• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan kabupaten penghasil mengenai alokasi DR

Kelembagaan dan Kebijakan Sektor Kehutanan: Tugas dan

5.4. Kebijakan Perimbangan

5.4.4. Tanggapan kabupaten penghasil mengenai alokasi DR

Sebagai daerah penghasil di Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dan Mamuju menilai bahwa mekanisme perimbangan dana penerimaan dari sektor kehutanan oleh Pemerintah Pusat masih kurang transparan dan tidak adil. Berdasarkan data yang dimilikinya, Dinas Hutbun Kabupaten Luwu Utara menargetkan penerimaan dari IHPH/PSDH untuk tahun 2001 sebesar Rp. 244.277.211, namun realisasi yang mereka terima dari Pemerintah Pusat hanyalah Rp. 45.354.402. Demikian juga halnya dengan perimbangan DR 40% tahun 2001, dari Rp. 2.509.250.000 yang diperhitungkan semula ternyata yang mereka terima hanya sebesar Rp. 741.714.000. Pada tahun yang sama Kabupaten Mamuju memperoleh DAK-DR Rp. 831.856.000 dari yang direncanakan semula sebesar Rp. 2.813.500.200. Pada lokakarya tingkat provinsi di Makassar tahun 2003, pemerintah kabupaten juga mengangkat isu transparansi pemerintah pusat dalam mendistribusikan DR.

Sementara itu, perimbangan dana PSDH yang dilakukan pada tahun yang sama dengan diterimanya dana tersebut dari kabupaten, membuat tidak mudahnya dilakukan penetapan proporsi perimbangan secara adil. Pada mulanya penentuan besarnya alokasi untuk setiap kabupaten didasarkan pada target penerimaan dan bukan pada realisasi penerimaan (komunikasi personal Kepala

Ngakan, P.O. dkk.

Dinas Hutbun Kabupaten Luwu Utara, 2001). Kabupaten yang tidak jujur terkadang mencantumkan target penerimaan PSDH yang tinggi, sehingga akan mendapatkan bagian yang lebih banyak, walaupun potensi hutannya tidak besar. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah Pusat untuk mendeteksi target penerimaan kabupaten/kota yang tidak masuk akal mengingat luas dan potensi hutan kabupaten yang bersangkutan. Penerimaan yang berasal dari peredaran kayu tidak legal dan legalisasi kayu di bukan daerah asal kayu tersebut ditebang juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian antara bagian PSDH yang diterima dengan luasan dan potensi hutan yang ada.

Dengan adanya beberapa masalah tersebut di atas, pemerintah pusat harus mengkaji dan memformulasikan kembali metode penilaian dan sistem distribusi untuk alokasi PSDH dengan mempertimbangkan luasan dan potensi hutan yang ada di daerah tersebut.

Pada tahun anggaran 2002, besarnya DR 40% yang diperimbangkan kepada daerah Sulawesi Selatan adalah Rp. 1.001.380.000. Dari data tersebut dapat dihitung bahwa jumlah seluruh DR yang diterima oleh Pemerintah Pusat dari kabupaten-kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan adalah Rp. 2.503.450.000. Kalau dianggap bahwa kayu yang dihasilkan dari hutan Sulawesi Selatan adalah berkualitas rimba campuran (tarif DR = US$ 12 atau Rp. 99.000/m3 dan jika US$1 = Rp. 8.250), maka volume kayu yang dihasilkan dari Sulawesi Selatan selama tahun 2002 adalah 25.287,37 m3. Sekarang muncul pertanyaan: hanya sebesar itukah hasil produksi kayu se-Sulawesi Selatan pada tahun 2002?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, kita dapat mengambil contoh kecil dari Kabupaten Mamuju, yang mengenakan pungutan SP3 sebesar Rp. 10.000 untuk setiap m3 kayu log yang diambil oleh HPH dari wilayah kabupaten tersebut. Pada tahun 2002 Pemerintah Kabupaten Mamuju menerima pendapatan sebesar Rp. 1.033.483.100 dari SP3 tersebut. Dari data tersebut dapat dihitung bahwa hasil produksi kayu hanya dari Kabupaten Mamuju

saja adalah (Rp. 1.033.483.100 / Rp. 10.000 per m3) 103.348,31m3. Jika diasumsikan bahwa kayu tersebut berkualitas paling rendah (tarif DR = US$12 per m3), maka DR yang dihasilkan dari Kabupaten Mamuju adalah US$ 1.240.179,72 (103.348,31m3x US$12/m3) atau Rp. 10.231.482.690 (kurs saat itu US$1 = Rp. 8.250). Apabila ditambah dengan hasil produksi kayu dari kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, maka jumlah tersebut akan menjadi lebih besar lagi dan menjadi sangat tidak sesuai dengan besarnya dana DR 40% yang diterima oleh Sulawesi Selatan pada tahun tersebut (Rp. 1.001.380.000). Singkatnya, Sulawesi Selatan menerima DR dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada seharusnya.

Hasil wawancara dengan beberapa pengusaha dan instansi pengelola hutan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian angka tersebut disebabkan oleh beberapa faktor59. Pertama, tidak ada ketentuan atau aturan yang baku dan tegas mengenai mekanisme pembayaran DR. Pembayaran DR umumnya dilakukan setelah kayu dijual. Bahkan, sering kali pembayaran DR diurus dan dilakukan oleh pembeli kayu langsung ke pemerintah pusat tanpa menyebutkan daerah sumber kayu. Apabila hal tersebut memang terjadi, tentunya pemerintah pusat kesulitan dan berpeluang melakukan kesalahan dalam menetapkan besarnya dana perimbangan secara adil di kemudian hari. Kedua, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa lembaga yang menangani urusan kehutanan di daerah tidak memiliki sistem dokumentasi data yang lengkap dan baik mengenai besarnya DR dan PSDH yang mereka setorkan kepada pemerintah pusat. Tanpa bukti data yang lengkap dan akurat, pemerintah kabupaten tidak dapat mengajukan keberatan jika kemudian besarnya dana yang diperimbangkan oleh pusat dirasakan tidak adil. Oleh karena itu, setiap kabupaten sebaiknya meninjau kembali kinerja mereka dalam menangani DR dan membenahi sistem dokumentasi mereka.

Ketiga, lembaga yang menangani bidang kehutanan di kabupaten kurang serius menangani pembayaran PSDH dan DR

karena manfaatnya dirasakan cenderung lebih menguntungkan Pemerintah Pusat, dan tidak secara langsung dirasakan pemerintah kabupaten. Hal ini juga menyebabkan banyak pengusaha HPH yang menunggak kewajiban. Bupati Mamuju menunjukkan ketidakpuasannya terhadap ketidakadilan perimbangan DR dengan aksi mengeluarkan surat perintah60

kepada Kepala Kantor Kehutanan untuk mengatur agar pemegang ijin membayar pajak kehutanan langsung ke rekening Dinas Kehutanan Kabupaten. Bupati Mamuju dalam surat perintahnya menyatakan bahwa:

(a) Setiap penerbitan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)61, IUPHHBK (Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu) dan IPKTM (Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik) dipungut jasa ketatausahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(b) Terhadap pemegang IUPHHK dan IUPHHBK diarahkan untuk menyetor kewajiban IHPH, PSDH dan DR melalui rekening Pemerintah Kabupaten Mamuju untuk selanjutnya diadakan pembagian hak antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kepala Kantor Kehutanan Kabupaten Mamuju menindaklanjuti surat perintah dari Bupati tersebut dengan mengeluarkan surat edaran62

yang ditujukan kepada para pemegang izin usaha kehutanan seperti: HPH, IPK (Izin Pemanfaatan Kayu), IPKTM, dan ISL (Izin Sah Lainnya) agar menyetorkan kewajiban IHPH, PSDH dan DR melalui rekening Pemerintah Kabupaten Mamuju. Bupati beralasan bahwa kebijakan daerah ini juga untuk mengantisipasi keterlambatan pencairan DAK-DR yang hampir selalu terjadi setiap tahun.

Memang, keterlambatan waktu pencairan DAK-DR dikeluhkan hampir oleh semua pemerintah kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan. Untuk tahun anggaran 2001, DAK-DR baru dapat dicairkan pada bulan terakhir tahun anggaran, yaitu Desember 2001. Hal ini tentu saja menghambat pelaksanaan kegiatannya di lapangan, seperti juga yang terjadi di Luwu Utara. Karena keterlambatan pencairan dana DR tersebut, Dinas Kehutanan Luwu Utara sempat dilaporkan oleh masyarakat dan LSM ke DPR dan Kejaksaan karena keterlambatan pelaksanaan kegiatan penghijauan di daerah tersebut. Akhirnya, kegiatan penghijauan yang dananya bersumber dari DAK-DR tersebut baru dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya.

6

Bab ini dimaksudkan untuk memperlihatkan mata rantai proses pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan di daerah pada era desentralisasi, mulai dari hubungan koordinasi vertikal (kabupaten, provinsi dan pusat), koordinasi horizontal antara lembaga pemerintahan di kabupaten, serta keterlibatan pemangku kepentingan atau stakeholder dalam pembuatan keputusan di kabupaten.

6.1. Koordinasi Vertikal antara