usul uang menjadi sukar untuk ditemukan pangkalnya51 atau dengan kata lain pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya.

Layering diartikan sebagai suatu tindakan untuk memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini, terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks, didesain untuk

49

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

50

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit

51

menyamarkan atau menyembunyikan sumber uang haram tersebut. Layering

dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.52 Prinsip rahasia bank inilah yang dijadikan tameng oleh para pencuci uang sebelum gerakan anti pencucian uang dilakukan secara internasional.

Transaksi-transaksi dalam tahap layering harus dapat dilakukan sedemikian rupa dengan mencampurkan ke dalam transaksi-transaksi sah yang berjumlah triliunan yang terjadi setiap hari. Beberapa variasi dalam melakukan transaksi dalam tahap layering ini ialah menggunakan apa yang disebut loan-backs dan double invoicing. Kedua transaksi tersebut merupakan teknik dalam tahap layering yang lazim dilakukan.Pada loan-backs, pencuci uang menempatkan hasil pencucian kejahatan yang diperolehnya ke dalam perusahaan di luar negeri (offshore entity). Perusahaan tersebut didirikan bukan atas namanya tetapi atas nama pihak lain, tetapi dikendalikan olehnya secara rahasia. Kemudian perusahaan di luar negeri itu memberikan pinjaman dengan menggunakan kembali dana yang ditempatkan oleh pencuci uang yang bersangkutan kepada diri sendiri. Teknik ini dapat dilaksanakan karena di beberapa negara tertentu sulit untuk dapat menentukan siapa yang sebenarnya mengendalikan (siapa pemilik sebenarnya) perusahaan di luar negeri itu.53

52

Ibid, hlm. 62.

53

Teknik lain dari layering ialah membeli efek (saham atau obligasi), kendaraan, dan pesawat terbang atas nama orang lain. Kasino sering juga digunakan karena kasiono menerima uang tunai. Sekali uang tunai tersebut dikonversikan ke dalam chips dari kasino tersebut, maka dana yang telah dibelikan chips tersebut dapat ditarik kembali dengan menukarkan chips tadi dengan cek yang dikeluarkan oleh kasino tersebut.54

Metode lain yang umum dipakai dalam tahap layering adalah cash converted into monetary instruments (mengubah uang tunai ke dalam instrumen moneter). Sekali placement berhasil dilakukan dalam sistem keuangan melalui bank atau institusi keuangan, hasil kejahatan dapat diubah ke dalam instrumen moneter. Ini memerlukan bankers draft dan money orders. Sekali berhasil melakukan pembelian instrumen moneter, uang hasil kejahatan telah menjadi uang yang sah.Bank dapat menjadi alat bagi pelaku untuk melakukan pencucian uang. Pelaku pencucian uang dapat meminta bank untuk membeli instrumen yang diperdagangkan di pasar uang untuk kepentingan dirinya. Atau aset yang dibeli dengan uang hasil kejahatan atau kegiatan ilegal kemudian dijual kembali di pasar dalam negeri atau di luar negeri.Dalam kasus semacam ini aset menjadi lebih sulit untuk dilacak atau disita.Pelaku pencucian uang dapat membeli saham atau tagihan perusahaaan, kendaraan mewah, properti atau perhiasan secara tunai, kemudian segera

54

dijual, kemudian hasil penjualan tersebut kembali dibelikan aset lain secara tunai lagi dan seterusnya.55

3) Integration

Tahap yang ketiga ialah integration, atau disebut juga repatriation and integration, atau disebut pula spin dry.56 Integrasi adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga menjadi harta kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Integration pada dasarnya adalah tahapan di mana pelaku telah berhasil mencuci dananya dalam sistem keuangan atau tahapan dimana dana yang telah dicuci diharapkan dapat disejajarkan dengan dana yang sah secara hukum maupun ekonomi.57 Para pencuci uang dapat memilih penggunaannya dengan menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate, barang-barang mewah (luxury assets) atau perusahaan-perusahaan (business ventures).58

Kegiatan money laundering dapat pula terkonsentrasi secara geografis sesuai dengan tahap pencucian uang itu. Pada tahap placement, misalnya, dana tersebut biasanya diproses di tempat di dekat aktivitas yang menghasilkan dana itu dilakukan, sering tetapi tidak pada setiap kasus, di negara di mana dana itu dihasilkan. Pada tahap layering, pencuci uang yang bersangkutan mungkin memilih suatu offshore financial centre, pusat bisnis

55

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 62-63.

56

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 37.

57

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm.63.

58

regional yang besar (a large business centre) atau pusat perbankan dunia (a world banking centre), yaitu dimana saja yang menyediakan infrastruktur keuangan atau bisnis yang memadai. Pada tahap ini dana yang dicuci tersebut mungkin saja hanya transit di rekening-rekening bank di beberapa tempat, yang dapat dilakukan tanpa meninggalkan jejak pada tahap integration, para pencuci uang dapat memilih untuk menginvestasikan dana yang telah dicuci itu di lokasi lain apabila di negara tersebut kesempatan-kesempatan investasinya sangat terbatas.59

Adalah menarik perumpamaan yang dikemukakan oleh Jeffrey Robinson mengenai apa yang sebenarnya terjadi terhadap uang yang berhasil dicuci. Jeffrey Robinson menggambarkannya seperti melempar batu ke sebuah kolam. Dikemukakan oleh Jeffrey Robinson sebagai berikut:60

“It’s like a stonebeing thrown into a pond.

You see the stone hit the water because it splashes. As it begins to sink. The water ripples and, for a few moments, you can still find the spot where the stone hit. But, as the stone sinks deeper, the ripples fade. By the time the stone reaches the bottom, any traces of it are long gone and the stone itself may be impossible to find.

That’s exactly what happens to laundered money”.

Sebagaimana pendapat Jeffrey Robinson, tahap immersion (placement) adalah tahap yang paling rentan (vulnerable) bagi pencuci uang karena apabila pencuci uang tidak dapat memasukkan uang haram tersebut ke dalam proses pencucian, maka ia tidak akan dapat mencuci uang haram tersebut. Namun, sekali uang haram itu berhasil dikonversikan ke dalam nomor-nomor rekening bank yang muncul di suatu layar komputer dan nomor-nomor

59

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

60

tersebut berhasil dipindahkan mondar-mandir melintasi dunia, maka hal itu seperti halnya riak air sebagaimana digambarkan di atas lenyap dan batu tersebut terkubur di dalam lumpur di dasar kolam itu.61

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah Indonesia dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.62 Setiap negara yang turut menandatangani konvensi tersebut dengan sendirinya menyatakan siap untuk menetapkan bahwa pencucian uang merupakan bentuk kejahatan dan mengambil tindakan serius dalam penanganan pencucian uang itu sendiri, termasuk pemerintah Indonesia.

Sebelum adanya undang-undang khusus mengatur tindak pidana pencucian uang,pemerintah Indonesia telah menindaklanjuti komitmen untuk pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan mengaturnya pada beberapa ketentuan sebagai berikut:63

61

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.

62

Yunus Husein, Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita?,dimuat dalam Buletin PENGEMBANGANPERBANKAN Mei-Juni No. 89 Th 2001, hlm. 4.

63

a. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Psikotropika

Perintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan psikotropika, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu,terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam undang-undang ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

b. Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yangberkaitan dengan narkotika, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatanyang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.

c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.

Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan transaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.

d. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang LATU (Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar)

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melaluipergerakan dana dalam transaksi internacional. Undang-UndangNomor 24 Tahun 1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut: “Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuanatau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.

e. Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secaralangsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif, antara lain:

1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia;

2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum;

3) PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum;

4) PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungí Audit Intern Bank Umum;

5) PBI No. 1/9/PBI/1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Beserta Peraturan Pelaksanaannya SE No.1/9/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank;

6) Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/10/DASP tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong;

7) PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank;

8) Peraturan Bank Indonesia No. 2/23/PBI/2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test);

9) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal Nasabah (Know Your Customers Principles).

2. Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Di Indonesia, istilah “money laundering” diterjemahkan dengan

“pencucian uang”. Terjemahan tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ini merupakan ketentuan anti-money laundering di Indonesia.64

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, semakin menunjukkan komitmen dari pemerintah Indonesia dalam penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Diaturnya pencucian uang secara khusus dalam sebuah undang-undang menunjukkan adanya perubahan cara memandang dan menangani kejahatan ini.

64

Hal terpenting dari lahirnya undang-undang ini yang menunjukkan adanya perubahan itu adalah dengan ditetapkan kegiatan pencucian uang sebagai bentuk tindak pidana yang tentunya dibarengi dengan sanksi pidana bagi mereka yang melakukannya. Selain itu, dibentuknya suatu unit kerja yang independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Terjadinya perubahan pada undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang tentunya juga dikarenakan oleh adanya perkembangan yang dianggap perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Saat ini, undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat beberapa hal-hal pokok yang menjadi perhatian dan perubahan penting dari undang-undang sebelumnya, yaitu:

a. Jenis Tindak Pidana Asal (Predicate Crime)

Pada Pasal 2 ditentukan bahwa yang menjadi tindak pidana asal pada tindak pidana pencucian uang yaitu korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang

kelautan dan perikanan atautindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

b. Lex Specialis

Pada Pasal 68 ditentukan bahwa penyidikan, penuntutan danpemeriksaan di persidangan, dilakukan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU ini. Dari pengaturan ini tampak bahwa para pembuat UU menginginkan UUTPPU ini lebih banyak disesuaikan

Dokumen terkait