• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen(UUPK) diatur khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal 28. Dari tujuh pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan lagi ke dalam:

1. Pasal-pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21.

Pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan/distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk: pengembalian uang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.

Pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen diberlakukan bagi pelaku pelaku usaha periklanan untuk bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat yang ditimbulkan dari iklan tersebut.

Pasal 21 Ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada importir barang sebagaimana layaknya pembuat barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 Ayat (2) mewajibkan importir jasa untuk bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing jika penyedia jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

2. Pasal 24 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur peralihan tanggung jawab dari pelaku usaha lainnya, mengatakan bahwa:

“Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

3. Dua pasal Lainnya, yaitu Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-undang Perlindungan Konsumen berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya

atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyediaan suku cadang atau perbaikan.

4. Pasal 27 Undang-undang Perlindungan Konsumen merupakan pasal

“penolong” bagi pelaku usaha, yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan gantu rugi pada konsumen. Pasal 27 tersebut secara jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) adalah prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen (Inosentius Samsul, 2006: 46). hal ini dapat ditemukan dalam rumusan teori nehligence, yaitu the failureto exercise the standard of care that reasonably prudent person would have exercised in a similar situation (Bryan A. Garner, 2004: 1061).

Berdasarkan teori ini, kelalaian produsen yang berakibat munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada produsen.

Negligence dapat dijadikan dasar gugatan, manakala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai sikap hati-hati yang normal.

b. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati terhadap penggugat.

c. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul. (Ahmadi Miru, 2004: 148). Adapun tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan terdiri dari:

1. Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak

Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian (negligence) yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract), merupakan teori tanggung jawab yang paling merugikan konsumen. Karena gugatan konsumen hanya dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat tersebut, yakni adanya unsur kelalaian dan kesalahan dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Pembentukan teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dan hubungan kontrak sangat

dipengaruhi oleh paham individualisme dalam prinsip laissez faire

(Komarrudin, 1993: 23).

Secara historis, lemahnya perlindungan konsumen dapat ditelusuri hingga kerajaan Romawi Kuno. Peraturan tentang jual beli tidak banyak memberikan perlindungan terhadap pembeli (konsumen) yang dirugikan oleh penjual (produsen). Prinsip asli dari civil law yang diterapkan Kerajaan Romawi Kuno adalah

caveat emptor. Prinsip ini berarti, pembeliyang harus bertanggung jawab atas perlindungan kepentingannya, sedangkan penjual tidak bertanggung jawa atas kerugian konsumen (Burry Nicholas, 1993: 23).

Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian tidak memberikan perlindungan secara maksimal bagi konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen yaitu: Pertama, tuntutan adannya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang diketahui (David A. Fischer dan William Powers, 1998: 3).

2. Tanggung jawab berdasarkan Kelalaian atau kesalahan dengan beberapa pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak

Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan dengan persyaratan hubungan kontrak yang dipandang sangat tidak

akomodatif dan responsif terhadap kepentingan konsumen, serta kondisi nyata dalam kehidupan sehrai-hari, karena konsumen (pengguna atau pemakai) produk yang tidak mempunyai hubungan hukum atau kontrak dengan produsen yang sering menjadi korban dari produk yang ditawarkan produsen.

Ada tiga pemikiran yang digambarkan oleh Hakim Sarbon sebagai alasan dari pengecualian terhadap hubungan kontrak tersebut, yaitu: Pertama, pengecualian berdasarkan alasan karakter produk membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan konsumen (imminently and inherently dangerous product). Kedua, pengecualian berdasarkan konsep implied invitation, yaitu tawaran produk kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum. Ketiga, dalam hal suatu produk dapat membahayakan konsumen, kelalaian produsen atau penjual untuk memberitahukan kondisi produk tersebut pada saat menyerahkan barang dapat melahirkan tanggung jawab kepada pihak ketiga, walaupun tidak ada hubungan hukum antara produsen dan konsumen yang menderita kerugian (Zulham, 2013: 88).

3. Tanggung jawab berdasarkan kelalaian atau kesalahan tanpa persyaratan hubungan kontak

Tahap berikutnya adalah prinsip tanggung jawab tetap berdasarkan kelalaian atau kesalahan adalah pembuat produk yang mengedarkan atau menjual barang-barang yang berbahaya di pasar

bertanggung jawab bukan karena atau berdasarkan kontrak, tetapi karena ancaman yang dapat diperhitungkan jika tidak melakukan berbagai upaya untuk mencegah kerugian konsumen. Doktrin ini kemudian diperluas bukan saja hanya untuk kerugian diri manusia atau korban, tetapi juga meluas pada harta benda yang lain (David A. Fischer dan William Powers Jr, 1998: 590).

4. Prinsip praduga lalai dan prisip praduga bertanggung jawab dengan pembuktian terbalik

Prinsip praduga lalai dan prinsip praduga bertanggung jawab merupakan modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian dan kesalahan. Modifiksi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan prinsip tanggung jawab mutlak. Black’s law dictionary merumuskan doktrin res ispa laquitor dengan the thing speaks for it self, yang berarti kelalaian tidak perlu dibuktikan lagi. Karena fakta berupa kecelakaan atau kerugian yang dialami konsumen merupakan hasil dari kelalaian produsen, sebaliknya konsumen tidak akan mengalami kerugian atau kecelakaan apabila produsen tidak lalai. Berdasakan doktin ini, pembuktian dibebankan kepada pihak tergugat, apabila tergugat lalai atau tidak (Bryan A. Garner, 2009: 1336).

Dokumen terkait