• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA DJOKO SUSILO)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SARABJIT SINGH SANDHU NIM : 110200427

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

Oleh:

SARABJIT SINGH SANDHU NIM : 110200427

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(3)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

ABSTRAKSI Sarabjit Singh Sandhu*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum sebagai panglima tertinggi mengakibatkan seluruh tindakan harus berdasarkan hukum. Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyitaan aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut serta bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan menganalisis penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset yang tidak terkait dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa penyitaan aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang diperoleh pada tahun 2003 sampai 2010 oleh KPK dengan alasan tidak seimbangnya antara penghasilan dan aset yang diperoleh, telah melampaui kewenangan dan tidak sah secara hukum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK dalam melakukan penyitaan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti bahwa aset tersebut adalah hasil tindak pidana korupsi. Alasan karena tidak seimbangnya pengasilan dengan aset yang dimililki bukan alasan yang diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat dan kasih serta perlindunganNya kepada Penulis dalam penyelesaian

skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai dengan tepat waktu.

Pada kesempatan ini, Penulis dengan rendah hati mempersembahkan

skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak

Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si)” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu

pengetahuan hukum.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya serta penghargaan yang tulus kepada:

1. Kedua orang tua Penulis, yaitu Amrik Singh Sandhu (Ayah) dan Harpajan Kaur (Ibu) serta kedua Abang Penulis (Harprit Singh Sandhu dan

Kalwinderjit Singh Sandhu) yang senantiasa memberikan doa, motivasi, bimbingan dan kesabaran yang tulus selama ini sehingga Penulis dapat

(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Dosen Penasehat Akademik

selama Penulis duduk dibangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

9. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr.

Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Dr.

Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan

baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran,

arahan dan perbaikan untuk skripsi ini;

10.Bapak Edi Yunara, S.H., M.Hum. yang mendampingi delegasi KPS FH USU

(6)

11.Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

12.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 13.Teman-teman Penulis Angkatan 2011 di Grup C mulai dari Semester I sampai

dengan Semester VII, maupun mahasiswa senior dan junior yang tidak dapat

Penulis sebutkan satu persatu;

14.Rekan-rekan Mooters di Komunitas Peradilan Semu (KPS) yang telah memberikan Penulis banyak ilmu maupun warna dalam dunia perkuliahan;

15.Seluruh anggota delegasi KPS FH USU untuk National Moot Court Competition Universitas Negeri Semarang;

16.Para Penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data

guna pengerjaan skripsi ini;

17.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Sudah saatnya bagi Penulis

untuk meninggalkan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini menuju ke

jenjang selanjutnya yaitu membangun karir. Penulis ingin mengucapkan

terimakasih atas berbagai hal bermanfaat yang telah diberikan kepada Penulis

selama ini. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkat dan perlindunganNya

kepada kita semua.

Penulis berharap skripsi ini tidak hanya sebuah lembaran-lembaran hitam

diatas putih yang tidak memiliki arti dalam dunia hukum. Penulis berharap skripsi

ini dapat berguna bagi seluruh pihak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan

(7)

dengan tindak pidana pencucian uang. Tiada gading yang tak retak, maka dari itu

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini. Atas

segala perhatiannya, Penulis ucapkan terimakasih.

Medan, April 2015

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………..……….…. i

ABSTRAK ………..…………....… ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….………...… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...……….………... 1

B. Perumusan Masalah ….………...……….……… 7

C. Tujuan Penulisan ……….…...……….……….… 8

D. Manfaat Penelitian ………..………...…..…….... 8

E. Keaslian Penulisan ………...………..…….. 9

F. Tinjauan Kepustakaan ………...………. 10

G. Metode Penelitian ………...………...…..….. 20

H. Sistematika Penulisan ………...………. 23

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang .…….…….…………... 26

(9)

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang ….…….…….…….…….…….…….…….……….… 40

2. Setelah Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

………....…….……….. 44

BAB III KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Dasar Hukum KPK Melakukan Penyitaan Terhadap Aset Yang Diduga

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang ….…….…….…….………… 51

B. Proses Penyitaan Terhadap Aset Yang Diduga Hasil Tindak Pidana

Pencucian Uang

1. Bentuk dan Tata Cara Penyitaan Menurut KUHAP …….……... 69 2. Tata Cara Penyitaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) ….…….…….…….…….….……….…….…….…….…. 77

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(10)

1. Kronologis Perkara Berdasarkan Surat Dakwaan Pada Putusan

Nomor: 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. tanggal 3

September 2013 …….….……..….…….………….…….…….. 80

2. Aset Terdakwa Yang Diperoleh Pada Tahun 2003 Sampai 2010

Dan Telah Disita Oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi ….………….…….…….….…….…….…….………... 87

B. Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Terdakwa Djoko Susilo

yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pecucian Uang oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi ………...….……....….…….…….… 103

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ….…….…….…….…….…….…….…….………….. 121

B. Saran ….…….…….…….…….…….…….…….…….….……….. 125

(11)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

ABSTRAKSI Sarabjit Singh Sandhu*

Syafruddin Kalo** Mahmud Mulyadi***

Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum sebagai panglima tertinggi mengakibatkan seluruh tindakan harus berdasarkan hukum. Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia, bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyitaan aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut serta bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative yang emnitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dan menganalisis penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset yang tidak terkait dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. Analitis data yang digunakan adalah metode analitis kualitatif.

Bahwa penyitaan aset Irjen Pol Djoko Susilo, S.H., M.Si. yang diperoleh pada tahun 2003 sampai 2010 oleh KPK dengan alasan tidak seimbangnya antara penghasilan dan aset yang diperoleh, telah melampaui kewenangan dan tidak sah secara hukum. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK dalam melakukan penyitaan wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti bahwa aset tersebut adalah hasil tindak pidana korupsi. Alasan karena tidak seimbangnya pengasilan dengan aset yang dimililki bukan alasan yang diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penyitaan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang juga merupakan

sumber segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan

sumber dari semua tertib hukum yang berlaku di Negara kita yang mana di

dalamnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia,

maka penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia

adalah dua hal yang secara simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap

proses penegakan hukum di Indonesia.1

Selain negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia dikenal pula

sebagainegara hukum. Hal tersebut tercantum pada Pasal 1 butir ke-3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi dari

tercantumnya pasal tersebut adalah bahwa telah terciptanya suatu supremasi

hukum (supremacy of law) di Indonesia dimanahukummenjadi panglima tertinggi yang mengaturkehidupan masyarakatdan semua masalah yang terjadi di dalam

kehidupan masyarakat harus diselesaikan dengan hukum. Dengan adanya

supremasi hukum tersebut yang diterapkan melalui asas legalitas dalam hukum

pidana Indonesia maka para penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar

1

(13)

ketentuan hukum atau undue of law maupun undue process serta tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang atau abuse of power.2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga

mengatur mengenai hak-hak asasi manusia dibidang hukumsebagaimana

tercantum pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dengan demikian negara wajib untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi setiap

orang dan melakukan penegakan hukum tanpa melanggar hukum itu

sendiri.Seseorang tidak dapat disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut maupun

dihadapkan di depan pengadilan atas dasar asumsi,dugaan, kepentinganataupun

kecurigaan semata melainkan harus berdasarkan alat-alat bukti sebagaimanadiatur

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Sistem Peradilan Pidana3 Indonesia dikenal Asas Praduga Tidak

Bersalah atau presumption of innocent yang jika ditinjau dari segi teknis yuridis

maupun segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur” atau accusatory

procedure/accusatorial system. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek bukan

objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan

2

M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 36.

3

(14)

diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat,dan

harga diri, sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan adalah “kesalahan”

(tindakan pidana) yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan

ditujukan.4

Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberi pedoman kepada aparat penegak

hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan.5

Dengan demikian, proses penegakan hukum acara pidana Indonesia haruslah

menerapkan prinsip akusatur tersebut dalam setiap pemeriksaan.

Korupsi merupakan bahaya laten yang harus diberantas dan ditumpas agar

tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat terwujud

secara baik. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dimusuhi

secara universal oleh hampir seluruh negara.Bahkan korupsi sudah dinyatakan

sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang extraordinary pemberantasannya juga harus extraordinary, dalam arti harus lebih istimewa penanganannya dibandingkan kejahatan lainnya.

Perkembangan tindak pidana korupsi saat ini memang disertai dengan

tindak pidana lain terkait dengan upaya-upaya untuk mengaburkan, menyamarkan

serta menyembunyikan aset-aset yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi.

Salah satu dari upaya menyembunyikan aset-aset tersebut dilakukan dengan

metode pencucian uang, karena tujuan dari pencucian uang itu sendiri adalah

4

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 40.

5

(15)

untuk menyembunyikan maupun menyamarkan hasil tindak pidana agar para

penegak hukum kesulitan untuk melacak hasil tindak pidana tersebut dan si

pelaku dapat menikmati hasil tindak pidananya dengan aman.Modus operandi dari

tindak pidana korupsi yang disertai dengan tindak pidana pencucian uang semakin

hari semakin canggih sesuai dengan perkembangan zaman dan ini merupakan

tugas berat bagi para penegak hukum untuk dapat mengusut dan menuntaskan

kasus-kasus korupsi yang biasanya disertai dengan tindak pidana pencucian uang.

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional

merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia.Sebegitu besarnya

dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara,

sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan

termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan

pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan

pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistim perekonomian dan pengaruhnya tersebut

merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktek

money laundering itu diketahui banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan

steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada

negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu

hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.6

6

(16)

Korupsi dan pencucian uang saling berhubungan dan bahkan cenderung

untuk terjadi bersama-sama,7 kemampuan untuk mentransfer dan

menyembunyikan hasil tindak pidana sangat penting bagi pelaku korupsi,

terutama pelaku korupsi dalam skala yang besar.8 Arti penting dari hubungan

antara korupsi dengan pencucian uang adalah terkait dengan solusi yang diberikan

satu sama lain, yaitu teknik pemberantasan korupsi berpotensi dapat membantu

dalam memerangi pencucian uang sedangkan sistem anti pencucian uang dapat

membantu pemberantasan korupsi. Akan tetapi tampaknya sistem anti pencucian

uang lebih berkontribusi untuk melawan korupsi dibandingkan dengan teknik

pemberantasan korupsi yang dilakukan untuk memberantas pencucian uang.9

Memang hal yang sangat wajar dan pasti akan terjadi betapa marahnya

rakyat Indonesia apabila ada pejabat negara yang melakukan tindak pidana

korupsi. Tetapi hukum harus tetap ditegakkan sebagaimana mestinya dan jaminan

akan perlindungan hak asasi manusia setiap orang pada setiap proses harus

diperhatikan.Kemarahan maupun kebencian tidak dapat menghapuskan hak-hak

asasi manusia yang mana sudah melekat pada diri setiap manusia sejak dilahirkan.

Pemberantasan korupsi di Indonesia mencapai suatu secercah harapan

dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga super body yang mempunyai

7

Hangkoso Satrio W., Perampasan Aset Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS 2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie), Fakultas Hukum Universtas Indonesia, dikutip dari David Chaikin dan J. C Sharman, Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship(Amerika Serikat : Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 14.

8

Ibid. hlm. 39.

9

(17)

kewenangan lebih dari penegak-penegak hukum lainnya. Salah satu

kewenangannya yang istimewa adalah melakukan penyadapan tanpa izin dari

siapapun.

Salah satu kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

akhir-akhir ini yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat adalah

kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh Irjen Djoko

Susilo, yang dikenal dengan Kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (“Kasus

Simulator SIM”). Banyak akademisi dan praktisi hukum yang memandang bahwa

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati batas kewenangannya

dalam menjalankan fungsi maupun tugasnya dalam tahap penyidikan yaitu

penyitaan.

Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan

yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan

penyitaan harta kekayaan tersebut.10 Artinya bahwa penyitaan dapat dilakukan

bilamana ada bukti yang cukup. Namun dalam Kasus Simulator SIM ini, Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyita aset-aset yang tidak jelas atau

bahkan tidak diketahui tindak pidana asalnya (predicate crime). Banyak pihak termasuk penulis yang memandang bahwa tindakan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang telah menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo tersebut sebagai

penyalahgunaan wewenang. Penegakan hukum seperti ini tentu

akanmembahayakan pelaksanaan dari supremasi hukum itu sendiri. Apabila

memang tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tidak

10

(18)

dibenarkan oleh hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai

salah satu penegak hukum di negeri ini telah bertindak secara tidak profesional

karena berpotensi menegakkan hukum dengan orientasi kekuasaan.

Sejauh apa sesungguhnya kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan?

Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang

penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang? Apa

sesungguhnya alasan dan dasar KPK menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo

meskipun tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya? Berbagai uraian

dan pertanyaan ini menjadi suatu pemicu bagi penulis sehingga tertarik untuk

menulis skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih

beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

permasalahan yang akandibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia?

2. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan

(19)

diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur

penyitaan tersebut?

3. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK

terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait dengan tindak pidana

pencucian uang?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaturan tentang kewenangan KPK dalam melakukan

penyitaan aset-aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang dan

prosedur penyitaan itu sendiri.

3. Untuk mengetahuipandangan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo

yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Adanya skripsi ini kiranyadapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran

dalam ilmu hukum pidana khususnya mengenai penyitaan aset yang diduga

(20)

pidana pencucian uang. Kiranya skripsi ini juga dapat memberikan jawaban

atas berbagai pertanyaan dan keingintahuan masyarakat secara umum

maupun para praktisi, akademisi dan mahasiswaterkait penyitaan yang

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset

yangdiduga hasil tindak pidana pencucian maupun aset yang tidak terkait

dengan tindak pidana pencucian uang.

2. Secara Praktis

Adanya skripsi ini kiranya dapat dijadikan sebagai suatu informasi hukum,

rujukan maupun masukan bagi semua kalangan terkhusus para penegak

hukum serta merupakan wujud dari fungsi kritis mahasiswa terhadap

penegakan hukum yang menjamin hak-hak dari seorang tersangka dan/atau

terdakwa khususnya dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

Judul skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN

ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)” belum pernah ditulis sebelumnya oleh mahasiswa baik mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara (USU) maupun mahasiswa diluar Universitas Sumatera Utara

(USU). Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui

(21)

penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah

diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam

skripsi ini.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan

aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media

elektronik.Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli

penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

Penulisan skripsi ini berkisar tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tindakan

Komisi Pemberantasan Korupsi yang Melakukan Penyitaan Terhadap Aset yang

Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uangsebagai wujud kritis dalam rangka

pengawasan dan keterbukaan informasi publik atas penegakan hukum.

Adapun tinjauan kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut:

1. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

Dalam Blacks Law Dictionary disebutkan, bahwa money laundering

atau pencucian uang disebutkan sebagai :11

term used to describe investment or other transfer of money flowing

from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced”.

Yang dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang

adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau

11

(22)

pengalihan uang yang mengalir dari pemerasan, transaksi narkoba, dan

sumber-sumber ilegal lainnya kesaluran yang sah sehingga sumber aslinya

tidak dapat ditelusuri (penulis).

Sementara itu, pengertian money laundering lainnya dapat diamati dari pengertian yang terdapat dalam United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1998, yang membuat pengertian money laundering adalah:12

the convention or transfer of property, knowing that such property is devired from any serious (indictable) offence or offences, for the purpose of concealing or disgusting the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences”. Yang dapat diartikan bahwa pencucian uang adalah pengalihan atau

pemindahan kekayaan yang mana kekayaan tersebut berasal dari kejahatan

atau pelanggaran serius yang dapat dituntut, dengan tujuan untuk

menyembunyikan kekayaan yang tidak sah atau membantu setiap orang yang

terlibat dalam kejahatan atau pelanggaran untuk menghindari konsekuensi

hukum dari tindakannya; atau penyembunyian atau penyamaran sifat, sumber,

lokasi, disposisi, gerakan, hak yang berkaitan dengan, atau kepemilikan

kekayaan, dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari

pelanggaran atau kejahatan serius atau dari tindakan ikut serta dalam suatu

pelanggaran atau kejatanan (penulis).

12

(23)

Menurut ketentuan Article 38 (3) Finance Act 1993 Luxembourg, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai:13

suatu perbuatan yang terdiri atas penipuan, menyembunyikan, pembelian, pemilikan, menggunakan, menanamkan, penempatan, pengiriman, yang dalam undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan atau pelanggaran secara tegas menetapkan status perbuatan tersebut sebagai tindak pidana khusus, yaitu suatu keuntungan ekonomi yang diperoleh dari tindak pidana lainnya”.

Sedangkan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak

ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana

pencucian uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti institusi-institusi investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan

organisasi-organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu.14 Akan tetapi

dia mengambil kesimpulan tentang berbagai definisi tentang pencucian uang

sebagai berikut:15

pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal”.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

13

M.Arief Amrullah, MONEY LAUNDERING (Tindak Pidana Pencucian Uang),Bayu Media, Ctk. Kedua, Malang, 2004. hlm. 10-11.

14

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 1.

15

(24)

Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa yang dimaksud dengan Pencucian

Uang adalah:

perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, Pencucian Uang adalah:

segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Maka pencucian uang atau money laundering secara garis besar dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan kejahatan dengan menempatkan,

memindahkan, menggunakan dan mengalihkansuatu hasil tindak pidana atau

kejahatan asal yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kejahatan (crime

organization) dengan tujuan membuat sesuatu yang ilegal menjadi legal

ataupun menjadikan harta kekayaan hasil kejahatan atau tindak pidana

menjadi harta yang seakan-akan merupakan harta yang halal atau sah.

2. Penyitaan

Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam

masyarakat baik itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun

tindakan pemberantasan/penindakan (represif) adalah hukum acara pidana

yang mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran

(25)

pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat.

Dalam Pasal 134 Ned.Sv. memberikan definisi penyitaan

(inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya.

Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: “Dengan penyitaan sesuatu benda

diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara

pidana”.Jadi, tidak dibatasi hanya untuk pembuktian.16

Pasal 1 butir 16 KUHAP memberi definisi mengenai penyitaan, yaitu:

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil

alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak

atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan

pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.

Persamaan kedua definisi tersebut ialah pengambilan dan penguasaan

milik orang.Dengan sendirinya hal itu langsung menyentuh dan bertentangan

dengan hak asasi manusia yang pokok, yaitu merampas penguasaan milik

No one shall be arbitrarily deprived of his property.

(26)

(Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain).

(Tiada seorang pun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena).”

Oleh karena itu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara

pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Dalam pelaksanannya diadakan pembatasan-pembatasan antara lain

keharusan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1)

KUHAP).

Menurut Yahya Harahap pengertian penyitaan sebagaimana yang

tertuang dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP terlihat seperti pengertian dalam

hukum acara perdata karena seakan-akan mengambil alih benda yang artinya

adalah bahwa sebelumnya benda tersebut merupakan kepunyaan atau milik

penyidik yang kemudian dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula.19

Kemudian Yahya Harahap memberikan definisi sendiri mengenai

penyitaan yaitu:20

a) “Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seseorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara melawan hukum (wederechtelyk),

b) Setelah barangnya atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya.”

3. Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

corruption atau corruptus,21 sedangkandalam bahasa Belanda disebut

(27)

corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption,yang dalam bahasa Latin

disebut corruptio dari berasal dari kata kerjacorrumpere yang bermakna busuk,rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan

pejabat publik, baik politisi maupunpegawai negeri, serta pihak lain yang

terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan

tidaklegal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada

mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.22

Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak

jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu

pemberian.Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang

yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.23

Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah

penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan

sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Di dunia Internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary:24

Corruption an act done with an intent to give some advantange inconsistent with official duty dan the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others.”

Artinya :

22

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014 Pukul 15.07 WIB.

23

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menukorupsi.htm diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014Pukul 15.10 WIB.

24

(28)

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. “Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya.”

Istilah korupsi sebenarnya sangatlah luas, sulit untuk menemukan

pengertian yang mutlak dikarenakan mengikuti perkembangan kehidupan

masyarakat yang semakin hari semakin kompleks yang kemudian

memengaruhi segala aspek kehidupan mulai dari pola berpikir masayarakat,

nilai-nilai budaya, dan berperilaku dari masyarakat yang turut serta dalam

mengembangkan suatu kejahatan yang awalnya bersifat tradisonal menuju

kepada kejahatan yang inkonvensional yang semakin sulit untuk diikuti oleh

norma-norma hukum yang telah ada.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan

bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:

1) Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan

keuangan /perekonomian negara (Pasal 2);

2) Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat

merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan

keuangan/perekonomian negara (Pasal 3);

3) Kelompok delik penyuapan (Pasal 5, 6 dan 11);

4) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10);

(29)

6) Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);

7) Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C).

4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam

masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari

jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara maupun dari segi

kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya

yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Pengertian “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat

mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau

anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,

pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau

keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.25

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan

Korupsi mempunyai tugas:

25

(30)

1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam melaksanakan tugas koordinasinya,

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

1) Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

(31)

G. Metode Penelitian

Diperlukan metode penelitian sebagai suatu cara sistematis yang

dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya

bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Menurut Bambang Sunggono, penelitian yuridis normatif disebut juga dengan

penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan

hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain.

Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun

studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap

data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian kepustakaan

demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris

(penelitian lapangan).26 Penulisan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan

pustaka dan bahan sekunder.27

2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data

utama.Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari

objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan

26

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81.

27

(32)

oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial

maupun nonkomersial.28 Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai

berikut :

1) Bahan-bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

d) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang;

e) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang;

f) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi;

g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang;

28

(33)

h) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa

INSPEKTUR JENDRAL POLISI Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si.

2) Bahan-bahan hukum sekunder

Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, putusan

pengadilan, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan

sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media

elektronik.

3) Bahan-bahan hukum tersier

Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan

primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan

acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya

abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan,

ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik

Penelitian Kepustakaan (literature research) yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui berbagai sumber bacaan yang

berhubungan dengan judul skripsi ini, yang dapat dipergunakan sebagai dasar

dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi dan juga

menganalisis peraturan perundang-undangan serta melalui bantuan media

elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis

memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku

(34)

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan dan

kemudian diorganisir dalam suatu pola kategori dan uraian dasar.29Pada

penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya

penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.30 Metode analisis data

yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan

dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di

atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan

dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

Agar memudahkan dalam membaca dan memahami serta menguraikan

skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis.Adapun sistematika

penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

29

Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Model Aplikasi, Jakarta: Grafindo Persada, 2003, hlm 68-69.

30

(35)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan

Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,

Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN

TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI

INDONESIA

Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai sejarah dan tahapan

tindak pidana pencucian uang.

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai pengaturan tindak

pidana pencucian uang di Indonesia.

BAB III KEWENANGAN KPK MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP

ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA KORUPSI Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai penyitaan

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang kewenangan KPK dalam melakukan

penyitaan.

Pada bagian ketiga akan menguraikan mengenai tata cara atau prosedur

dalam melakukan penyitaan berdasarkan peraturan

(36)

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG

TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai Kasus Posisi.

Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai penyitaan yang

dilakukan oleh KPK terhadap aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait

tindak pidana pencucian uang serta dasar hukumnya.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal

hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi

penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam

(37)

BAB II

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak lama. Pencucian uang sebagai suatu tindak pidana telah berkembang sejak tahun

1920-an. Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai

negara.Perdagangan narkotika dan obat bius misalnya, mampu menghasilkan

omset yang sangat besar.Dari sinilah muncul istilah narco dollar untuk menyebut uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika.31

Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “pencucian

uang”.Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1986, kemudian

digunakan secara internasional dalamKonvensi Perserikatan Bangsa-bangsa

(PBB) pada tahun 1988.32

Menurut Billy Steel, istilah pencucian uangatau money laundering berasal dari Laundromats, nama sebuah tempat usaha pencucian pakaian secara otomatis

di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih

untuk menyamarkan uang haram menjadi uang sah.Kalangan mafia memperoleh

penghasilan besar dari bisnis pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyeludupan

minuman keras.Mereka kemudian membeli atau mendirikan perusahaan yang

31

Philips Darwin, Money launderingCara Memahami Dengan Tepat dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2012, hlm. 12.

32

(38)

bergerak di bisnis halal untuk mengaburkan asal usul uang hasil dari bisnis

haram.33

Para gangster memilih Laundromats karena usaha ini dilakukan dengan

menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan.Salah satu pelakunya adalah

mafia terkenal, Al Capone. Pada Oktober 1931,ia dihukum dengan pidana penjara

selama sebelas tahun di penjara Alcatraz setelah dinyatakan bersalah melakukan

penggelapan pajak. Namun ia dihukum bukan karena terbukti bersalah melakukan

kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, dan penjualan minuman keras tanpa izin.34

Money laundering telah menjadi bagian penting dalam kejahatan karena pelaku kejahatan dapat menyembunyikan hasil kejahatan dalam suatu sistem yang

relatif sulit untuk ditemukan yang dikenal dengan istilah pencucian

uang.Tindakan menyembunyikan hasil kejahatan atau dana-dana yang diperoleh

dari tindak pidana dimaksudkan untuk mengaburkan asal usul harta

kekayaan.35Suatu Tindak Pidana Pencucian Uang tidak akan mungkin terjadi

tanpa adanya kejahatan lain (tindak pidana asal) terlebih dahulu.Tindak pidana

asal dan tindak pidana pencucian uang akan selalu berjalan berdampingan, saling

membutuhkan dan tidak saling terlepas satu sama lain.

Saat ini, money laundering merupakan fenomena di dunia dan

permasalahan dunia internasional.Semua negara sepakat bahwa pencucian uang

33

Philips Darwin, Loc.Cit.

34

Ibid, hlm. 13.

35

(39)

merupakan suatu kejahatan serius yang harus ditangani secara serius pula dan

diberantas dengan melakukan kerjasama antarnegara.

RezimAnti-Money Laundering yang diatur berbagai negara di dunia berkaitan dengan ketentuan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988, yang lahir 19 Desember 1988. Bahkan pengaturan rezimanti-money laundering di berbagai negara tersebut boleh dikatakan mirip atau hampir sama dengan United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 itu, oleh karena sebagian substansi pengaturannya diambil dari ketentuan-ketentuan

United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 tersebut.36

Salah satu pengertian money laundering yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam United Nation Convention on Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997.

Secara lengkap money lauendering tersebut adalah:37

“The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a

36

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 17.

37

(40)

serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.

Salah satu upaya serius untuk melawan kegiatan pencucian uang adalah

dengan membentuk satuan tugas yang disebut The Financial Action Task Force

(FATF) on Money Laundering yang diprakarsai oleh Kelompok 7 negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989. Saat ini, FATF memiliki

anggota sebanyak 29 negara/teritorial serta 2 organisasi regional yaitu the European Commission and the Gulf Cooperation Council yang mewakili pusat-pusat keuangan utama di Amerika, Eropa dan Asia.38

Salah satu peran penting dari FATF adalah menetapkan kebijakan dan

mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi tindakan

untuk mencegah dan memberantas pencucian uang.Sejauh ini FATF telah

mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan

pencucian uang.39

Rekomendasi tersebut oleh berbagai negara di dunia telah diterima sebagai

standar internasional dan dibuat menjadi pedoman baku dalam pemberantasan

kejahatan pencucian uang. Negara-negara yang berdasarkan penilaian FATF tidak

memenuhi rekomendasi tersebut, akan dimasukkan dalam daftar Non-Cooperative and Teritories (NCCTs). Negara yang masuk dalam daftar NCCTs dapat dikenakan counter-measures. Dengan masuknya suatu negara pada daftar NCCTs tersebut dapat menimbulkan akibat buruk terhadap sistem keuangan negara

bersangkutan, misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan

38

Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 21.

39

(41)

perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan oleh

negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut.

Akibat lain yang cukup serius adalah pemutusan hubungan korespondensi

antara bank luar negeri dengan bank domestik, pencabutan izin usaha kantor

cabang atau kantor perwakilan bank nasional di luar negeri, dan kemungkinan

penghentian bantuan luar negeri kepada pemerintah. Sanksi tersebut pada

akhirnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat luas.40

Oleh karena itu, penanganan tindak pidana pencucian uang telah menjadi

perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.Salah satu bentuk

nyatanya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana undang-undang tersebut dengan

tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu tindak pidana dan

memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK). Namun demikian, undang-undang tersebut dinilai oleh FATF masih

belum memadai karena belum sepenuhnya mengadopsi 40 rekomendasi dan 8

rekomendasi khusus yang mereka keluarkan.FATF meminta dengan resmi agar

undang-undang tersebut diperbaiki dan disempurnakan. Akhirnya upaya

perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut dapat diselesaikan dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas

40

(42)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

pada tanggal 13 Oktober 2003.41

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut kemudian telah diganti

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan berbagai perubahan yang

dianggap perlu untuk mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang di

Indonesia.

2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang

Tujuan seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang

adalah supaya asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat

dilacak oleh penegak hukum. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, ada 4 (empat)

faktor yang harus diperhatikan oleh para pencucinya, yakni:42

Faktor pertama, kepemilikan yang sebenarnya dan sumber yang sesungguhnya dari uang yang dicuci itu harus disembunyikan. Tidak ada gunanya

untuk melakukan pencucian uang apabila setiap orang mengetahui siapa yang

memiliki uang tersebut apabila uang itu nantinya muncul di akhir dari proses

pencucian uang itu.

Faktor kedua, bentuk uang tersebut harus berubah.Dana yang berasal dari perdagangan narkoba hampir dipastikan berupa uang tunai. Uang tunai ini harus

dapat diubah bentuknya menjadi alat pembayaran lain, misalnya berbentuk cek.

41

Bismar Nasution,Loc.Cit.

42

(43)

Kongres Amerika Serikat pada waktu membicarakan mengenai undang-undang

money laundering mengemukakan sebagai berikut:

In typical drug organization, the proceed generated by the drug traffickers are almost entirely in the form of cash. The typical denomination of currency in street circulation is a twenty dollars bill. As the profits for street sales move up the ladder of the trafficking organization-from the street seller to the wholesaler to the importer-these twenty-dollars bills, so crumpled and covered with dirt and drug residue that they will often jam the counting machines, are bundled together and collected in warehouse. Regularly, the volume becomes so large that it is to count it. Handling this volume of cash is often a more serious logistical problem for the trafiicker than the handling of the drugs themselves”. (One hundred billion dollars in twenty-dollars bills weighs about 26 million pounds.)

Tidak ada seorang pun yang ingin mencuci uang sejumlah £3 juta dalam

bentuk uang-uang kertas £20-an hanya untuk berpayah-payah dengan memproses

uang senilai £3 juta yang akhirnya muncul dalam bentuk uang-uang kertas £20-an

juga. Antara lain, apabila terlibat jumlah uang tunai yang besar sekali, mengubah

bentuk uang tunai itu berarti juga melakukan pengurangan tumpukannya. Berbeda

dengan keyakinan umum, kita tidak dapat misalnya, memasukkan uang kertas

senilai £1 juta ke dalam suatu attache case.Satu juta pound (£1 juta) yang terdiri atas mata uang kertas £50 hampir setinggi 10 kaki (10 feet high).

Faktor ketiga, jejak yang ditinggalkan oleh proses pencucian uang harus tersamar atau tidak dapat diketahui (obscured). Tujuan dari pencucian uangakan sia-sia apabila orang lain dapat mengikuti jalannya proses pencucian uang dari

permulaan sampai akhir proses tersebut.

Faktor yang terakhir, pengawasan terus menerus harus dilakukan terhadap uang tersebut.Pada akhirnya banyak orang yang muncul ketika uang itu

(44)

dan apabila mereka dapat mengambil atau mencurinya, maka kecil sekali

kemungkinannya bagi pemilik uang itu untuk dapat mengambil tindakan hukum

terhadap perbuatan tersebut.

Pencucian uang biasanya termanifestasi dalam transaksi yang berkali-kali

dan sering kali dilakukan secara simultan.43 Pada umumnya, supaya keempat

faktor diatas tercapai, maka proses pencucian uang harus dilakukan dengan

menempuh beberapa tahap. Para pakar telah membagi proses money laundering

ke dalam 3 tahap, yaitu:

1) Placement

Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan

(mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system).44 Atau upaya menempatkan uang giral (cek, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama

perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.45 Jeffrey Robinson

menggunakan istilah immersion bagi tahap pertama ini, yaitu yang berarti

consolidation and placement.46

Placement adalah tahap yang paling lemah dan paling mudah untuk dilakukan pendeteksian terhadap upaya pencucian uang.47 Pada tahap

placement, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang

43

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Op.Cit, hlm. 58.

44

Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 33.

45

Ivan Yustiavandana-Arman Nefi-Adiwarman, Loc.Cit.

46

Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit

47

(45)

diperoleh dari perdagangan narkoba yang pada umumnya terdiri dari

uang-uang yang berdenominasi kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan

lebih berat daripada narkobanya sendiri, dikonversi ke dalam denominasi

uang yang lebih besar. Kemudian uang itu didepositokan langsung ke dalam

suatu rekening di bank, atau digunakan untuk membeli sejumlah

instrumen-instrumen moneter (monetary instruments) seperti cheques, money orders, dan lain-lain kemudian menagih uang tersebut serta mendepositokannya ke

dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat

ditempatkan pada satu bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem

keuangan negara yang bersangkutan. Oleh karena uang yang telah

ditempatkan di satu bank itu selanjutnya dapat dipindahkan lagi ke bank lain,

baik di negara tersebut maupun di negara lain, maka uang tersebut bukan saja

telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan, tetapi telah

pula masuk ke dalam sistem keuangan global atau internasional.48

Jeffrey Robinson memberikan contoh bagaimana dalam tahap immerson, pencucian uang dilakukan.Seorang pengedar narkoba (drug dealer) yang mengumpulkan uang tunai sejumlah £5 juta dihadapkan pada tugas yang

berat untuk menempatkan uang tersebut sebanyak-banyaknya ke dalam

sistem perbankan (banking system). Tidak seperti halnya pemalsu uang yang harus dapat memasukkan uang palsu yang dibuatnya ke dalam sirkulasi,

pencuci uang (laundryman) terpaksa mengandalkan rekening-rekening bank (bank accounts), surat berharga yang dikeluarkan oleh kantor pos (postal

48

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BARENLITBANG Tahun 2018 34 Terlaksananya penyusunan dokumen Renja yang targetnya terpenuhi oleh SKPD bidang Infrastruktur dan

Perlu adanya metode untuk mengetahui bagaimana tingkat kavitasi pada turbin kaplan, oleh karena itu pada penelitian ini dijelaskan tentang dua metode identifikasi tingkat

Pengaruh langsung antar karakter kopi Arabika: panjang cabang primer (PCP), jumlah cabang sekunder (JCS), jumlah ruas cabang primer (JRCP), jumlah ruas pada batang (JRB), tebal

Hasil klasifikasi pada data breast cancer dengan seluruh feature ditunjukkan pada Gambar 4.17. Sehingga untuk data breast cancer pada seluruh feature dengan

jelas. serta didukung oleh komitmen vang kuat dari semua Guru dan staf di SMKTI Negeri 6 dan BLPT Bandung, maka tidak mustahil UP SMK akan menjelma menjadi perusahaan dalam sekolah

Surat Keputusan KASAD Nomor Kep/496/VII/2015 tentang Tata Cara Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk bagi Prajurit AD menyebutkan bahwa ada beberapa alasan

OPTIMASI SPEKTROMETER GAMMA DENGAN SISTEM COMPTON SUPRES'I UNTUK IDENTIFIKASI RADIONUKLIDA DALAM SAMPEL L/NGKUNGAN. Optimasi peralatan ini dilakukan dengan tujuan menentukan

Kualitas air pada lokasi penelitian pada Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa hanya pada settling pond 1 pH hampir normal, hal ini karena pengaruh treatment yang dilakukan namun