• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sengketa konsumen adalah suatu sengketa yang salah satu pihaknya haruslah konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur hal ini dalam Pasal 45 bab X. Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 46 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain:

a. Adanya kerugian yang diderita oleh konsumen, b. Gugatan yang dilakukan terhadap pelaku usaha, c. Dilakukan melalui pengadilan.

Ketentuan Pasal 45 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:

1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau

2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Ketentuan Pasal 45 Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menunjuk langsung Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, disamping peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, dalam hal ini

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Penunjukan peradilan umum kiranya mudah dimengerti yaitu untuk membedakan jenis peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Penunjukan peradilan umum ini, erat kaitannya dengan substansi Pasal 48 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tentang penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Ketentuan Pasal 45 Ayat 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut diatas adalah penunjukan “lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha”. Ketentuan ini kurang jelas “lembaga” penyelesaian sengketa mana yang dimaksud. Apabila yang

dimaksud adalah khusus tertuju pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diatur dalam UUPK, maka mengapa Undang-undang tidak menunjuk langsung kepada badan ini.

Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut secara langsung setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat Pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau melalui peradilan dalam lingkungan peradilan umum.

Lembaga penyelesaian sengketa lainnya kecuali peradilan umum tidak dimungkinkan menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha, padahal terdapat lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang sejenis yang yang juga sejak awal pembentukannya dimaksudkan untuk menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha sekalipun menggunakan istilah lain. Lembaga yang dimaksudkan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

Dengan melalui ketentuan dalam Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, dapat dikatakan eksistansi Badan Arbitrase Muamalat Indoneseia (BAMUI) menjadi tidak mempunyai apa-apa, padahal bila ditelusuri sejarah pembentukan BAMUI, tampak badan ini telah susah payah diupayakan oleh Majelis Ulama Indonesia. BAMUI sengaja dibentuk untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa, dan lain-lain di lingkungan Bank Muamalat Indonesia, Badan Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariat (BPRS), Asuransi Takaful dan masyarakat islam yang sehri-harinya menggunakan aturan hukum islam. (Abdul Rahman Saleh, 1994: 14)

Sehubungan dengan eksistensi BAMUI tersebut, Abdul Rahman Saleh mengatakan bahwa praktek pada PT. Muamalat Indonesia sendiri telah mencantumkan standar kalusula arbitrase BAMUI yaitu: Arbitrase adalah suatu sengketa yang timbul dari dan/atau dengan cara apapun yang ada hubungannya dengan perjanjian ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai (Abdul Rahman Saleh: 1994: 15).

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak boleh menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur Pasal 45 Ayat (3). Hal ini disebabkan karena penyelesaian diluar pengadilan adalah bersifat perdata, sehingga Undang-undang mengatur bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menjadi alasan untuk menghilangkan tanggung jawab pidana yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Upaya ini dilakukan untuk menghindari digunakannya penyelesaian diluar pengadilan sebagai sarana

untuk menghindarkan pelaku usaha dari tanggung jawab pidana. Pasal 62 Ayat (3) mengatur bahwa tanggung jawab pidana yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku usaha, diperiksa dan diselesaikan menurut ketentuan pidana yang berlaku ( Adrian Sutedi, 2008: 22-23).

Menurut Pasal 45 Ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Penyelesaian sengketa

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian

sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Ayat tersebut tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak YANG BERSENGKETA (Sutarman Yodo, 2004: 224).

Ketentuan Pasal 46 Ayat (2) menempatkan seolah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan lembaga-lembaga peradilan lainnya yang berada diluar pengadilan lainnya yang berada di luar peradilan umum seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai lembaga peradilan yang berada di bawah lembaga peradilan umum, padahal keduanya berada dalam sisi yang berbeda. Terlepas dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dibentuk atau diadakan oleh negara, namun menurut Soebekti, peradilan umum adalah lembaga peadilan yang diadakan oleh negara, semantara arbitrase adalah peradilan di luar pengadilan atau disebut sebagai peradilan swasta.

Walaupun terdapat banyak kelemahan sebagaimana diuraikan di atas, Undang-undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 46 ini memperlihatkan kemajuan berkenaan dengan adanya pengaturan class action.

Class action dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan (Sothi Raschagan, 1993: 207).

Sebagai realisasi dari ketentuan Pasal 49 Ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan upaya untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-haknya apabila haknya dilanggar ataupun dirugikan oleh pelaku usaha maka pemerintah mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Tugas dan wewenang BPSK meliputi melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengkata, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK. Putusan yang dikeluarkan BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan. Dalam gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, berupa pemenuhan ganti rugi dan/ atau sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) (Adrian Sutedi, 2008: 23-25).

Dokumen terkait