• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tanggung Jawab Notaris yang Menerima Penitipan

Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn55 bahwa ketika LK salah seorang pemegang saham PT. Sumatera Match Factory datang ke Kantor Notaris MG, dimana LK selaku pemegang

54

Ibid.,hal. 31

55

Bahwa dalam perkara ini Notaris tersebut dapat diduga telah melakukan kesewenangan- wenangan, kelalaian karena seharusnya Notaris tersebut selaku orang yang dipercaya oleh kliennya untuk menyetorkan pembayaran pajak-pajak yang telah dipercayakan pengurusannya terhadap Notaris tersebut akan tetapi yang terjadi notaries tersebut telah sewenang-wenang dengan tidak menyetorkannya akan tetapi memfiktifkan setoran pajak tersebut.

saham PT. Sumatera Match Factory yang rencananya akan menjual sebidang tanah berikut bangunan dengan sertifikat HGB No.120/TG.Mulia.

Kemudian Notaris MG menjelaskan kepada LK agar diselenggarakan dulu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sesuai dengan Anggaran Dasar Perusahaan, dan di dalam RUPS tersebut agar diputuskan untuk menjual asset berupa tanah dan bangunan sesuai sertifikat HGB No. 120/TG.Mulia.

Setelah RUPS selesai diselenggarakan, maka LK yang mewakili pihak penjual, mempertemukan Notaris MG dengan saksi korban CS dan HK yang merupakan calon pembeli. Setelah bertemu maka pihak penjual dan pihak pembeli sepakat dengan harga tanah dan bangunan yang akan dibeli sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Setelah jual beli terjadi, akta jual beli belum dibuat karena masih menunggu peninjauan objek tanah, sehingga pihak penjual dan pihak pembeli meminta MG untuk pengurus proses jual beli /peralihan dan mengurus pembayaran mengenai biaya-biaya pajak BPHTB dan PPH. Atas permintaan tersebut, MG mengatakan bahwa biaya pengurusan sebesar Rp. 660.000.000,-(enam ratus enam puluh juta rupiah) dengan perincian pembayaran pajak sebesar Rp. 660.000.000,-(enam ratus juta rupiah) dan jasa bagi MG sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

Kemudian pada hari itu juga yaitu tanggal 25 April 2002, saksi korban CS dan HK menitipkan 1 (satu) lembar cek No.C114577dari Bank X dengan nominal sebesar Rp. 660.000.000,-(enam ratus enam puluh juta rupiah) sesuai dengan permintaan

MG. Setelah cek tersebut diterima oleh MG, kemudian keesokkan harinya pada tanggal 26 April 2002, MG segera mencairkan cek tersebut ke Bank X Medan.

Setelah cek tersebut cair, MG tidak segera mengurus proses peralihan dan balik nama sertifikat HGB No.120/TG.Mulia dan MG tidak membayarkan pajak- pajak yang berhubungan dengan proses peralihan dan balik nama sertifikat, akan tetapi MG menyuruh anak buahnya MS (berkas perkara terpisah) untuk mengurus penerbitan SPPT PBB Th.2002 dan mengurus peralihan dan balik nama sertifikat HGB No.120/TG.Mulia kepada FH (berkas perkara terpisah) dengan mengecilkan/menurunkan nilai BPHTB dan PPH. Biaya pengurusan yang diminta oleh FH adalah Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah), namun sebelum MG memutuskan untuk mengurus pengurusan peralihan dan balik nama sertifikat HGB No. 120/TG.Mulia dan pembayaran pajak-pajaknya kepada FH, datanglah SA (berkas perkara terpisah) dan mengatakan bahwa ia dapat mengurus pengurusan peralihan dan balik nama sertifikat HGB No. 120/TG.Mulia dan pembayaran pajak-pajaknya dengan biaya keseluruhan Rp. 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah), karena menurut MG pengurusan melalui SA lebih murah, maka MG memutuskan untuk mengurus pengurusan peralihan dan balik nama sertifikat HGB No. 120/TG.Mulia tersebut kepada SA dan akhirnya MG menyerahkan uang yang telah dicairkannya dari Bank X kepada MS sebanyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah) untuk kemudian diserahkan kepada FH sebagai uang tutup mulut dan untuk penerbitan SPPT PBB Th.2002.

Setelah pengurusan diserahkan kepada SA, maka MG menugaskan MS untuk mengetik Akta Jual Beli dengan PPAT atas nama MA, SH dengan dilampirkan foto kopi SPPT PBB Th.2002 senilai Rp.12.636.144.000,- (dua belas milyar enam ratus tiga puluh enam juta seratus empat puluh ribu rupiah) yang MG peroleh dari FH atas nama saksi korban CS dan HK, Surat Setoran BPHTB dengan nilai Rp. 600.307.200 (enam ratus juta tiga ratus tujuh ribu dua ratus rupiah) dan SSP Final atas nama N.V Sumatera Match Factory sebesar Rp. 601.807.200,-(enam ratus satu juta delapan ratus tujuh ribu dua ratus rupiah).

Setelah akta Jual Beli dan lampiran-lampirannya siap, maka MG memanggil para pihak yaitu : saksi korban CS dan HK sebagai pihak pembeli PA, LK sebagai pihak penjual dengan saksi-saksi RS dan MS untuk masing-masing menandatangani Akta Jual Beli (pada saat ditandatangani belum bernomor dan bertanggal)56, namun karena MG belum menjabat sebagai PPAT, maka Akte Jual Beli tersebut ditandatangani oleh Notaris/PPAT MA,SH dengan biaya sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dimana biaya tersebut MG serahkan kepada MS untuk selanjutnya diberikan kepada Notaris/PPAT MA,SH.

Setelah Akte Jual Beli tersebut ditandatangani oleh seluruh pihak, maka MG menyiapkan Akte Jual Beli tersebut dengan dilampirkan sertifikat HGB No.

56

Sebelum akta ditandatangani seharusnya akta tersebut telah dicantumkan nomor serta tanggal akta tersebut dibuat, sedangkan dalam kasus ini akta tersebut ditandatangani oleh pembeli, penjual dan saksi sebelum akta tersebut diberi nomor dan tanggal. Maka Notaris tersebut dalam hal ini telah melakukan pelanggaran.

120/TG.Mulia asli kepada Notaris/PPAT MA,SH57, maka SA mengambil kembali Akte Jual Beli tersebut beserta lampiran-lampirannya untuk dimasukkan ke BPN Kota Medan dengan terlebih dahulu SA membuat / mengisi sendiri dengan mesin tik listrik Surat Setoran BPHTB Fiktif58 atas nama saksi korban CS dan HK dengan nilai Rp. 159.831.500,-(seratus lima puluh sembilan juta delapan ratus tiga puluh satu ribu lima ratus rupiah), SSP Final fiktif dengan nilai Rp. 161.331.500,-(seratus enam puluh satu juta tiga ratus tiga puluh satu ribu lima ratus rupiah) dan SSPPT PBB Th.2002 fiktif senilai Rp.3.226.630.000,-(tia milyar dua ratus dua puluh juta enam ratus tiga puluh ribu rupiah).

Setelah berkas-berkas tersebut siap, maka SA memasukkan berkas tersebut ke BPN Kota Medan dengan menyerahkan pengurusannya kepada saksi HL. Keudian HL meminta biaya pengurusan peralihan dan balik nama sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan menjanjikan proses peralihan dan balik namanya akan siap dalam waktu 2 hari. Keesokkan harinya SA meminta biaya pengurusannya untuk HL kepada MG sebanyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) dan setelah proses peralihan dan balik nama sertifikat HGB No. 120/TG.Mulia selesai, maka SA mengambil sertifikat asli tersebut dari BPN kemudian diserahkannya kepada MG dan

57

Bahwa di dalam UU BPHTB dikatakan PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Dalam UU BPHTB tersebut tidak mengatur secara jelas tentang kewajiban PPAT dalam melihat pembayaran BPHTB tersebut.

58

Tindakan Notaris dalam hal ini dapat diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah membuat surat setoran pajak fiktif dimana seharusnya berdasarkan Pasal 16 ayat 1 (a) UUJN notaries harus bertindak jujur, seksama, mandiri tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

oleh MG, sertifikat HGB No.120/TG.Mulia asli yang telah beralih nama itu langsung diserahkan kepada saksi korban HK akan tetapi bukti-bukti pembayaran dari pajak- pajak yang berhubungan dengan proses peralihan dan balik nama sertifikat, tidak MG serahkan kepada saksi korban, akan tetapi hanya diperlihatkan saja dihadapan saksi korban dengan tujuan untuk mengelabui saksi korban seakan-akan pajak sebenarnya tinggi dan dapat diusahakan oleh MG menjadi rendah.

Selanjutnya pada tanggal 29 Mei 2003 saksi korban CS dan HK telah menerima surat dari BPN Kota Medan Nomor 600.736/05.PKM/2003 yang isinya adalah bukti setoran pajak BPHTB sejumlah Rp. 159.831.500,-(seratus lima puluh sembilan juta delapan ratus tiga puluh satu ribu lima ratus rupiah) SSP Final senilai Rp. 161.331.500,-(seratus enam puluh satu juta tiga ratus tiga puluh satu ribu lima ratus rupiah) atas nama saksi korban CS dan HK yang diajukan sebagai syarat peralihan/ balik nama sertifikat No. 120/TG.Mulia adalah palsu, sehingga saksi korban langsung mengecek ke kantor BPN dan langsung membayar kembali pajak- pajak yang terhutang, dan setelah lunas, maka saksi korban CS dan HK menjumpa MG untuk meminta kembali uang yang telah diterima oleh MG dari saksi korban, akan tetapi MG terus menghindar dan mengelak dari tanggung jawab, sedangkan uang yang diterima dari saksi korban telah habis dipergunakan oleh MG, sehingga akibat perbuatan MG tersebut, saksi korban menderita kerugian sebesar Rp. 660.000.000,- (enam ratus enam puluh juta rupiah).

2. Tanggung Jawab Notaris yang menerima Penitipan Pembayaran BPHTB Tanggung jawab menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Tanggung jawab dapat diartikan juga dengan bertindak tepat tanpa perlu peringatan. Sedangkan bertanggung jawab merupakan sikap tidak tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.59 Jadi bertanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa setiap tindakannya akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Karena menyadari bahwa tindakannya itu berpengaruh terhadap orang lain maupun bagi dirinya sendiri maka ia akan berusaha agar tindakan – tindakannya hanya member pengaruh positif terhadap orang lain dari diri sendiri dan menghindari tindakan-tindakan yang dapat merugikan orang lain ataupun diri sendiri.

Hans Kelsen dalam bukunya membagi pertanggung jawaban menjadi empat macam yaitu :60

a. Pertanggung jawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri

59

http://massofa.wordpress.com/2009/02/13/melatih-tanggung-jawab/28 juni 20122

60

Hans Klesen, terjemahan Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2006, hal.140

b. Pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan orang lain

c. Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian

d. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Notaris merupakan suatu profesi yang mempunyai tugas berat, sebab ia harus menempatkan pelayanan terhadap masyarakat diatas segala-galanya. Oleh karena rasa tanggungjawab baik secara individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum dan kesediaan untuk tunduk pada Kode Etik Profesi merupakan suatu hal yang wajib, sehingga akan memperkuat norma hukum positif yang sudah ada.

Seorang notaris sebagai orang yang independen tidak berpihak kepada siapapun harus mempunyai kecerdasan emosi yang cukup sehingga ia bias memposisikan diri secara benar tatkala berhadapan dengan klien sebagai professional dan sebagai individu.61

Seorang notaris harus menjunjung tinggi tugasnya serta melaksanakannya dengan tepat dan jujur yang berate bertindak menurut kebenaran sesuai dengan sumpah jabatan notaris. Seorang notaris dalam memberikan pelayanan, harus

61

mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nurani.62

1. Notaris wajib bertanggung jawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang dilakukan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan;

2. Notaris wajib bertanggung jawab kepada Negara dan masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan untuk menjalankan sebagai tugas Negara dalam bidang Hukum Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta notaris, dan percaya bahwa notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta notaris, dan percaya bahwa notaris mampu menyimpan segala keterangan atau ucapan yang diberikan dihadapan notaris.

Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang akan timbul dikemudian hari dan bahkan tanggung jawab moril sebagai professional, kalau merugikan pihak lain, notaris harus dapat mempertanggungjawabkan pekerjaannya di muka hukum secara perdata dan pidana.63

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dirumuskan sebagai berikut : “Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.”64

62

Habib Adjie,Op.Cit.,hal.35

63

http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/06/tanggung-jawab-profesi-notaris-dalam.html, 28 Juni 2011

64

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan Pasal 1

BPHTB merupakan salah satu pajak objektif65 atau pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar akta risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Subjek Pajak adalah pribadi/badan, akan tetapi dalam pajak ini orang pribadi/badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan.66 Dengan jelas hal itu tercantum dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, sebagai berikut :

(1)Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

(2)Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang ini.

Objek Pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah sebagai berikut :

a. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemindahan hak

Pemindahan hak yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan objek pajak BPHTB meliputi :

1. Perolehan hak karena jual beli, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh pembeli dari penjual, yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual.

2. Perolehan hak karena tukar menukar, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diterima oleh seseorang atau suatu badan dari tanah dan bangunan miliknya kepada pihak lain tersebut sebagai penggantian tanah dan atau bangunan yang diterimanya. Biasanya pada tukar menukar tanah

65

Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit.,hal.59

66

dan atau bangunan yang dipertukarkan ditentukan nilainya masing-masing dan dibandingkan terlebih dahulu agar tidak ada pihak yang dirugikan atas tukar menukar tersebut.

3. Perolehan hak karena hibah, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh oleh seseorang penerima hibah yang berasal dari pemberi hibh pada saat pemberi hibah masih hidup. Penerima tanpa perlu memberikan sejumlah uang maupun suatu barang kepada pemberi hibah. 4. Perolehan hak karena hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang

khusus mengenai pemberi hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

5. Perolehan hak karena waris, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh ahli waris dari pewaris (pemilik tanah dan atau bangunan) yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

6. Perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai hasil pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan atau dari badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan atau badan hukum lain tersebut.

7. Perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesame pemegang hak bersama.

8. Perolehan hak karena penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh seorang atau badan yang ditetapkan sebagai pemegang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.

9. Perolehan hak sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terjadi dengan peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai pihak yang semula memiliki suatu tanah dan atau bangunan kepada pihak ditentukan dalam putusan hukum menjadi pemilik baru atas tanah dan atau bangunan tersebut. 10.Perolehan hak karena penggabungan usaha, yaitu perolehan hak atas tanah

dan atau bangunan oleh badan usaha yang tetap berdiri dari badan usaha yang telah digabungkan ke dalam badan usaha yang tetap berdiri.

11.Perolehan hak karena peleburan usaha, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh badan usaha baru sebagai hasil peleburan usaha dari badan-badan usaha yang bergabung dan telah dilikuidasi.

12.Perolehan hak karena pemekaran usaha, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha yang baru didirikan yang berasal dari aktiva badan usaha induk yang dimekarkan.

13.Perolehan hak karena hibah, yaitu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan usaha kepada penerima hibah.

b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena pemberian hak baru. Pemberi hak baru yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunannya yang merupakan objek BPHTB meliputi :

1. Perolehan hak karena pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru dari Negara kepada orang pribadi atau badan hukum yang mana hak atas tanah tersebut dari pelepasan hak. 2. Perolehan hak karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak, yaitu

pemberian hak baru dari Negara kepada orang pribadi atau badan hukum menurut peraturan perundang-undnagan yang berlaku.67

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU BPHTB, yang menjadi subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Wajib Pajak merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Kewajiban pembayaran BPHTB harus dilakukan oleh wajib pajak pada saat terutangnya pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban dari PPAT/Notaris.68 Notaris disini hanya membantu kliennya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Disini Notaris hanya berusaha member pelayanan terbaik bagi kliennya.

Undang-Undang BPHTB memberikan ketentuan yang harus diikuti oleh pejabat yang berwenang dalam penandatanganan perolehan hak atas tanah dan bangunan69 yaitu :

67

Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit.,hal.64

68

Afrizal, Wawancara Notaris/PPAT, Medan 4 Juni 2011

69

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan, Pasal 24

(1) Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB

(2) Kepala Kantor Lelang hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB.

(3) Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

(4) Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) maka kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris, karena dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB. Oleh karena itu Notaris disini hanya berperan untuk membantu klien untuk menyetorkan pajak BPHTB. Undnag-undang juga tidak ada mengatur bahwa kewenangan PPAT

untuk mengetahui kebenaran pembayaran BPHTB. 70 Yang memeriksa Dinas Pendapatan Daerah dengan melakukan verifikasi dengan mencocokkan Nomor Surat Setoran dengan data yang ada.71

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa dalam kasus tersebut Notaristelah menerima penitipan pembayaran BPHTB dari kliennya untuk disetorkan. Maka berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang BPHTB, Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris maka kewajiban pembayaran BPHTB adalah kewajiban dari Wajib Pajak dan bukan kewajiban PPAT/Notaris akan tetapi karena notaris tersebut telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut dari kliennya maka Notaris tersebut bertanggung jawab dalam jabatannya untuk menyetorkan pajak BPHTB tersebut karena telah dipercaya oleh kliennya. Oleh karena itu notaris dalam menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada kliennya tetap menghormati dan menjunjung tinggi kode etik profesi dan senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya.

70

Hasil wawancara dengan Afrizal, Notaris/PPAT, Medan, 4 Juni 2011

71

Dokumen terkait