• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Disiplin di Sekolah. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya Disiplin di Sekolah. pdf"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1

MENEGAKKAN DISIPLIN DI SEKOLAH

Oleh Jejen Musfah, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jejenjuni02@gmail.com

Sebuah proses pendidikan tidak akan berhasil jika tidak ada penerapan disiplin kepada para siswa. Disiplin adalah kemampuan memanfaatkan waktu untuk melakukan hal-hal yang positif guna mencapai sebuah prestasi. Disiplin juga berarti kemampuan berbuat hanya yang memberikan manfaat bagi diri, orang lain, dan lingkungan.

Sayang, pohon kedisiplinan siswa di sekolah-sekolah kita telah banyak roboh. Ini terjadi oleh sebab tiadanya teladan para pendidik dan tenaga kependidikan serta kepala sekolah, di lain pihak karena rapuhnya tata tertib sekolah. Lemahnya perhatian sekolah pada penegakkan peraturan merupakan sebab kerapuhan tersebut. Karena itu, saatnya pengelola sekolah memprioritaskan tegaknya budaya disiplin di kalangan para siswa, sehingga perilaku dan prestasi siswa makin membanggakan.

Disiplin terkait dengan tata tertib dan ketertiban. Ketertiban berarti kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan karena didorong oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Disiplin adalah kepatuhan yang muncul karena kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu. Sedangkan tata tertib berarti perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur.

Sejak awal, para siswa harus dikenalkan dengan lingkungan sekolah yang menghargai dan menjunjung tinggi kedisiplinan. Sekolah harus bisa meyakinkan pada para siswa bahwa perilaku baik dan prestasi cemerlang hanya bisa diraih dengan kedisiplinan tinggi para siswa. Tanpa kedisiplinan, fungsi sekolah akan mandul dan potensi siswa akan terkubur, bahkan akan banyak siswa terlibat masalah.

Hanya sedikit sekolah yang berhasil menjalankan kedisiplinan. Faktanya bisa kita lihat melalui potret lingkungan sekolah yang tidak bersih, siswa yang gemar merokok, dan siswa tawuran. Semua itu cermin perilaku tidak disiplin dan tidak berbudaya. Jika demikian yang terjadi, sekolah sulit menjadi tempat munculnya generasi-generasi yang berperilaku baik dan berprestasi.

Orang tua punya harapan pada sekolah agar anak mereka berperilaku baik dan berprestasi. Contoh lain dari kurangnya disiplin adalah rendahnya prestasi siswa. Nilai ujian nasional (UN) bisa kita jadikan ukurannya. Beberapa siswa kita memang berhasil meraih medali di tingkat internasional, namun itu tidak mecerminkan mutu atau prestasi siswa pada umumnya. Mayoritas siswa minim prestasi.

Memberi contoh baik bukan hanya tanggung jawab guru, staf, dan kepala sekolah. orang tua, pejabat publik, dan publik figur juga punya peran pada pembentukan perilaku siswa-siswa kita saat ini. Namun sekolahlah yang pertama-tama harus mampu menyediakan lingkungan, peraturan, dan individu-individu, yang mencerminkan kedisiplinan.

(2)

2

bukan semata bermodal kecerdasan, namun melalui disiplin yang tinggi dalam belajar dan melakukan sesuatu.

Beberapa upaya harus segera dilakukan oleh sekolah dalam upaya mendisiplinkan siswa, sehingga mereka memiliki perilaku yang baik dan berprestasi. Ini memang usaha yang tidak mudah, selain juga membutuhkan waktu yang tidak pendek. Membentuk pribadi siswa agar dewasa dalam setiap perilaku dan apalagi selalu cenderung pada pencapaian prestasi membutuhkan kesungguhan upaya, baik sistemik maupun teladan nyata dari lingkungan.

Pertama, membuat tata tertib yang jelas dan menyeluruh. Jelas maksudnya mudah dipahami oleh siswa, apa yang harus dilakukan dan apa sangsinya jika melanggar. Menyeluruh artinya mencakup seluruh aspek yang terkait dengan kedisiplinan, seperti membuang sampah harus pada tempatnya. Setiap poin tata tertib itu harus disosialisasikan pada siswa, sehingga mereka memahami mengapa suatu peraturan itu dibuat. Perlu disadari, melaksanakan dan menegakkan tata tertib lebih sulit dibanding membuatnya. Karena itu, kerjasama semua pihak di sekolah mutlak perlu.

Kedua, menerapkan sangsi bagi setiap pelanggaran tata tertib, sebab tanpa sangsi peraturan tidak akan berjalan efektif. Sangsi pada awalnya bisa mendidik siswa untuk disiplin. Namun pada periode tertentu, siswa menjalankan kedisiplinan karena memang keharusan, demi meraih keutamaan dan prestasi, bukan karena takut sangsi; siswa melakukan kedisiplinan atas panggilan jiwa, bukan karena faktor yang lain.

Ketiga, ciptakan keteladan dari atas. Kepala sekolah, guru, dan staf adalah contoh keteladanan bagi siswa. Mereka menunjukkan kepedulian pada tegaknya disiplin dengan perilaku nyata, seperti mengisi waktu luang dengan membaca buku atau majalah; menyediakan lingkungan sekolah yang bersih dan hijau (clean and green); menyelenggarakan kegiatan-kegiatan atau program yang terkait dengan kegiatan ilmiah, di mana siswa menjadi peserta atau kontributornya. Singkatnya, keteladanan itu harus mewujud dalam program nyata, yang bisa dilihat dan dialami oleh siswa, bukan sekedar slogan tanpa aksi nyata.

Keempat, sediakan perpustakaan yang lengkap berisi buku, majalah, jurnal, dan koran harian. Ruangan perpustakaan dibuat nyaman, sehingga para siswa tertarik berkunjung dan betah di dalamnya. Pegawai perpustakaan harus orang yang memiliki keahlian di bidangnya, yaitu sarjana perpustakaan. Membuat program-program yang terkait dengan perbukuan, agar siswa terdorong untuk membaca dan mengkaji isi buku. Perpustakaan dan buku—jika dikelola dengan baik—merupakan cikal bakal lahirnya peneliti-peneliti muda di kemudian hari, karena di sanalah pada awalnya mereka mendapatkan beragam informasi tentang sebuah pengetahuan.

Kelima, sediakan kegiatan ekstra kurikuler yang beragam, sesuai dengan dan bakat siswa, sehingga pikiran dan tenaga mereka terarahkan pada hal-hal positif. Kegiatan ekstra kulikuler memberikan pengalaman dan nilai-nilai yang positif bagi para siswa, yang mungkin tidak mereka temukan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Sekolah harus mendorong dan memfasilitasi siswa-siswa yang memiliki bakat dalam bidang tertentu (musik dan olahraga, misalnya) dengan memberi kemudahan pada mereka dalam mengikuti kompetisi-kompetisi di semua level.

(3)

3

karena setiap anak lahir dengan membawa kecerdasannya sendiri. Tugas sekolah adalah menemukan kecerdasan apa yang dimiliki siswa, bukan memaksakan agar siswa menguasai kecerdasan tertentu. Gardner (1998: 25) menulis, “Agar seorang siswa berhasil dalam studi dan hidupnya kelak, maka pendidikan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan pribadi dengan mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki siswa.”

Keenam, buatlah tempat ibadah yang bersih dan nyaman. Di tempat ibadah inilah para siswa dimotivasi secara berkala melalui nilai-nilai agama, selain melakukan salat berjamaah. Tempat ibadah dan programnya berperan mendekatkan para siswa dengan Tuhannya. Orang yang dekat Tuhan memiliki ketentraman perasaan. Dalam perasaan yang tentram akan timbul perilaku baik dan dorongan berprestasi dengan jalan belajar dan meneliti (bekerja) dengan penuh kesungguhan serta tidak pernah putus asa.

Ketujuh, melakukan dialog yang terprogram dengan wali murid, terutama terkait siswa-siswa yang sering melanggar tata tertib atau nilainya menurun, sehingga para wali murid dan guru bisa bekerjasama dalam mendidik para siswa tersebut ke arah yang lebih baik. Sebulan sekali para wali murid dan sekolah perlu berdiskusi mengenai kondisi siswa untuk mendapatkan gambaran situasi yang sesungguhnya dialami siswa di sekolah dan di rumah, dan lalu secara bersama pula mencarikan jalan keluar dalam mengatasi masalah tersebut.

Hal ini tidak akan sulit dilakukan karena sekolah dan wali murid punya harapan yang sama, yaitu ingin para siswa berkembang secara normal, memiliki perilaku baik, dan berprestasi—sesuai dengan bakatnya masing-masing. Saat berdialog, sekolah tidak boleh terkesan menghakimi para wali murid dengan cara menimpakan kesalahan pada mereka atau menganggap anak-anak mereka sulit berkembang atau sulit diatur. Sekolah jangan sampai putus asa menghadapi masalah-masalah siswa. Mengeluh sejenak boleh, namun tidak boleh hingga putus harapan, karena mendidik itu proses yang tidak sebentar maka butuh ekstra kesabaran. Butuh lima atau sepuluh tahun bahkan lebih untuk melihat anak-anak kita tumbuh menjadi manusia dewasa, yang arif dalam setiap tindakan dan mengatasi masalahnya dengan penuh pertimbangan rasio dan kalbu.

Slogan, visi, atau bahkan program-program yang direncanakan, dibuat, dan dilaksanakan sekolah terkait dengan penegakkan disiplin siswa tidak akan efektif dan menyentuh nurani dan pikiran siswa selama tidak ada komitmen yang kuat dan terus menyala dari pendidik, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah. Membudayakan nilai-nilai (disiplin) bukan pekerjaan seorang atau dua orang, ia adalah kerja kolektif yang solid dan didukung oleh kepemimpinan yang kuat serta penegakkan peraturan yang konsisten.

Sekolah menerima input siswa yang beragam, baik segi kecerdasan, status sosial, perilaku, budaya, maupun geografis. Tidak akan mudah membimbing mereka pada suatu visi kedisiplinan diri untuk berperilaku yang semata baik dan berbuat untuk mencapai prestasi. Namun untuk itulah sejatinya sekolah didirikan. Seperti dilukiskan Pai (1990: 26), “Fungsi utama sekolah adalah transmisi nilai-nilai sosial; agen perubahan sosial; juga sebagai agen transmisi dan perubahan budaya.”

Maka standar sekolah efektif itu adalah terletak pada kemampuannya menjadikan siswa—sebanyak mungkin—menjadi pemuda yang menghayati nilai-nilai baik (disiplin salah satunya) yang diakui lingkungan sosialnya dan juga selalu

semangat mengejar prestasi sesuai bakatnya. “Sekolah yang unggul akan

(4)

4

luas,” demikian tulis Caldwell dan Spinks (1993: 72). Nilai yang dihayati dengan baik

secara kolektif akan melahirkan budaya bahkan peradaban yang unggul. Budaya unggul adalah perpaduan perilaku yang baik dan prestasi yang gemilang. Semoga cermin budaya disiplin bisa kita temukan di sekolah-sekolah kita. Mungkin tidak hari ini, tapi esok atau lusa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Daftar Pustaka

Caldwell, B.J. dan Spinks J.M. (1993). Leading the Self-Managing School. Second Edition. London & Washington: The Falmer Press.

Gardner, H. (1998). Multiple Intelligences. New York: Basicbooks.

Pai, Y. (1990). Cultural Foundation of Education. New York: Macmillan Publishing Company.

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab: adanya gangguan hormonal dengan umur korpus luteum memendek sehingga siklus menstruasi juga lebih pendek atau bisa disebabkan akibat stadium proliferasi pendek atu

Pemanfaatan umbi uwi sebagai bahan pembuatan bihun akan membawa sifat yang menguntungkan dari uwi dan mengurangi konsumsi beras, untuk itu perlu dilakukan penelitian

Atau, pasien tertentu dapat memilih untuk memiliki eksisi lokal luas, juga dikenal sebagai lumpectomy, suatu operasi di mana volume kecil jaringan payudara yang mengandung tumor

Demikian Surat Penetapan ini kami sampaikan sebagai bahan untuk diketahui, atas perhatiannya diucapkan banyak terima kasih.. Tanggal, 22

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa Produksi dan Warna Kuning Telur Puyuh Jepang yang diberi Sorgum Putih dan Tepung Daun Singkong

[r]

Dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (sedikit), tetapi jika kekurangan atau berlebihan akan mengakibatkan hal yang tidak baik

Sejumlah ahli manajemen mengatakan bahwa manusia dewasa rata-rata membuat 300 keputusan per hari, dari yang sepele sampai yang penting dan menentukan hidup mereka. Artinya, setiap