• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SUMBER HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III SUMBER HUKUM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

43

BAB III SUMBER HUKUM

A. Pengertian Sumber Hukum

Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.1

Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.

Istilah sumber menurut Sudikno Mertokusumo, sering digunakan dalam beberapa beberapa arti: :

1. Sebagai asas hukum, yaitu sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dsb. 2. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan yang

sekarang berlaku, misalnya hukum Prancis, hukum Romawi, hukum Islam, dan lain-lain.

3. Sebagai sumber berlakunya, yaitu yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum, misalnya penguasa dan masyarakat. 4. Sebagai sumber darimana hukum itu dapat diketahui, misalnya

dokumen-dokumen, undang-undang, batu bertulis, daun lontar, dsb.

1 CST Kansil & Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet. III,

(2)

5. Sebagai sumber terbentuknya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.2

B. Macam-macam Sumber Hukum

1. Sumber Hukum Materiil

Sumber hukum materiil yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum yang mengikat semua orang. Sumber hukum ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan yang ikut menentukan sumber hukum.3

Utrecht mengatakan bahwa sumber hukum materiil adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion), kondisi sosial ekonomi masyarakat, hasil penelitian ilmiah, tradisi, agama dan moral, perkembangan internasional, keadaan geografis dan politik hukum.4

2. Sumber Hukum Formil

Sumber hukum formil, yaitu sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, dikenal dan ditaati. Di sinilah suatu kaidah mendapatkan kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan.

2

Shinta Dewi Rismawati, Mengenal Seluk Beluk Hukum, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), hlm. 96.

3 Sudikto Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty,

1991), hlm. 63.

4

(3)

Dengan demikian sumber hukum merupakan causa efficient dari hukum, karena sumber hukum formillah yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan atau kaidah hukum itu berlaku efektif di masyarakat.5

Macam-macam sumber hukum formal di Indonesia, antara lain : 6 1. Undang-undang:

Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Menurut Buys, undang-undang ini mempunyai dua arti, yakni: 1) Undang-undang dalam arti formal, ialah setiap keputusan pemerintah

yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen).

2) Undang-undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

2. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan beruang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Menurut pasal 15 Algemene Van Wetgeving Voor Indonesia (AB):

5Ibid, hlm. 99. 6

(4)

“Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan”.

3. Yurisprudensi :

Adapun yang merupakan peraturan pokok yang pertama pada zaman Hindia-Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat AB (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia).

Menurut pasal 22 AB : “de regter, die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid der wet kan uit hoofed van rechtswijgering vervolgd worden”, yang mengandung arti, “hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.”

Dari ketentuan ini, jelas bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan satu perkara. Dengan demikian apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.

4. Traktat (Treaty)

Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (consensus) tentang suatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian. Akibat perjanjian

(5)

ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu.

Perjanjian yang dibuat oleh dua negara (perjanjian antar negara) atau lebih mengenai persoalan-persoalan tertentu yang menjadi kepentingan yang bersangkutan

5. Doktrin

Dalam yurisprudensi, terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakum sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya, apalagi jika seorang sarjana itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut. Pendapat ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar atau asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya.7

C. Bentuk dan Tata Urutan Sumber Hukum Positif Perundang-Undangan Republik Indonesia

Untuk mengatur masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan umum seluruh rakyat, pemerintah mengeluarkan berbagai macam peraturan negara yang biasanya disebut peraturan perundangan. Semua peraturan

7

(6)

perundangan yang dikeluarkan pemerintah harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-undang Dasar dari Negara tersebut.

Dengan demikian semua peraturan perundangan republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Adapun bentuk-bentuk dan tata urutan perautran perundangan republic Indonesia sekarang ini berdasarkan UUD 1945 dan Ketetapan MRPS No. XX/MPRS/1966, sebagai berikut:8

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945); 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR); 3. Undang-undang (UU);

4. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang (PERPU); 5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; dan

7. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya.

Tata urutan (hierarchie) peraturan perundangan tersebut di atas tidak dapat diubah atau dipertukarkan tingkat kedudukannya, oleh karena tata urutan peraturan perundangan disusun berdasarkan tinggi-rendahnya badan penyusun peraturan perundangan dan menunjukkan kepada tinggi-rendahnya tingkat kedudukan masing-masing perautran negara tersebut. Tata urutan peraturan perundangan dimaksudkan, bahwa peraturan perundangan yang

8

(7)

lebih rendah tingkat kedudukannya tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan perundangan lain g lebih tinggi tingkat kedudukannya.9

Dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa:

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah

provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan

Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).10

Pada penjelasan pasal 7 Ayat (4) ditegaskan lagi bahwa peraturan yang diakui dalam ketentuan ini adalah:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau

9Ibid, hlm. 51.

10 Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

(8)

pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”11

D. Hak Uji Materiil (Judicial Review) di Bawah Undang-undang

Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, dalam melaksanakan tugasnya adalah kekuasaan yang mandiri, bebas dari pengaruh pemerintah (eksekutif), pengaruh pembuat undang-undang (legislatif) maupun pengaruh luar lainnya serta melakukan pengawasan tertinggi atas pelaksanaan peradilan sesuai dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.12

Menurut Tap MPR RI No. III/MPR/1978 Jo. UU No. 5 tahun 2004, Mahkamah Agung memiliki fungsi antara lain:

1. Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, sengketa mengadili dan perampasan; 2. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan (judicial review), yaitu

untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi;

3. Fungsi pengaturan, yaitu mengisi kekosongan hukum;

11 Penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004.

12 Ujang Abdullah, Hak Uji Materi di Bawah Undang-undang, Materi Cakim Pengadilan

(9)

4. Fungsi membina dan mengawasi Peradilan dan Hakim di bawahnya serta mengawasi Notaris dan Penasihat Hukum;

5. Fungsi memberi nasehat hukum kepada Presiden dalam pemberian dan penolakan grasi dan rehabilitasi serta memberi pertimbangan hukum ke Lembaga Tinggi Negara lainnya.

6. Fungsi administratif, yaitu mengelola administasi, keuangan dan organisasi itu sendiri. 13

Selain itu Mahkamah Agung mempunyai fungsi lain yang diatur oleh UU tersendiri, seperti menetapkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum), pengawas Partai Politik (UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik), menyelesaikan perselisihan antar daerah dalam konteks otonomi (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan lain sebagainya.

Judicial Review atau Hak Uji Materiil (disingkat HUM) pada prinsipnya adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Hak uji materiil di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1) Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide: UUD 1945

13

(10)

Amandemen ke-3 Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat I huruf a);

2) Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang (seperti: Peraturan Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 Pasal 31, Jo. Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999, terakhir dengan PERMA No. 1 tahun 2004).14

Menurut Perma No. 1 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah “hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan perandang-undangan yang lebih tinggi”.

E. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung dalam Memutus Perkara Perdata

Secara konstitusional, berdasarkan pasal 5 jo. Pasal 20 UUD 1945, negara Indonesia menganut paham kedaulatan legislative (legislative sovereignty). Bila bertitik tolak dari kedaulatan legislatif ketentuan pasal 5 dan

14

(11)

pasal 20 UUD 1945, pada dasarnya MA bukan badan atau cabang kekuasaan negara yang diberi kekuasaan dan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan karena kekuasaan dan kewenangannya sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) menurut pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice).

Dengan demikian, pada prinsipnya MA memiliki kewenangan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR dan Presiden/ Pemerintah. Namun, MA dan badan peradilan itu hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan menemukan makna atau memperluas dan mengelastiskan pengertian, apabila ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak jelas maknanya, rumusannya keliru, atau mengandung ambiguitas. Penafsiran boleh dilakukan melalui metode penafsiran sejarah legislatif untuk mengetahui dan menemukan apa yang dikehendaki legislatif.15

Kategori Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) penjelasan pasal 7 ayat (4) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan agar tetap dapat ditegakan “interactive between social change and law development”.

Patokan atau ruang lingkup batasan kewenangan MA membuat peraturan, pada penjelasan umum:

15

(12)

Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan”.

a. Peraturan Mahkamah Agung Bersifat Pelengkap (Complementary)

Peraturan Mahkamah Agung bersifat pelengkap atau penyempurna terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Oleh karena itu dilarang atau tidak dibenarkan membuat PERMA yang membuat kebijakan umum, yang tidak ada sandaran dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan DPR (legislatif) dan Presiden / Pemerintah (eksekutif).

b. Tujuannya untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum 1) Mengisi kekurangan hukum

Keadaan kekurangan hukum sering dijumpai dalam bidang hukum acara (processrecht, law of procedure), sebagai contoh: penangkapan pelaku teroris, yang secara prosedur hanya menggunakan data dari intel dan proses penangkapannya yang lama menggunakan formulasi hukum dari KUHP, terjadi kekurangan hukum.

2) Mengisi kekosongan hukum

Biasanya tindakan kekosongan hukum ini dalam bidang hukum acara, yang sama sekali tidak mengatur teknis peradilan, padahal sangat dibutuhkan. Sebagai missal PERMA No. 1 Tahun 1956, untuk mengisi kekosongan hubungan antara pengadilan perdata dan pengadilan pidana. PERMAS NO. 1 Tahun 1959, untuk mengisi kekosongan mengenai pembayaran biaya perkara kasasi. PERMA No.

(13)

1 Tahun 1963 untuk mengisi kekosongan permohonan kasasi maupun risalah kasasi yang dapat diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.

c. PERMA diperlukan bagi kelancaran jalannya keadilan

Ditinjau dari faktor urgensi, pembuatan PERMA sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum, betul-betul diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Kapan saja terjadi kekuranglancaran jalannya peradilan yang ditimbulkan oleh kekurangan atau kekuasaan atau kekosongan hukum yang berlaku, MA harus segera meresponnya dengan jalan membuat PERMA yang mendalam dan komperehensif. 16

16

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pengumpulan data melalui catatan atau dokumentasi ini, yaitu yang berkaitan dengan metode dakwah yang digunakan LDII dalam membina moral remaja LDII di Desa Mlati

Larangan pemilikan tanah secara absentee yang telah ditentukan dalam Pasal 10 UUPA, belum dapat dilihat hasil secara signifikan. Walaupun data yang pasti belum dapat

Ketujuh, melakukan dialog yang terprogram dengan wali murid, terutama terkait siswa-siswa yang sering melanggar tata tertib atau nilainya menurun, sehingga para

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Jaminan Kerugian Total artinya bila kendaraan hilang dicuri atau kendaraan mengalami kecelakaan yang mana biaya perbaikannya diperkirakan minimal 75 persen dari harga

Objek penelitian berupa pembelajaran keterampilan menulis teks negosiasi dengan media audio-visual pada proses belajar mengajar siswa kelas X SMK Muhammadiyah 3

Filosofi berupa pepatah yang ada pada masyarakat Tionghoa Tanjungpinang.. sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat itu sendiri dan cukup

individu yang mencapai intimasi dapat berkomunikasi dengan individu lain sehingga. membentuk sebuah kelompok diskusi yang dapat menghasilkan