• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 322014001 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 322014001 BAB III"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

57

ESENSI HUKUM

A.

Tujuan Hukum

Pandangan Teleologis yang berasal dari bahasa Yunani telos (τέλος) bahwa segala sesuatu bereksistensi untuk tujuan tertentu.1 Demikian segala sesuatu pasti

memiliki tujuan tidak terkecuali hukum. Tujuan hukum mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai yaitu merujuk pada sesuatu yang bersifat ideal sehingga akan dirasakan abstrak dan bersifat tidak operasional.2 Tujuan hukum untuk mencapai damai

sejahtera dalam masyarakat, dalam hal ketundukan individu atau masyarakat terhadap hukum hanya didasarkan karena adanya ketakutan akan sanksi yang dilekatkan padanya jelas individu atau masyarakat mentaati hukum hanya karena dipaksa, maka tidak ada damai sejahtera dalam masyarakat melaksanakan hukum tersebut karena hukum ditaati dengan rasa takut.

1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 89.

(2)

Gustav Radbruch yang mengemukakan bahwa hukum dalam tujuannya perlu berorientasi pada tiga hal, 1). Kepastian hukum, 2).Keadilan, 3). Daya-guna (doelmatigheid).3

Menurut Radbruch Kepastian hukum merupakan tuntunan utama terhadap hukum ialah, supaya hukum menjadi positif, dalam artian berlaku dengan pasti. Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum sungguh-sungguh positif.4 Hukum dituntut untuk

memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-undang yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan sifatnya tetap sampai undang-undang tersebut ditarik kembali. Permasalahan yang sering terjadi akibat kekeliruan memahami makna dari kepastian hukum adalah, sering kali bunyi bahkan sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-undang dipertahankan secara mutlak, sehingga yang terjadi sebagaimana ada ungkapan: lex duras sed tamen scripta, yang artinya undang-undang adalah keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya.

Hukum harus memiliki kepastian, untuk itu maka hukum harus berupa peraturan tertulis. Akan tetapi sangat penting untuk dipahami bahwa Undang-undang

3 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya

Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33.

4 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya

(3)

tidak dapat menguras hukum.5 Karena meskipun

kaidah hukum dirumuskan melalui teks-teks dalam undang-undang akan tetapi rumusan teks tersebut tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud kaidah hukumnya.6 Makin banyak hukum memenuhi

syarat “peraturan yang tepat”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniura,7 atau lebih

sering kita dengar dengan ungkapan Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.8

Kepastian hukum seharusnya ditujukan untuk melindungi kepentingan setiap individu agar mereka mengetahui mengetahui perbuatan apas saja yang dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang dilarang sehingga mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah.9 Individu-individu

inilah yang disebut para pencari keadilan yang memang memerlukan kepastian akan tetapi kepastian yang sesungguhnya tidak ditujuakan pada bentuk atau

5 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 53.

6 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional), Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.

7 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 13.

8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 139

(4)

formal belaka10 tetapi kepada hasrat untuk memberikan

keadilan. Sebagaimana dikatakan oleh Sudikno bahwa:

bukan penerapan naskah undang-undang secara membudak yang memberikan kepastian hukum, tetapi kehendak untuk memberi kepada pencari keadilan yang dituntut mereka berdasarkan kepatutan. Oleh karena itu kita boleh berkata bahwa kepastian yang semu dulu, yang didasarkan atas naskah yang selalu sedikit banyak kebetulan, digantikan oleh kepastian dalam tingkat yang lebih tinggi, kepastian yang ditimbulkan dengan mengusahakan kepatutan. Kepastian yang dulu diberikan oleh kata-kata telah digantikan oleh kepastian yang diberikan oleh keadilan.11

Pendapat berikutnya mengemukakakn tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan. Bahwa hukum harus ditujuakan untuk sesuatu yang berfadah atau memiliki manfaat. Penganut aliran utilitis yang dipelopori oleh Jeremi Bentham mengatakan bahwa hukum bertujuan untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number) pada hakekatnya yang menjadi inti ajaran teori utilitis bahwa tujuan hukum adalah menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.12

Kelemahan dari ajaran ini adalah kebahagiaan yang dikemukakan oleh aliran utiliti ini berupa numerik jadi selama sudah ada sebagian besar

10 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 126. 11Ibid., Hlm. 126.

12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah

(5)

masyarakat yang mendapat keberuntungan oleh hukum dengan demikian tidak masalah jika ada sebagiab kecil yang dikorbankan haknya, padahal hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya dalam bentuk sebuah masyarakat akan tetapai hukum juga harus melihat manusia dari eksistensinya sebagai individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada sebagian individu yang dikorbankan haknya. Hukum harus hadir untuk melindungi sampai pada pihak yang paling lemah sekalipun demikian hukum tetap berorientasi untuk memberikan keadilan. Sebagaimana menurut O. Notohamidjojo bahwa: “Hukum yang

pertama bertujuan mewujudkan keadilan; dimana itu tidak mungkin, hukum mengejar: daya guna atau doelmatigheid.”13 Selanjutnya Notohamidjojo

menempatkan kepastian hukum sebagai salah satu faset yang terpenting dari pada daya guna14

Tujuan hukum berikutnya yaitu keadilan, menurut Radbruch bahwa keadilan sudah cukup apabila kasus-kasus yang sama diperlakukan secara sama.15 Sedangkan menurut

Sebagaimana dikatakan oleh Tegus Prasetyo

bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum adalah keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan

13 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya

Media, Salatiga, 2011, Hlm. 35.

14 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya

Media, Salatiga, 2011, Hlm. 35.

15 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya

(6)

itu sudah pasti ada pula kepastian dan selalu saja diperoleh manfaat.”16 Geny adalah salah satu ahli yang

juga mendukung bahwa hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan.17 ia berpendapat

sebagaimana dikutip oleh van Apeldoorn demikian:

Geny mengajarkan, bahwa tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga memasukkan kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai sesuatu unsur dari pengertian keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.18

Tujuan hukum satu-satunya adalah tidak lain daripada mewujudkan keadilan. Bahwa pendapat yang secara panjang lebar menguraikan bahwa hukum bertujuan untuk tiga tujuan yaitu keadilan kepastian dan kemanfaatan, rasionalisasi yang tepat bahwa kalau keadilan yang dikejar maka kepastian dan kemanfaatan secara otomatis akan terwujud, karena baik kemanfaatan dan kepastian adalah bagian dari keadilan itu sendiri. Jadi pada hakikatnya kepastian dan kemanfaatan tidak diposisikan sejajar dengan keadilan sebagai tujuan hukum akan tetapi sebagai sarana untuk mencapai keadilan itu sendiri. Maka dari itu tujuan hukum pastilah keadilan.

Bahkan Gustav Radbruch yang merupakan pencetus tiga tujuan hukum yang kemudian dijadikan rujukan utama para ahli-ahli hukum setelahnya dalam

16 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 133. 17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah

Pengantar, Op.Cit., Hlm. 77.

18 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

(7)

memperbincangkan tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Radbruch pada akhirnya mengoreksi pandangannya sendiri19 ia menyatakan

bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan. Selanjutnya ia juga menyatakan, “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus.” Yang artinya: Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.20

Dalam ajaran Aristoteles dikena adanya dua jenis keadilan, yaitu keadilan distributief, dan keadilan commutatief. Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya “suum ciuque tribuere”21 Keadilan

communitatief adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, bahwa adil apa pada pergaulan dalam masyarakat setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang status, kedudukan dan sebagainya.22

Sebagaimana dikatakan oleh Tegus Prasetyo

bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum

19 Titon Slamet Kurnia, “Hukum dan Keadilan: Isu Bagian

Hulu dan Hilir,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April 2015, Hlm. 16-19.

20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 89. Dikutip dari Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dobin, Cambridge, Harvard University Press, 1950, Hlm. 73.

21 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11-13.

22 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah

(8)

adalah keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan itu sudah pasti ada pula kepastian dan selalu saja diperoleh manfaat.”23 Namun harus diantisipasi juga

bahwa peradilan akan lepas dan tanpa kontrol kalau kita, membiarkan hakim bertindak sebagai bon juge24

untuk itu perintah kepada ahli hukum untuk tetap berada ditengah-tengah dan tetap menjaga keseimbangan antara keterikatan dan kebebasan.25

Dengan demikian ketertiban dapat dijaga sebagaimana tujuan hukum ialah: tata tertib masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan.26

Hukum di atas segala-galanya harus adil.27

L.J. van Apeldoorn, dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum mengatakan bahwa “Tujuan hukum ialah: mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu prolog dari hukum rakyat “Frangka Salis”, lex salica”28 Lanjut van

Aperdoon bahwa: “apa yang kita sebut tertib hukum

mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim, disebut vredeban (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran perdamaian (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak

23 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 133. 24 Hakim sendiri yang menentukan apa yang adil.

25 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 130. 26 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 16.

27 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 89. 28 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

(9)

damai (vredelos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum.”29

Dalam mewujudkan perdamaian sebagai tujuan, hukum mewujudkannya dengan cara melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap hal-hal yang merugikannya.30

Untuk itu hukum harus menjaga keseimbangan dalam melindungi kepentingan manusia sebagai individu dengan kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan masyarakat. Karena selain melindungi individu hukum juga harus ditujukan untuk mengabdi kehidupan bersama.31

Permasalahan yang selalu terjadi adalah kepentingan dari manusia sebagai individu tidak jarang atau bahkan lebih sering sifatnya bertentangan dengan kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan masyarakat. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang32, dalam hal ini

hukum selalu hadir sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena

29 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11.

30 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11.

(10)

hukum hanya dapat mencapai tujuan mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang adil.33 Dengan demikian tujuan hukum adalah,

adalah memberi keadaan adil dan tenang kepada manusia dalam hubungannya satu sama lain.34 Guna

mewujudkan keadaan damai baik dalam diri manusia serta dalam pergaulannya dengan masyarakat, atau kedamaian lahir batin.

Dalam menimbang antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat adalah hak yang tidak dapat terhindari bahwa hukum harus memberikan pembatasan atas kebebasan manusia sebagai individu. Mengenai pemahaman ini Sudikno berpendapat demikian:

Kebebasan adalah barang yang berharga tetapi tiada seorang pun yang dapat memikul kebebasan yang mutlak, baik karena sebagai manusia yang bersifat sungguh-sungguh ia tidak mau mengambil tanggungjawabnya, juga karena setiap kebebasan mau-tidak mau mengorbankan kebebasan orang lain. 35

Pada hakikatnya kebebasan manusia tidak dibatasi oleh hukum atau hukum tidak mengekangnya, sehingga tidak tepat kalau dikatakan “hukum mengorbankan kebebasan”. Yang terjadi adalah manusia diikat oleh raionalitasnya sebagai mahluk yang berakal budi yang memahami akan Nilai-nilai universal, seperti kejujuran, keadilan, kebaikan hati

33 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),

Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11.

(11)

dan sebagainya. Oleh karena itu kebebasan manusia disebut rasional, bila ia menggunakannya dengan dibimbing oleh nilai-nilai tersebut.36

Manusia memiliki kebebasan akan tetapi kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan rasional. Pada dasarnya kebebasan rasional ini adalah suatu kebebasan moral. Artinya bahwa nilai-nilai hidup yang ditanggapi secara rasional, harus diterima sebagai norma. Kebebasan moral ialah: kemampuan manusia untuk mewujudkan hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip moral.37

Pada dasarnya arti kebebasan yang sesungguhnya adalah kebebasan yang sekaligus membawa keterikatan diri untuk tidak merugikan sesama manusia yang lain.38 Di satu sisi manusia memiliki kebebasan

sekaligus pada sisi yang lain manusia menghargai nilai-nilai moral yaitu cinta kasih terhadap sesama.

Damai sejahtera sebagai tujuan hukum tidak akan tercapai apabila hukum itu sendiri ditaati berdasarkan semata-mata paksaan dari luar, akan tetapi untuk mencapai damai sejahtera mau tidak mau hukum harus ditaati berdasarkan kehendak sukarela dari individu yang datang dari dalam, untuk mencapai hal tersebut satu-satunya jalan adalah dengan melihat pada hukum itu sendiri yaitu apakah hukum tersebut

36 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 57. 37Ibid., Hlm. 59.

38 Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum , Rajawali

(12)

telah sesuai dengan nilai? Apakah norma yang dikandung di dalamnya menuntun masyarakat kepada hal yang baik? Dan yang paling penting apakah hukum tersebut telah memberi keadaan adil dan tenang kepada individu dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lain.39 Jawaban atas pertanyaan tersebut

akan sangat menentukan seperti apa kepatuhan individu dan masyarakat terhadap hukum. Sudah seyogyanya bahwa hukum yang adil sama sekali tidak memerlukan paksaan untuk mentaatinya karena sudah pasti individu dan masyarakat akan dengan sukarela tunduk terhadap hukum yang demikian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hukum daya mengikatnya berasal dari dalam, pendapat demikian sekaligus menepis pemahaman para ahli hukum yang terdahulu yang selalu mengidentikkan hukum dengan sifat mengikatnya yang berasal dari luar atau lebih tepat dikatakan memiliki daya paksa dari luar, karena sejahtera selalu berasal dari dalam

B.

Opinio Necessitates

Bagaimana hukum itu menjadi objek rasa hormat dari manusia, apakah karena hukum mengandung sanksi? Atau apakah setelah seseorang mendapat penindakan dari polisi karena melanggar hukum? Theo Huijbers mengatakan bahwa: “Memang hormat itu tidak akan timbul pada saat orang mendapat teguran

(13)

dari polisi karena melanggar suatu peraturan.”40

Huijbers melanjutkan pendapatnya bahwa:

Akan tetapi mungkin sesudahnya orang yang didenda akan berfikir lebih lanjut bahwa peraturan itu perlu supaya kehidupan bersama diatur dengan baik, dan semua organ dapat menikmati ketentraman dan keadilan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa jarak antara hukum dan keadilan tidak jauh. Ada kemungkinan bahwa orang yang mengerti makna hukum ini, akan rela untuk menjadi taat pada peraturan-peraturan.41

Penekanan penting atas pendapat di atas adalah bahwa bukan sanksinya yang membuat orang itu sadar melainkan karena ia berfikir bahwa hukum mengatur kehidupan bersama akan memberikan kepadanya ketentraman dan keadilan. Bahwa pada dasarnya keputusan untuk taat kepada hukum terletak dari dalam diri manusia itu sendiri bukan dari luar. Sebagai mahluk yang berakal budi manusia berfikir terlebih dahulu kemudian ia memperoleh kesimpulan untuk menaati hukum atau tidak, Dalam hal hukum memberikan kenikmatan baginya berupa ketentraman dan keadilan42 jelas manusia akan memutuskan untuk

mentaati hukum. Dengan argumentasi seperti ini dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ketaatan manusia terhadap hukum adalah berasal dari dalam diri setiap individu, dimana materi dan tujuan hukum akan sangat mempengaruhi manusia untuk taat kepada hukum.

40 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 11. 41Ibid.

(14)

Hukum yang dilekatkan paksaan tidak menjamin bahwa manusia akan mentaatinya, mengapa dikatakan demikian? Karena hukum dengan paksaan atau sanksi seberat apapun dan ditunjang oleh lembaga yang menegakkannya secara terorganisir dan rapi, kalau materi dan tujuannya tidak adil dan membawa kesengsaraan pada masyarakat maka pada akhirnya manusia akan mencari cara untuk melawannya, akan tetapi sebaliknya hukum yang adil akan mendapatkan ketundukan sukarela dari manusia.

Adalah Teguh Prasetyo yang mengkonsepkan teori Keadilan Bermartabat, yang dalam teorinya mengatakan bahwa sistem hukum positif Indonesia pada dasarnya tidak perlu mengambil hukum buatan dunia luar43 melainkan harus menggali dan

menemukan hukum berasal dari dalam jiwa bangsa Indonesia itu sendiri.44 Jika Indonesia dianalogikan

sebagai sebuah individu maka individu tersebut tidak perlu mentaati hukum dari luar tetapi taat kepada hukum yang berasal dari dalam dirinya, yang ia peroleh melalui akal budinya, melalui kemampuannya untuk membedakan hal yang baik dan buruk, dengan demikian ia telah meninggikan martabatnya.

43 Yang dimaksud dengan dunia luar adalah sistem hukum

yang diadopsi dari negara-negara atau bangsa-bangsa lain yang dalam konteks Indonesia adalah sistem hukum yang dianut dari Belanda,

44 Menurut Teguh Prasetyo adalah sistem hukum yang

(15)

Argumetasi di atas membawa postulat bahwa ketundukan terhadap hukum pada dasarnya berasal dari dalam diri manusia. Bahwa keberadaan sanksi dalam hukum adalah hal yang berbeda, dan ketaatan manusia terhadap hukum tidak tergantung akan adanya sanksi tetapi dari hati nurani manusia itu sendiri. Mematuhi suatu kaidah hukum jarang sekali terjadi hanya karena ada paksaan, tetapi karena dalam masyarakat berlaku (berpengaruh) kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah hukum. Kebiasaan-kebiasaan itu menunjukkan bahwa orang jelas-jelas merasakan dirinya berkewajiban untuk berperilaku sesuai dengan kaidah hukum.45

Llewellyn dan Hoebel melihat adanya dua faktor utama dalam dinamika hukum, yaitu perkembangan yang disadari dan tuntutan individual yang dilakukan secara sadar.”46 Tuntutan individual secara sadar

itulah yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut hukum.47

Sebagaimana dikatakan oleh Utrecht sebagaimana dikutip oleh Soeroso, bahwa manusia menaati hukum “karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar

45 Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.

98.

46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 53

(16)

berkepentingan akan berlakunya hukum tersebut.48

Utrecht juga mengatakan bahwa orang menerima hukum supaya ada rasa kedamaian.49 Kesadaran akan

perlunya aturan itulah yang biasanya disebut sebagai opinio necessitates.”50

Opinio necessitates mengindikasikan hukum tidak diterima sebagai paksaan, tetapi hukum diterima secara sukarela supaya ada rasa kedamaian.

C.

Keberlakuan Hukum

Konsep hukum adalah Ius yaitu keadilan yang termasifestasi dalam asas, kaidah/norma, dan aturan hukum. Yang membentuk sebuah tataran dalam sistem hukum.

Asas hukum itu memberi dimensi etis kepada hukum.51 Demikian bahwa asas hukum di dalamnya

mengandung nila moral. Asas hukum adalah intisari atau jantungnya hukum. Kaidah hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya tidak kaidah hukum tidak boleh melanggar hak-asasi

48 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum , Sinar Grafika,

Jakarta, 2008, Hlm. 56.

49Ibid.

50 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 53.

51 Sudikno Mertokusumo, Penemun Hukum: Sebuah

(17)

masnusia atau bertentangan dengan kaidah kaidah hukum alam.52 Norma atau kaidah dituangkan

kedalam aturan-aturan hukum yang bersifat kongkret.53

Aturan yang di dalamnya berisikan norma yang berpangkal pada asas hukumlah yang kemudian memiliki predikat sebagai hukum, terlepas mengandung sanksi atau tidak, sebenarnya sanksi tersebut adalah bentuk dari atau tuntutan dari penegakan hukum, karena aturan hukum didesain sedemikian rupa untuk sebuah peristiwa tertentu sehingga aturan tersebut juga harus didesain untuk dapat diterapkan maka dari itu dilekatkanlah sanksi di dalamnya.

Damai sejahtera sebagai tujuan hukum tidak akan tercapai apabila hukum itu sendiri ditaati berdasarkan semata-mata paksaan dari luar, akan tetapi untuk mencapai damai sejahtera hukum harus ditaati berdasarkan kehendak sukarela dari individu yang datang dari dalam, untuk mencapai hal tersebut satu-satunya jalan adalah dengan melihat pada hukum itu sendiri yaitu, hukum tersebut telah sesuai dengan nilai, norma yang dikandung di dalamnya menuntun masyarakat kepada hal yang baik, hukum tersebut

52 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum, Op.Cit., Hlm. 124.

53 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

(18)

memberi keadaan adil dan tenang kepada individu dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lain.54

Sudah seyogyanya bahwa hukum yang adil sama sekali tidak memerlukan paksaan untuk mentaatinya karena sudah pasti individu dan masyarakat akan dengan sukarela tunduk terhadap hukum yang demikian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hukum daya mengikatnya berasal dari dalam, pendapat demikian sekaligus menepis pemahaman para ahli hukum yang terdahulu yang selalu mengidentikkan hukum dengan sifatnya mengikatnya berasal dari luar atau lebih tepat dikatakan memiliki daya paksa dari luar.

Hukum memiliki dua faktor utama dalam dinamikanya, yaitu perkembangan yang disadari dan tuntutan individual yang dilakukan secara sadar.”55

Tuntutan individual secara sadar itulah yang disebut hukum.56 Bahwa manusia menaati hukum karena

orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar berkepentingan akan berlakunya hukum tersebut.57

Utrecht juga mengatakan bahwa orang menerima hukum supaya ada rasa kedamaian.58 Kesadaran akan

54 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 57. 55 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 53

56Ibid.,Hlm. 53

57 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum , Sinar Grafika,

Jakarta, 2008, Hlm. 56.

(19)

perlunya aturan itulah yang biasanya disebut sebagai opinio necessitates.”59

Hakekat hukum adalah terdapat pada sifatnya yang normatifnya karenanya memang setiap orang merasa berkewajiban untuk mentaatinya sebagai sebuah norma dan sifat tersebut tidak akan hilang bilamana pada prakteknya manusia tidak mentaatinya.

59 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

(20)
(21)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Karena seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa bila tujuan dari ke-dua rumusan pertanyaan penelitian, mampu tercapai, maka akan nampak keseluruhan

internet; (4) Adanya kelalaian dari warga negara asing tersebut; (5) Tidak ada petugas Imigrasi yang ditugas- kan di konsulat dan kedutaan Timor Leste yang ada di luar negeri

perkawinan adat suku Sasak dan pandangan mereka tentang kawin lari yang tak lain sebagai.. ciri khas dari perkawinan adat

Pendampingan Pastoral Terhadap Remaja yang Lahir di Luar Pernikahan di Jemaat GPM Tuhaha. Dalam menjalankan tanggungjawab pelayanan, jemaat GPM

Jadi, katong bagaimana mengambil peran, supaya katong diterima dengan baik. Tidak ditolak karena apriori, apriori katong sendiri, seolah katong hidup cuma untuk

Penulis menemukan kata-kata marah yaitu merasa kurang adil dalam upaya hukum yang telah di berikan 12 , saya kecewa dengan prosedur hukum saya, saya memikirkan dengan

Dari hasil wawancara keempat responden mengakui stress dan cemas yang dialami karena beban kerja dalam menjalankan peran ganda dalam keluarga.

Wawancara dilakukan terhadap masyarakat pendulang emas di desa Banti kampung Waa, pihak luar atau pendatang yang ikut terlibat dalam lokasi penelitian, kemudian