• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.2 Identifikasi Masalah

2.1.4 Taksonomi Bloom

Menurut Sujana (2009: 22), “Dalam sistem pendidikan nasional rumusan

tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,

menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom...” Klasifikasi hasil

belajar yang dibagi oleh Bloom mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotorik (psychomotoric domain). Klasifikasi ini disebut dengan taksonomi Bloom.

Menurut Rifa‟i dan Anni (2009: 86) “Ranah kognitif berkaitan dengan hasil berupa pengetahuan, kemampuan dan kemahiran intelektual.” Pada Ranah afektif,

Rifa‟i dan Anni melanjutkan, berkaitan dengan perasaan, sikap, minat, dan nilai. Sedangkan ranah psikomotorik, Rifa‟i dan Anni menemukakan bahwa, ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan fisik seperti ketermpilan motorik dan syaraf, manipulasi objek, dan koordinasi syaraf. Dari ketiga ranah tersebut, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, terdapat penjabaran pada masing- masing ranah. Berikut adalah perincian dari ketiga ranah dalam taksonomi Bloom:

2.1.4.1Ranah Kognitif

Ranah kognitif yang pertama ialah pengetahuan. Pengetahuan berkaitan dengan kemampuan mengingat informasi yang didapatkan oleh siswa. Tipe hasil

belajar pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang paling rendah. Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil belajar berikutnya.

Kedua ialah pemahaman. Tipe hasil belajar yang lebih tinggi dari pengetahuan adalah pemahaman. Pemahaman berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memahami/memaknai suatu materi. Dalam taksonomi Bloom, kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi daripada pengetahuan.

Ranah kognitif yang ketiga ialah aplikasi. Siswa dapat dianggap menguasai pengetahuan tingkat aplikasi apabila siswa telah mampu menggunakan materi pembelajaran yang telah dipelajari kedalam situasi baru. Artinya, siswa dapat menggeneralisasikan, meramalkan yang akan terjadi berdasarkan generalisasi tertentu, dapat menentukan tindakan atau keputusan tertentu dalam menghadapi situasi baru, serta dapat menjelaskan alasan menggunakan prinsip dan generalisasi bagi situasi baru yang dihadapi.

Analisis ialah ranah kognitif yang keempat. Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau susunannya. Artinya, siswa dapat menguraikan informasi kedalam klasifikasi, mengenal organisasi informasi, dan meramalkan sudut pandang, kerangka acuan, dan tujuan materi yang dihadapinya.

Ranah kognitif kelima ialah Sintesis. Penyatuan unsur-unsur atau bagian- bagian ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Berpikir sintesis adalah berpikir divergen. Dalam berpikir divergen pemecahan atau jawabannya belum dapat dipastikan. Dengan kemampuan sintesis, orang mungkin menemukan

hubungan kausal atau urutan tertentu, atau menemukan abstraksinya atau operasionalnya.

Sedangkan yang terakhir dalam ranah kognitif adalah evaluasi. Evaluasi adalah pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materil, dll. Dalam tes esai,

standar atau kriteria tersebut muncul dalam bentuk frase “menurut pendapat saudara” atau “menurut teori tertentu”.

2.1.4.2Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Penilaian hasil belajar afektif kurang dapat mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih banyak menilai ranah kognitif semata-mata. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar berikut ini dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks.

Ranah Afektif yang pertama ialah receiving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dll. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar. Sebagai contoh dalam mempelajari suatu pengetahuan, siswa mau menerima sesuatu yang dipelajarinya.

Ranah afektif yang kedua ialah responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini

mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya. Sehingga seseorang yang telah memiliki suatu informasi dapat memberikan respon atau reaksi yang berkenaan dengan informasi yang didapatkan secara tepat.

Ranah afektif yang ketiga ialah valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang telah diperoleh. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

Ranah afektif yang keempat ialah organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.

Ranah afektif yang kelima ialah karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Sehingga dalam ranah ini, siswa dapat menginternalisasikan nilai ke dalam dirinya.

2.1.4.3Ranah Psikomotorik

Hasil belajar psikomotoris tampak dalam keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni: (1) Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar); (2) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; (3) Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain; (4) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan. (5) Gerakan- gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang

kompleks dan; (6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non- decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.

2.1.5 Pendidikan Kewarganegaraan

“Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

yang berakar pada budaya bangsa Indonesia” (Susanto, 2013: 225). Lebih lanjut, Susanto menyatakan bahwa:

Nilai luhur dan moral ini diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan siswa sehari-hari, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan usaha untuk membekali siswa dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antarwarga dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu pengantar nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia dan menjadi ciri khas sebuah bangsa. Dengan mempelajari PKN, maka nilai-nilai luhur dan moral bangsa Indonesia dapat diturunkan dan tetap dilestarikan sebagai ciri khas suatu bangsa. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (S.N.P) pasal 77I ayat (1) huruf b dijelaskan tujuan diselenggarakan Pendidikan Kewarganegaraan:

Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk Peserta Didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, kesadaran berkonstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, dengan adanya Pendidikan Kewarganegaraan, siswa dapat mengerti bagaimana cara bersikap agar menjadi warga negara yang baik.

Dokumen terkait