BAB III
KUMPUL KELUARGA DALAM TRADISI TUNJUITAM
DI GALALA-HATIVE KECIL
Bab ini berisikan hasil penelitian terhadap Tunjuitam dalam kedukaan di
Jemaat Galala-Hative Kecil (GATIK). Data diperoleh melalui teknik wawancara.
Bab ini akan disajikan sebagai berikut:
A.Gambaran Umum Jemaat GPM Galala-Hative Kecil (GATIK)
1. Sejarah Terbentuknya Jemaat GPM Galala-Hative Kecil (GATIK)1 Provinsi Maluku terkenal dengan sebutan seribu pulau. Terlihat dengan
begitu banyaknya gugusan pulau besar dan kecil yang ada di dalamnya.Yang
tergolong pulau-pulau besar, seperti Pulau Ambon, Pulau Seram, Kepulauan
Banda, Pulau Buru dan Pulau Lease. Kota Ambon, terletak di Pulau Ambon
dan juga merupakan pusat pemerintahan provinsi Maluku. Wilayahnya
sebagian besar terdiri dari daerah berbukit dan berlereng terjal seluas
±712.479,69 km2, yang terbagi atas 658.295,69 km2 lautan dan 544.185 km2
daratan. Kota Ambon berada dalam wilayah Pulau Ambon, dan secara
astronomis terletak pada posisi : 3º- 8º Lintang Selatan dan 125º - 135º Bujur
Timur. Selain daerah administratif, Provinsi Maluku juga daerah kepulauan
yang terdiri dari 632 pulau besar dan kecil. Kota Ambon terbagi atas tiga
kecematan, yaitu: Kecamatan Teluk Ambon Baguala dengan luas 158,75 km2,
Kecamatan Sirimau seluas 112,32 km2 dan Kecamatan Nusaniwe seluas
88,352.2
Galala dan Hative Kecil, adalah dua desa/negeri yang dijadikan satu
jemaat dan sering disebut Jemaat GATIK. Di saat GPM lahir dan masih dalam
masa penjajahan Belanda pada 06 Sepetember 1935, Jemaat GATIK sudah ada.
Tercatat pada papan informasi nama-nama pendeta yang pernah bertugas di
1
Sejarah Gereja Imanuel GATIK, yang diceritakan oleh Izaac Tulalessy pada perayaan Jubelium Gereja Imanuel, tanggal 31 Oktober 2006. Ditulis dalam bloknya Winerungan Joris; http://winerungan.blogspot.co.id/2008/09/gereja-galala-dan-hative-kecil.html.
2
jemaat GPM GATIK, mulai dari tahun 1913-2017, ada tiga puluh enam
pendeta yang telah melayani di GATIK.3
Pertumbuhan jemaat searah dengan proses pembangunan Gedung
gereja yang menjadi pusat peribadahan jemaat. Selama periode penjajahan,
tercatat beberapa kali jemaat ini mengalami perpindahan lokasi peribadahan.
Di tahun 1941-1945, selama pendudukan Jepang, Jemaat ini terpaksa
meninggal gedung Gereja lama yang diberi nama Ebenhaezer. Gedung gereja
ini hancur karena tidak terawat. Kemudian, untuk beribadah, jemaat GATIK
membangun sebuah rumah ibadah darurat di tempat pengungsian yang disebut
gereja Bawah Air. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya di era 1946-1948,
warga jemaat GATIK turun ke tepian pantai dan untuk sementara mereka
beribadah di rumah keluarga E.Noija yang sekarang dijadikan tempat penjualan
ikan asar/asap, tepatnya di depan PLN Hative Kecil. Dari tempat peribadahan di keluarga E. Noija ini, jemaat ini membangun kembali sebuah gereja darurat
dari daun rumbia yang berlokasi tepat pada perbatasan Galala-Hative Kecil,
yakni di petuanan Keluarga Muriany. Oleh warga jemaat saat itu, gedung
gereja darurat ini dinamai gereja Tolongan. Gereja ini hanya berfungsi dari
tahun 1949-1950, sebab di akhir tahun 1950, terjadi bencana tsunami atau yang
sering dikenal sebagai aer turun naik.4
Sejak peristiwa aer turun naik (tsunami), 08 Oktober 1950, jemaat ini
membangun kembali gereja darurat di lokasi yang sekarang dijadikan Perum
Perikani dan selama enam tahun aktifitas beribadah jemaat ini berpusat di
gereja darurat tersebut. Tragedi aer turun naik (tsunami) ini, kemudian menjadi
moment berbenah diri bagi jemaat GATIK. Sektor-sektor perikanan dengan
penangkapan ikan cakalang dan tuna menjadi perhatian utama untuk
meningkatkan taraf hidup yang baik pasca bencana aer turun naik (tsunami).
Sehingga, di tahun 1954 atas mufakat bersama antara pihak gereja dan kedua
pemerintahan Galala-Hative Kecil, yakni antara Pdt. J.Wattimena (pihak
3
Data Nama-Nama Pendeta Yang Pernah Bertugas di Jemaat GPM GATIK (Arsip Jemaat). 4
gereja), Bapak. E. Joris (Raja Galala) dan Bapak. J. Muriany (Raja Hative
Kecil), mulailah digagas untuk membangun sebuah gedung gereja yang
permanen. Atas tekad bersama ini, pada tanggal 22 Mei 1954 dilaksanakan
peletakan batu pertama.5
Semua warga jemaat turut berpartisipasi dan tercatat ada beberapa
orang yang dipercayakan untuk melakukan pembangunan gedung gereja ini,
yaitu: Johanis Muskita sebagai kepala tukang, Neles Hiariej (Wakil), dibantu
oleh Simon Paliama, Wilhemus Joseph, Leo Siahaya, Enos Joseph, dan
Benjamin Bremer. Untuk keperluan 12 tiang lilin gereja, seorang jurangan
motor ikan Waitua yang bernama, Enos Noija dan seorang laki-laki dari suku
Buton memimpin rombongan jemaat lainnya mengambil kayu di hutan Hitu, tepatnya di lokasi yang bernama “Telaga Kodok”. Kayu-kayu ini kemudian ditarik ke desa Hunut dan selanjutnya dibawah ke Galala menggunakan
arumbae/belang. Atas kerja keras bersama, akhirnya gedung gereja tersebut
diresmikan pada tanggal 31 Oktober 1956 oleh Ketua Sinode GPM waktu itu,
Pdt. de Fretes dengan nama Imanuel (Allah Beserta Kita). Corak yang terlihat
pada dinding-dinding depan gereja ini menggambarkan aktifitas kelompok
nelayan dengan lautan yang biru. Ini menandakan bahwa komunitas mula-mula
jemaat ini adalah komunitas para nelayan.6
Pertumbuhan jemaat GPM GATIK mulai pesat setelah gedung gereja
permanen ini didirikan dan difungsikan. Para pendatang mulai memilih untuk
bermukim di jemaat ini, sebagai pilihan yang strategis sebab letak geografis
jemaat ini berada di pinggiran Kota Ambon.
Seiring dengan pertumbuhan jemaat, tragedi kemanusian 1999 yang
melanda pulau Ambon dan sekitarnya menjadi sebuah moment yang tidak
terlupakan oleh jemaat GATIK. Tepat ditanggal 24 Juni 2000, sebagian dari
jemaat ini hancur terbakar. Tercatat, satu gedung gereja di sektor pelayanan
Yabok, rumah-rumah jemaat terbakar dan jiwa hilang bagikan sekam,
5
Winerungan Joris; http://winerungan.blogspot.co.id/2008/09/gereja-galala-dan-hative-kecil. html, diakses tanggal 20 Juni 2017, Pukul 13.00 WIB.
6 Winerungan Joris; http://winerungan.blogspot.co.id/2008/09/gereja-galala-dan-hative-kecil.
menyebabkan banyak warga jemaat memilih tinggal di tempat-tempat
pengungsian/sementara dengan cara mereka masing, ada yang tinggal di
tempat-tempat umum milik pemerintah, ada yan memilih membeli dan
mengontrak rumah bahkan ada berinsiatif keluar dan tidak kembali ke tempat
semula. Kondisi ini menyebabkan ritme pelayanan pun menjadi luas hingga ke
Karpan, Hallong dan Passo guna menjangkau kebutuhan pelayanan warga
Jemaat.
Semangat untuk keluar dari keterpurukan bersama akibat tragedi
kemanusiaan 1999 menghasilkan pertumbuhan iman jemaat yang luar biasa.
Sedikit demi sedikit warga jemaat mulai membangun fasilitas tempat tinggal
dan kembali bermukim di jemaat GATIK, hingga sekarang jemaat ini terus
bertumbuh dalam sepuluh sektor pelayanan.
2. Letak Geografis
Seperti yang digambarkan sebelumnya bahwa Jemaat GPM
Galala-Hative Kecil (selanjutnya disebut GATIK), adalah dua desa/negeri yang
dijadikan satu jemaat. Secara geografis dua desa ini tidak kelihatan batasnya.
Dalam lingkup pelayanan Gereja Protestan Maluku (GPM), Jemaat
GPM GATIK, adalah salah satu dari 27 jemaat yang ada dalam wilayah
pelayanan Klasis Pulau Ambon Timur. Dulu sebelum pemekaran klasis, jemaat
GATIK ada dalam bagian pelayanan Klasis Pulau Ambon. Tetapi, sejak 08
Apri 2013, demi efisiensi pelayanan, jemaat ini dilepaskan bersama dengan
jemaat-jemaat yang lain dan digabungkan bersama dalam Klasis Pulau Ambon
Timur.7 Jemaat ini berada kira-kira 12 km dari pusat kota Ambon, dan dapat
ditempuh dengan mengunakan jasa angkutan darat selama 5-10 menit. Secara
geografis, jemaat GPM Galala-Hative Kecil terletak pada pesisir pantai Teluk
Dalam Pulau Ambon, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:8
7
Dokumen Sinode GPM tentang Pemekaran Klasis (Biro Dokumentasi) dari Kantor Sinode GPM pada tanggal 02 Mei 2017.
8Data Renstra Jemaat, Januari 2017 (Sekretariat Jemaat GPM GATIK), pada tanggal 05 Mei
Sebelah Utara berbatasan dengan Jemaat GPM Halong
Sebelah Selatan berbatasan dengan Jemaat GPM Pandan Kasturi
Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Ambon Dalam
Sebelah Selatan berbatasan dengan areal perbukitan negeri Halong
3. Segi Demografi
Sebagai salah satu jemaat di Pulau Ambon Timur, Jemaat GPM
GATIK, mengalami perkembangan dalam pelayanan maupun pengorganisasian
pelayanan. Di jemaat GPM GATIK terdapat 10 sektor pelayanan,
masing-masing: Sektor Effata, Bukit Sion, Siloam, Galilea, Tiberias, Bethesda,
Getsemani,Yabok, Tigris, dan Yarden. Pembagian wilayah pelayanan ini
dilakukan demi efektivitas pelayanan Gereja kepada warga jemaat.9 Rincian
data tentang jumlah jiwa sesuai pembagian wilayah pelayanan dan kelompok
usia dan status keanggotaan Gereja dalam Jemaat GPM GATIK dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Table 1
Gambaran Keadaan Anggota Jemaat GPM GATIK
Pada table 1, memaparkan bahwa jemaat GPM GATIK berjumlah 1.374
Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah jiwa laki-laki sebanyak 2.892 dan jiwa
perempuan sebanyak 2.834 sehingga total jumlah jiwa jemaat GPM GATIK
adalah 5.726 jiwa tersebar dalam 45 unit pelayanan dengan pembagian KK dan
Jiwa yang tidak merata. Jumlah Jiwa tertinggi adalah di sektor Yarden yaitu
739 jiwa, sedangkan terendah adalah di sektor Yabok yaitu 433 jiwa.
Table 2
Gambaran Keadaan Jemaat Menurut Kelompok Usia dan Status Keanggotaan
No. Sektor
Kelompok Umur Baptis Sidi Jumlah
0
Sumber : Data Statistik Jemaat Tahun 2016
Table 2 di atas menunjukan pengelompokan warga Jemaat dalam
kelompok usia. Terlihat bahwa usia yang menonjol tinggi adalah usia 17-45
tahun, yakni sebesar 44 % dan ini termasuk dalam katagori pemuda, kedua,
kelompok usia 46-59 tahun dan ini dinamakan sebagai kategori dewasa. Dua
kelompok usia ini dikatakan sebagai pengelompokkan usia angka produktif dan
bagi gereja ini adalah sumber kekuatan/daya yang berperan dalam sebuah
perubahan pelayanan.
4. Tingkat Pendidikan
Jemaat GPM GATIK memiliki sumber daya manusia yang mapan bagi
pengembangan pelayanan. Potensi diri warga jemaat dapat dikatakan sangat
baik bila dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki. Dapat dilihat pada tabel
3 di bawah ini:
Table 3
Gambaran Tingkat Pendidikan Warga Jemaat
No. Sektor Tingkat Pendidikan Terakhir (Ijazah)
SD SMP SMU D1 D2 D3 D4/S1 S2 S3 Jumlah
1 Efata 20 41 181 2 0 20 62 4 0 330
2 Bukit
Sion
11 19 154 6 4 16 48 14 1 273
3 Siloam 8 24 170 25 2 13 43 1 1 287
4 Galilea 48 26 216 4 1 13 39 3 0 350
5 Tiberias 18 53 193 2 1 12 43 5 0 327
6 Bethesda 21 31 120 0 0 7 24 0 0 203
7 Gatsemani 25 41 120 10 6 9 37 5 0 253
8 Yabok 9 27 135 2 3 11 36 2 0 225
9 Tigris 20 28 117 5 3 9 35 2 0 219
10 Yarden 10 34 199 6 7 18 73 10 1 358
Jumlah 190 324 1.605 62 27 128 440 46 3 2.825
Sumber : Data Statistik Jemaat Tahun 2016
Table 3 memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan di Jemaat GPM
GATIK yang baik ini telah tersebar pada 10 sektor pelayanan. Mayoritas
jemaat berijazah SMU sebanyak 57% dan berijazah S1 sebesar 16 %, sehingga
tingkat pemikiran dan nalar akan memberi kontribusi yang baik pula terhadap
berbagai masalah masyarakat dan perkembangan pelayanan ke depan. Animo
untuk melanjutkan pendidikan juga sangat baik di Jemaat ini, terbukti dari
bahwa 86% jemaat masih berada pada proses pendidikan dari jenjang TK
sampai Perguruan Tinggi (PT).
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi Jemaat, maka harus melihat
pada usia angkatan kerja dan jenis pekerjaan anggota jemaat. Hal ini dapat
dilihat pada table 4 di bawah ini:
Table 4
Table 4 memperlihatkan keadaan jemaat berdasarkan usia anggkatan
kerja. Ada 40 % anggota Jemaat yang belum atau tidak bekerja dari usia
produktif 3.708 jiwa. Angka ini menyatakan bahwa ada begitu banyak warga
jemaat yang dikatagorikan sebagai pengangguran dan hal ini sangat berdampak
pada pemenuhan kebutuhan hidup hari-hari, dll.
6. Sistim Kekerabatan
Umumnya orang Maluku Tengah menganut sistim kekerabatan
patriakhal, yaitu sistim keturunan atau kekeluargaan menurut garis keturunan
ayah. Setelah terjadi perkawinan, maka si istri dan suami mulai terlibat dalam
sebuah pola kekerabatan. Si suami dianggap sebagai anggota keluarga si istri,
sebaliknya si istri dianggap sebagai anggota keluarga suaminya. Sebab itu,
biasanya setelah perkawinan si istri maupun suami bebas untuk memilih mau
tinggal di lingkungan tempat tinggal suami atau di lingkungan tempat tinggal
Dalam hak-hak dan kedudukan, suami dan istri pada masyarakat
Maluku Tengah memiliki derajat yang seimbang. Tak ada yang lebih tinggi
maupun lebih rendah, masing-masing saling mengisi dan saling bekerja sama.
Istri menghormati suami, demikian juga suami menghargai istri. Anak laki-laki
maupun anak perempuan mendapat kedudukan yang sama dan sejajar dalam
keluarga maupun masyarakat. Masing-masing mempunyai hak untuk mewarisi
apa yang menjadi milik orang tua.
Dalam hal bapanggel (memanggil/ berkomunikasi), orang di Maluku
Tengah memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya, cara bapengel (memanggil/
berkomunikasi) bagi seorang kakak laki-laki, disebut “bu” dan “usi” untuk
kakak perempuan. Sebutan untuk orang tua laki-laki, adalah “papa/tata” dan
perempuan, adalah “mama”. Untuk saudara perempuan ibu, sering di panggil “mama tua, mama tengah atau mama bongso” berdasarkan urutan mereka dalam keluarga diiikuti dengan nama mereka, sedangkan untuk saudara
laki-laki ibu, disebut “om”, untuk suami saudara perempuan ibu, disebut “wate”
dan ”mui” kepada istri saudara laki-laki ibu. “ipar laki-laki/perempuan” adalah sebutan bagi istri/suami dari saudara laki-laki/perempuan kita, sedangkan “konyadu” adalah sebutan kepada saudara dari “ipar”. Untuk saudara laki-laki
ayah, dipanggil “papa tua, papa tengah, papa bongso” berdasarkan urutan
mereka dalam keluarga diikuti dengan nama mereka, sedangkan untuk saudara
perempuan Ayah, disebut “tanta/uwa”. Untuk orang tua dari ayah/ibu, di sebut
“tete/nene” dan orang tua dari orang tua kita, disebut “oyang”. Untuk anak
dari anak kita disebut “cucu” dan “cece” untuk anak dari “cucu” kita.
Cara bapanggel (memanggil/berkomunikasi) ini umum terjadi di
Maluku Tengah (baca: Kota Ambon) dan bukan hanya menunjukkan sebuah
penghormatan untuk orang yang lebih tua dari kita tetapi cara bapanggel/
memanggil adalah untuk membangun relasi dengan orang lain entah karena
usia yang lebih tua atau untuk orang yang tidak ada hubungan kekeluarga dan
tidak saling kenal.
Adanya pengaruh adat istiadat yang merupakan kebiasaan hidup
masyarakat atau jemaat yang mewarisi nilai-nilai budaya masih kental dan
dipegang sampai sekarang, adalah:
7.1 Bentuk-bentuk pranata sosial budaya yang khas di dalam jemaat GPM Galala-Hative Kecil (GATIK) adalah relasi kekerabatan antar desa atau
hubungan Pela10 antara dua desa ini dengan desa Islam di Kecamatan
Leihitu, yakni Desa Galala-Hitu Lama dan Desa Hative Kecil-Hitu
Mesing.
1.1 Pela Galala-Hitu Lama11
Dokumen sejarah pemerintahan yang dimiliki kedua negeri ini,
menyimpan sebuah arsip kronologis sejarah pembentukan Pela antara
keduanya, sebagaimana terurai di bawah ini:12
Komitmen hubungan pela antara dua negeri Islam-Kristen ini dimulai
58 tahun lalu, ketika pejabat Panglima Kodam XV Pattimura, Kolonel
Herman Pieterz mengadakan perlombaan “Arumbai Manggurebe” untuk
negeri-negeri di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Desa Galala pun
tidak ketinggalan untuk mengikuti perlombaan tersebut, karena itu
pemerintah desa Galala kemudian memesan arumbai/belang dari negeri
Hitu Lama. Setelah kesepakatan sesuai waktu yang ditentukan, utusan dari
desa Galala datang untuk membayar “Arumbai/belang” yang dipesan
tersebut. Namun, raja Hitu Lama menolak pembayaran itu dan mengusulkan
untuk kedua negeri ini angkat pela. Tawaran ini disambut gembira oleh
utusan dari desa Galala dan masyarakatnya. Dari situlah, maka pada tanggal
10
Menurut P. Lasamahu, (Skripsi: Gereja Dan Pela; Salatiga,2009 ),kata Pela berasal dari kata
Pila yang berarti buatlah sesuatu untuk kita bersama, dan kadang-kadang kata Pila diberi akhriran
“tu” sehingga menjadi “pilatu” yang memiliki arti menguatkan, menanam atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kini kata Pila itu telah berubah menjadi Pela. Oleh Tanamal, dalam bukunya yang berjudul, Pengabdian dan Perjuangan (1985), mengungkapkan istilah pela dalam kenyataannya menunjuk pada ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua negeri/desa atau lebih baik itu antara negeri-negeri Kristen dan negeri Islam.
11
http://www.beritamalukuonline.com/2015/10/dua-negeri-adat-beda-agama-galala-hitu.html, di akses pada tanggal, 12 Juni 2017, pukul.20:45 WIB.
12Sumber : Arsip Pemerintahan Desa Galala-Hitu Lama, diambil dari Kantor Desa Galala,
19 Mei 195913, raja Hitu Lama, As‟Ad Pellu yang bergelar Upu Latu Sitania dan Raja Galala, Esou Joris, mengikrarkan hubungan pela antara Galala
dengan negeri Hitu Lama, yang dikenal dengan Pela Arumbai.
Hubungan pela yang terjadi antara Salam-Sarani yang berlatar
belakang Arumbai ini, tidak memiliki janji yang berbentuk hukum tetapi
sejak saat itu, masyarakat negeri/desa ini memiliki ikatan untuk membangun
kehidupan dalam kerukunan persaudaraan yang saling melindungi, saling
menghormati dan saling membantu di setiap pekerjaan pembangunan. Ini
terbukti. Masyarakat negeri Hitu Lama turut berpartisipasi secara langsung
dalam pembangunan Gedung Gereja di Galala, begitu juga sebaliknya,
masyarakat Galala turut membantu pembangunan Masjid di negeri Hitu
Lama. Pekerjaan gotong royong dengan istilah Masohi, tetap lestari sampai
saat ini.
Ritual yang ditandai dengan minum sopi14 yang disajikan dengan 2
buah wadah, terbuat dari tempurung kelapa yang kemudian dilakukan “toots” bersama oleh kepala desa Galala dan Raja Hitu Lama. Hal ini menjadi tanda bahwa kedua negeri telah mengatakan sikap untuk tetap
menjadi pela abadi sampai selamanya. Dan bukan itu saja, janji angkat pela yang diikrarkan bersama telah terealisasi dengan pesta “panas pela”15 sebanyak empat kali.
14Sopi adalah minuman tradisonal khas Maluku, yang berasal dari bahasa Belanda,Zoopje, yang
berarti alkhol cair. Untuk menghasilkan sopi,biasanya dilakukan proses penyulingan dari buah pohon enau atau dari buah pohon kelapa. Proses penyulingan menggunakan alat tradisional yaitu bambu, dan dilakukan dengan cara tradisonal yaitu dimasak di atas tungku.
(diakses dari http://repository.uksw.edu/handle/123456789/3843/ Skripsi: Liyouine E.Wattimena) pada tanggal, 30 Juni 2017, Pukul 17.00 WIB.
Kristen-Islam terjadi dari latar belakang konflik. Sejarah singkat tentang
Pela kedua negeri ini, diperoleh dari tuturan sejarah beberapa staf desa,16
bahwa:
Sebelum Portugis hadir di Maluku, kerajaan Ternate berhasil
menguasai Maluku dan Irian. Saat itu, Hitu menjadi pusat rempah-rempah
dan memainkan peranan yang sangat penting di Maluku dan menjadi titik
sentral agama Islam di Pulau Ambon. Pada tahun 1512,17 Portugis
menginjaki kaki di Ternate dan melakukan ekspansi politik dan penyebaran
agama melalui keakraban dengan Ternate. Hitu menjadi satu lumbung
rempah bagi Portugis. Semasa berjaya di Maluku, pasokan
rempah-rempah berhasil dimonopoli untuk dijual ke pasar dunia. Selain, keuntungan
dari hasil perdagangan, misi penginjilan Portugis juga berkembang dengan
pesat.
Kehadiran Portugis memicu pertikaian karena kepentingan, soal jual
beli rempah-rempah maupun perkembangan populasi kekistenan sehingga
turut berpengaruh bagi orang-orang di Hative Kecil dan Hitu-Messing.
Konflik sering terjadi antara dua kampung ini. Dengan alasan, Hative Kecil
selalu berpihak kepada Portugis.18 Saat itu, Hative Kecil belum memiliki
struktur pemerintahan yang defenitif sehingga semua hal diatur oleh
kelompok orang melalui geografis tempat tinggal. Tahun 1940 terpilihlah
Yohanes Andarias Muriany sebagai raja Hative Kecil yang pertama.19 Di
sinilah titik awal kedua negeri yang beda agama ini bertekad untuk menjalin
kekerabatan pela guna mengantisipasi terjadi konflik berlanjut antar dua
negeri ini.
Hubungan pela yang terjadi antara Salam-Sarani yang berlatar
belakang konflik ini, tidak memiliki janji yang berbentuk hukum tetapi sejak
16Hasil Wawancara dengan Bapak. Josias Muriany pada tanggal 06 Mei 2017, dan Bapak
Paulus Paays, pada tanggal 27 April 2017.
17https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ternate, diakses pada tanggal 18 Agustus 2017,
Pukul 07.37 WIB.
18Hasil Wawancara dengan Bpk. Paulus Paays, (Ketua Saniri Negeri Hative Kecil), pada tanggal
27 April 2017.
saat itu, masyarakat dua negeri ini memiliki ikatan untuk membangun
kehidupan dalam kerukunan persaudaraan yang saling melindungi, saling
menghormati dan saling membantu di setiap pekerjaan pembangunan.
Ritual panas pela yang lazimnya dijalankan oleh negeri yang
menyatakan hubungan pela guna memupuk rasa kebersamaan dan
persaudaraan, belum bisa dilakukan oleh kedua negeri ini, hal ini
disebabkan karena belum adanya pemerintahan yang defenitif pada negeri
Hitu-Messing.20 Tetapi, kebersamaan dan persaudaraan tetap terlihat dalam
keseharian hidup mereka. Ini terbukti, lewat kehadiran umat dari negeri Hitu
Messing secara langsung dalam pembongkaran Gedung Gereja di
Imanuel-GATIK pada tanggal 17 Januari 2017.
7.2 Muhabeth
Pengertian Muhabet bisa dilacak dalam Bahasa Arab. Dalam sebuah
blok yang bernama kuti kata Elifas Tomix Maspaitella21, menjelaskan bahwa
dengan bantuan temannya, Sumanto al Qurtuby yang juga anggota Jaringan
Islam Liberal (JIL) memaparkan bahwa mengenai Muhabeth, ada istilah dalam
bahasa Arab yang diperkirakan sebagai etimologinya. Istilah tersebut ialah “muhiba” (kata benda, noun), yang berarti kunjungan. Kata sifat (adjective) ialah “hibat”, dan keduanya bersumber dari akar kata “hub” yang berarti cinta, kepeduliaan, atau orang-orang yang mendermakan sesuatu untuk orang yang
dicintai. Di sini dapat dikatakan bahwa Muhabeth ialah suatu perhimpunan
yang terdiri dari anggota masyarakat atas dasar kepedulian sosial, cinta kasih
dan bertujuan untuk membantu anggota masyarakat lain yang perlu dibantu,
atau yang berada dalam kesusahan/ dukacita.
Dari pengertian di atas, telah membantu kita untuk mengetahui apa
alasan pembentukan muhabeth bagi masyarakat di Maluku Tengah, walau nanti
akan ditemukan beberapa perbedaan penanganan di berbagai negeri/desa,
20Hasil Wawancara dengan Bapak Josias Muriany (Raja Hative Kecil sekarang), pada tanggal, 06 Mei 2017.
namun intinya muhabeth adalah lembaga yang mengurusi aktivitas
menyangkut kematian dalam suatu kelompok masyarakat.
Umumnya, Muhabeth di atur oleh kelompok masyarakat atau
Pemerintah Desa setempat. Di setiap muhabeth yang ada pada masing-masing
kampung/desa, memiliki 3 seksi atau biasa dikenal dengan istilah troep22yakni,
troep gali kubur/kolang, troep bikin peti atau pembuatan peti dan troep pikul
peti atau memikul peti jenazah dari rumah anggota yang meninggal ke area
pekuburan.
Di Jemaat GPM Galala-Hative Kecil (GATIK), memiliki 2 kumpulan
Muhabeth, desa Galala di kenal dengan nama Muhabeth Galala, berdiri sejak
tahun 1956, saat kedatangan Wakil Presiden I Indonesia, Muhamad Hatta
dengan memberikan modal awal bagi pembentukan kelompok
masyarakat/muhabeth ini,23 sedangkan desa Hative Kecil sendiri memiliki
beberapa kumpulan muhabeth tetapi yang masih eksis hanya satu yakni
Muhabeth Anugerah, berdiri tahun 2010.24
Aktifitas Muhabeth ini dimulai saat seseorang meninggal, akan ditandai
dengan bunyi lonceng Gereja sebanyak tujuh kali dengan dentangan yang
lambat dari bunyi pertama ke seterusnya. Kalau yang meninggal adalah
anggota dari sebuah Muhabeth, oleh pengurus Muhabeth membunyikan tifa
sebagai pengumuman kepada masyarakat dan anggota Muhabeth bahwa
anggota muhabethnya telah meninggal dunia (biasanya pemukulan tifa ini
mendahului bunyi lonceng Gereja dan masing-masing Muhabeth memiliki
cara membunyikan tifa yang berbeda satu dengan yang lain).
Kepala-kepala troep kemudian mendatangi keluarga yang berduka
untuk membicarakan tugas Muhabeth. Biasanya kedatangan kepala-kepala
troep ini, bukan hanya sekedar membicarakan tugas dan kerja mereka, tetapi
sekaligus untuk bekerja membantu keluarga yang berduka dalam pembuatan
22
Troep adalah bahasa Belanda yang berarti pasukan, kelompok atau regu atau pasukan Zeni
dalam ketentaraan (dikutip dari: http://negerisaparua.blogspot.co.id/2015/02/melawan-lupa-part1muhabeth-muhabeth-di.html), tanggal,19 Juni 2017, pukul 09.15 WIB.
23
Hasil Wawancara dengan Bapak On Joseph (Ketua Muhabeth Galala), tanggal, 01 Mei 2017. 24Hasil Wawancara dengan Bapak Samuel Eurepley, Ketua Muhabeth Anugerah, pada tanggal
peti jenasah dan penggaliang liang lahat (kubur). Salah satu keluarga yang
diutus untuk bersama kepala troep ke TPU untuk menunjukan lokasinya atau
atas keinginan keluarga, lokasinya bisa di halaman milik keluarga
atau kintal keluarga.
Masing-masing troep menjalankan prosedur kerja yang telah
ditetapkan atau yang telah menjadi kebiasaan umum. Kalau jenazah belum
dimakamkan maka anggota Muhabeth akan terus menemani keluarga duka dan
di setiap malam akan ada ibadah penghiburan yang dilakukan oleh Majelis
Jemaat setempat. Ibadah penghiburan ini dihadiri oleh kerabat, kenalan,
tetangga dan anggota Muhabeth. Tujuannya untuk menghibur, menguatkan
serta empati dan solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang berduka. Kerja
Muhabeth berakhir ketika jenazah dimakamkan.
B.PEMAHAMAN ORANG DI GATIK TENTANG TRADISI TUNJUITAM
1.1 Asal Mula Tunjuitam
Menelusuri lebih jauh tentang kehidupan orang di Galala-Hative Kecil
(GATIK) tidak akan lengkap tanpa terlebih dahulu mengenal apa yang menjadi
identitas khas dari Jemaat ini, yang biasanya dikenal dengan sebutan
Tunjuitam. Secara umum Tunjuitam dipahami oleh orang-orang GATIK sebagai acara kumpul keluarga, yang dirangkaikan dalam sebuah akta syukur
di gereja secara bersama-sama. Tunjuitam dilakukan sejak dahulu oleh orang
totua/leluhur dan dikenal sebagai satu-satunya tradisi turun temurun dan sangat
bermakna bagi orang-orang setempat waktu itu.25 Dulu orang di Halong dan
Lateri (dua jemaat/desa tetangga) menjalankan juga tradisi ini tetapi kemudian
hilang, hanya di GATIK yang masih bertahan sampai sekarang.26 Semua
informan menyatakan bahwa Tunjuitam adalah produk masyarakat, awalnya
diberlakukan di dalam masyarakat homogen Galala-Hative Kecil yang bermata
25
Wawancara dengan Bapak Hengki Paliama (Ketua Paduan Suling/Torompet, Jemaat GATIK), pada tanggal, 20 April 2017.
26
pencaharian sebagai nelayan,27 yang kemudian melibatkan Gereja lewat akta
syukur (doa), sehingga prinsip Tunjuitam adalah pengucapan syukur keluarga,
yang difungsikan pada saat terjadinya peristiwa kematian.
Tunjuitam awalnya adalah kumpul-kumpul orang saudara dalam
peristiwa kedukaan. Proses kumpul-kumpul ini sudah dimulai ketika seseorang “putus nafas” atau meninggal, lewat kedatangan keluarga ke rumah duka. Dulu, ketika masih diberlakukan peringatan 3,7 bahkan 40 hari kematian,
orang saudara selalu ada bersama dengan keluarga yang berduka, tetapi saat
gereja menghilangkan tradisi-tradisi atas peringatan kematian ini, praktek
kumpul keluarga tetap dipelihara dalam tradisi Tunjuitam yang dilaksanakan
dalam balutan kekristenan sebagai pengucapan syukur keluarga atas duka yang
dialami.28
Pemahaman jemaat yang terbatas tentang tradisi Tunjuitam dikarenakan
tidak ada dokumen tertulis,29 sehingga untuk mencari asal mula Tunjuitam ini
sangat sulit ditemukan, sebab diwariskan oleh leluhur/orang totua secara lisan.
Oleh tiga orang informan, dikatakan bahwa :
Tunjuitam sudah ada sejak leluhur/orang totua.30 Tunjuitam, sudah ada
sejak zaman pelayanan Pendeta.Z.Satumulay31 (1946-1950).32 Cara
bersyukur yang dipraktekkan dalam Tunjuitam mulai terlihat ketika dua
negeri Galala-Hative Kecil ini mengalami bencana tsunami ( air turun
nai) di tahun 1950, yang meluluh-lantahkan dan menghabiskan harta
benda masyarakat tanpa ada korban jiwa. Kesadaran akan penyertaan Tuhan ini yang kemudian disyukuri secara komunal (masyarakat/jemaat), lalu dibawah masuk dan dipraktekkan oleh tiap-tiap keluarga lewat peristiwa kematian sebagai syukur keluarga atas kedukaan yang
dialami.33
27
Wawancara dengan Bpk. Nicolas Muriany (Staf Desa Hative Kecil), pada tanggal 21 April 2017, Bpk. Pieter Dirks (Tokoh Masyarakat GATIK), pada tanggal 22 April 2017, Bpk. Wellem Joseph (Tokoh Masyarakat/Mantan Sekdes Galala, pada tanggal 23 April 2017.
28Wawancara dengan Bpk.Wellem Joseph,pada tanggal 23 April 2017 dan Wawancara dengan
Bapak Pieter Dirks, pada tanggal,22 April 2017. 29
Wawancara dengan Pdt.Ny.Joice Saimima/N, (Ketua Majelis Jemaat GATIK), pada tanggal 21 April 2017.
30
Wawancara dengan Bpk. Paulus Paays (Staf Desa Hative Kecil), pada tanggal 27 April 2017 31
Wawancara dengan Bpk. Frans Samu-samu (Tokoh Masyarakat/Orang Tua), pada tanggal 01 Mei 2017.
32
Inventaris - Data Nama-Nama Pendeta Yang Pernah Bertugas di Jemaat GPM GATIK. 33
Dulu masyarakat Galala-Hative Kecil adalah masyarakat homogen, yang
berprofesi sebagai nelayan. Tunjuitam sudah ada dalam komunitas ini.
Terlihat dulu, bahwa kalau ada yang meninggal, maka tidak ada satu motor ikan (kapal ikan) milik orang Galala-Hative Kecil yang keluar
untuk mencari ikan.34
Dari paparan informan-informan di atas dapat dikatakan bahwa
Tunjuitam adalah produk masyarakat homogen nelayan GATIK sebagai
warisan leluhur dan dipraktekkan turun temurun sampai sekarang. Tunjuitam
berawal dari kumpul keluarga pada peristiwa kematian yang kemudian
dilanjutkan dalam balutan kekristenan sebagai pengucapan syukur keluarga
atas duka yang dialami. Kapan munculnya Tunjuitam, tidak diketahui dengan
pasti, hanya dipahami bahwa Tunjuitam sudah ada sejak leluhur mereka. Hal
ini memang tidak bisa dipersalahkan sebab pola pewarisan budaya yang secara
umum terjadi di Maluku adalah pewarisan secara lisan, sehingga hal yang
menyangkut waktu (tahun), tentu tidak secara mudah diketahui, tetapi pada saat
orang meninggal diwaktu mereka masih kecil atau menjelang remaja, mereka
sudah menjadi saksi hidup bahwa budaya Tunjuitam dilakukan saat orang
meninggal. Efektifitas Tunjuitam mulai terlihat sejak tahun 1950, saat jemaat
ini mengalami persitiwa tsunami (aer turun naik), sebagai bentuk kesadaran
iman akan penyertaan Tuhan yang menyelamatkan.
1.2 Pengertian Tunjuitam
Pemahaman informan tentang ”Tunjuitam” dan arti secara harafiah sangatlah berbeda. Oleh empat orang informan kunci, yang adalah tokoh adat
dan masyarakat Galala-Hative Kecil dan satu Pendeta yang adalah orang asli
GATIK menjelaskan bahwa kata Tunjuitam adalah singkatan dari tujuh hari
masa hitam. Masa hitam ini diidentikan dengan masa perkabungan.35 Di masa
itu, selama tujuh hari yang dihitung sejak kematian seseorang, keluarga
memakai baju hitam sepanjang hari dan dalam aktifitas apapun. Nantinya di
34
Wawancara dengan Bapak Pieter Dirks, pada tanggal 22 April 2017. 35
hari minggu, keluarga/kerabat menyatakan syukur atas peristiwa kematian
almarhum.36
Lebih lanjut, oleh seorang pelayan yang merupakan orang asli Galala,
menyatakan bahwa orang di Galala-Hative Kecil sering mengatakan “Tuhjitan” yang terkait dengan tujuh hari kematian. Apa yang dijalankan
oleh leluhur/orang totua sangat kuat berdasarkan Alkitab, sehingga konsep
tujuh hari ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang masa
pemberhentian Allah dalam bekerja.37 Pendapat-pendapat ini, berbeda dengan
yang dikatakan oleh dua informan berikut, yakni kata ”Tunjuitam” secara
harafiah dari dialek Ambon “unju/tunju” atau “kasih tunjuk/menunjukkan” dan “itam/hitam” yang diindentikan dengan suatu masa perkabungan/
kedukaan. Sehingga Tunjuitam berarti keluarga yang berduka mau
menunjukkan bahwa mereka ada dalam masa kedukaan.38
Dari apa yang disampaikan di atas, dapat dikatakan bahwa Tunjuitam
adalah sebuah syukur keluarga atas suatu peristiwa hidup yang dialami yaitu
kematian. Tunjuitam pada dasarnya memiliki arti/pengertian yang belum bisa
disepakati secara bersama tetapi dari pengertian dasar ini bisa diberikan
makna sosio-religius bahwa Tunjuitam dipahami sebagai tradisi mengikat
baju hitam pada masa kedukaan yang sama dengan tradisi Israel yang
mengikat kepala mereka dengan kain ketika terjadi malapetaka. Hal ini
digambarkan oleh dua informan bahwa :
“dolo-dolo orang totua yang masih pake kabaya, selalu mengikat ujung
kain kabaya mereka atau memasukan kedalam kain sarung lalu ikat
ujung-ujung kain sebagai tanda bahwa dorang sementara berduka”.39
“orang totua dolo-dolo pake kain-kabaya hitam, panjang sampe di mata kaki (menutupi ujung kaki). Jadi, katong tahu kalau dorang sementara
berduka.40
36
Wawancara dengan Bpk.Hengky Paliama,pada tanggal 20 April 2017 dan Ibu Maranatha Joseph (Warga Asli Galala), pada tanggal 24 April 2017.
37Wawancara dengan Pdt. Albert Joris, (Warga Asli Galala), pada tanggal 18 April 2017. 38
Wawancara dengan Bpk.Pieter Dirks,tanggal 22 April 2017 dan Bpk.Polly Paais,tanggal 27 April 2017.
39
Secara religius Tunjuitam dipahami sebagai masa tujuh hari berkabung.
Sehingga membentuk pemahaman orang-orang di GATIK untuk menyatakan
syukur kepada Tuhan di hari minggu setelah melewati hari ketujuh kematian.
Secara sosial, Tunjuitam dikaitkan dengan dialek Ambon “unju” yang bisa
berarti ganda, yaitu pertama: bahwa keluarga berduka harus menunjukkan
dengan cara memberitahukan kepada keluarga/ tetangga/ kerabat untuk
bersama dengan mereka dalam pelaksanaan Tunjuitam dan kedua: keluarga/
tetangga/ kerabat harus “unju muka/ datang menjumpai” kepada keluarga
yang berduka sebagai bentuk solidaritas dalam suka maupun duka. Hingga,
tercipta suatu kekerabatan antar keluarga. Oleh dua orang warga asli GATIK,
mengatakan bahwa:
“Kalau keluarga si A yang mengalami kedukaan datang kasisuara
(mengundang), katong akang pi di dong pung Tunjuitam, tapi kalau dong
seng bilang katong for pi maka katong seng pi”.41 “Katong harus pi di
dong pung Tunjuitam sebagai keterikatan darah dan daging. Ale pung
duka katong jua pung duka. Pi di dong pung duka, katong seng perlu bawa apa-apa, yang penting katong bawa diri dan tunju katong muka kalau katong ada datang dalam kedukaan dong”.42
Pendapat-pendapat di atas menjelaskan bahwa ada perbedaan
pemahaman tentang pengertian Tunjuitam secara harafia. Tetapi, dari
pendapat-pendapat ini telah menolong kita untuk memahami maksud dari kata
Tunjuitam itu, bahwa setelah masa tujuh hari kematian seseorang, keluarga harus ada secara bersama dengan keluarga duka untuk menyatakan syukur.
Karena itu, yang merupakan bagian dari keluarga duka harus ada bersama
(tunjuk muka) dengan keluarga yang berduka dan sebaliknya untuk menjaga
rasa dari keluarga besar, maka keluarga yang berduka pun harus
menyampaikan undangan untuk melibatkan keluarga-keluarga yang lain dalam
syukur mereka, sehingga ada hubungan timbal balik sebagai bagian dari
keikutsertaan dalam kedukaan itu. Selanjutnya, Tunjuitam bukan hanya
40
Wawancara dengan Ibu.Abigael Latuheru (Orang Tua GATIK), pada tanggal 01 Mei 2017. 41
Wawancara dengan Ibu. Maranatha Joseph, pada tanggal 24 April 2017. 42
melibatkan keluarga sebagai hubungan darah tetapi juga komunitas jemaat
sebagai sebuah persekutuan.
1.3 Tujuan Tunjuitam
Walaupun Tunjuitam secara umum mulai surut identitasnya/ maknanya
tetapi Tunjuitam memiliki tujuan positif sebagai bentuk solidaritas keluarga.
Oleh karena itu, pemaknaan tentang Tunjuitam terus di wariskan turun
temurun dari orang tua kepada anak-cucu sebagai generasi penerus. Sebagai
bentuk solidaritas bersama, maka secara umum, tujuan Tunjuitam adalah
menggumpulkan keluarga besar (ayah/ibu) dan menyatakan syukur kepada
Tuhan pemilik hidup atas kehidupan kepada almarhum serta mengambilnya
dan syukur itu dibagikan bersama kaum keluarga/kerabat yang saling
mendukung, membantu, sepenangungan, saling merasakan dan menguatkan
dalam peristiwa kedukaan.
Lebih lanjut, Tunjuitam dipahami bukan saja sebagai ruang untuk
menggumpulkan keluarga, baik dekat atau jauh (jarak geografis), satu generasi
ke generasi berikutnya, sehingga ada keakrapan keluarga, adik-kakak/sepupu,
tetapi juga sebagai tempat untuk menunjukan solidaritas
keluarga/kerabat/tetangga, serasa sepenangungan atas peristiwa kematian.43
Tunjuitam merupakan tempat untuk laeng kanal laeng antar satu generasi
dengan generasi yang lain (saling mengenal antar keluarga).44 Sebab, dalam
proses Tunjuitam harus menghimpun dua keluarga besar (ayah/ibu), disinilah
kita saling berjumpa, mengenal dan tahu tentang silsilah keluarga sehingga
anak/cucu mengetahui bahwa kita adalah orang basudara dan ke depan tidak
terjadi proses kawin mengawin. Tunjuitam dilakukan supaya antar
keluarga/kerabat merasa ada hubungan kekeluargaan yang tidak terputus hanya
karena kematian, seperti yang dikatakan oleh dua orang tua, berikut:
Tunjuitam dijalankan dan melibatkan semua keluarga (ayah/ibu) supaya hubungan kekeluargaan itu tetap ada, walau katong pung orang tua sudah
43
Wawancara dengan Bpk. Hengki, pada tanggal 20 April 2017, Bpk.On Joseph,pada tanggal 01 Mei 2017 dan Bpk.Welem Joseph,pada tanggal 23 April 2017.
44
meninggal”.45
Tunjuitam dibuat supaya laeng tetap inga laeng walau katong pung orang totua su meninggal. Kematian bukan for memisahkan katong pung hidop orang basudara, bukan karena nene/tete seng ada lalu katong laeng lupa leang”.46
Menurut informan, jika dalam perjalanan hidup ada konflik/pertikaian
antara adik dan kakak, maka Tunjuitam bisa dijadikan sebagai tempat untuk
“bikin bae” (saling memaafkan/mendamaikan), terungkap lewat pernyataan berikut :
“Karena batas tanah/dusun, adik dan kakak atau orang basudara bisa bakalai bahkan sumpah seng bakukanal, tapi, ketika ada duka keluarga dan salah satu dari mereka yang berkonflik ini datang kasih suara for Tunjuitam makadi situ dong su laeng kasih suara laeng dan baku bae.”47 Selanjutnya juga, dikatakan bahwa :
Tunjuitam menjadi ruang untuk laeng kasih nasehat laeng, sharing keluarga48. Artinya, dalam pertemuan keluarga ini kemudian menjadi tempat untuk saling menasihati antar adik-kakak, sepupu/antar kerabat lainnya terhadap perilaku-perilaku hidup bersama, suka maupun duka. Tunjuitam juga menjadi tempat untuk membicarakan apa penyebab kematian almarhum. Sehingga, bisa diantisipasi bagi keturunan
selanjutnya.49
Hampir semua informan memahami bahwa tujuan Tunjuitam adalah
baik; sebagai acara kumpul keluarga, ruang terciptanya solidaritas
kekeluargaan/ kerabatan dan antar tetangga yang saling mendukung,
sepenangungan, merasakan serta menguatkan dalam peristiwa kedukaan, ruang
untuk saling mengenal, menasihati, mengatur sebuah rencana ke depan,
mendamaikan atas konflik internal dan tempat untuk memelihara keakraban
keluarga supaya tetap terbina, tidak terputus akibat adanya kematian.
C.KUMPUL KELUARGA DALAM PELAKSANAAN TUNJUITAM
45
Wawancara dengan Bpk.Wellem Joseph,pada tanggal 23 April 2017. 46
Wawancara dengan Ibu Abigael Latuheru,pada tanggal 01 Mei 2017. 47
Wawancara dengan Bpk. Hengki,pada tanggal 20 April 2017. 48
Wawancara dengan Bpk. J.O Pattipawae, (Sekretaris Jemaat GATIK), pada tanggal 05 Mei 2017.
1.1 Kumpul Keluarga Dalam Solidaritas Sosial di GATIK
Ketika kematian terjadi, dan kabar tentang kematian ini mulai terdengar
maka satu per satu keluarga mendatanggi rumah duka. Proses awal kumpul
keluarga terkait dengan peristiwa kematian terjadi di sini. Mereka yang merasa
sebagai keluarga dekat berinisiatif membantu segala persiapan dan pengurusan
jenazah hingga proses pemakaman. Ada yang membawa bahan-bahan material
(seperti gula pasir, teh, beras, bahkan uang), ada yang membantu pembelian/
pembuatan peti jenazah, jika keluarga yang berduka bukan anggota Muhabeth,
pakaian untuk jenazah dan pengalian liang lahat.
Menurut seorang tokoh masyarakat pendatang yang tinggal di GATIK,
nilai solidaritas jemaat ini cukup tinggi. Saat terjadi kematian dan terlihat
terdengar bunyi lonceng gereja sebanyak tujuh kali yang menandakan adanya
kematian warga jemaat, jemaat langsung bereaksi dengan bertanya siapa yang
meninggal? Bahkan ada yang dengan segera, berpakaian seadanya menuju
rumah duka, membantu membuat sabua/tenda duka, mengangkat kursi dan
menemani keluarga berduka.50
Setelah jenazah dimakamkan dan satu per satu pelayat meninggalkan
rumah duka, kaum keluarga masih tetap ada bersama dengan keluarga yang
berduka. Proses pembicaraan tentang pelaksanaan Tunjuitam mulai terjadi dari
kumpul keluarga ini, yakni setelah pelaksanaan upacara pemakaman, dengan
menanyakan tanggal dan waktu Tunjuitam, “supaya bisa kumpul keluarga
lagi.”51 Sederhana! Hal ini merupakan inisiatif salah satu anggota keluarga
yang ada saat kumpul orang saudara tersebut. Setelah penentuan waktu
pelaksanaan, seseorang di tunjuk untuk memberitahukan dan mengundang
sanak saudara yang memiliki hubungan darah/kerabat/tetangga untuk
berkumpul di rumah duka pada waktu yang telah ditentukan. Bagi keluarga
50Wawancara dengan Pdt. Em. Leonard Lohy (seorang Pendeta Emeritus GPM dan Mantan MPH Sinode GPM, yang bermukim di jemaat GATIK), pada tanggal 19 April 2017.
51
yang tidak sempat hadir dalam proses pemakaman jenazah, harus disampaikan
informasi pelaksanaan Tunjuitam ini.52
Kumpul keluarga selanjutnya, terlihat pada saat pelaksanaan
Tunjuitam, yakni di hari minggu sesuai kesepakatan. Kaum
keluarga/kerabat/tetangga berkumpul lagi di rumah duka yang melaksanakan
Tunjuitam. Di sini, bukan hanya ada kaum keluarga dekat, tetapi ada pelayan
gereja, tetangga dan kerabat lainnya. Gambaran kumpul keluarga pada saat
pelaksanaan Tunjuitam bukan lagi secara genealogis (hubungan darah dari
pihak ayak/ibu) tetapi mencakup juga hubungan sosial lainnya.
Oleh dua orang warga GATIK pendatang, yang pernah melakukan
Tunjuitam mengatakan bahwa :
Katong buat Tunjuitam sebagai tanda terima kasih. Bukan cuma for
keluarga secara genealogis/hubungan darah, tetapi siapa saja yang katong anggap bagian dari keluarga dan komunitas bersama, yang membantu
dan menguatkan katong dalam kedukaan, maka saat Tunjuitam katong
harus kasisuara dong sebagai bagian dari katong pung syukur.53 Katong
buat Tunjuitam untuk ikut tradisi di sini (GATIK), sebab katong bagian
dari dorang dan sebaliknya, dorang bagian dari katong. Katong akan sanang kalau ada yang datang for katong saat duka, itu berarti dong mau
bakutamang dan merasakan kedukaan itu sama-sama.54
Lebih lanjut, ditambahkan bahwa dengan suasana hidup heterogen
semacam sekarang, Tunjuitam bukan lagi untuk mengumpulkan orang
basudara secara genealogis, tetapi juga komunitas dua negeri dan jemaat ini
sebab, proses kawin mengawin sudah terjadi. Sehingga pelaksanaan Tunjuitam
bukan hanya melibatkan mereka yang punya hubungan darah dengan kita, tapi
komunitas jemaat ini. Karena itu, Tunjuitam di Gereja sebagai bentuk
membawa natzar keluarga adalah bagian dari kebersamaan dengan jemaat
yang saling menopang, menguatkan dan bersyukur dalam doa. Tunjuitam juga
52Wawancara dengan Bpk.Pieter Dirks,tanggal 22 April 2017.
53
Wawancara dengan Bpk.Yafet Akerina (Masyarakat Pendatang yang melakukan Tunjuitam), pada tanggal 24 April 2017.
54
Wawancara dengan Gerson Siwalette (Masyarakat Pendatang yang melakukan Tunjuitam
membuat gereja penuh dengan jemaat, karena orang yang malas ke gereja akan
terlihat ketika ada keluarganya yang melaksanakan Tunjuitam.55
Setelah pelaksanaan ibadah bersama di gedung gereja, peserta Tunjuitam
beriringan kembali ke rumah duka. Rangkain Tunjuitam diakhiri dengan makan
bersama keluarga dan pelayan, sehingga terkesan bahwa Tunjuitam dilakukan
sebagai tanda terima kasih bagi keluarga dan masyarakat yang telah membantu
pembuatan peti, sabua/tenda duka, liang lahat dan menemani serta menopang
keluarga dalam masa kedukaan mereka.56
Berdasarkan paparan tentang proses kumpul keluarga sebagai bentuk
solidaritas bersama di GATIK, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang mengatur
proses kumpul keluarga ini, sebab apa yang terkait dengan kematian seseorang
adalah sesuatu yang tidak pernah diharapkan/rencanakan, sehingga kumpul
keluarga adalah sebuah proses yang spontan/situasional. Kumpul keluarga bisa
dilihat dalam empat situasi, pertama saat kematian terjadi, kedua, saat selesai
upacara pemakaman untuk perencana waktu pelaksanaan Tunjuitam, ketiga,
saat proses Tunjuitam, yakni kumpul keluarga bersama kaum kerabata/tetangga
dan komunitas jemaat pada ibadah minggu di Gereja dan keempat, ketika
selesai rangkaian Tunjuitam di gereja yang dilanjutkan dengan makan bersama
dan proses pembicaraan guna membicarakan hal-hal penting ke depan.
Keterlibatan keluarga, kerabat, tetangga, pelayan dan jemaat mulai dari
peristiwa kematian sampai pelaksanaan Tunjuitam adalah bagian dari
solidaritas sosial.
1.2 Pergeseran Makna Kumpul Keluarga di GATIK
Berikut ini akan dipaparkan cara dan bentuk-bentuk pelaksanaan
Tunjuitam di jemaat GATIK, yang sebenarnya tidak dimulai dengan sebuah
tahapan persiapan atau pemberitahuan secara resmi dengan menggunakan
55
Wawancara dengan Pdt.Jopy Pellupessy, (Pendeta Jemaat GATIK), pada tanggal 06 Juni 2017
undangan, sebab terkait dengan kematian seseorang yang tidak pernah
diharapkan/rencanakan.
Pelaksanaan Tunjuitam, yakni hari minggu sesuai dengan pemahaman
dan cara yang diturunkan oleh orang totua/leluhur, kaum keluarga/ kerabat/
tetangga berkumpul di rumah duka yang melaksanakan Tunjuitam. Mereka ini
disebut sebagai peserta Tunjuitam keluarga. Ada yang memakai baju hitam,
ada yang tidak.57 Pelayan (Pendeta/Majelis Jemaat) diundang menghadiri acara
tersebut.58 Peran yang dilakukan oleh pelayan Tuhan dan gereja adalah
“memeteraikan” acara tersebut dengan “natzar/uang sumbayang”59 milik keluarga yang berduka maupun yang dibawah oleh kaum keluarga/tetangga
sebagai tanda syukur lewat doa, yang selanjutnya “natzar/uang sumbayang”
ini dibawah secara bersama dengan persekutuan jemaat dalam doa minggu.
Setelah pelayan Tuhan melakukan perannya (berdoa) bersama keluarga/
kerabat/ tetangga yang berkumpul di rumah duka, secara bersama-sama
(pelayan,keluarga/kerabat/ tetangga) dengan keluarga yang berduka beriringan
menuju gereja. Di gereja peserta Tunjuitam duduk bersama dengan warga
jemaat yang lainnya dan salah satu yang dipercayakan membawa “natzar/uang sumbayang” ke majelis jemaat di konsitori dan menyatakan bahwa keluarga
meminta pelayanan syukur atas kematian almarhum/almarhuma.60 Selanjutnya,
majelis jemaat membawa informasi ini kepada pelayan firman (pendeta) yang
nantinya syukur keluarga ini didoakan secara bersama dengan jemaat dalam
syafaat. Adapun kutipan doa, dalam syafaat minggu sebagai berikut:
...,kami (jemaat) bersyukur bersama keluarga Siwalette-Wattilete yang merasakan duka atas meninggalnya almarhum papa, opa Lodrik Siwalette. Kami meminta Tuhan tetap kasih kekuatan untuk
57
Wawancara dengan Bpk. Pieter Dirks,tanggal 22 April 2017 Bpk.Wellem Joseph,pada tanggal 23 April 2017 dan Bpk. On Joseph, pada tanggal 01 Mei 2017.
58Wawancara dengan Bpk. Pieter Dirks, tanggal 22 April 2017 Bpk.Wellem Joseph,pada tanggal 23 April 2017 dan Bpk. On Joseph,pada tanggal 01 Mei 2017.
59Pada setiap rumah/kamar Utama di Maluku Tengah, ada “Meja Sumbayang”. Di Atas Meja
Sumbayang itu, ada “Piring Natzar”, tempat untuk meletakkan uang sumbayang/kolekta ibadah. Meja Sumbayang merupakan tempat khusus untuk berdoa atas pergumulan keluarga dan “piring natzar” menjadi simbol kehadiran Tuhan dalam doa itu.
keluarga, anak-cucu menjalani hidup ke depan. Kami sungguh bersyukur untuk apa yang Tuhan buat...”61
Setelah pelaksanaan ibadah bersama di gedung gereja, peserta Tunjuitam
beriringan kembali ke rumah duka. Di rumah duka, pelayan Tuhan kembali
melakukan perannya, dengan memimpin lagu, berdoa dan kalau pelayan itu
mampu maka ia akan memberikan penguatan lewat firman Tuhan. Akhir dari
acara Tunjuitam ini adalah jamuan makan bersama. Setelah itu, baik pelayan,
kerabat yang bertempat tinggal jauh boleh berpamitan untuk kembali ke
tempat mereka masing-masing, tetapi untuk keluarga dekat Tunjuitam masih
dilanjutkan dengan cerita antar adik-kakak, orang basudara terkait dengan
proses pembuatan kubur dan masalah-masalah yang lainnya.62
Paparan tentang proses pelaksanaan Tunjuitam ini merupakan suatu
gambaran umum yang lazimnya dilakukan orang totua/ leluhur hingga kini.
Terungkap dari beberapa informan yang membanding pelaksanaan Tunjuitam
di zaman orang totua/leluhur dengan yang sekarang, bahwa :
“Tunjuitam sekarang tidak lagi memakai pakaian serba hitam seperti orang dulu-dulu, karena orang tua yang pakai kain kebaya sudah tidak ada.63 Tunjuitam sekarang cuma bakumpul di hari „H‟ (hari yang ditetapkan, yakni hari minggu) sebagai acara syukur, tetapi dulu, orang totua selalu ada dengan keluarga berduka di setiap hari dan dalam
kehadiran mereka selalu berbarengan dengan kantar (menyanyi lagu
DSL/Thalil).64 “Tunjuitam sekarang tidak lagi mengundang seluruh
keluarga besar, baik dari pihak ayah dan ibu, padahal itu seharusnya. Sekarang, keluarga yang dikatakan sebagai adik-kakak kandung, sepupu
saja yang dilibatkan.65 Mungkin soal ekonomi, sebab, kalau mengundang
keluarga besar pasti membutuhkan anggaran yang banyak untuk
makan-minum, padahal bukan itu inti dari Tunjuitam. “Dalam pelaksanaan
Tunjuitam sekarang yang masih terlihat sama dengan yang dulu
dipraktekan oleh orang totua/leluhur cuma natzar.”66
61
Kutipan doa ini, terucap oleh Pdt. N.Alyona pada pelayanan Minggu, 30 April di Gereja Sektor Yabok Jemaat GPM Galala-Hative Kecil, pada saat pelaksanaan Tunjuitam keluarga Siwaletta-Wattilete.
62Wawancara dengan Ibu.Ludia Sakalessy/Samu-Samu,padatanggal 27 April 2017.
63
Wawancara dengan Bpk.Paulus Paays,pada tanggal 27 April 2017. 64
Wawancara dengan Bpk.Hengki Paliama,pada tanggal 20 April 2017. 65
Wawancara dengan Bpk.Pieter Dirks,pada tanggal 22 April 2017. 66
Atas ketidaktahuan dan pemahaman yang keliru tentang makna dan
nilai Tunjuitam ini, maka menimbulkan tindakan yang berbeda terhadap
tradisi Tunjuitam, baik itu pemaknaannya maupun cara/proses pelaksanaan
Tunjuitam. Di bawah ini akan dipaparkan informasi dari beberapa informan
yang mewakili generasi tua dan generasi muda.
Oleh empat orang informan yang telah berusia di atas 50 tahun,
menyatakan bahwa:
“Tunjuitam, itu syukur atas masa berkabung/kedukaan tujuh hari. Mulai dihitung ketika seseorang putus nafas (meninggal). Dolo orang totua seng bikin Tunjuitam seperti orang-orang sakarang yang mati di
hari Kamis, hari Minggu dong bikin Tunjuitam. Seharusnya, tunggu
setelah tujuh hari itu, baru akang pung hari Minggu, Tunjuitam
dilakukan di Gereja.”67
Lebih lanjut ditambahkan bahwa :
“Tunjuitam seng bisa dilakukan bersamaan dengan hari pemakaman
jenazah. Itu bukan Tunjuitam, dan itu salah memahami tradisi
Tunjuitam. Sehingga, kalau orang mengatakan bahwa bikin Tunjuitam di saat bersamaan dengan hari pemakaman jenazah untuk menghemat waktu dan anggaran, maka itu sebuah pemahaman yang salah. Orang totua seng ajar seperti itu, keluarga/kerabat pun seng keberatan untuk
datang kembali dan bikin Tunjuitam bukan untuk makan
besar-besar.”68
Tunjuitam dulu dilakukan di Gereja, tetapi setelah selesai ibadah,
jemaat kembali ke tempat masing-masing, Tunjuitam (doa syukur)
dilakukan oleh pendeta bersama keluarga. Kelanjutan di rumah, hanya
kumpul keluarga dan makan bersama.69
Pelaksaanaan Tunjuitam sekarang mau menunjukkan siapa mampu
dan siapa tidak mampu. Yang merasa mampu pasti tidak
membutuhkan keluarga lain, bahkan dalam pelaksanaan Tunjuitam
hanya mengundang keluarga dekat. Hal seperti ini yang membuat keluarga yang berkekurangan secara material pun enggan untuk
membentuk keakraban keluarga/tetangga.70
67
Wawancara dengan Bpk. Stefanus Joseph (Warga asli Galala yang bermukim di desa Hative Kecil), pada tanggal 24 April 2017 dan Ibu Marla Joseph, pada tanggal 24 April 2017.
68
Wawancara dengan Bpk. Pieter Dirks,pada tanggal 22 April 201. 69
Wawancara dengan Ibu. Abigail Latuheru,pada tanggal 01 April 2017 dan Bpk.Frans Samu-Samu,pada tanggal 01 April 2017.
70
Sedangkan tiga informan mewakili generasi sekarang, yang berusia di
bawah 50 tahun, menyatakan bahwa:
“Kalau pelaksanaan Tunjuitam harus menunggu masa tujuh hari setelah kematian seseorang, maka itu waktu yang terlalu lama. Jika
keluarga yang berduka siap untuk melakukan Tunjuitam sebagai
syukur mereka, kenapa harus menunggu sampai lewat tujuh hari? Sebab, ada keluarga/orang basudara yang datang dari perantauan dan harus segera kembali”.71
Hidup sekarang tidak bisa disamakan dengan kehidupan di
zaman orang totua/ leluhur, ke hutan ada makanan kebun, ke laut
masih ada banyak ikan. Sekarang, semua musti dibeli. Dari mana kita,
membiayaai pelaksanaan Tunjuitam, kalau harus menyediakan
makanan untuk keluarga besar?. Yang penting, kita tidak melupakan
orang basudara.72
“Ada keluarga yang melakukan Tunjuitam dari uang-uang amplop pemberian para pelayat saat persitiwa kematian. Sehingga, wujud syukur itu mau dinampakkan dengan berbagi kepada sesama, walau hanya dengan jamuan berupa snack.”73
Terhadap pendapat-pendapat ini, lebih lanjut dipaparkan bahwa
akhir-akhir ini pelaksanaan Tunjuitam untuk masing-masing keluarga tidak sama, ada
keluarga yang melakukannya setelah ibadah pemakaman jenazah dengan alasan
mempersempit waktu karena ada keluarga/adik-kakak yang mesti kembali ke
Jakarta, dsb. Tetapi, kemudian menimbulkan pertentangan dengan orang tua-tua.
Pelayan gereja (MJ-GATIK) ditantang oleh beberapa orang tua karena
Tunjuitam ini melibatkan kami pelayan dalam akta (doa) syukur keluarga.
Akhirnya, kami Majelis Jemaat bersepakatan untuk tidak melakukan pelayanan
atas Tunjuitam keluarga pada satu point penting, yakni, tidak dilakukan
bersamaan dengan hari pemakaman atau Tunjuitam dilaksanakan setelah proses
pemakaman jenazah. Hal ini kami lakukan sebab, Tunjuitam kehilangan makna
dan nilai bagi anak-cucu generasi sekarang di GATIK. Sehingga, menurut
seorang pelayan gereja, bahwa:
71
Wawancara dengan Bpk. Joky Pesulima (Majelis Jemaat GATIK dan Generasi Muda Galala), pada tanggal, 01 Mei 2017.
72
Wawancara dengan Bpk. Josias Muriany (Raja Hative Kecil), tanggal, 06 Mei 2017. 73
“Kita bukan mempersoalkan waktu bagi pelaksanaan Tunjuitam. Kalau di
zaman orang totua/leluhur, Tunjuitam dilaksanakn setelah tujuh hari
kematian seseorang dan generasi sekarang melakukannya berbeda dengan
tradisi pelaksanaan orang totua/leluhur maka ada alasannya, yang penting
adalah nilai-nilai yang ada dalam Tunjuitam itu yang harus dipratekkan,
karena dari segi hubungan orang basudara, Tunjuitam memperat tali kasih
antar orang basudara itu. Ini nilai yang luhur.”74
Informasi-informasi ini mau menyatakan bahwa orang di GATIK yang
hingga sekarang masih melakukan Tunjuitam belumlah memahami Tunjuitam
dengan baik, dari pengertiannya maupun proses pelaksanaaannya. Bagi orang
tua yang berusia 50 tahun ke atas masih memiliki gambaran tentang Tunjuitam
sedangkan bagi generasi penerus dibawah 50 tahun, Tunjuitam tidak lagi
dipahami dengan baik. Hal ini nampak dari beberapa peristiwa yang belakangan
ini terjadi di GATIK, tentang proses pelaksanaan Tunjuitam itu sendiri sehingga
ada polimik antara generasi tua dan generasi sekarang. Tunjuitam mungkin tetap
dilaksanakan sebagai suatu penghormatan untuk menjalankan tradisi orang
totua/leluhur tetapi tanpa disadari bahwa nilai dan makna Tunjuitam telah
hilang, selain karena perkembangan modernisasi yang diakibatkan kurangnya
pemahaman orang GATIK tentang pentingnya tradisi Tunjuitam itu sendiri,
faktor ekonomi dan sikap individualistik yang semakin tinggi.
1.3 Tunjuitam Dalam Solidaritas Sosial dan Prespektif Pastoral Kedukaan
Untuk mendalami makna Tunjuitam sebagai budaya yang menggenerasi
dan dipelihara sebagai solidaritas sosial, maka berikut ini akan dipaparkan
Tunjuitam dalam solidaritas sosial dan prespektif kedukaan di GATIK serta di
fungsikan juga sebagai pastoral pada masa kedukaan.
Sekalipun Tunjuitam merupakan konsensus nilai budaya yang berfungsi
untuk menjaga keutuhan “kekerabatan keluarga”, namun, di sisi lain Tunjuitam
memiliki nilai solidaritas sosial atas sebuah peristiwa kematian yang
menimbulkan reaksi kedukaan. Semua orang di GATIK memahami bahwa
Tunjuitam dilaksanakan ketika ada kematian. Sehingga, bukan hal yang baru
74
bagi orang di GATIK kalau saat beribadah di hari minggu, satu dari tiga gedung
Gereja akan penuh dengan keluarga yang melaksanakan Tunjuitam. Itu berarti
bahwa ada kepeduliaan dan pendampingan yang ditunjukkan melalui proses
belajar dari kultur yang diwujudkan lewat solidaritas dengan keluarga yang
berduka dan proses syukur mereka bersama komunitas jemaat. Namun,
pertanyaanya, apakah ketika orang GATIK melakukan Tunjuitam, maka
individu/keluarga yang berduka bisa menyelesaikan masa-masa kedukaan dan
menjalani hidup dengan normal? Semua informan menyatakan tidak, tetapi
bukan berarti bahwa Tunjuitam tidak bisa dipakai untuk memberi penguatan
bagi individu/ keluarga yang berduka.
Oleh dua orang informan kunci yang juga merupakan mantan Majelis
Jemaat GPM GATIK, mengatakan pengamatan mereka terhadap beberapa kasus
kedukaan yang mereka alami, tetapi juga berdasarkan pengamatan mereka lewat
peristiwa yang terjadi di daerah TPU, sebab kedua informan ini bertempat
tinggal di dekat daerah TPU, sebagai berikut:
“Semua orang asli Galala-Hative Kecil dan pendatang yang sudah lama
berdomensili dan memahami tentang Tunjuitam pasti melakukannya, entah
dengan cara yang paling sederhana ataupun mewah. Tetapi untuk menerima kenyataan sebuah kematian, belum bisa dengan cepat. Contoh ibu ML (adik perempuan informan),yang anaknya ditembak waktu tragedi kemanusiaan 1999 di jemaat ini, dalam yang lama, masih bersedih, melamun, mengalami depresi yang tinggi, menjadikan kubur anaknya seperti rumah di waktu siang dan malam dengan cara tidur di kuburan
anaknya.75
Lebih lanjut juga ditambahkan bahwa:
Tidak dengan cepat, seseorang menerima sebuah kematian, apalagi kematian yang tiba-tiba. Mungkin saat keluarga kumpul, mereka terhibur tapi ketika rumah kembali sepi tanpa kehadiran sanak keluarga pasti perasaan kehilangan itu muncul. Ada yang sering datang menangis di kubur, besok datang lagi, duduk sendiri-sendiri di kubur sampai malam. Ada yang enggan keluar dan bersosialisasi dengan tetangga, menutupi diri, tidak mau kumpul-kumpul padahal dalam keseharian sebelum megalami
kedukaan tidak seperti itu.76
Hal ini menyatakan bahwa kematian tetap menyisahkan kesedihan dan
kedukaan yang mendalam, walaupun secara tradisi sebuah pengucapan syukur
(Tunjuitam) telah dilakukan tetapi untuk dengan cepat mengatasi dan keluar dari
sebuah kondisi kedukaan membutuhkan waktu dan berbeda antar individu yang
satu dengan yang lain, sebagaimana diungkapkan oleh dua orang yang pernah
mengalami kedukaan akibat kematian orang-orang yang dikasihi:
Saya dulu selalu marah, kenapa harus anak saya? Dia masih muda, masih punya masa depan dan dia yang diharapkan untuk melihat adik-adiknya. Kecelakaan itu menggambil dia begitu cepat. “Seandainya...saat itu, beta seng memintanya untuk menggambil kiriman dari saudara beta, mungkin kecelakaan itu seng akan dia alami. Sekarang, setaon berlalu, tetapi ketika melihat teman-teman almarhum di gereja atau berpapasan dengan mereka, beta menangis”77
Saya pernah kehilangan mama saat kelas 3 SMA dan dua tahun yang lalu harus kehilangan papa. Kepergian mama di saat saya masih sekolah membuat saya kehilangan sosok seorang pendengar. Akhirnya, saya memilih tinggal di rumah selama satu tahun baru melanjutkan ke perguruan tinggi. Ketika, saya kehilangan papa, jujur saya marah. Kenapa papa cepat pergi...saya belum punya kerja. Tetapi akhirnya, saya menyadari kalau papa masih ada, mungkin saya belum memikirkan apa-apa untuk masa depan saya. Saya bersyukur bisa lebih kuat dan memahami
bahwa hidup mesti jalan terus walau tanpa papa dan mama.78
Oleh pelayan gereja di GATIK, menyatakan pengalamannya lewat
peristiwa kedukaan, bahwa ada beberapa kasus di jemaat ini, yang kemudian
harus kami bantu dengan cara alami, mendampingi dan memberikan nasihat
serta doa, dan intens waktu seorang dengan yang lain sangat berbeda. Mis: Ibu
CJ dan Ibu. MT, satu tahun baru mereka keluar dari masa kedukaan mereka
sebab, kematian suami yang adalah tulang punggung keluarga dengan tiba-tiba,
sementara kedua ibu ini tidak memiliki pekerjaan, ini merupakan suatu kondisi
hidup yang berat. Hal ini menimbulkan banyak reaksi yang muncul akibat
kematian, misalnya suka menyendiri, melamun, hilang harapan, sulit menerima
77Wawancara dengan Ibu SP, seorang yang pernah mengalami kehilangan Anak perempuan di
bulan Januari 2017, pada tanggal 8 Mei 2017.
kenyataan, enggan berkumpul dengan teman-teman, cepat marah kepada
anak-anak.79
Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa, Tunjuitam memiliki hubungan
dengan tindakan-tindakan pastoral, misalnya: ada keluarga yang datang,
menemani, memberikan kata-kata penguatan dan penghiburan, seperti “Merry....jangan sedih, apa yang Tuhan buat untuk anakmu itu baik, kalau dia hidup, dia akan menderita dengan sakit. Satu keluarga datang, menemani dan berkata: ...”kamu tidak sendirian saudara terkasih, ada Tuhan, ada kita semua untukmu...” jika, sepuluh keluarga datang menemani dan memberi nasihat yang menguatan, maka secara langsung individu/keluarga mendapat kekuatan yang
luar biasa.80 Tunjuitam memberi ruang bagi siapa saja untuk datang entah
keluarga/ kerabat/ tetangga, guna bersama dengan individu/keluarga duka dan
kehadiran mereka secara fisik maupun dengan membawa material seadanya
membantu meringankan beban duka.
Terhadap berbagai tindakan konseling dan pendampingan pastoral yang
dilakukan, diakui bahwa semua pelayan (Pendeta, Penatua dan Diaken), belum
tentu paham dengan baik tugas konseling dan pendampingan. Yang mungkin
bisa dilakukan adalah proses pendampingan, walaupun hanya sebatas doa,
memberikan nasihat. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan pelayan,
kesadaran/loyalitas dari pelayan dan kekuatan para pelayan dengan jumlah KK
yang ada.81
Soal melayani, mengunjungi dan menemani keluarga dalam duka bukan
sesuatu sulit untuk dilakukan oleh pelayan gereja. Mereka selalu ada dalam suka
dan duka jemaat, bahkan dalam kematian justru peran mendampingi mereka
sangat besar.82 Hal ini pun direspon baik oleh Ketua Majelis Jemaat GPM
GATIK83 bahwa, pelayan selalu ada dari awal kematian sampai jenazah
79Wawancara dengan Pdt. Ny. Joice Saimima, pada tanggal 05 Mei 2015. 80Wawancara dengan Pdt. Ny. Joice Saimima/N, pada tanggal 05 Mei 2017. 81Wawancara dengan Pdt.Ny.Joice. Saimima/N, pada tanggal 05 Mei 2017. 82Wawancara dengan Bpk.Pieter Dirks,pada tanggal 22 April 2017.