BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN
B. Pelaku Usaha
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Setiap orang harus bertanggung jawab secara
39
hukum atas segala perbuatannya. Berarti setiap orang harus memikul tanggung jawab atas sanksi yang diberikan oleh hukum akibat perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sanksi biasanya ditujuan langsung kepada subyek dari tanggung jawab hukum dan subyek dari kewajiban hukum.
Di dalam teori tradisional tanggung jawab dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Tanggung jawab yang didasarkan kepada kesalahan, yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertin hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan, kesusilaan, agama dalam masyarakat (Liability based on fault).
2. Tanggung jawab absolut adalah tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan (Strict Liability).22
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Unsur Kesalahan (Liability based on fault) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam KUHPerdata, pasal 1365, 1366, 1367 prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang PMH mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: a) adanya perbuatan; b) adanya unsur
22 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo 2002), hal 72
kesalahan; c) adanya kerugian yang diderita; d) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
2. Praduga Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of liability)
Adalah Prinsip praduga selalu bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.
Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslas) diterima dalam prinsip tersebut.
Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum pidana. Namun jika diterapkan dalam kasus perlindungan konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berartidapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. Prinsip tersebut seiring dengan perkembangan caveat emptor ke caveat venditor, dimana ingin meletakkan aspek keadilan dalam perlindungan konsumen.
3. Praduga Selalu Tidak Bertanggung Jawab (Presumption of non-liability)
Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan
41
prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
4. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya.
Pada strict liability hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolut liability dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).
5. Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability)
Adalah prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ia sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya,
ditentukan, bila film yang ingin dicuci/dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu roll film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK yang baru seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Pada perkembangan masa kini produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya.
Logikanya, berdasarkan hukum, segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau berimplikasi pada adanya hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.
Tanggung jawab ini juga disebut dengan istilah product liability (tanggung gugat produk).
Product liability adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.23
Inti dari pengertian tersebut bahwa pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 19 ayat 1, pelaku usaha bertanggung
23 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti 2014), hal 83
43
jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan pasal 19 ayat 2, ganti rugi bisa berupa pengembalian uang, penggantian barang/jasa yang sejenis atau setara nilainya, dan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.24
Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah. Sebab, dalam sistem pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk didasarkan adanya wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan KUHPerdata pasal 1356, konsumen yang menderita kerugian akibat produk barang/jasa yang cacat bisa menuntut pihak produsen (pelaku usaha) secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan melawan hukum. Atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Langkah pembuktian semacam itu, sulit dilakukan karena konsumen berada pada kondisi yang sangat lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha.
Di samping sulitnya pembuktian, konsumen nantinya juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi (kompensasi) atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
24 Ibid, hal 85
Oleh karena itu, diperlukan adanya penerapan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitu bahwa produsen seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen. Jika dicermati sebenarnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi konsep strict liability. Dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang/jasa yang dihasilkan”. Demikian juga pada pasal 28 “Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”.
Pelaku usaha dituntut untuk menjalankan usahanya secara profesioal. Hal itu harus dijalankan dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung berorientasi pada keuntungan jangka pendek yang cenderung memperdaya konsumen yang dalam jangka panjang hal itu justru akan mematikan usahanya. Untuk itu profesionalisme pelaku usaha merupakan tuntutan yang harus dipenuhi untuk saat ini dan tidak dapat di tawar-tawar lagi jika pelaku usaha tetap eksis dalam menjalankan usahanya.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Perlindungan konsumen sebenarnya tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha. Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari
45
konsumennya. Jika konsumennya dalam kondisi sehat dan perekonomiannya semakin baik maka pelaku usaha memiliki masa depan yang baik demikian juga sebaliknya. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen tetapi juga merugikan pelaku usaha yang baik, demikian juga jika ada konsumen yang nakal hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha tetapi juga merugikan konsumen yang baik.
BAB III
PT. POS INDONESIA SEBAGAI PERUSAHAAN BERBADAN HUKUM