• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan Orang di GATIK Terhadap Tunjuitam

Dalam dokumen T2 752016016 BAB III (Halaman 34-41)

Tunjuitam dalam pemahaman orang di GATIK adalah baik, walau ada yang melakukannnya sebagai sebuah tradisi turun temurun dan ada yang tidak

melakukannnya karena ketidaktahuan mereka tentang Tunjuitam. Ini bukan

sebuah persoalan, sebab melakukan atau tidak melakukan Tunjuitam tidak

memunculkan hal-hal lain dalam keluarga seperti sakit atau penderitaan yang

lain dan renggangnya hubungan kekerabatan.86

Ketika di tanya apakah ada keinginan untuk mempertahankan Tunjuitam?

para informan menjawab “harus” sebab ini tradisi yang baik sebagai pewarisan leluhur. Ketika kita melakukannya, maka orang-orang GATIK menghargai leluhur. Sebab, sekarang ini kehidupan manusia semakin individualistik sehingga nilai-nilai kebersamaan, serasa sepenanggungan, persekutuan hidup

antar keluarga menjadi renggang.87

Sekalipun kegiatan Tunjuitam berlangsung sewaktu-waktu saat ada orang

yang meninggal, namun, ada keinginan jemaat untuk mempertahankan tradisi Tunjuitam ini. Oleh karena itu, makna Tunjuitam sendiri harus juga diturunkan kepada generasi sekarang supaya apa yang diketahui oleh generasi tua, juga diketahui oleh generasi sekarang sehingga tidak terputus pemaknaan dan tidak

ada kekeliruan tentang nilai, tujuan dan serta cara pelaksanaan Tunjuitam.88

Tunjuitam yang dilakukan (dulu atau sekarang), hanya masih bersifat normatif, sebagai ruang untuk kumpul keluarga dan makan bersama. Terkesan

bahwa Keluarga yang melakukan Tunjuitam mau menyatakan terima kasih buat

keluarga/kaum kerabat yang sudah membantu, menolong dan menopang secara material dan psikis selama kedukaan yang mereka alami dan kehadiran kaum

keluarga/ kerabat/tetangga dalam Tunjuitam hanya sebagai bentuk kebersamaan

sebagai keluarga dan sesama manusia sehingga selepas dari Tunjuitam, orang

yang berduka akan menjalani hidupnya sendiri dan melewati masa-masa sulitnya

86Wawancara dengan Bpk.Pieter Dirks,pada tanggal 22 April 201, Pdt.Ny.Joice Saimima ,pada tanggal 05 Mei 2015 dan Bpk.Paulus Paays,pada tanggal 27 April 2017.

87Wawancara dengan Bpk. Josias Muryani, pada tanggal 06 Mei 2017. 88Wawancara dengan Pdt. Ny. Joice Saimima/N, pada tanggal 05 Mei 2017.

tanpa kehadiran kaum keluarga. Oleh sebab itu, jika Tunjuitam ini merupakan

warisan leluhur/orang totua yang harus dipelihara, maka sebaiknya Tunjuitam

pun dilakukan lebih dari pada sekedar kumpul keluarga dan bersyukur. Misalnya, keluarga besar membantu biaya pendidikan seorang anak, jika ia kehilangan orang tua akibat kematian. Ini lebih berfaedah, daripada kumpul

keluarga dan habiskan biaya konsumsi yang besar.89

Apa yang terungkap di atas menunjukkan bahwa manusia dalam segala aspek kehidupan pada hakekatnya tergantung pada sesamanya, karena itu harus selalu berusaha sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesama, terdorong oleh jiwa sama rata dan sama rasa. Terhadap kekeliruan dalam hal

memahami makna dan proses pelaksanaan Tunjuitam disinyalir adalah masalah

makan dan minum. Sebab, pelaksanaan Tunjuitam ini melibatkan banyak orang,

baik keluarga (ayah/ibu) kaum kerabat, tetangga, pelayanan di unit/sektor dan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kalau soal makan dan minum

dipersoalkan, maka Tunjuitam akan hilang makna bagi generasi sekarang. Snack

seadanya akan jauh lebih baik, daripada keluarga tidak disatukan cuma karena harus ada makan dan minum yang mahal. Kalau pemahaman masyarakat

tentang fungsi dan makna Tunjuitam serta mempraktekkannya, semakin baik,

maka tercipta persekutuan jemaat/masyarakat yang saling melayani, menopang, menguatkan, menghibur dan menghidupkan.

D.RANGKUMAN

Secara keseluruhan, isi bab ini dipaparkan dengan fokus pada serangkaian pemaparan hasil-hasil temuan di lapangan, sebagai data empiris yang diperlukan bagi penulisan tesis ini. Adapun beberapa hal penting, yakni sebagai berikut:

1. Jemaat GPM Galala-Hative Kecil adalah suatu jemaat yang berada dalam

daerah pelayanan Klasis Pulau Ambon Timur, yang berkedudukan di

89Wawancara dengan Pdt. Ny.Joice Saimima/N, pada tanggal 05 Mei 2017 dan Pdt. (Em) Leonard Lohy, pada tanggal 19 April 2017

pinggiran kota Ambon sebagai ibu kota Provinsi Maluku. Jemaat ini, dulu terkenal sebagai komunitas jemaat Nelayan, sebab mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun, dengan letak geografis yang dekat dengan pusat pemerintahan, pendidikan dan perekonomia menyebabkan banyak pendatang yang memilih berdomensili di sini. Hingga sekarang, jemaat yang merupakan gabungan dua desa, yakni desa Galala dan Hative Kecil ini memiliki 1.374 KK dengan 5.726 jiwa.

2. Tunjuitam adalah produk masyarakat dan menjadi identitas jemaat GATIK, yang dipahami sebagai kumpul-kumpul keluarga dalam peristiwa kedukaan. Proses kumpul-kumpul keluarga lazim terjadi saat adanya kematian. Dulu ketika, masih diberlakukan peringatan 3,7 dan 40 hari kematian, orang saudara selalu ada bersama dengan keluarga yang berduka, tetapi saat GPM melakukan deregulasi terhadap peringatan hari-hari kematian ini, praktek

kumpul keluarga tetap dipelihara dalam tradisi Tunjuitam yang dilaksanakan

dalam balutan kekristenan sebagai pengucapan syukur keluarga atas duka yang dialami.

3. Secara harafia, arti dan pengertian Tunjuitam berbeda. Pertama, Tunjuitam

singkatan dari “tujuh hari masa itam/hitam”, yang diidentikkan dengan masa perkabungan. Di masa itu, selama tujuh hari yang dihitung sejak kematian terjadi, keluarga memakai baju hitam sepanjang hari dan dalam aktifitas

apapun. Konsep ini terkait dengan pemahaman leluhur/orang totua terhadap

pemaknaan hari ketujuh sebagai hari perhentian Allah dalam bekerja.

Kedua, Tunjuitam berasal dari dialek ambon “unjuk/tunjuk” atau kasih

tunjuk/ menunjukkan dan “itam/hitam” yang diidentikan dengan masa

kedukaan. Sehingga Tunjuitam memiliki arti ganda, yakni keluarga yang

berduka mau menunjukkan bahwa mereka ada dalam masa kedukaan dan keluarga/tetangga/jemaat harus “unju muka/ datang menjumpai” keluarga yang berduka sebagai bentuk solidaritas dalam suka dan duka.

4. Tunjuitam memiliki beberapa tujuan, yaitu menggumpulkan kaum keluarga (ayah/ibu) dari jarak geografis, jauh dan dekat, menggumpulkan satu generasi ke generasi yang lain supaya saling menggenal satu dengan lain

dan tercipta keakraban kekeluargaa, adik/kakak/sepupu/orang tua-anak, mengetahui tentang silsilah keluarga supaya tidak terjadi proses kawing mengawin antar saudara, mendamaikan konflik internal dan sebagai tempat terjadinya percakapan keluarga untuk saling menasihati, mendukung dan

membuat perencanaan hidup ke depan. Tunjuitam menyatukan dan menjaga

kekerabatan keluarga.

5. Filosofis Tunjuitam adalah kumpul keluarga. Saat kematian dan kabar

tentang kematian itu terdengar, maka satu per satu keluarga mendatanggi rumah duka. Proses awal kumpul keluarga sudah terjadi di sini. Mereka yang merasa sebagai keluarga dekat berinisiatif membantu segala persiapan dan pengurusan jenazah hingga proses pemakaman, misalnya bahan-bahan material seperti gula pasir, teh, beras, uang, membelikan pakaian bagi jenazah, dan lain-lain. Kumpul keluarga kembali terlihat ketika selesai pelaksaan pemakaman. Di sini, keluarga merancangkan pelaksanaan Tunjuitam dengan alasan “supaya bisa kumpul keluarga lagi”. Ini kumpul keluarga karena hubungan genealogis.

6. Pelaksanaan Tunjuitam di hari minggu, seperti yang lazimnya terjadi

menjadi ruang untuk kumpul keluarga. Di sini, bukan hanya kaum keluarga dekat, tetapi ada pelayan gereja, tetangga dan kerabat lainnya sehingga

gambaran kumpul keluarga pada saat pelaksanaan Tunjuitam bukan lagi

secara genealogis (hubungan darah dari pihak ayah/ibu) tetapi mencakup juga hubungan sosial lainnya.

Proses pelaksanaan Tunjuitam, dapat digambarkan sebagai berikut :

Proses ini, tidak dimulai dengan sebuah tahapan persiapan atau pemberitahuan secara resmi dengan menggunakan undangan, sebab terkait dengan kematian seseorang yang tidak pernah diharapkan/direncanakan. Di hari minggu, kaum keluarga/tetangga/kerabat berkumpul di rumah duka

yang melaksanakan Tunjuitam. Ada yang memakai baju hitam, ada yang

tidak. Pelayan (Pendeta/Majelis Jemaat) diundang menghadiri acara tersebut, sebagai orang yang “memeteraikan” acara tersebut dengan

oleh kaum keluarga/tetangga sebagai tanda syukur lewat doa. Setelah pelayan melakukan perannya (berdoa), secara bersama-sama kaum keluarga/ tetangga/kerabat/pelayan dan keluarga yang berduka beiringan menuju

gereja. Di gereja peserta Tunjuitam duduk bersama dengan warga jemaat

yang lainnya dan salah satu yang dipercayakan membawa “natzar/uang sumbayang” ke majelis jemaat di konsitori dan menyatakan bahwa keluarga

meminta pelayanan syukur atas kematian almarhum/almarhuma.

Selanjutnya, majelis jemaat membawa informasi ini kepada pelayan firman (pendeta) yang nantinya syukur keluarga ini didoakan secara bersama dengan jemaat dalam syafaat.

Setelah pelaksanaan ibadah bersama di gedung gereja, peserta Tunjuitam beriringan kembali ke rumah duka. Di rumah duka, pelayan Tuhan kembali melakukan perannya, dengan memimpin lagu, berdoa dan kalau pelayan itu mampu maka ia akan memberikan penguatan lewat firman

Tuhan. Akhir dari acara Tunjuitam ini adalah jamuan makan bersama.

Setelah itu, baik pelayan, kerabat yang bertempat tinggal jauh boleh berpamitan untuk kembali ke tempat mereka masing-masing, tetapi untuk

keluarga dekat Tunjuitam masih dilanjutkan dengan cerita antar adik-kakak,

orang basudara terkait dengan proses pembuatan kubur dan masalah-masalah yang lainnya.

7. Cara dan pelaksanaan Tunjuitam seperti di atas yang lazimnya dilakukan

oleh leluhur/orang totua hingga kini, tetapi akhir-akhir ini, pelaksanaan

Tunjuitam untuk masing-masing keluarga tidak sama, yakni Tunjuitam dilakukan setelah proses pemakaman jenazah atau bersamaaan di hari

pemakaman jenazah untuk menghemat waktu dan biaya. Tunjuitam tidak

lagi melibatkan seluruh kaum keluarga (genealogis), hanya keluarga dekat (adik/ kakak/ sepupu/ om/ tante). Alasannya, karena membutuhkan anggaran yang banyak guna menyediakan makanan bagi keluarga. Hal ini

menyatakan bahwa terjadinya pergeseran makna Tunjuitam bagi generasi

kurangnya pemahaman orang GATIK tentang pentingnya tradisi Tunjuitam itu sendiri, faktor ekonomi dan sikap individualistik yang semakin tinggi.

8. Sekalipun Tunjuitam merupakan konsensus nilai budaya yang berfungsi

menyatukan dan menjaga keutuhan keluarga, namun di sisi yang lain Tunjuitam memiliki nilai solidaritas sosial atas sebuah peristiwa kematian yang menimbulkan reaksi kedukaan. Hal ini nampak dari proses belajar bersama dari kultur yang diwujudkan lewat solidaritas dengan keluarga yang berduka dan proses syukur mereka bersama komunitas jemaat. Kebersamaan saat kematian itu terjadi, kaum keluarga/tetanggan bahkan jemaat datang ke rumah duka, membantu secara material dan spiritual, di gereja tercipta rasa saling menopang lewat doa dari semua orang, baik laki-laki, perempuan, tua/muda, yang memiliki pekerjaan atau tidak, umat dan pelayan bahkan dari strata sosial apapun.

9. Tunjuitam dinilai baik oleh orang di GATIK. Bukan Cuma karena sebuah

warisan yang dijalankan dari generasi ke generasi tetapi Tunjuitam memiliki

nilai-nilai yang luhur bagi orang di GATIK. Dengan melakukan Tunjuitam,

tidak lalu membuat orang yang berduka dengan cepat menyelesaikan

kedukaan mereka, butuh waktu dan proses untuk hal itu. Namun, Tunjuitam

memiliki hubungan dengan tindakan-tindakan pastoral, misalnya, lewat nasihat, kata-kata penguatan, kehadiran sanak saudara/ tetangga /kerabat /pelayanan dan jemaat. Jika, sepuluh keluarga datang dan memberi nasihat yang menguatkan, maka keluarga yang berduka merasakan bahwa ada yang peduli dengannya, ada yang menemaninya saat krisis kehidupan dialami dan Tunjuitam memberi ruang untuk siapa saja untuk memberi dukungan. 10. Tunjuitam membuka ruang untuk siapa saja menjadi konselor, entah

keluarga dekat, tetangga, jemaat dan pelayan. Walaupun, tugas pendampingan dan konseling tidak dipahami secara baik dan bersifat normatif, tetapi doa, kebersamaan, nasihat adalah bagian dari tindakan pastoral.

Dalam dokumen T2 752016016 BAB III (Halaman 34-41)

Dokumen terkait