• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752011041 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752011041 BAB III"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERGESERAN GELAR KEBANGSAWANAN

DI SUMBA TIMUR

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Lokasi dan Lingkup Alam

Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten di pulau Sumba dari tiga kabupaten lainnya (Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya) yang termasuk di dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Luas Wilayah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2010, 7.000,5 Km2 atau 700.050 Hektare (luas daratan). Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:1

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia

(2)

Gambar 1.

Kabupaten Sumba Timur

Kabupaten Sumba Timur terdiri dari dua puluh dua (22) kecamatan, yakni:

(3)

Seperti umumnya iklim di daerah Nusa Tenggara Timur, iklim di Kabupaten Sumba Timur ditandai oleh musim kemarau yang panjang dari Maret sampai November, angka curah hujan yang tidak menentu di mana curah hujan relatif lebih rendah dari pada musim kemarau serta keadaan tanah yang berbatu karang dan keadaan wilayah yang terjal. Sedangkan temperatur udara pertahunnya antara 26 0 sampai dengan 32 0 Celcius. Berdasarkan data tersebut maka tampaklah daerah tersebut merupakan daerah yang panas dan kering.

2. Penduduk

Mengenai asal-usul orang Sumba, penulis tidak bisa menyimpulkan secara pasti karena penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang hal ini belum dilakukan secara mendalam. Namun dalam pemahaman umum, orang Sumba berasal dariMalaka-Tana Bara, Napa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua Njawa, Ruhuku-Mbali, Ndima-Makaharu, Endi -Ambarai, Enda-Ndua, Haba-Rai

(4)

!

Kelompok-kelompok itu kemudian dikenal sebagai kabihu-kabihu3 utama yang kemudian melahirkan sub-sub kabihu. Setiap paraingu4 mempunyai kabihu

utama. Paraingu mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Sumba. Dimana, di sanalah mereka berdiam, dan di sanalah adat-isitiadat, ritus atau ritual keagamaan diselenggarakan. Kegiatan social, ekonomi, politik (pemerintahan), keagamaan dan kebudayaan berpusat di dalam paraingu. Paraingu merupakan salah satu bentuk ikatan persekutuan masyarakat Sumba.5 Berdasarkan hal diatas penduduk asli Sumba berasal dari cerita-cerita yang nampak dalam lagu atau baitan-baitan yang dipelihara dari cerita mulut kemulut tanpa ada satu dokumen atau bukti ilmiah yang diuji dalam tataran empiris atau ilmu pasti.

Dari data statistik yang diperoleh dari Kantor Statistik Kabupaten Sumba Timur, jumlah penduduk kabupaten Sumba Timur adalah 231.393 jiwa,6 dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 119.079 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 112.314 jiwa. Dari data tersebut dilihat dari jenis kelamin, tidak seimbang karena dalam 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki.

Penduduk Sumba Timur terdiri dari berbagai etnis, yakni Sumba, Sabu, Jawa, Flores, Timor, Alor, China, Bali, dan etnis lainnya. Etnis Sumba adalah Etnis yang mendominasi, sedangkan yang menempati urutan kedua adalah etnis Sabu. Pada umumnya masyarakat Sumba Timur memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peternak. Masih adanya penduduk yang hidup dari ladang atau

(5)

kebun yang berpindah-pindah dan juga beternak. Tercatat sebanyak 60.955 jiwa yang menggeluti kedua pekerjaan utama ini. Yang menguasai perdagangan adalah etnis China, Sumba Barat Daya, Sabu dan Jawa. Namun dalam hal kedudukan dalam pemerintahan, etnis Sumba lebih mendominasi dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini bukan berarti etnis lain tidak mendapat kedudukan, etnis Sabu, Jawa, dan etnis lainya juga mendapatkan tempat dalam pemerintahan. Banyaknya PNS menurut Dinas/ Instansi Pemerintah di Sumba Timur/ 2010, berjumlah 3.426 jiwa, ini belum termasuk 2.239 guru didalamnya.

3. Stratifikasi Sosial di Sumba Timur

Masyarakat Sumba Timur mengenal stratifikasi social dalam bentuk kasta. Untuk itu ada baiknya kita melihat terbentuknya gelar-gelar dalam kasta tersebut. Dalam panggung sejarah, masyarakat Sumba Timur terbagi dalam empat (4) golongan atau stratifikasi social. Golongan-golongan tersebut yaitu: ratu (imam), maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka)dan ata (hamba).

Namun tidak ada bukti empiris yang menjelaskan kemunculan stata ini, karena dari beberapa document yang sudah ada, hanya menjelaskan penentuan dan pembagian dalam kabihu sudah ditetapkan sejak dahulu kala bersama-sama dengan kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing dalam masyarakat.7

Sekarang pada umumnya masyarakat Sumba hanya mengenal tiga (3) golongan.8 Golongan pertama, maramba (bangsawan) terdiri dari dua kelompok,

. # ,

& 3 " # $" 1 #* & % % & # # % % " # # "

# # # 4 # ) ') " * * %) * $ 3

(6)

yaitu maramba bokulu (bangsawan besar/tinggi) dan maramba kudu (bangsawan kecil/biasa). Disebut bangsawan besar karena ditentukan oleh asal-usulnya, yaitu keturunan murni bangsawan. Dikatakan murni karena bangsawan memelihara keaslian darahnya dengan menikahi sesama bangsawan besar. Biasanya mereka menjaga hubungan darah dengan memberdayakan sistem pernikahan anak tuya.9

Mereka juga memelihara keaslian darah dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan antar golongan mereka dengan memberlakukan pernikahan antar kampung pemberi perempuan dan kampung yang menerima perempuan.

Mereka inilah yang memimpin dan menjadi raja. Sedangkan maramba kudu, dibagi lagi kedalam dua kelompok, maramba mandamu dan maramba kalawihi (anak hamba). Maramba mandamu adalah bangsawan yang dihasilkan karena adanya perkawinan laki-laki bangsawan besar dengan golongan kabihu

(orang merdeka), sedangkan maramba kalawihi ini adalah hasil perkawinan anak laki-laki bangsawan besar dengan golongan ata (hamba). Bangsawan mandamu

(7)

Golongan bangsawan ini memakai gelar tertentu di depan namanya. Seorang laki-laki memakai gelar Umbu atau Tamu Umbu dan perempuan bergelar

Rambu atau Tamu Rambu. Umbu Nai dan Rambu Nai juga sering menjadi nama bangsawan. Maramba ini adalah pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat.

Adapun istilah yang menggambarkan keberadaan bangsawan ini, Ina Mangu Tana, Ama mangu luku (Ibu yang mempunyai tanah, Bapak yang mempunyai Sungai). Mereka ini adalah orang yang mampu mengayomi baik secara fisik maupun fisik.12 Para bangsawan ini memiliki tugas, tanggung jawab, dan kewajiban untuk melindungi dan memberi kesejahteraan terhadap warga kampungnya. Hal ini karena pada zaman dahulu terjadi perang dimana-mana, maka siapa yang mampu memberikan perlidungan, siapa yang mampu berkuasa dan kuat merekalah yang menjadi maramba. Mereka menguasai segala aspek kehidupan masyarakat pada saat itu. Entah ekonomi, hukum dan sebagainya.

Raja Pau Oemboe Ngikoe mengatakan,

butuh tenaga yang cukup ekstra untuk menjadi raja, karena harus sanggup menjadi tempat pelarian dan memberikan jalan keluar bagi semua masalah yang dialami oleh rakyat sekitar, menjadi tempat perlindungan, menggauli, merangkul dan sebagainya.

Dalam urusan domestic dan ritual adat pernikahan atau kematian, perlakuan kepada mereka pun berbeda. Misalnya, dalam hal menyuguhan gelas,

. 3 4 & 5#* & 6 ! & & 8 $

(8)

,

piring dan sendok. Mereka juga mempunyai hamba yang terus ada mengikuti mereka.

Golongan kedua adalah golongan kabihu (orang merdeka). Golongan ini

dibagi kedalam dua (2) kelompok, yaitu kabihu bakulu (orang merdeka besar) dan

kabihu kudu (orang merdeka kecil). Mereka ini berada di bawah raja, namun mereka, Kabihu bakulu dapat bertindak untuk turut membantu raja dalam mengambil keputusan. Bisa dikatakan mereka adalah rekan kerja raja namun tidak berada dibawah kekuasaan raja.

Kelompok orang merdeka besar dapat bertindak dalam hal-hal tertentu sebagai penasihat golongan bangsawan. Mereka bertindak sebagai pemimpin perang (makaborang) dalam suatu peperangan. Oleh karena itu mereka diberi gelar penopang negeri dan pengampu padang(tulaku paraingu-lindiku marada).13

Keberadaan status kabihu saat bekerjasama dengan raja, nampak dalam setiap paraingu yang ada di Sumba Timur. Setiap paraingu, pasti mempunyai empat (4) kabihu besar yang membantu raja. Misalnya, dalam kampung Pau14,

kabihu Ana mandua (sebutan kabihu raja) didukung oleh 4 pilar besar kabihu pendukung, yakni: Katorak-Raurara-Polamidu-Watubara, dalam kampung

(9)

-Lambanapu17, dengan 4 kabihu pendukung: Honda-Anakaku-Anakariung-Luku tana, mereka ahli pikir raja.18 Dan berbagai kampung lainnya. Mereka juga punya hamba, namun pengaruh mereka dalam masyarakat kurang. Adapun kelompok mereka yang kaya adapula yang miskin.

Golongan ketiga adalah ata. Ata ini juga terbagai kedalam dua (2)

kelompok. Ata ndai (hamba pusaka) dan ata bidi (hamba baru). Hamba pusaka diyakini sebagai golongan yang sudah bersama dengan tuannya sejak nenek moyang orang Sumba datang ke Sumba. Di Sumba mereka mengambil hamba lagi dari penduduk yang telah berada di Sumba. Kelompok semua hamba ini disebut

ata bokulu (hamba besar). Kedudukan mereka sangat istimewa. Mereka menjadi jurubicara, bendahara, pengawal kepercayaan tuannya, bahkan tuannya memberikan sejumlah ternak untuk dipeliharanya. Oleh karena itu, mereka dihormati oleh masyarakat seperti menghormati tuannya. Sering kali mereka lebih kaya dibandingkan orang merdeka besar. Sedangkan ata bidi, adalah hamba baru yang tidak termasuk anggota rumah raja atau bangsawan. Kelompok hamba ini disebut ata kudu (hamba kecil). Mereka menjadi hamba karena dibeli disebut ata pakei (hamba belian) dan menjadi hamba karena menjadi tawanan dalam peperangan. Biasa disebut ata payappa (hamba tawanan). Mereka ini hanya memiliki nilai ekonomis bagi tuannya, karena mereka menggarap ladang dan sawah serta menjaga dan memelihara ternak tuannya. Di samping itu terdapat pula

ata ngandi (hamba bawaan). Hamba ini adalah hamba yang diberikan oleh orang tua perempuan atau laki-laki kepada anak mereka ketika mereka menikah. Ata

) $ ) $ # " * & & & ) % & 1 #* 2 #

(10)

ngandi ini pada umumnya berasal dari golongan hamba pusaka.19 Hidup, mati, dan perkawinan mereka diatur oleh maramba.20

Hubungan antar ketiga struktur sosial diatas awalnya terjalin dengan baik. Raja tempat berlindung, mengatur segala kehidupan politik, ekonomi hukum, yang juga dibantu oleh orang merdeka sebagai penasehat yang membantu bangsawan. Segala keputusan pun demi kepentingan bersama. Mereka hidup dalam satu paraingu, ada juga yang di luar paraingu, namun tetap terikat dalam satu hubungan kekeluargaan yang mengikat mereka dalam kampung mereka. Misalnya orang merdeka ada yang bertempat tinggal di luar kampung, namun mereka sering dipanggil oleh bangsawan untuk berembuk tetang masalah yang mereka hadapi bersama. Orang merdeka ini berada di luar kekuasaan raja, misalnya hendak menikah, makan dan berbagai kebutuhan jasmani lainnya. Orang merdeka sering meminta bantuan kepada bangsawan untuk mendapatkan perlindungan dan berbagai masalah lainnya. Demikian pun hubungan dengan bangsawan dan hamba. Hamba ini dalam sejarah, sangat dekat dengan raja. Terkadang dalam sebutan bangsawan dalam hal ini nama atau panggilan bangsawan, menggunakan nama hambanya. Misalnya Umbu Nai Djaka. Umbu atau tuan dari hambanya yang bernama Djaka. Ketika tuannya meninggal pun, hambanya diberikan mandat untuk menunggangi kuda sang tuan, dengan segala perhiasan yang dipakai oleh tuannya dikenakan kepada hambanya. Ini membuktikan bahwa hubungan antar tuan, orang merdeka, dan hamba ini baik. Walaupun kalau mau dilihat, berbagai aktivitas hamba dibatasi oleh tuannya, misalnya ketika hendak menikah, bersekolah dan berbagai hal lainnya.

. # #

!

(11)

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, hamba ini dibebaskan. Namun hamba pusaka ini menjadi anggota keluarga bangsawan. Mereka disebut ana lakuru umu (anak dalam rumah). Adapula mereka yang bebas karena lari dari tuannya dan hidup terpisah dari tuannya.21

B. Kenyataan Sosial tentang perubahan Gelar Kebangsawanan

Perbedaan status dalam kurun sejarah yang cukup lama berkembang menyebabkan gelar tersebut dipelihara dalam tatanan kehidupan masyarakat Sumba Timur. Itulah mengapa status atau gelar kebangsawanan terus dibawa-bawa sampai pada urusan social-politik sebagai element-element penting yang terus bersinggungan dengan budaya masyarakat Sumba Timur.

Sebagian orang Sumba masih terjebak dalam romantisme sejarah. Bapak Gidion Mbilijora menyebutnya kebanggan masa lalu.22 Sebagai pemimpin nomor satu di Sumba Timur, beliau juga menyaksikan perubahan akan gelar tersebut. Hal yang sama juga yang dikatakan oleh bapak Pdt Elias Rawambani, Umbu Manggana, Umbu Hamakonda, Umbu Makambombu, Oemboe Ngikoe, Yohanys A. Praing, Chris Praing, Key Informan dan lain-lain. Mereka mengatakan banyak fenomena social yang terjadi di Sumba Timur akan pergeseran gelar kebangsawanan ini.

Pdt Elias Rawambani,23 mengatakan gelar kebangsawanan ini sudah banyak yang dikaburkan dalam artian tidak lagi asli. Beliau mengatakan bahwa sejak zaman pemerintahan Belanda sebenarnya sudah terjadi pengkaburan, di mana Hindia Belanda mengangkat raja-raja untuk menguasai wilayah disekitar mereka.

. 3 4 & & 8 $ 0 3 #* & 6 !

. 3 4 & 1 #* 2 # & % * (% & - 6 !

(12)

Menurutnya, ada raja yang diangkat juga bukan merupakan keturunan asli leluhur Sumba. Untuk melihat keaslian gelar kebangsawanan tersebut, harus dilihat dari garis keturunan marapu.24 Garis ketutunan marapu akan diketahui dengan meilhat

pahomba. Pahomba adalah kuburan leluhur di mana dari situlah akan terlihat jelas wilayah kekuasaan leluhurnya yang merupakan asalnya.

Beliau juga berpendapat bahwa, keaslian gelar tersebut berubah, ketika keturunan bangsawan itu punah. Entah karena tidak memiliki keturunan sehingga orang dalam rumah yang tidak memiliki hubungan darah dengannya mewarisi kekayaan. Dan dengan sendirinya menggunakan nama atau gelar tuannya. Hal inilah yang terjadi dibeberapa daerah. Selain itu tidak ada dokumen yang pasti yang menjelaskan tentang keaslian gelar ini. Selain itu juga karena budaya Sumba yang hanya dibicarakan dari mulut kemulut dan keasilian gelar sudah tidak tampak karena terjadi kawin campur di mana-mana.

Gelar dalam nama menurut orang Sumba, sebenarnya menjelaskan siapa dirinya. Misalnya Umbu untuk laki-laki yang diikuti dengan nama selanjutnya, menjelaskan nama leluhur pendahulu yang digunakannya.25 Misalnya Tamu Umbu Maramba Rihi, itu menjelaskan tamu atau nama yang sama dari Umbu Maramba Rihi,

nenek atau pendahulunya. Begitupun nama Umbu Nai Djaka, menjelaskan tuan dari

Djaka. Djaka disini adalah nama hambanya. Begitupun nama Rambu untuk perempuan. Umbu dan Rambu, dahulu juga digunakan untuk menyapa orang asing, orang yang tidak mereka kenal yang menghampiri tempat mereka. Misalnya nggi welingmu rambu/umbu? (dari mana rambu/umbu?).

,

) " # # ( & 1 #*

(13)

Bapak Pdt Elias Rawambani, mengatakan bahkan sekarang banyak orang yang over dalam menamai kebangsawanannya dengan memanggil mirri (tuhan atau tuan).

Ada juga yang sebenarnya maramba tidak lagi menggunakan gelar ini dalam nama aslinya. Sekarang terlihat jelas bahwa nama ini sudah tidak hanya dipakai oleh bangsawan, orang Sumba bukan maramba, orang luar Sumba pun terlihat menggunakan sebutan ini. Jadi sekarang makna nama umbu dan rambu lebih banyak dimaknai sebagai sapaan, nama yang memberikan identitas mereka sebagai orang Sumba atau pernah ke Sumba dan bukan hanya golongan bangsawan yang boleh menggunakan.

Hal ini juga dipertegas oleh key informan yang mengatakan, kita tidak bisa memberikan contoh secara ekstrim karena ini merupakan hal yang sensitif. Namun tidak bisa dipungkiri ketika seseorang mendapat kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, memiliki kekayaan yang banyak, orang cenderung lupa atau bahkan mengaburkan identitas status sosial. Nama sebagai gelar kebangsawanan juga tidak lagi memiliki nilai kultus seperti dahulu karena tidak ada sangsi adat yang akan dikenakan sehingga orang dengan bebas menggunakannya.26

Bapak Gidion Mbilijora, mengatakan hal ini karena kebanggaan masa lalu akan status sosial tersebut tidak lagi berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba Timur. Walaupun masih ada daerah Selatan, Timur dan bagian Tengah, Sumba Timur masih terlihat penggunaan gelar ini. Namun daerah perkotaan sudah tidak jelas lagi dan mengalami perubahan.27

. 3 4 & 6 !

(14)

,!

Dalam hal pembedaan penyuguhan makanan dan minuman, lewat peralatan makan dan minum saat perkawinan dan kematian sudah lebih berbeda. Apabila undangan adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi misalnya pemerintah, dosen, pendeta yang kemudian diperlakukan sama seperti bangsawan dalam ritual atau upacara tersebut. Diperlakukan sama karena adanya penghargaan terhadap tamu. Walaupun ada beberapa kasus, dimana ada pembedaan dalam ritual kematian dan pernikahan. Misalnya kepada sopir, diberikan peralatan makan dan minum yang kecil, sementara bosnya diberikan yang besar layaknya bangsawan. Hal ini dikarenakan

mindset orang Sumba, masih terkungkung dalam budaya lama, di mana yang memiliki pekerjaan bagus itu layaknya maramba dan yang sopir biasanya di bawah maramba. Pemikiran yang terpolakan seperti itu mempengaruhi mereka dalam menerima tamu. Namun secara keseluruhan, sudah banyak pergeseran dalam hal penyuguhan peralatan makan dan minum ini. Bapak Umbu Manggana mengatakan sekarang cara penyuguhan makan sudah lebih modern. Terlepas dari beberapa contoh yang dialami di kampung tertentu di mana upacara adat dilakukan.

Hal di atas dapat dipertegas dengan adanya beberapa kasus yang sering terjadi di Sumba Timur. Walaupun tidak bisa dipredikisi berapa kali kasus yang sama, yang terjadi disetiap tahunnya. Namun penulis berhasil menguak informasi untuk mendapatkan data yang valid untuk keperluan peneliti. Diantaranya:

1. Kasus Pertama

(15)

,

memiliki jabatan penting dalam pemerintahan dengan golongan 4a dan ibunya seorang guru dengan golongan 3a. Dilihat dari gaji perbulan yang diperoleh dan asset peninggalan nenek moyang lainnya, bisa dikategorikan kaya. RN dan DB, sebelumnya bertemu di SLTA, dan kemudian hubungan mereka barulah resmi pacaran saat kuliah. RN, berkuliah di Semarang dan DB di Bandung. Ketika menikah tidak ada kendala yang hadir karena sang suami DB, sudah memiliki jabatan yang strategis di pemerintahan, belum lagi ditambah dengan kedudukan bapaknya yang juga pejabat pemerintahan. Saat diadakan wawancara RN mengatakan, 28

“status atau gelar itu ditentukan dari mampunya saya menghidupi keluarga, anak dan saudara-saudara dari kampung suami, bapak, atau mama saya maupun mertua saya. Suami saya dari golongan mana juga tidak masalah. Sekarang sudah tidak jaman lagi, nona. Yang penting suami kerja bagus, orang tua mana juga setuju. Sekarang banyak koq yang seperti itu. Saya punya banyak hewan, yang mampu mengangkat nama saya ketika saya memotong hewan dalam upacara-upacara adat seperti kematian. Saya tetap Rambu dan anak-anak saya pun tetap saya menggunakan gelar tersebut. Orang-orang sekitar juga memanggil saya mama Rambu. Suami saya juga bapa Umbu. Apalagi orang-orang dari kampung, pasti juga panggil Rambu Kecil karena mama saya Rambu besar jadi saya dipanggil Rambu Kecil.”

(16)

,

2. Kasus kedua

Nara sumber yang kedua berinisial ME. ME, berasal dari golongan bawah. Beliau berada disalah satu daerah dekat kota. Sejak 20 tahun yang lalu, beliau memilik profesi sebagai pengembala hewan. Awalnya beliau hanya memiliki 1 ekor kerbau, dan 2 ekor kambing. Salah satu orang Sumba Barat Daya dari kota memintanya mengurus hewan peliharaan mereka. 4 ekor saspi, 3 jantan 1 betina. 3 ekor kuda. Selanjutnya orang China, bahkan beberapa orang dari kota meminta bantuannya untuk memelihara hewan mereka. Dengan pertimbangan di kota, peraturannya ketat. Selain itu pula karena kurangnya tempat untuk memelihara hewan-hewan tersebut di kawasan tempat tinggal para pemiliknya. Mereka memiliki perjanjian setiap hewan tersebut beranak, 2-3 ekor anak hewan diberikan kepada ME, apabila hewan yang lahir 7 ekor lebih. Dengan jangka waktu 20 tahun kita bisa bayangkan berapa jumlah hewannya. Bahkan mampu membeli 1 bemo (kendaraan umum yang mengangkut penumpang). Ketika diadakan wawancara beliau mengatakan,29

“saya memang berasal dari golongan bawah. Sebenarnya saya juga tidak terlalu tahu tentang tuan atau bangsawan yang harus dilayani oleh saya. Karena bapak dan mama saya dahulu sudah tidak tinggal di kampung asal. Mereka berkebun, tanam ubi, pelihara ayam, babi sendiri. Saat bapa meninggal saya yang ambil alih ini hewan dan tanah.” Orang kampung sekitar sering datang pinjam uang, pinjam hewan untuk mereka gunakan. Untuk menikah atau kematian. Saya juga sering diundang. Kalau undang orang Sumba itukan pasti minta bawah hewan.

(17)

,

Nona bisa lihat sendiri juga banyak juga orang di rumah saya. Banyak orang yang ikut saya juga. Mereka yang dari kampung kadang panggil saya Umbu bos.

3. Kasus ketiga

Seorang bapak berinisial AP. AP memiliki kedudukan yang strategis di pemerintahan Sumba Timur. Beliau dari golongan kabihu. Saat wawancara beliau mengatakan:

“Sekarang ini kita hidup di jaman yang sudah maju. Mau mendapatkan ini, mau mendapatkan itu, harus punya uang. Dahulu, tidak semua dibatasi, mau ini mau itu semua ditentukan oleh bangsawan. Sekarang saya sudah sekolah, sudah menikah, sudah bisa membiayai keluarga, punya anak, punya cucu, untuk apa lagi gelar-gelar tersebut. Orang sekarang, bebas mau buat apa saja. Mungkin karena saya orang yang moderat sehingga saya tidak memusingkan hal-hal gelar dulu-dulu. Karena saya juga layak mendapatkan penghargaan yang pantas. Saya berjuang sendiri, cari kerja sendiri, jadi kalau saya tidak begitu saya dianggap sebelah mata dan saya tidak dihargai. Karna itu kalau bukan saya yang merubah nasib saya, anak-anak saya dan keturuanan saya siapa lagi yang mau bantu ubah kita punya nasib? “30

!

(18)

,,

4. Kasus keempat

Beberapa penginjil, pendeta atau pemuka agama di Sumba Timur itu berasal dari golongan bawah. Saat bertugas atau melayani daerah pedesaan atau perkampungan mereka begitu dihargai oleh semua orang dari berbagai kalangan. Mereka juga banyak didengar dan tempat pelarian warga masyarakat ketika mendapat masalah. Saat diadakan wawancara ada bebarapa hasil menarik dari kasus ini. Hal ini penulis hanya mengangkat satu nama, dari Bapak Umbu Makambombu dari kampung Rindi. Beliau mengatakan,31

“Saya pikir mereka itu bisa dikatakan juga maramba.

Walaupun kita tau banyak mereka dari golongan bawah. Tetapi mereka yang lebih tahu tentang Alkitab dan agama. Mereka bisa disamakan dengan ratu (pemimpin ibadat terhadap marapu). Karena dahulu yang mengurusi tata ibadah, hubungan dengan tuhan itu mereka. Sekarang kita sudah Kristen, saya pikir mereka juga bisa disamakan dengan gelar itu. Masyarakat juga hormat terhadap bekerjaan mereka.”

Beberapa bangsawan yang diwawancarai, mengakui adanya realita tersebut. Salah satunya Bapak Umbu Manggana,32

beliau mengatakan sekarang memang realitanya seperti itu. Tetapi tetap saja orang akan membicarakan mereka. Orang akan mengusuk nama, asalnya, dan asal kampungnya. Dalam urusan adat pun, tetap bangsawan yang memiliki peran. Apalagi dalam kampung besar. Kalau

. 3 4 & 6 !

(19)

,-mau dibilang seperti cap pada hewan yang kita bisa tau status dan gelar culturalnya. Walaupun pada akhirnya beliau mengatakan, mungkin kalau diamati berapa tahun kedepan gelar ini akan hilang.

Bapak Yohanys A. Praing33 mengatakan, banyak yang menerima ketika masyarakat dalam golongan tertentu dianggap dari strata sosial tertentu “bangsawan” karena memiliki ekonomi yang bagus, kedudukan tertentu dalam politik dan sebagainya, tetapi tetap saja ada yang mencibir.

Adapula bangsawan yang mengatakan,34

“kita harus terima sudah kenyataan zaman. Biarpun dulu, leluhur dan nenek saya yang memerintah. Sekarang siapa yang memerintah kita, entah atasan kita yang bukan bangsawan, mau bilang apa lagi. Kerja kita disitu sudah.”

Hasil wawancara memperlihatkan bahwa sekarang ada pergeseran status sosial tentang gelar kebangsawanan tersebut, khususnya ketika orang membawa konsep kebangsawanan dari ranah kultural ke ranah politik dan social-kemasyarakatan. Itulah mengapa Bapak Chris Praing, mengatakan ada tiga (3) Umbu dalam kehidupan bermasyarakat di Sumba Timur saat ini. Pertama, Umbu Kultural adalah umbu yang memang asli karena darah leluhurnya, kedua Umbu Politik adalah sebutan umbu karena pencapaiannya dalam perpolitikan di Sumba Timur, dan ketiga Umbu Ekonomi

adalah sebutan umbu karena memiliki kekayaan yang banyak.35

. 3 4 & 6 !

,

. 3 4 & 6 !

(20)

,

C. Faktor – Faktor Yang Menyebabkan Pergeseran Gelar Kebangsawanan

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran status gelar kebangsawanan ini, yang didapatkan oleh penulis saat meneliti di lapangan, yakni:

1. Pemerintah

Pemerintah mengambil alih kekuasaan daerah Sumba Timur, dengan sendirinya mempengaruhi kekuasaan para bangsawan. Bagaimana tidak, untuk berkuasa dan memimpin daerah Sumba Timur, harus dilihat dalam kecakapannya menguasai ilmu pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang terstruktur dari pemerintah pusat.

Key Informan mengatakan, pemerintah Negara Indonesia menyiapkan sarana prasarana lewat pembangunan lembaga-lembaga pemerintahan di mana-mana, dan untuk terlibat dan masuk di dalamnya bukan karena kita punya golongan darah khusus yang diprioritaskan, tetapi karena kita memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai dunia perpolitikan dalam pemerintah dengan ketentuan yang diberikan oleh pemerintah setempat.

2. Fungsional Struktur

Key Informan, bapak Umbu Manggana, Pdt Elias Rawambani dan berbagai nara sumber lainnya mengatakan, di Sumba Timur saat ini para hamba, banyak yang lari dari tuannya.

(21)

, 3. Pendidikan

Dalam penelitian banyak nara sumber yang meletakkan faktor pendidikan sebagai penyebab perubahan. Bapak Yohanys Agung Praing, mengatakan pendidikan mengubah mindset seseorang menjadi pragmatis.36

Umbu Makambombu, juga memberikan penekanan terhadap faktor ini. Beliau mengatakan kebanyak orang sekarang, ketika memiliki pendidikan yang tinggi dan mendapat kedudukan yang layak dalam pemerintahan, dosen, pendeta dan sebagainya dengan sendirinya penghargaan dan pandangan orang akan berbeda terhadap pencapaian tersebut. Itulah mengapa ketika ada pendeta, dosen, pejabat menghadiri suatu upacara adat kematian, pernikahan, mereka disuguhkan peralatan yang sama dengan maramba. Penghargaan terhadap mereka akan keberadaan mereka. 37

Bapak Chris Praing, juga berbicara tentang faktor ini, menurutnya,

suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, memang itu sebuah realita. Tantangannya bagi golongan yang darahnya dianggap bagus “bangsawan” yang kita yakni bahwa itu yang ditakdirkan untuk mendapatkan perlakuan khusus, yah harus sekolah yang tinggi, masyarakat bisa menduduki tempat-tempat yang tinggi dengan persyaratan-persayatan formal yang ditentukan. Bagaimana caranya kasih sekolah tinggi, kasih keterampilan yang cukup. Justru sekarang orang sekolah semakin pintar, orang semakin mengetahui apa yang sebenarnya. Kan orang sekolah ini supaya ia punya logika berpikir, punya pemahaman

. 3 4 & <%) "$ 6 & 6 !

(22)

,

yang sistematis, kritis, dengan begini yah semangat jaman sudah berubah dan peryaratan formal yang lebih mendominasi. Ini saya kira mempegaruhi perubahan ini.

4. Ekonomi

Nampak dalam perkataan Bapak Chris Praing, yang kelihatan sangat menekankan faktor ini. Beliau mengatakan, ketika seseorang memiliki kekayaan yang banyak, entah hewan, mobil dan asset lainnya, dengan sendirinya banyak yang mengkuiti mereka. Sekarang istilahnya tidak ada orang kaya yang mengikuti orang miskin, yang ada orang miskin yang mengikuti orang kaya, dan di Sumba itu sekarang sedang berlaku. Dengan demikian ketika seseorang memiliki pencapaian ekonomi dengan sendirinya banyak orang mengikutinya. 38

Key Informan juga mengatakan,

ekonomi mengubah pola pikir masyarakat. Yang diangap mampu yang berkuasa. Orang yang punya ekonomi bagus yah dihargai layaknya pembesar pada jaman sebelumnya. Tidak layak juga kalau kita memberikan contoh yang bagus karena ini sangat sensitif.39

(23)

, 5. Globalisasi

Bapak Yohanys A. Praing mengatakan, orang Sumba dengan bebasnya menerawang wilayah kehidupan dunia luar dan menilai ini yang baik, ini yang tidak relevan lagi. Dengan memiliki barang-barang canggih atau dunia persaingan saat ini dilihat dari siapa yang mampu memiliki barang-barang tersebut. 40

6. Agama.

Bapak Pdt Elias Rawambani mengatakan, perubahan ini juga terjadi karena masuknya agama Kristen, Katolik, dan Islam dari luar. Masuknya agama-agama ini tentunya membawa perubahan dalam masyarakat yang memiliki nilai-nilai magic dalam budaya menjadi kepercayaan yang diakui dalam agama-agama yang akui di Indonesia. Budaya setempat sering diartikan kafir dan tidak benar. Ini menjadi tolak ukur masyarakat Sumba Timur tentang budayanya.

,!

(24)

-!

Gambar 2.

Gambar-Gambar saat Wawancara

- Bersama Bupati Sumba Timur: - Bersama kabihu PraingLambanapu: Bapak Gidion Mbilijora Bapak Yohanys Agung Praing

(25)

-Gambar 3.

Gambar-Gambar Saat Wawancara

- Dari Praing Rindi Umalulu - Bersama Bapak Chris Praing Bapak Umbu Makambombu

- Raja Pau, Menjabat Anggota DPRD - Bapak Pdt Elias Rawambani Bapak Oemboe Ngikoe

Gambar

Gambar 1.
Gambar-Gambar saat Wawancara
Gambar-Gambar Saat Wawancara

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu diluar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena kekeliruan pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat

Kondisi kualitas asset BPRS XYZ berada dalam kondisi sehat pada tahun 2006, 2008, dan 2009.yang berarti bank memiliki aktiva produktif dengan tingkat pengembalian yang sangat

Dari hasil wawancara diketahui bahwa pegawai pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Keerom memang sangat mengharapkan lingkungan kerjanya menjadi jauh lebih

Epidemi yang hebat terjadi apabila : (1) Terdapat pertanaman yang seragam secara genetik dalam areal yang luas ; (2) Adanya patogen yang virulen pada beberapa tempat

Sistem informasi stok darah dan agenda donor darah ini dapat memberikan kemudahan kepada Keluarga Donor Darah (KDD) atau intansi dalam melakukan proses kerjasama

Hasil Uji t atau Uji Parsial – Kepuasan Nasabah Coefficients a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Artinya, bahwa variabel kualitas pelayanan

Dengan demikian, kajian terhadap nilai-nilai lingkungan hidup dalam naskah-naskah kuna (klasik) Bali ini paling tidak dibekali oleh adanya beberapa konsep, antara lain :

Harga kartu untuk internetan yang cukup bersaing dengan produk lain.. Harga paket