• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752010008 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752010008 BAB III"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PROSES PENERIMAAN PANCASILA DAN

ALASAN PENERIMAAN PARA PENDIRI NEGARA TERHADAP PANCASILA

A. Substansi Pembicaraan dalam Sidang-sidang BPUPKI

Pada dua kali masa persidangan paripurna dari Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu berturut-turut: pertama, pada

tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945; dan kedua, pada tanggal 10 Juli – 17 Juli 1945 telah

diperbincangkan secara substansial a.l. tentang (1) Dasar Negara, (2) Wilayah Negara,

serta (3) Rancangan Undang-undang Dasar.1 Sedangkan pada masa persidangan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlangsung dari tanggal 18-22 Agustus

1945 telah dilakukan pembahasan substansial a.l. tentang (1) Proklamasi Kemerdekaan

17 Agustus, (2) Pengesahan Pembukaan UUD, (3) Susunan Pemerintahan, serta (4)

Pengesahan Batang Tubuh UUD.2

Badan Penyelidik mulai mengadakan persidangan untuk merumuskan

Undang-undang Dasar yang dimulai dengan persoalan dasar untuk mendirikan suatu negara

merdeka. Ketua Badan Penyelidik ini ialah dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat yang

diangkat pada tanggal 29 April 1945. Pada kata pembukaannya, ketua meminta

pandangan para anggota mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Ada empat orang

1

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati (eds.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 7-386.

2Ibid

(2)

yang memenuhi permintaan Ketua, yaitu Mr. Muh. Yamin,3 Ki Bagoes Hadikoesoemo,4 Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.

Rapat persidangan pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu

pada pidato Ir. Soekarno. Pidato ini disambut hampir semua anggota dengan

tepuk-tangan yang riuh. Tepuk tepuk-tangan yang riuh itu dianggap sebagai suatu persetujuan.5

Ir. Soekarno berkesempatan mengucapkan pidatonya yang kemudian dikenal

dengan nama “Lahirnya Pancasila.” Soekarno memberikan pandangan atau usul

mengenai dasar Indonesia Merdeka, yakni Pancasila. Kemudian diperasnya lagi, jika

tidak ada yang setuju dengan angka lima, menjadi Trisila. Lalu diperasnya kembali,

jika hanya permintaan untuk satu asas, menjadi Ekasila. Lima asas yang dikemukakan

oleh Soekarno sebagai berikut:

 Kebangsaan Indonesia,

 Internasionalisme atau peri-kemanusiaan,

 Mufakat atau demokrasi,

 Kesejahteraan Sosial, dan

 Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian diperas menjadi Trisila:

 Kebangsaan Indonesia,

 Internasionalisme atau peri-kemanusiaan,

 Mufakat atau demokrasi,

 Kesejahteraan Sosial, dan

 Ketuhanan

3Menurut para editor tersebut di atas, naskah pidato ini tidak ditemukan baik dalam “Koleksi Mr. M. Yamin” maupun “Koleksi Pringgodigdo” yang tersimpan di Arsip Nasional. Ibid., 11-2.

4

Menurut para editor tersebut di atas, naskah pidato ini tidak ditemukan baik dalam buku Mr. Muh. Yamin yang terbit pada tahun 1959 maupun dalam berkas arsip yang diterima dari Negeri Belanda dan yang ditemukan dalam perpustakaan Puri Mangkunegaraan Solo. Risalah ini diterima Sekretariat Negara dari Arsip keluarga Ki Bagoes Hadikosoemo yang diserahkan oleh putra beliau, Kolonel (L) Basmal Hadikoesoemo. Ibid., 33-48.

5

Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan (Sebuah Otobiografi)

(Jakarta: Buku Kompas, Januari 2011), 66.

Sosio-nasionalisme

Sosio-demokrasi

(3)

Kemudian diperas lagi menjadi satu:

 G o t o n g – r o y o n g. 6

Pidato ini sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua Radjiman: Negara Indonesia

Merdeka yang akan kita bentuk, apa dasarnya?7 Pada awal pidatonya, Soekarno terlebih

dahulu mencoba memberikan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud oleh ketua

Radjiman yaitu:

“Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu

diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua Yang Mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Yang Mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “P h i l o s o f i s c h e g r o n d s l a g” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”8

Kemudian mulailah Soekarno memaparkan pandangannya tentang dasar-dasar

negara Indonesia Merdeka. Menurut Soekarno, dasar pertama yang baik dijadikan dasar

buat negara Indonesia ialah dasar Kebangsaan– Negara Kebangsaan Indonesia. Istilah

bangsa sangat erat kaitannya dengan kehendak akan bersatu, yang timbul karena

persatuan nasib, persatuan antara orang (masyarakat) dan tempat (Tanah Air). Dalam

hal ini Soekarno langsung menegaskan bahwa istilah kebangsaan bukanlah dalam arti

sempit. Kebangsaan yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia, yang sebagai cetakan

alam terkumpul di sana, di khatulistiwa sebagai satu kesatuan. Sumatera, Jawa atau

Sunda, atau Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Maluku, dan lain-lain (pulau-pulau

kecil).

6

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Ibid.

7

Panitia Lima: Moh. Hatta, A. Subardjo Dj., A.A. Maramis, dkk., Uraian Pancasila (Jakarta: Mutiara, 1980), 29.

8

(4)

Soekarno menggunakan dalil-dalil teori Geo-Politik untuk menjelaskan makna

persatuan orang dan tempat.9 Selain itu, Soekarno menambahkan makna bangsa ini

sendiri bukan makna individualistik dalam keberadaan Indonesia di tengah-tengah

negara-negara lainnya, bukan juga chauvinisme yang meremehkan bangsa lain dan

menjunjung diri sendiri sebagai yang terbagus dan termulia. Oleh karena itu, bukan saja

harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi juga harus menuju kepada

kekeluargaan bangsa-bangsa.10

Dasar kedua ialah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Dasar ini sangat

berkaitan erat sebagai pernyataan bangsa Indonesia yang turut menuju kepada

kekeluargaan bangsa-bangsa.

“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar

di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip pertama dan prinsip kedua, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.”11

Dasar yang ketiga ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar

permusyawaratan. Pada dasar inilah muncul salah satu semboyan Soekarno yang

terkenal: “satu buat semua, semua buat satu”. Beliau menegaskan bahwa Negara

Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan

walaupun golongan kaya, karena kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan,

perwakilan. Dasar ketiga ini juga sekaligus, menurut Soekarno, sebagai solusi untuk

keberadaan masyarakat mayoritas (Islam) yang ikut andil dalam perjalanan sejarah

sebuah bangsa, di mana orang bukan Islam pun ikut ambil bagian di dalamnya.

9Ibid

., 94. Lih. juga Panitia Lima, Uraian ....

10Ibid

., 97.

11Ibid

(5)

“Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang perlu kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jika memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, ..., marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, ..., agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum-hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah utusan orang Islam, pemuka-pemuka

Islam, ulama-ulama Islam.”12

Melalui cara mufakat dalam pemusyawaratan ini Soekarno mengharapkan tidak

adanya permasalahan agama. Soekarno menekankan bahwa prinsip ketiga ini ialah

tempat yang terbaik untuk memelihara agama, terkhusus pihak Islam. Bahkan,

Soekarno sendiri ingin membela Islam dalam permusyawaratan.

“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk

memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf

beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna, - tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam

Badan Perwakilan Rakyat.”13

Kemudian Soekarno juga menjelaskan perjuangan orang

Kristen:

“Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di

dalam peraturan-peraturan Negara Indonesia harus menurut

12

Ibid., 98.

13Ibid

(6)

Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan

Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, – fair play! Tidak ada

satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya.”14

Dasar yang keempat ialah Kesejahteraan. Inilah permusyawaratan yang

memberi hidup, yakni demokrasi politik ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan

sosial. Ini juga yang ada dalam pembicaraan di sidang tentang Ratu-Adil yang

mempunyai paham bahwa rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan-kurang

pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan

Ratu-Adil, harus ada persamaan artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.15

Dasar yang kelima ialah Ketuhanan. Sukarno menegaskan bahwa hendaknya

Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya

dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,

yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, yang

hormat-menghormati satu sama lain.

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,

tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan

hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan.”16

Soekarno lebih dari dua kali menggunakan kata “hendaknya” daripada kata

“harus” dan “wajib”. Apakah di sini Soekarno memberi tempat kepada setiap warga

14Ibid

., 99.

15Ibid

., 100.

16Ibid

(7)

negara yang belum ber-Tuhan supaya ber-Tuhan, atau lebih lanjut memberi kesan

belum semua orang Indonesia ber-Tuhan. Di sini mengandung arti bahwa keyakinan

untuk sampai kepada (adanya) Tuhan tidak dapat dipaksakan. Dengan demikian apabila

selanjutnya tetap belum sampai untuk mengakui adanya Tuhan, dan kemudian tentu

tidak mempunyai salah satu agama/keyakinan, Negara Indonesia harus tetap melindungi

mereka sebagai warga negara yang sah, sejajar dengan warga NKRI yang lain. Bahkan

di sisi lain, bisa jadi yang dimaksudkan memberi kebebasan warganya bukan hanya

sekadar bebas untuk memeluk agama/keyakinannya, melainkan bebas juga untuk

ber-Tuhan dan tidak ber-ber-Tuhan.17

Pernyataan Soekarno atas prinsip Ke-Tuhanan ini menggambarkan begitu

besarnya harapan pendiri bangsa meletakkan prinsip ini sebagai salah satu asas atas

berdirinya Indonesia Merdeka. Sebagian besar para pendiri bangsa pada masa

persidangan pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni) mengajukan Ke-Tuhanan sebagai dasar

yang penting. Pernyataan pentingnya nilai Ke-Tuhanan ini sebagai dasar kenegaraan

a.l. dikemukakan oleh Muh. Yamin, Wiranatakoesoema, Soesantotirtoprodjo, Dasaad,

Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagoes

Hadikoesoemo, Soekarno, Moh. Hatta, dan Soepomo.18

1. Pembentukan Panitia Kecil

Selama persidangan berlangsung itu tidak menghasilkan suatu kesimpulan atau

perumusan, para angota hanya mendengarkan pemandangan umum dari

pembicara-pembicara yang mengemukakan usul-usul rumusan dasar negara bagi Indonesia

17

Saksono, Pancasila ..., 66..

18

(8)

Merdeka. Setelah persidangan pertama itu selesai, diadakan reses selama satu bulan

lebih.

Badan penyelidik membentuk suatu panitia kecil di bawah pimpinan Ir.

Soekarno dengan anggotanya Drs. Moh. Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid

Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Muh. Yamin, dan Mr. A.A.

Maramis sebelum memasuki masa reses.19 Tugas panitia kecil ini menampung

saran-saran, usul-usul dan konsepsi-konsepsi para anggota, yang oleh Ketua Radjiman telah

diminta untuk diserahkan melalui sekretariat. Pada rapat pertama tanggal 10 Juli 1945

setelah masa reses, Ketua Radjiman meminta panitia kecil untuk melaporkan

tugas-tugasnya.20

Ir. Sukarno melaporkan bahwa panitia kecil pada tanggal 22 Juni mengambil

prakarsa untuk mengadakan pertemuan dengan anggota-anggota BPUPKI yang pada

saat itu ada di Jakarta untuk menghadiri sidang Dewan Penasihat Pusat (DPP / Tyuuoo

Sang-In) dan anggota BPUPKI lainnya yang bukan anggota DPP, di mana semua

berjumlah 38 orang, di gedung kantor Jawa Hookoo Kai. Pertemuan ini diduga oleh

Bahar sebagai pertemuan yang tidak termasuk acara sidang BPUPKI. Motif pertemuan

ini ialah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat antara Ki Bagus Hadikusumo yang

mengusulkan negara Islam dengan Prof. Supomo yang menginginkan negara nasional.21

Dalam pertemuan itu dibentuk juga sebuah panitia kecil lain yang berjumlah 9

orang, yakni Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis

(golongan Kebangsaan), K.H. Abdul Kahar Moezakir, K.H. Wachid Hasyim, Abikusno

19Ibid

.

20

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 109. Dalam catatan harian Moh. Hatta, pengangkatan panitia kecil ini juga untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno. Oleh karena itu, ada perubahan tata letak urutan konsep Pancasila. Lih. Hatta, Untuk .... Op.cit.

21Ibid

(9)

Tjokrosoejoso, dan Haji Agoes Salim (golongan Islam). Mereka dikenal dengan

sebutan “Panitia Sembilan”. Tugas panitia ini ialah menyusun rumusan dasar negara

berdasarkan pandangan-pandangan umum para anggota. Mereka menghasilkan suatu

rumusan kolektif yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara

Indonesia merdeka, satu modus, satu persetujuan antara golongan Islam dan

Kebangsaan. Mr. Muh. Yamin menyebutkan rumusan kolektif itu dengan nama

“Piagam Jakarta”/Jakarta Charter.22

Rumusan kolektif itu mencerminkan usaha kompromi antara golongan Islam dan

Kebangsaan: “Maka oleh karena itu, Panitia Kecil Penyelidik usul-usul berkeyakinan

bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran

yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritzu Zyunbi Tyookasai”.23 Ujung

kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar negara

berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila yang berbunyi sebagai berikut:

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk -pemeluknya;

2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.24

Perpindahan urutan sila-sila Pancasila ini merupakan keberatan golongan Islam

dengan peletakan prinsip Ke-Tuhanan pada sila terakhir. Hal ini dilakukan karena

mereka memandang urutan itu dalam skala prioritas. Menurut pengakuan Soekarno

22

Latif, Negara…, 23.

23

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 117.

24 Ibid

(10)

sendiri dikatakan bahwa ia tidak memandang susunan urutan sila-sila Pancasila sebagai

suatu yang prinsipil.25

Dalam rapat ini Preambule hampir dimufakati oleh para anggota rapat.

Perdebatannya hanya mengacu kepada bentuk negara yang juga ada di dalam preambule

itu, yakni “Republik” Indonesia. Perdebatan dimulai dari Wongsonagoro hingga

diambil keputusan oleh Ketua Radjiman, bahwa bentuk negara Indonesia merdeka

adalah Republik.26

“Dalam pada itu, Paduka Tuan Ketua, bilamana kami menerima

dan membaca usul panitia itu, janganlah diartikan bahwa kita dapat menyetujui 100%, sebab ada sebuah perkataan di

dalamnya yang menurut keyakinan, barangkali dapat

bertentangan dengan perasaan rakyat, yaitu perkataan

republik”.27

2. Pembentukan Panitia Perancang Undang-undang Dasar

Pada tanggal 11 Juli, Ketua Radjiman membentuk tiga kelompok panitia: (1)

panitia perancang hukum dasar,28 (2) panitia perancang keuangan,29 (3) panitia

perancang pembelaan tanah air.30 Untuk membahas isi preambule dan disepakati

25

Soekarno, Pantja-Sila Sebagai Dasar Negara, Jilid IV-V (Jakarta: Kementrian Penerangan RI, 1958), 3.

26

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 148.

27Ibid

., 124.

28

Anggotanya yaitu: A.A. Maramis, Oto Iskandar, Poeroebojo, A. Salim, Soebardjo, Soepomo, Ny. Maria Ulfah Santoso, Wachid Hasjim, Parada Harahap, Latuharhary, Soesanto, Sartono, Wongsonagoro, Woerjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Hoesein Djajadiningrat, Soekiman, Soekarno. Kepanitiaan ini diketuai oleh Soekarno. Lih. Yudi Latif, Negara…, 27.

29

Anggotanya yaitu: Soerachman, Margono, Soetardjo, Sanoesi, Rooseno, Soerjo Amidjojo, Dewantara, Koesoema Atmadja, Dassaad, Oei Tjong Haum, Asikin, Dahler, Besar, Yamin, Baswedan, Hadikoesoemo, Sastromoeljono, Abd. Fatah Hasan, Mansoer, Oei Tiang Tjoe, Wiranatakoesoeman, Soewandi. Kepanitiaan ini diketuai oleh Moh. Hatta. Lih. Ibid.

30

(11)

dengan mengambil dari Piagam Jakarta.31 Melalui kepanitiaan Perancang Hukum Dasar ini dibentuklah Panitia Kecil perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Supomo (atas

usul Wongsonagoro) dengan anggota-anggotanya Mr. Wongsonagoro, Mr. Ahmad

Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan dr. Soekiman.32

Penunjukkan Soepomo mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum karena ia

adalah seorang sarjana yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas

Leiden dalam bidang hukum pada 1927, dan merupakan orang kedua yang mendapat

gelar profesor pada zaman Hindia Belanda (1942). Ia memiliki pengalaman keterlibatan

dalam komisi ketatanegaraan yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk

menanggapi aspirasi kalangan pergerakan yang meminta agar Indonesia berparlemen.33

Ada tiga pokok perdebatan yang timbul, yaitu: (1) Di dalam Republik apakah

menjadi unitarisme atau federalisme? ; (2) Keberatan dengan prinsip tentang “

Ke-Tuhanan”; (3) Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia (HAM). Tiga pokok perdebatan

ini akan penulis jelaskan sebagai berikut:

Pertama, dengan tidak melalui perdebatan yang sengit, keputusan dilakukan

dengan pemungutan suara atas usul Singgih dan hasilnya ialah Negara Indonesia

Merdeka mufakat untuk Unitarisme.

“Latuharhary: Saya mempertahankan Bondstaat, tetapi

berhubung dengan keadaan sekarang ini sudah tentu soal Bondstaat tidak dapat diselidiki dan tidak dapat dipandang dengan seluas-luasnya, bukan saja oleh kita yang duduk dalam Badan Penyelidik, tetapi oleh rakyat seluruhnya. Saya berpendapat bahwa soal unitarisme atau bondsaat adalah hak rakyat untuk menetapkannya. Jadi, saya meminta supaya dalam

31

Marwati Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, edisi keempat, 1993), 72.

32

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 245.

33

(12)

hukum dasar diadakan satu formule bahwa sesudah aman kembali di tanah air kita, supaya soal ini dimajukan lagi.

Ketua Soekarno: kalau sudah aman, semua akan dibicarakan lagi. Siapa mufakat dengan unitarisme, saya minta berdiri. (Kecuali dua anggota yang tinggal duduk, sekalian anggota berdiri)”. 34

Kedua, keberatan ini diajukan oleh Latuharhary, karena hal ini merupakan

benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan

menimbulkan perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan.

Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama

Islam dalam menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat.

“anggota Latuharhary: saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang: “Ke-Tuhanan”.

Anggota Latuharhary: Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apa pun juga yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Umpamanya dalam hal ini”… yang mewajibkan syariat Islam pada pemeluk-pemeluknya, yaitu bagiamana mewajibkan untuk menjalankannya? Salah satu anggota mengatakan pada saya bahwa terhadap pada adat-istiadat di Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islam harus

meninggalkan adat-istiadatnya.”35

Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim

yang menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu

berlaku pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang

sudah menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut;

“anggota Salim: Orang Minangkabau bukan Islam sejak sekarang, malah orang Minangkabau dapat nama paling Islamnya di Indonesia ini. Berhubung dengan adat Minangkabau dan pertikaian atau sasaran adat Minangkabau dengan hukum

34

Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 238..

35Ibid

(13)

Islam bukanlah masalah baru. Hal itu tidak dapat dijalankan dengan paksaan cuma saja percaya bahwa perubahan aliran adat pada kita pihak Islam kepada Syariat Islam, adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh kekuasaan pemerintah, sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan tegas pertikaian di Minangkabau sudah selesai, bisa ditentukan di mana dasar hukum adat dan di mana dasar hukum agama. Jadi, itu satu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan

sebagaimana disangkakan.”36

Wonsonagoro mengusulkan: “Seandainya tidak diubah tetapi ditambah bagi

pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing”;

Djajadiningrat mengusulkan: “Apakah ini tidak bisa menimbulkan fanatisme, misalnya

memaksa sembahyang, memaksa shalat, dan lain-lain.; dan Wachid Hasjim memberi

solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada wadah perwakilan rakyat untuk

menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan untuk tidak lagi memperpanjang

perdebatan tersebut.

“Anggota Wachid Hasjim: “Ini semuanya tergantung kepada jalannya dan oleh karena kita sudah berkali-kali menegaskan di antara kita semua bahwa susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian paksaan, soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan. Dalam hal ini saya perlu memberikan keterangan sedikit. Seperi kemarin telah dikatakan oleh anggota Sanoesi, kalimat ini baginya kurang tajam. Saya sudah mengemukakan ini hasil kompromis yang kita peroleh, dan jika dijadikan lebih tajam, bisa menimbulkan kesukaran.

Kita tidak usah khawatir dan saya rasa bagi kita masih banyak daya upaya untuk menjaga jangan sampai kejadian hal-hal yang kita khawatirkan, malah saya yakin tidak akan terjadi apa yang dikhawatirkan. Saya sebagai orang yang banyak sedikitnya mempunyai perhubungan dengan masyarakat Islam dapat mengatakan bahwa jika ada badan perwalian kejadian itu tidak akan terjadi. Saya kemukakan ini supaya soal ini tidak akan menjadi pembicaraan panjang lebar, hingga menimbulkan macam-macam kekhawatiran yang sebenarnya tidak dirasa.

36Ibid.,

(14)

Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi, dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”37

Perdebatan ditutup oleh Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu

adalah hasil kompromis antara dua golongan dan menegaskan kembali bahwa

kompromi itu telah diterima oleh Panitia: “Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan,

saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini”.38

Ketiga, beberapa anggota mengikuti pola “Declaration of Rights” yang ada di

luar negeri. Pengalaman terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa dalam pelbagai

gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme memberi pembelajaran dan kepekaan

bagi pembebasan umat manusia, mendasarkan negara pada hukum atas dasar pengakuan

akan kemerdekaan manusia. Kesadaran akan pentingnya internasionalisme sebagai

wahana saling belajar dan saling membantu dalam kebaikan serta luasnya wawasan

internasionalisme para pendiri bangsa tampak pada penyusunan rancangan UUD yang

disusun pada semasa persidangan kedua BPUPKI.

Internasionalisasi diakomodasi dalam bentuk usaha mewujudkan kedaulatan

negara dalam pergaulan internasional serta kedaulatan rakyat dengan menjunjung tinggi

HAM.39 Perhatian pada isu HAM ini dikaitkan dengan konsepsi “negara kesatuan”. Soepomo dalam hal ini berpendapat bahwa jangan sekali-kali menyandarkan diri pada

37Ibid

., 240-1.

38Ibid

., 241

39

(15)

perseorangan, tetapi pada aliran kekeluargaan, sehingga tidak perlu lagi adanya

Declaration of Rights.40

Pada tanggal 13 Juli kembali dicuatkan tentang kompromis antara golongan

kebangsaan dan golongan Islam pada rapat Panitia Perancang Undang-undang. Wachid

Hasjim memberikan dua usul, sebagai berikut:

a. buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara

pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, diusulkan pasal

4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata: “yang beragama

Islam”. Jika presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.

b. Diusulkan supaya pasal 29 diubah, sehingga bunyinya

kira-kira: “agama negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dsb. Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nayawa hanya boleh

diserahkan buat ideologi agama.41

Usulan ini dimentahkan kembali oleh Salim dengan mengatakan: “dengan ini

kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi; apakah hal ini tidak

dapat diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika presiden harus orang

Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta, dsb. Apakah artinya janji

kita untuk melindungi agama lain?”42

Soekiman mengajukan pendapatnya dengan

mengatakan setuju dengan pendapat Hasjim. Ia berpendapat bahwa itu akan

memuaskan rakyat dan pada hakikatnya tidak berakibat apa-apa ketika dipraktekkan.

Namun, Djajadiningrat menangkis dihadirkannya kalimat tersebut karena

sebenarnya dalam praktiknya sudah tentu yang menjadi presiden ialah yang beragama

40

Pernyataan ini persetujuan Soepomo terhadap usul Soekarno tentang suasana kekeluargaan (in de damkring van kekeluargaan).

41Ibid

., 247.

42Ibid.

(16)

Islam. Oleh karena itu, lebih baik dihapuskan saja pasal 4 ayat 2, dan ia juga sempat

menanyakan apakah hal tersebut sungguh-sungguh tidak terjadi apa-apa jikalau kalimat

itu diberlakukan. Usulnya ini disetujui oleh Oto Iskandardinata dan Wongsonagoro.43

Panitia ini berhasil merancang undang-undang dasar dan kemudian Ketua Radjiman

membentuk Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Hoessein Djajadiningrat, Agus

Salim, dan Supomo untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan

undang-undang dasar yang telah dibahas.44

Setelah itu, persidangan dilanjutkan pada tanggal 14 Juli untuk menerima

laporan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno.

Panitia Perancang melaporkan tiga hasil rapat, yaitu berturut-turut: Pernyataan

Indonesia Merdeka, Pembukaan undang Dasar, dan Batang Tubuh

Undang-undang Dasar. Dalam persidangan ini terjadi perdebatan awal yang diangkat oleh

Hadikoesoemo dengan juga mengusung usul Kiai Sanusi yang a.l mengatakan, bahwa

perkataan dengan kewajiban umat Allah swt, “bagi pemeluk-pemeluknya”, tidak ada

haknya dalam kata Arab, tidak ada artinya, dan justru menambah janggalnya

kata-kata yang, bahkan menjurus kepada pemecahan bangsa Indonesia sendiri itu supaya

dihilangkan saja.

Hadikoesoemo masih ragu dengan kata-kata tersebut, sebab di Indonesia banyak

perpecahan-perpecahan dan pada praktiknya maksudnya sama saja.45 Namun, respon

ketua panitia, Ir. Soekarno justru menolak hal tersebut a.l dengan alasan, bahwa kalimat

itu seluruhnya berdasar ke-Tuhanan. Itulah hasil kompromis di antara dua pihak, yakni

43 Ibid

., 248. Keputusan yang diambil Ketua Panitia Kecil ialah menerima usulan Oto dan Wongsonagoro yang menyetujui pendapat Djajadiningrat.

44 Ibid

., 249. Lih. juga Nugroho Notosusanto, “Mengamankan Pancasila Dasar Negara”,

Persepsi, I, No. 1, 1979, 12-3; dan lih. juga Muh. Yamin, Naskah Persiapan ..., 250-1.

45Ibid

(17)

pihak Islam dan Kebangsaan. Sebelum ini dipaparkan ke dalam sidang, kalimat

tersebut telah ditinjau sedalam – dalamnya, di mana ada juga anggota-anggota yang

dikenal sebagai pemuka Islam, seperti Wachid Hasjim dan Agus Salim ikut dalam

peninjauan tersebut. Inilah kompromis yang baik. Panitia memegang teguh kompromis

ini yang oleh Yamin diberi nama “DjakartaCharter” atau ungkapan lain dari Soekiman

sebagai gentlemen agreement.

Setelah mendengar penjelasan ketua panitia, Hadikoesoemo di tengah-tengah

diskusi yang diangkat oleh beberapa anggota lainnya mengajukan keberatannya kembali

dengan alasan yang sangat nasionalistik, yaitu alasan “kurang enak” terhadap warga

yang bukan umat Islam, karena ada pengkhususan di salah satu golongan yang

mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni satu untuk umat Islam dan satu untuk

yang bukan Islam di dalam satu negara. Oleh karena itu, anak kalimat “dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu” lebih baik

dihapuskan dan ini diajukannya sampai empat kali dengan cara masih memegang teguh

pendiriannya. Akhirnya, Abikoesno angkat bicara untuk menerangkan maksud Ketua

Panitia a.l., bahwa hasil kompromis itu sudah ada perdamaian di dalamnya.46

“...ialah buah kompromi antara golongan Islam dan golongan

kebangsaan. Kalau tiap-tiap daripada kita harus misalnya membentuk kompromi itu, dan kita dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan Hadikoesoemo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh Paduka Tuan Ketua Panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat. Untuk mengadakan persatuan. Janganlah terlihat perbedaan faham tentang soal ini dari steman.... Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak kepada segenap golongan yang ada dalam Badan ini, sudilah

kiranya kita mengadakan suatu perdamaian.”47

46Ibid

., 264-71.

47Ibid

(18)

Di sisi lain, Hadikoesoemo masih belum merasa jelas dengan perdebatan yang

dia angkat sehingga pada 15 Juli dia tetap mempertanyakan kejelasan makna dan arti

tentang anak kalimat “dengan kewajiban melakukan syari’at Islam bagi pemeluknya”

itu. Ketua Radjiman mengakui penjelasan arti anak kalimat itu sulit sekali dan intinya

tetap kembali kepada penjelasan Abikoesno (yang sampai saat itu belum dipahami

dengan jelas dan terang oleh Hadikoesoemo).48

Kemudian anggota Abd. Pratalykrama kembali mengusulkan tentang presiden

ialah orang indonesia asli yang beragama Islam, yang umurnya tidak kurang dari 40

tahun. Soepomo menanggapi usulan ini dengan mengatakan bahwa untuk usia presiden

tidak perlu dibatasi karena pertimbangan kepandaian, kebijaksanaan, dan luhur budi

bisa dimiliki oleh siapa saja dan tidak terbatas oleh umur, sedangkan mengenai agama

presiden, sudah diatur dalam piagam jakarta yang sekali lagi ditekankan sebagai hasil

kompromis antara golongan Islam dan kebangsaan. Lalu tambahan usulan datang dari

anggota Masjkoer. Ia mengatakan bahwa ada dua pasal yang akan mendatangkan

permasalahan, yaitu pasal 7 yang berbicara soal Presiden beragama Islam dan pasal 28

soal anak kalimat “dengan kewajiban melakukan syari’at Islam bagi pemeluknya”.

Pada, rapat-rapat sebelumnya mengenai Presiden sudah cukup jelas bahwa

Presiden akan disumpah menurut agamanya, artinya orang Indonesia asli beragama apa

saja boleh menjadi presiden. Namun, pada pasal 28 dikatakan bahwa ada kewajiban

menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya. Oleh karena itu, ia berasumsi

bahwa apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik, apakah umumnya golongan

Islam dapat menerimanya. Masjkoer mengusulkan bahwa lebih baik ada salah satu

48Ibid

., 291. Dalam rapat itu Hadikoesoemo menegaskan ketika sidang rapat setuju, dia juga

(19)

pasal yang diubah, seperti pasal 7 diubah menjadi Presiden harus orang Islam, atau pada

pasal 28 diubah kalimat yang sebelumnya menjadi Agama resmi bagi Republik

Indonesia ialah agama Islam.

Paham pada pasal 28 ini lebih ringan karena tidak ditulis harus memikul

kewajiban, tetapi hanya mengakui sebagai halnya mengakui agama-agama lainnya.

Pada sidang itu, akhirnya Ketua Radjiman meminta Soekarno untuk angkat bicara

sebagai Ketua Panitia. Soekarno mengatakan bahwa ketika diadakan pemilihan

presiden, maka mereka (Penyusun Rancangan UUD) berkepercayaan terhadap rakyat

Indonesia kalau yang dipilih adalah orang yang bisa menjalankan pasal 28 tersebut.

Oleh karena itu, Soekarno kembali menekankan alasannya supaya umat Islam yang

mempunyai penduduk 95% berupaya keras di Badan Perwakilan Rakyat. Soekarno

mengajak para pendiri bangsa yang beragama Islam untuk menerima apa yang

dinamakan fair play. Hasil rancangan UUD itu merupakan perdamaian “kita dengan

kita”, yang menghindari perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Itulah

gentle-agreement.49

Namun, melalui penjelasannya tersebut Soekarno melakukan kompromi lagi

dengan usul Masjkoer, yaitu pada pasal 7 tentang Presiden harus bersumpah dan kata

“menurut agamanya” itu dihapus karena ditakutkan dalam penafsirannya jadi berbeda

dengan yang diharapkan Sokearno melalui “jebakan” kalimat pada pasal 28. Akan

tetapi, tiba-tiba anggota Moezakir mengusulkan kompromi (dengan mengatasnamakan

“kami wakil-wakil umat Islam”…”Usul saya disetujui oleh semua ulama di sini”) yang

lain, yaitu supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di

49Ibid

(20)

dalam UUD itu yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja

untuk dicoret sama sekali.

Usulan ini didukung oleh Soekardjo Wirjopranoto yang mengambil alasan dari

pasal 27 yang telah disepakati tentang satu keadilan yang ia percayakan diterima dan

dihormati oleh segenap rakyat, apa pun agamanya, keadilan itu tercantum

seterang-terangnya, seindah-indahnya:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan. Artinya tiap-tiap warga negara mempunyai hak yang sama di dalam penghidupannya yang sudah tentu diperlindungi oleh hukum dan oleh pemerintah. Pendek kata, di dalam Negara Indonesia tidak akan ada kelas-kelas, kelas warga negara. Artinya tidak akan ada warga negara kelas satu, warga negara kelas dua, inilah keadilan. Konsekuensinya daripada keadilan itu ialah, bahwa tiap-tiap putra Indonesia berhak juga untuk menempati kedudukan Presiden Republik Indonesia. Janganlah sebelumnya sudah diadakan suatu pagar, bahwa putera Inodnesia yang bukan beragama Islam, meskipun ia bijaksana, meskipun ia tinggi budinya, meskipun ia pandai, meskipun ia giat, tidak bisa ia akan menduduki kedudukan Presiden Indonesia, hanya oleh karena ia tidak beragama Islam. Ini yang saya khawatirkan, kalau usul Kiai Haji Masjkoer diterima. Saya mengerti, saya menghargai usul atau pikiran Haji Masjkoer, tetapi saya juga harus mempertahankan keadilan yang sudah tentu akan mendapat perlindungan dari agama Islam….”50

Dalam perbincangan ini Ketua Radjiman selalu mengusulkan untuk distem

(dijedah/pending) dulu karena baginya persoalan ini sudah cukup jelas diterangkan oleh

Ketua Panitia Soekarno. Anggota Sanoesi dengan sangat tegas menolak stem tersebut

agar persoalan itu dapat diputuskan kalau tidak menerima usul Masjkoer, berarti

menerima Moezakir dan ia menekankan bahwa persoalan ini bukan persoalan yang

berbau agama. Oleh karena telalu berat Ketua BPUPKI dan Ketua Panitia berpikir,

50Ibid

(21)

maka ia mengusulkan kompromi lainnya lagi yaitu untuk menghapus kata “nya” pada

kata “menurut agamanya”.

Melalui usul Sanoesi ini, Soekarno mengambil keputusan untuk menghapus kata

“nya” saja, sehingga menjadi “menurut agama”. Alasan Sanoesi melakukan ini karena

ia berpendapat bahwa tindakan yang mereka lakukan dalam sidang demi sidang

merupakan pertanggungjawaban yang serius terhadap rakyat. Jangan pernah menerima

usul secara mentah-mentah, harus disusul oleh alasan-alasannya agar dapat bertukar

pikiran terus menerus sampai kepada keadaan yang senyata-nyatanya Indonesia menjadi

satu, negara persatuan baru.51

Kemudian mengenai usul Moezakir, Soekarno menyatakan bahwa panitia tidak

mufakat dengan usulnya. Lalu Moezakir meminta hal itu untuk dipertimbangkan sekali

lagi. Hadikoesoemo angkat bicara dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa Islam

mengandung ideologi, maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Begitu banyak

ideologi Islam masuk dalam Perancangan UUD, seperti tentang pembelaan, tentang hal

ekonominya, dan segala-galanya. Artinya, ia menyetujui usul Moezakir, jikalau

ideologi Islam tidak diterima lebih baik memang tidak menerimanya. Hal ini

menegaskan bahwa negara ini tidak berdiri di atas agama dan negara akan netral. Hasil

ini akan menjadi terang, tidak lagi seperti yang selalu dikatakan oleh Soekarno tentang

hasil kompromis. Hendaknya untuk keadilan dan kewajiban seperti ini tidak ada

kompromis.52

Perdebatan tentang anak kalimat yang berdampak pada batang tubuh UUD ini

ditangguhkan sementara oleh Soekarno. Ia melakukan perundingan kompromis terhadap

51Ibid

., 375.

52Ibid

(22)

beberapa pemuka kebangsaan dan pemuka pihak Islam. Kemudian pada sidang pada 16

Juli, Soekarno meminta untuk pengorbanan besar dari pihak kebangsaan untuk

menerima “keyakinan” yang telah ditetapkan karena itu merupakan bagian dari proses

sulit dari suatu bangsa:

“Sebelum terbentuk sesuatu Undang-undang Dasar daripada

sesuatu rakyat, selalu didahului oleh kesukaran-kesukaran yang amat hebat, kesukaran-kesukaran, pertikaian dan perselisihan pendapat, tetapi akhirnya jikalau sesuatu bangsa cukup kekuatan batinnya untuk mengatasi segala kesukaran-kesukaran itu, barulah disusun Undang-undang Dasar itu, oleh karenanya maka

Undang-undang Dasar itu menjadi suatu hal yang

dikeramatkan…dikeramatkan oleh bangsa yang membuatnya. ... Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan tegas, supaya suka menjalankan sesuatu

pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada keyakinan itu.

Alangkah gilang-gemilang kita kaum kebangsaan, jikalau kita bisa menunjukkan kepada dunia umum, dunia Indonesia khususnya, bahwa kita demi persatuan, demi Indonesia Merdeka yang hendaknya datang selekas-lekasnya, bisa menjalankan

suatu offer mengenai keyakinan itu sendiri. Saya berkata, bahwa

adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan,... Marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan itu, dan pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang tidak sepaham dengan golongan-golongan yang dinamakan golongan Islam ialah supaya saudara-saudara mufakati apa yang saya usulkan ini. Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam

Undang-undang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik

Indonesia haruslah orang Indonesia aseli yang beragama

Islam.” Saya mengetahui, bahwa buat sebahagian pihak kaum kebangsaan ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimana pun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan 100% telah yakin, bahwa justru oleh karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri dari pada 90 atau 95% orang-orang yang beragama Islam, bagaimana pun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam. ... Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetapi sebagai yang

telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: “Negara berdasar

atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Ayat ke-2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing.”

(23)

minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah

saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan

bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas

damai.”53

Keputusan sidang mengenai pertikaian antara pihak Islam dan Kebangsaan pada

pasal 4 tentang Presiden dan pasal 28 tentang agama. Pasal 4 tetap berbunyi: “Presiden

Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, dan pasal 28

ayat ke-1: “Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat

Islam bagi pemeluknya”; ayat ke-2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya masing-masing”. Walaupun Soekarno meminta dengan tegas kepada

segenap pihak kebangsaan dalam sidang itu, tetap ada tiga orang Tiong Hoa tidak

mufakat.54

B. Substansi Pembicaraan dalam Sidang PPKI

Pada tanggal 7 Agustus Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) sebagai ganti BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Soekarno dengan 21

orang anggotanya. Anggotanya diangkat dari dari seluruh Indonesia, sembilan orang

dari Jawa dan 12 orang dari daerah-daerah luar Jawa. Mereka itu dipandang sebagai

wakil seluruh Indonesia.55 Akan tetapi, kemudian hari ditambah sendiri

anggota-anggotanya oleh pihak Indonesia lepas dari pengendalian Jepang. Dengan demikian

53Ibid

., 380. Soekarno lebih memilih kata “keyakinan” untuk menunjukkan pada pasal-pasal yang akan diputuskannya pada 16Juli ini.

54Ibid

., 383. Ada catatan kaki dari Saafroedin Bahar sendiri. Ia mengatakan bahwa keputusan ini tidak masuk akal baginya mengingat pada hari kemarin judtru para tokoh –tokoh Islam sendiri yang meminta seluruh anak kalimat yang menyebut Islam dan Allah itu dicabut dari rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD.

55

(24)

dapat dianggap bahwa PPKI telah diambil-alih oleh rakyat Indonesia dari pihak Jepang.

Panitia ini telah ditetapkan dengan kewajiban:

Pertama, syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelesaikan

perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia; karena itu bangsa

Indonesia harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan

pemerintahan Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir

dalam Perang Asia Timur Raya.

Kedua, Negara Indonesia merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran

Bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan

dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakkō-Iciu (Delapan Benang di

bawah satu atap).56

1. Keberatan Masyarakat Indonesia Timur

Begitu besar harapan Moh. Hatta, sebagai wakil PPKI, pada saat itu untuk bisa

segera diadakan rapat agar Preambule beserta batang tubuh UUD bisa disahkan.

Tepatnya setelah pembacaan Proklamasi oleh Ir. Soekarno pada saat itu, sore hari, Moh.

Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda.

Keperluannya adalah mengungkapkan keberatan yang diajukan oleh sebagian

masyarakat Indonesia Timur terhadap anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan

syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik Indonesia ialah orang

Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak

mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi

di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka

56

Marwati Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah ..., 77. Lih. juga Pengumuman

(25)

berdiri di luar Republik Indonesia. Padahal pada saat itu ada juga beberapa anggota

yang dapat dikatakan mewakili umat Kristen.57

Keesokan harinya, 18 Agustus, sebelum sidang Panitia Persiapan mulai,

Sukarno dan Moh. Hatta mendekati tokoh-tokoh Islam, seperti Ki Bagus

Hadikoesoemo, Wachid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan

untuk membicarakan permasalahan kalimat itu dan mereka dapat menerima keberatan

tersebut.58

“Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk

menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan

nasib dan persatuan bangsa.”59

Alasan di atas adalah alasan yang dikemukakan oleh Hatta. Adapun

alasan-alasan lain dari pihak Islam yang diajak berdiskusi oleh Hatta. Alasan mereka tersebut

dapat disaksikan ketika mereka (Hasan dan Kasman) membujuk Hadikoesoemo

Menurut pengakuan Hasan, dia meyakinkan Hadikoesoemo dengan alasan bahwa untuk

sementara akan masuk dalam aturan peralihan. Menurut Kasman, upaya terakhir

dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen bahwa dalam situasi krisis, di mana

persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang

57

Mohammad Hatta, Untuk ..., 95. Lih. juga catatan kaki pada Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 533. Lih. juga Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta, 1970), 59.

58

Marwati Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah ..., 77. Lih. juga Moh. Hassan,

“Bung Hatta di Sumatera”, dalam Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa (Jakarta, 1972), 182-3. Lih. juga Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, cetakan ketiga, 1996), 109. Ada beberapa sumber juga mengatakan bahwa Wachid Hasjim sendiri tidak hadir karena pada saat itu sedang pergi ke Surabaya. Lih. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, vol. 1 (Jakarta: Prapantja, 1959), 438; A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945: Memuat Salinan DokumenOtentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 54.

59

(26)

terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa

mengalah. Pada saat itu, Wachid Hasjim tidak hadir karena sedang pergi ke Surabaya.60

Pemikiran Hattta dapat dilihat pada pergulatannya dalam merumuskan pasal

UUD 1945. A.B. Nasution mengungkapkan pendapatnya tentang Hatta dengan

menyoroti kepiawaiannya dalam berdiskusi dengan tokoh-tokoh Islam agar mencabut

tujuh kata ini. Bagi Nasution, Hatta memiliki pertimbangan obyektif dan subyektif

dalam mengambil tindakan demikian. Pertimbangan obyektifnya ialah berdasarkan

aspirasi yang berkembang antara lain didukung oleh laporan Tuan Nishiyama tentang

keberadaan tujuh kata. Sedangkan pertimbangan subjektifnya ialah penghayatan Hatta

yang mendalam mengenai hakikat demokrasi selama tinggal di Eropa, di mana masalah

agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari campur tangan negara.

Salah satu prasastinya adalah pernah memimpin “Perhimpoenan Indonesia” dan

dengan tepat merumuskan nilai-nilai demokrasi yang tidak dapat diganggu gugat, antara

lain membuka kran partisipasi yang luas bagi rakyat tanpa membedakan latar belakang

suku dan agama. Selain itu, pencantuman kata “Syariat Islam” juga menunjukkan

sikap diskriminatif terhadap golongan minoritas yang bukan Islam.61

Kemudian sidang dimulai dan Moh. Hatta membacakan hasil rapat kecil tadi

dengan tegas dan hasil tersebut berimplikasi terhadap UUD pasal 6 ayat 1 yang semula

“Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam” diubah

menjadi Presiden ialah orang Indonesia asli. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa

oleh karena mungkin dengan adanya 95% jumlahnya di Indonesia ini dengan sendirinya

60

Ada pada catatan kaki Latif, Negara ..., 83-4. Lih. juga Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 128-30. Latif mengutarakan bahwa tidak ada seorang pun wakil golongan Islam yang ikut menandatangani Piagam Jakarta pada saat rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

61

(27)

barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden sedangkan dengan membuang ini

maka seluruh Hukum UUD dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak

beragama Islam umpamanya yang pada waktu sekarang diperintah oleh Kaigun.62

Selain itu, juga berubah pasal 29 ayat 1 (ini juga bersangkutan dengan

preambule), yang semula “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi

“Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” saja. Moh. Hatta di dalam sidang

mengatakan bahwa inilah perubahan yang maha penting untuk menyatukan segala

bangsa.

2. Keberatan Ki Hadikoesoemo

Setelah itu, Sukarno membacakan ulang Pembukaan UUD. Ada beberapa

keberatan lainnya, seperti Hadikoesoemo yang mengusulkan untuk mencoret kata

“menurut dasar” dalam “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang

adil dan beradab”.

3. Keberatan I Gusti Ktut Pudja

I Gusti Ktut Pudja juga mengusulkan perkataan “Allah Yang Maha Esa” diganti

dengan “Tuhan Yang Maha Kuasa.”

“I Gusti Ktut Pudja: Ayat 3 “Atas berkat Rahmat Allah” diganti dengan “Tuhan” saja, “Tuhan YangMaha Kuasa”

Soekarno: Diusulkan, supaya perkataan “Allah Yang Maha Esa” diganti dengan “Tuhan Yang Maha Esa”. Tuan-tuan semua mufakau kalau perkataan “Allah” diganti dengan “atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa”. Tidak ada lagi, Tuan-tuan”?

Kemudian, Soekarno mengesahkan preambule ini dengan membacakannya sekali lagi.63

62

(28)

C. Beberapa Informasi Mengenai Para Pendiri Negara dari Sumber Lain yang

Dapat Menjadi Acuan

1. Ir. Soekarno

Soekarno memperjelas kedudukan bagi kaum yang tidak beragama ketika dalam

pidatonya di muka Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960. Sukarno

memperlihatkan toleransi kepada mereka yang tidak ber-Tuhan dan mereka juga dapat

menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa (nantinya dalam perubahan selanjutnya

setelah pidato 1 Juni ini) sebagai dasar pertama bagi negara.

“Perkenankanlah saya sekarang menguraikan sekedarnya

tentang kelima pokok itu:

Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi

orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Budha, dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta (di tahun 1960) rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal kepada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafat hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada yang Mahakuasa merupakan karakterisktik dari bangsanya, sehingga mereka

menerima sila pertama ini.”64

Selain itu, ada sumber lain yang mengatakan bahwa rumusan dasar negara yang

diucapkan oleh Soekarno ini merupakan hasil pemikirannya selama ini. Pada masa

penjajahan, dalam benak Soekarno selalu mengharapkan adanya harapan akan

kemerdekaan. Pola pikir Soekarno sedikit-banyak terpengaruh oleh Mitologi Jawa yang

63Ibid

., 533-8.

64

(29)

tercermin dalam ceritera pewayangan. Ada satu ceritera yang memuat kepercayaan

tentang Ratu Adil.

Kepercayaan ini mengungkapkan mengenai frustasi, harapan, dan kedatangan

juru selamat. Frustasi dialami akibat penindasan, penjajahan, kezaliman dan

angan-angan yang kuat tentang perubahan zaman yang diidam-idamkan. Perubahan itu akan

datang bersamaan dengan kehadiran seroang Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat

dari segala macam bentuk kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan. Mitos ini

memercayai berlakunya semacam perputaran sejarah (cylical movement of history) yang

tidak dapat dielakkan oleh suatu bangsa dalam proses perkembangannya.65 Dalam

usahanya mempertemukan ide-ide yang berlainan ke dalam sebuah landasan yang sama,

Soekarno mengemukakan segi-segi dari suatu ide atau aliran politik yang dimungkinkan

diterima oleh ide-ide lain dan ia membuka segi-segi tertentu dari ide-ide itu sendiri

untuk ditempatkan ke ide-ide lain untuk saling mengisi, memberi, dan menerima.66

Nyawa pergerakan rakyat di Indonesia ada 3, yaitu: NASIONALISTIS,

ISLAMISTIS, dan MARXISTIS. Soekarno mempelajari dan mencari hubungan antara

ketiga sifat ini untuk bekerja sama dan menjadi satu gelombang maha kuat dan maha

besar dalam persatuan dan kesatuan negara. Menurut Soekarno, NASIONALISME itu

ialah suatu itikad, suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu

bangsa.

Nasionalisme ini bersifat anti-penjajah, anti-imperialisme, lalu berkembang

menjadi anti unsur-unsur Barat. Bagi Soekarno, nasionalisme Eropa ialah suatu

65

Ibid., 12. Lih. juga Bernard Dahm, Soekarno and The Struggle For Indonesia Independence

(Ithaca: Cornell University Press., 1969), 23-8; Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia

(Jakarta: Gunung Agung, 1980), 115.

66Ibid

(30)

nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, lebih bersifat komersialisme,

kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Melalui nasionalisme ini setiap individu

hanya dapat menemukan dirinya sendiri dalam kolektivitas nasional.67

ISLAM sebagai agama mendapat kecurigaan besar dari Nasionalis dan Sosialis.

Agama tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik. Sebenarnya orang yang berpikir

demikian adalah orang-orang yang kusut-paham. Bukan Islam yang salah, melainkan

pemeluknyalah yang salah. Rusaknya Islam yang dipandang oleh kaum Nasionalis dan

kaum Sosialis bukan karena Islamnya, tetapi karena rusaknya budi pekerti orang-orang

yang menjalankannya.

Bagi Soekarno, Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis dan

anti-sosialis, melainkan sebaliknya. Islam yang sejati ialah sesuai dengan kemajuan

zaman. Selain itu Soekarno membedakan dari Islam yang sejati yaitu ada Islam yang

kolot. Islam yang kolot ialah Islam yang mempunyai pandangan sempit-budi, fanatik,

dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan

bangsanya yang nasionalistis.68

MARXISME merupakan salah satu paham yang dianut oleh Soekarno untuk

mencari dasar perlawanan terhadap penjajah yang termotivasi untuk menyenangkan diri

mereka sendiri tanpa lagi memandang hak-hak kemanusiaan yang dijajah. Segala

wujud kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme ditolak oleh paham ini karena sangat

bertentangan dengan paham-paham sosialis. Paham ini begitu dikenal dengan sebutan

anti kaum kebangsaan, dan anti kaum keagamaan. Namun, begitu sampai di Asia,

terutama tanah Indonesia, paham ini mengalami perubahan.

67

Sukarno, Kepada Bangsaku: Karya-karya Bung Karno Pada Tahun-tahun 1926, 1930, 1933, 1947, dan 1957 (Jakarta: Panitia Pembina Djiwa Revolusi, ), 17. Lih. juga Saksono, Pancasila ..., 60.

68Ibid

(31)

Orientasi untuk menyingkirkan penjajah dengan label borjuasi tetap terus

berkumandang, hanya saja upaya menyingkirkan dua kaum di atas tadi tidak tepat untuk

dpraktekkan di tanah Indonesia karena sudah berbalik menjadi persahabatan dan

penyokongan. Orientasi utama rakyat pada saat itu ialah persatuan Indonesia terhadap

gerakan-gerakan yang ada di Indonesia. Oleh karena perubahan taktik seperti ini, segala

pergerakan dituntut untuk bekerja bersama-sama karena bukan kekuasaan yang diincar,

melainkan perlawanan terhadap para feodalisme.

Perlawanan yang membutuhkan otonomi nasional untuk mencapai

kemerdekaan. Namun, Soekarno sangat hati-hati menggunakan paham ini sebab salah

satu yang terkenal dari paham ini ialah mengagungkan materialistis dan meniadakan

Tuhan untuk urusan segala keadaan yang sedang terjadi. Soekarno memberi akomodasi

pada paham seperti ini dengan membuang filsafat materialisme dari Marxisme lalu

diberinya Allah.69

Pada tiga aliran inilah sifat tidak mengenal kompromi dari Soekarno terhadap

musuh luar atau asing ditunjukkan dalam sikap anti kolonialis dan anti imperialis,

sedangkan sikap komprominya terlihat dari usahanya untuk mau bekerja sama dengan

mereka yang segolongan dengannya, yaitu sama-sama menentang penjajahan asing.

Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang

pokok sebagai cita-cita persatuan nasionalnya. Satu-satunya kelebihan yang dimiliki

Indonesia dalam berhadapan dengan penjajah adalah kelebihan dalam jumlah penduduk,

pemanfaatan ini bergantung pada persatuan nasional.70

69

Ibid., 27-32. Lih. juga Saksono, Pancasila ..., 59.

70

(32)

2. Mohammad Hatta

Selain dari mengenai agama dan negara, ada lagi pemikiran Hatta tentang

keadilan sosial. Hatta mencoba untuk mencetuskan idenya tentang koperasi. Ia

mendapat pengalaman berharga dari masa studinya tentang permasalahan ekonomi di

tiga negara, yaitu: Jerman, Inggris, dan Swedia. Dalam konsep koperasi , Hatta

menekankan pembagian hasil bersama. Artinya, secara tidak langsung Hatta menolak

adanya praktek-praktek Kapitalisme, penumpukan modal yang memunculkan

konglomerasi. Hal ini dilakukan karena negara harus mampu menjamin kesejahteraan

warga negara.71

Hatta memberi kesaksian dalam surat wasiatnya kepada Guntur Sukarno Putra

bahwa salah seorang dari BPUPKI yang menjawab pertanyaan itu adalah Soekarno,

yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam.

“Dekat pada akhir bulan Mei 1945 dr. Radjiman, ketua Panitia

Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: “Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?” Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang. Mereka langsung membicarakan soal Undang-undang Dasar. Salah seorang dari pada anggota menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno, yang mengucapkan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam. Pidato itu menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh. Sesudah itu sidang mengangkat

menyerukan persatuan nasional termasuk Islam di dalamnya untuk menjadi bagian totalitas Indonesia Merdeka yang dipersatukan. Sukarno menuliskan tulisannya “Nasionalis, Islam dan Marxis” di tahun 1926 karena keadaan yang memungkinkan lahirnya perpecahan di antara kekuatan-kekuatan pergerakan pada waktu itu. Hasil analisisnya terhadap pergerakan-pergerakan pada saat itu yaitu pada tiga kekuatan ini. Tiga kekuatan ini harus bersatu dengan orientasi yang sama, saling menyokong dan mengisi. Kebangkitan kesadaran nasional dan adanya suatu usaha yang mampu memimpinnya merupakan dasar dari kekuatan rakyat.

71

(33)

suatu Panitia kecil untuk merumuskan kembali Pancasila yang

diucapkan Bung Karno itu.”72

Pada lain kesempatan, dalam rangka kontroversi penggali Pancasila, Hatta

menulis surat kepada Solichin Salam, seorang penulis buku otobiografi, dengan nada

ekstrem yang isinya sangkalan terhadap Yamin sebagai salah satu penggali Pancasila.

Hatta menegaskan bahwa dalam pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 itu tidak ada

tercantum ide Pancasila.

Ide itu hanya ada pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang diterima suara

bulat oleh sidang BPUPKI. Memang pada saat Soekarno berpidato, Hatta sedang tidak

ada dalam ruang sidang karena ia dalam perjalanan ke Kalimantan. Hatta membaca

pidato Soekarno setelah kembali dan tidak ada baginya hubungan antara pidato

Soekarno dan pidato Yamin. Di sinilah terletak rahasianya. Setelah sidang itu,

dibentuk Panitia Kecil dan dari panitia itu dibentuk Panitia Sembilan. Rapat panitia ini

dimulai kira-kira pertengahan Juni.73

Kontroversi ini pun dilanjutkan dengan kesaksian Hatta sendiri yang

mengatakan bahwa usai diskusi tentang perumusan kembali Pancasila, Sukarno

meminta Yamin untuk membuat suatu Rancangan Pembukaan UUD yang di dalamnya

teks Pancasila. Preambule itu dibuat terlalu panjang oleh Yamin sehingga Panitia

Sembilan menolaknya. Lalu bersama-sama Yamin, Panitia Sembilan membuat teks

yang lebih pendek, seperti yang terdapat sekarang pada UUD Republik Indonesia.

72Mohammad Hatta, “Wasiat Bung Hatta Kepada Guntur” dalam Frances S. Adeney dan John

Titaley (eds.), Social Theory: A Course Reader (Salatiga: Program Pasca Sarjana Agama dan Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana, Januari, 1992), 101.

73

(34)

Yamin kemudian mengambil teks yang panjang itu sebagai pengganti pidato

yang diucapkannya dalam sidang BPUPKI, yang kemudian lagi dimasukkannya ke

dalam buku pertama yang tiga jilid, yang diterbitkannya dan berjudul Undang-undang

Dasar 1945.74 Oleh karena itu, hal ini membuat seolah-olah dialah yang mencetuskan

ide Pancasila. Hal ini bagi Hatta termasuk pemalsuan sejarah.75

3. Ahmad Soebardjo

Dalam buku Kesadaran Nasional, Soebardjo sendiri menanggapi Pancasila yang

awalnya dicetuskan oleh Soekarno sebagai sesuatu yang orisinil dan digali melalui

sejarah Indonesia sehingga bukan mengikuti falsafah hidup negara lainnya.

“Berkat bhakti Ir. Soekarno, yang telah meletakkan landasan 5

sila – Pancasila – membentuk pandangan filosofis rakyat

Indonesia mengenai kehidupan dan dunia. Soekarno menekankan bahwa di dalam merumuskan Pancasila, ia tidak menemukan sesuatu yang baru. Ia hanya menggali norma-norma serta kepercayaan-kepercayaan yang telah ada, yang berlaku dalam masyarakat Indonesia sejak fajar Sejarah Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan norma-norma dan kepercayaan tersebut?

Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila utama kehidupan rata-rata rakyat Indonesia, yang percaya pada suatu Kuasa-atas-kehidupan meliputi alam semesta dan setiap ciptaan yang hidup di dunia. Ia percaya adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, pencipta segala sesuatu yang ada.

Empat sila lainnya ialah merupakan perwujudan-perwujudan

yang nyata dari sifat-sifat Tuhan, yakni: Kemanusiaan, Keadilan

Sosial, Kedaulatan Rakyat (Vox Populi, Vox Dei) serta Kebangsaan yang meliputi persaudaraan di antara yang hidup

dalam batas-batas suatu bangsa serta persaudaraan universal.”76

Ada enam peristiwa yang membangkitkan kesadaran nasional Ahmad Soebardjo:

74

Mohammad Hatta, Untuk ...,67.

75

Saksono, Pancasila ... . Bandingkan bahwa argumen Hatta ini juga terdapat dalam buku

Panitia Lima, sekali lagi, “kalau Yamin yang pertama bicara tentang dasar negara, tentu saya ingat karena

saya hadir.” Kata Hatta. Lima: Moh. Hatta, dkk., Uraian…, 82.

Referensi

Dokumen terkait

Ber- dasarkan hasil analisis ditemukan bentuk kekerasan verbal berbasis gender berdasarkan posisi subjek objek berupa dominasi perempuan terhadap laki-laki maupun perempuan lain

Perbedaan penelitian Yoghi Citra Pratama dengan judul Peran Zakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan (Studi Kasus: Program Zakat Produktif Pada Badan Amil Zakat Nasional)

Membuat Cube Seismic Secara Sederhana dengan Pengaturan Data Default - Tekan gambar Manage Seismic dan pilih 3D Seismic atau masuk ke

Walaupun disudutkan secara tidak langsung oleh pihak lain, akan tetapi dengan kebesaran hati dan tidak terlepas dari rasa persatuan kebangsaan Muhammadiyah tetap

Nama- nama calon petugas yang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti ujian tertulis dan wawancara dapat dilihat pada lampiran 1.. Jadwal dan tempat pelaksanaan tes

NURUL ILMI. Kesesakan, Iritabilitas, Agresivitas dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga yang Tinggal di Rumah Susun Jatinegara Barat. Dibimbing oleh EUIS

peran Humas dilihat dari perencanaan Program, Perencanaan Strategi, Aplikasi Strategi, dan Evaluasi dan kontrol, jika semua itu diprioritaskan untuk

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa perawatan kasus maloklusi kelas I dengan agenesis insisif lateral atas bilateral ini adalah membuka ruangan, dengan protraksi