• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESA PENINJOAN KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI

D. Pencegahan Dan Penanganan Korupsi

2. Tanggung Jawab Sosial

skandal kasus korupsi BLBI (bantuan likuiditas bank Indonesia) dimana terlibat di dalamnya keluarga terdekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun pihak kepolisian membantah dan mengatakan penarikan tersebut terkait rotasi di tubuh Polri, tetapi banyak pendapat yang muncul dan sependapat dengan Emerson bahwa penarikan tersebut merupakan upaya untuk ‘menggembosi’ KPK secara halus, sehingga KPK akan kehilangan orang-orang nya yang kompeten dan berkapasitas bagus. Dengan kehilangan anggota-anggotanya tersebut KPK pada akhirnya hanya akan menjadi Institusi yang Ompong dan mandul.

2. Tanggung Jawab Sosial

Karakteristik Kepemerintahan yang baik berdasarkan literature yang ada paling tidak memiliki 3 karakteristik utama yaitu : Transparansi (transparency), supremasi/penegakan hukum (rule of law) dan akuntabilitas (accountability). Proses demokritisasi politik dan pemerintahan dewasa ini tidak hanya menuntut profesionalitas serta kemampuan aparatur dalam pelayanan publik, tetapi secara fundamental menuntut terwujudnya kepemerintahan yang baik, bersih dari korupsi, kolusi dan

nepotisme atau KKN52. Fakta bahwa pelayanan publik di Indonesia belum menunjukkan kinerja yang efektif sering menjadi bahasan, baik dalam berbagai tulisan maupun penelitian permasalahan pelayanan publik yang tidak efektif ini dipicu oleh berbagai hal yang kompleks, mulai dari budaya birokrasi yang masih paternalistik, lingkungan kerja yang tidak kondusif terhadap perubahan jaman, rendahnya sistem reward, lemahnya mekanisme punishment bagi aparat birokrasi53.

Tanggung jawab sosial merupakan suatu konsekuensi yang sebaiknya dilakukan untuk menyangga beban sosial yang menyangkut sebagian/keseluruhan dari permasalahan maupun kerentanan yang menimpa masyarakat, termasuk tanggung jawab dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagai manifestasi dari problem-problem sosial. Dalam kasus korupsi masyarakat mempunyai posisi yang cukup unik yakni sebagai pihak yang dirugikan (uang hasil korupsi adalah uang negara yang notabene juga milik rakyat/masyarakat pada umumnya) sekaligus bisa menjadi pihak pelopor terjadinya tindak pidana korupsi. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31

52 Sedarmayanti, 2004, Good Governance, CV. Mandar Maju, Bandung, hal 24.

53 Lembaga Administrasi Negara, 2006, Kajian

Tentang Pola Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah, Jakarta

131

...

Tahun 1999, yaitu sewaktu masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dasar hukum dari peran serta masyarakat membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah ketentuan sebagai berikut :

Pasal 108 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa setiap orang yang melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana, mempunyai hak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik, baik lisan maupun tertulis. b.Pasal 108 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana, wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pembuat undang-undang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan

perlindungan hukum dan penghargaan.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang peran serta masyarakat tersebut terdapat di dalam Pasal 41 dan Pasal 42

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, pasal 41 menyebutkan: Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum

Pembenahan masalah moral membutuhkan waktu yang lama karena prosesnya yang panjang. Sesuatu yang telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa oleh masyarakat sangat sulit jika tiba-tiba harus dianggap sebagia sesuatu yang luar biasa. Sangat sulit sepertinya bagi bangsa ini untuk membangun moral yang baik bagi seluruh elemen bangsa. Rasa malu,

132

...

rasa takut, dan cinta pada tanah air yang merupakan bagian dari moralitas elemen bangsa sepertinya sudah hilang dari semua anak bangsa terutama para koruptor. Sebagai contoh kondisi moral koruptor di Indonesia. Saat ini sulit ditemui para koruptor yang drop kondisi

phsycis-nya ketika kasus korupsi melekat

pada dirinya, mereka yang rata-rata pejabat tetap tampil layaknya pejabat baik dalam proses penyelidikan, penyidikan, pembacaan tuntutan, bahkan sampai di rumah tahanan fasilitas masih mereka dapatkan. Demikian juga dengan keluarganya, harta yang tidak seluruhnya disita masih dapat dinikmati untuk hidup di atas standar, dan masyarakat sebagai bagian dari link pembentukan moralitas terlihat apatis/cuek terhadap pelaku/keluarga koruptor. Tidak ada hukum secara adat atau apapun dan dimanapun di wilayah Republik ini yang bereaksi seperti menjauhi para koruptor dan keluarganya sebagai konsekuensi moral. Padahal peran masyarakat begitu besar dalam usaha pemberantasan korupsi.

Fenomena apatisme ini ditangkap oleh International Corruption Watch (ICW), sehingga muncullah ide untuk memberikan seragam kepada tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. ICW menganggap seragam untuk tahanan KPK

sangat diperlukan. Adapun maksud untuk memberi seragam kepada koruptor adalah untuk memberikan efek jera dan rasa malu. Mungkin jika ini bisa diterapkan, angka korupsi dapat berkurang, karena fakta yang selama ini kita lihat, para koruptor yang muncul di media massa, mereka seperti bukan koruptor yang seharusnya berpenampilan seperti pesakitan dengan ekspresi menyesal sebagai pertanggung jawabannya secara moral terhadap kejahatan yang dilakukannya bagi negara ini dengan perilakunya yang korup, tapi yang justru terjadi koruptor yang berpenampilan bak selebriti dengan pakaian mewah serta senyum dan lambaian tangan saat diminta komentar terkait kasus korupsi yang menimpa mereka.

Ada beberapa langkah terhadap peran sosiologis masyarakat dalam upaya mengatasi korupsi. Diantaranya mengubah paradigma, bahwa korupsi bukan saja masalah hukum, tetapi sistem sosial yang cacat, sehingga membentuk penyakit peradaban masyarakat manusia. ‘Selain itu, hukuman sosial harus lebih ditonjolkan daripada hukuman denda atau badan di samping perlunya rekayasa sosial guna merubah masyarakat yang korup serta perlunya merubah sistem politik dan sistem birokrasi yang korup.

133

...

Bahkan perlu adanya boikot oleh masyarakat internasional.

PENUTUP

Persoalan korupsi adalah persoalan global, artinya hampir semua negara di dunia ini tidak ada yang tidak memiliki kasus korupsi, termasuk Indonesia. Kasus korupsi di Indonesia begitu memprihatinkan, hampir tidak ada satu wilayah-pun dan suatu institusi manapun yang tidak terjangkit persoalan korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia seperti sebuah penyakit menular..

Undang-undang tindak pidana korupsi, jaksa, hakim, komisi pemberantasan korupsi, dan lembaga peradilan adalah instrumen hukum yang mempunyai peran penting dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Secara kuantitas instrumen hukum tersebut sudah representative untuk menangani tindak pidana korupsi. Tetapi dengan semakin bertambahnya kasus korupsi bisa disimpulkan bahwa kinerja dari instrumen hukum tersebut tidak berjalan efektif, sehingga perlu diagendakan untuk memperbaiki kualitas kerja dari instrumen hukum tersebut dengan perbaikan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang korupsi ataupun undang-undang terkait instrumen

hukum lainnya seperti: polisi, jaksa, hakim ataupun KPK. Disamping usaha-usaha tersebut, terdapat satu hal yang patut diagendakan dalam upaya pemberantasan korupsi yakni pembenahan moral bangsa. Moral adalah dasar dari sebuah tanggung jawab, jika semua masyarakat suatu bangsa memiliki moral yang rendah maka dapat dipastikan tanggung jawab dalam kehidupannya juga rendah, termasuk tanggung jawab dalam menjalankan pekerjaan yang diembannya.

Semua elemen bangsa harus bergerak bersama untuk memberantas korupsi. Produk hukum seperti undang-undang yang masih menjadi kendala efektifitas memberantas korupsi harus diperbaiki, pembinaan/peningkatan kinerja terhadap aparat penegak hukum harus terus distimulus termasuk pembinaan moral sebagai pembentuk hati nurani. Seperti patologi korupsi yang bisa menyebar, maka moralitas yang baik juga bisa menular dan memberikan aura positif untuk menarik lingkungan di sekitarnya guna melakukan hal yang sama. Produk undang-undang yang baik, aparat yang bermoral, dan masyarakat yang perduli dan peka terhadap nilai-nilai kebenaran, akan dapat mereduksi penyebaran dari patologi korupsi yang sedang menjangkit bangsa Indonesia saat ini.

134

... DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Thamrin., 23 Juni 2008 hal 8,

Jaksa Agung Alchemist, Seputar

Indonesia

Alatas, Syed Hussein., 1983, Sosiologo

Korupsi, LP3S, Jakarta

Ali, Suryadharma., 25 Juni 2008,

Membangun Parpol Anti Korupsi,

Seputar Indonesia

Arief, Barda Nawawi dan Muladi., 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung

Atmasasmita, Romli., 31 Juli 2008, Pro

Kontra Komposisi Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Seputar

Indonesia

Hamzah, Andi., 2005, Pemberantasan

Korupsi, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta

Hartanti, Evi., 2005, Tindak Pidana

Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta

Husein, Yunus., 11 Agustus 2008, Baju

Khusus Para Koruptor, Seputar

Indonesia

Indriyanto, Seno Adji., 2007, Korupsi

Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, CV. Diadit Media,

Jakarta

Kaligis, OC., 2006, Pengawasan

Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus Dalam Pemberabtasan Korupsi, PT.

Alumni, Bandung

Kristiana Yudhi, 2006, Independensi

Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung

Lembaga Administrasi Negara, 2006,

Kajian Tentang Pola Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah,

Jakarta

Mochtar, Zaenal Arifin., 7 Agustus 2008,

Ironi Pengadilan Tipikor, Sinar

Indonesia, Jakarta

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum

Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Ramelan, Prayitno., 23 Juni 2008 hal 6,

Saat Kredibilitas Terancam,

Seputar Indonesia

Rusli, Muhammad., 2006, Potret

Lembaga Pengadilan Indonesia,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sedarmayanti, 2004, Good Governance,

CV. Mandar Maju, Bandung

Seputar Indonesia, 2 Juni 2008 hal 8, mutasi anggota kpk dipertanyakan Seputar Indonesia, 23 Juli 2008,

Melanggar, 18 Jaksa Diberi Sanksi Siagian P, Sondang., 1994, Patologi

Birokrasi, Ghalia Indonesia

Sritua, Arief., 1986, Korupsi, Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta

Supriadi, 2006, Etika dan Tanggung

Jawab Profesi Hukum di indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Thoha, Miftah., 2003, Birokrasi & Politik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta ---, 2005, Undang-Undang

Kejaksaan Republik Indonesia,

Cemerlang, Jakarta

Winarno, Taufiq. 2011 Sejarah Patologi Sosial diakses 26 November 2013 dari http:// Wikipedia.

Wiyono, R, 2005, Pembahasan

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,

120

... HAK ATAS LINGKUNGAN:

SEBUAH PENGANTAR DISKUSI54

Agung Wardana, S.H.,L.LM. Murdoch University, Australia Email : ancakramone@yahoo.com

Abtsract

One underexplored type of human rights has been the right to the environment. Although such right has been used as a claim by environmental activists in their advocacy, it remains debatable not only in terms of its moral and legal conception but also its application on the ground. This article aims at elaborating the right to the environment as a preface for further discussion of its significance in Indonesian context. It argues that despite the recognition of the right to the environment by the state reflected in a wide range of legal instruments and even the constitution, it appears that the right is qualified from its original concept by using wording as ‘the right to good and healthy environment’ instead of ‘the right to the environment’ in loose sense. The letter is pontentially to incorporate the concept of environmental justice as one aspect of the right to the environment, which may frighten state or non-state actors who benefit from environmental injustices across the archipelago.

Keywords: Human Rights, Environmental Justice, Right to the Environment. Abstrak

Salah satu jenis hak asasi manusia yang belum begitu terelaborasi adalah hak atas lingkungan. Meskipun hak ini sering kali digunakan oleh aktivis lingkungan dalam advokasi mereka, hak atas lingkungan masih menyisakan perdebatan tidak hanya dalam konsepsi moral dan legalnya tapi juga pada aplikasinya di lapangan. Artikel ini bertujuan untuk melakukan elaborasi hak atas lingkungan sebagai pengantar untuk bahan diskusi lanjutan tentang signifikansinya dalam konteks Indonesia. Artikel ini berpendapat bahwa meskipun pengakuan atas hak atas lingkungan oleh negara termaksud dalam berbagai instrumen hukum dan bahkan dalam konstitusi, hak tersebut dikualifikasi dari konsep dasarnya menggunakan frase ‘hak atas lingkungan yang baik dan sehat’ dan bukan menggunakan frase ‘hak atas lingkungan’ dalam pengertian yang luas. Jika menggunakan frase yang terakhir, maka keadilan lingkungan merupakan salah satu aspek dari hak atas lingkungan, dan tentu hal ini menakutkan aktor negara dan non-negara yang diuntungkan dari ketidakadilan lingkungan yang meluas di nusantara ini.

Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Keadilan Lingkungan, Hak atas Lingkungan.

54 Tulisan ini disajikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali pada Jumat, 20 April 2012 di Denpasar.

119

... PENDAHULUAN

Dalam konteks historis, terdapat tiga generasi hak asasi manusia sebagaimana dikategorikan oleh Burns Weston. Pembedaan generasi ini juga berhubungan erat dengan slogan Revolusi Perancis, yakni ‘liberte’ (kebebasan), ‘egalite’ (keadilan sosial), dan ‘fraternite’ (solidaritas atau persaudaraan).55 Hak atas lingkungan (right to the environment) merupakan hak generasi ketiga karena dianggap merupakan wujud dari solidaritas atau persaudaraan (fraternite) bersama hak-hak yang bersifat kolektif lainnya, misalkan hak penentuan nasib sendiri (right to self-determination) dan hak atas pembangunan (right to

development). Sebelum hak-hak generasi

ketiga tersebut, hak sipil dan politik (sipol) telah disepakati terlebih dahulu sebagai hak generasi pertama, pengejawantahan dari prinsip kebebasan (liberte) yang menghendaki minimal kontrol dari kekuasaan politik (biasa disebut hak yang bersifat negatif). Selanjutnya hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) sebagai hak generasi kedua merepresentasikan nilai keadilan sosial (egalite) yang menuntut campur tangan kekuasaan politik dalam rangka

55

Ridha Saleh, 2004, Hak atas

Lingkungan Sebagai Hak Asasi Manusia, Walhi,

Jakarta, hal.14.

mewujudkan keadilan distributif (hak yang bersifat positif).

Bagi banyak pihak, pembedaan konseptual jenis hak di atas mengarah pada pemisahan pengaturannya dalam instrumen internasional. Konsekuensinya, dalam penerapan di tingkat domestik hak-hak tersebut pun dipisahkan dan dipilah-pilah berdasarkan kepentingan politik dari penguasa negara. Misalnya, di negara-negara liberal, hak sipil dan politik dianggap sebagai hak asasi yang paling prioritas dengan mengesampingkan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, atau hak-hak solidaritas karena dianggap tidak sejalan dengan doktrin liberal laissez-faire. Sementara itu di negara sosalialis dan komunis, hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi hak asasi manusia yang dianggap paling penting untuk diwujudkan meski harus mengorbankan hak-hak sipil dan politik warga negaranya. Lain pula dengan yang terjadi di negara berkembang, hak-hak pembangunan merupakan prioritas utama penguasa negara guna mengejar ketertinggalan ekonomi dan modernisasi.

Pandangan konvensional tersebut saat ini tentu tidak relevan lagi. Bahwa kewajiban penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfil) haruslah ditujukan kepada seluruh jenis hak asasi manusia secara

120

...

utuh. Perspektif hak asasi manusia saat ini telah mengarah pada ‘indivisible’ (ketidakterpisahan) dan ‘interdependence’ (kesalingtergantungan) dari ketiga generasi atau kategorisasi hak asasi manusia.56 Dengan demikian, negara sebagai penanggung jawab tidak lagi dapat meletakkan skala prioritas pada satu jenis hak sementara itu mengesampingkan jenis hak yang lain. Untuk menjadi manusia yang utuh, setiap orang dan kelompok orang harus dapat memenuhi ketiga jenis hak dasar tersebut.

Salah satu hak generasi ketiga yang sering kali dilalaikan pemenuhannya dan bahkan belum dianggap memiliki dimensi hak asasi manusia adalah hak atas lingkungan. Mungkin saat ini tidak ada yang mempertanyakan lagi universalitas hak sipil dan politik sebagai hak asasi manusia. Namun, hak atas lingkungan masih dipertanyakan cakupannya, sifatnya antara hak individual atau hak kolektif hingga skeptisisme yang cenderung mengarah pada pembongkaran hak ini dari diskursus hak asasi manusia. Di Indonesia, hak atas lingkungan juga tidak begitu terelaborasi dengan baik dibandingkan dengan jenis hak lainnya. Meski terkadang menjadi jargon normatif yang kerap dipakai para aktivis lingkungan dalam kerja-kerja advokasi,

56 Ridha Saleh, ibid.19

elaborasinya masih tetap miskin. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini bertujuan membuka diskusi tentang hak atas lingkungan dengan mengkaji konsepsi serta komponen dari hak tersebut, hingga tataran praktek penegakannya dalam sistem hukum Indonesia.

PEMBAHASAN

a. Sejarah Perkembangan Hak

Atas Lingkungan

Perdebatan hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia dibuka kembali paska konferensi Badan Urusan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2002. Di akhir pertemuan internasional tersebut, Mary Robinson, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melihat secara lebih dalam hubungan antara kehancuran lingkungan hidup, kemiskinan struktural, sejumlah kejahatan dengan pelanggaran hak asasi manusia.57 Pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan. Kondisi lingkungan hidup terus menerus mengalami penurunan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Berbagai upaya diplomatik telah diambil dalam rangka menjawab permasalahan yang telah

121

...

menjadi kekhawatiran banyak pihak di tingkat internasional ini. Mulai dari Konferensi Stockholm 1972 tentang Lingkungan Hidup (1972 Stockholm

Conference on Human Environment)

hingga melahirkan Deklarasi Stockholm, Konferensi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan (Earth Summit) 1992 yang menghasilkan Dekralasi Rio dan Agenda 21, Konferensi Johannesburg, hingga Rio+20 sebagai kelanjutannya. Namun nyatanya, tidak ada perubahan signifikan terhadap kondisi lingkungan hidup.

Bagi banyak pengamat, penyebab dari ketidakefektifan instrumen perlindungan lingkungan hidup di tingkat internasional adalah terletak pada produknya yang bersifat ‘soft law’. Sebagai ‘soft law’ instrumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dapat merubah pendekatan business

as usual, termasuk praktek bisnis dan

model pembangunan yang bertumpu pada paradigma ekonomi kapitalistik. Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi cara pandang korporasi, pembuat kebijakan hingga akademisi untuk melihat lingkungan hidup semata-mata sebagai sumber daya alam yang harus diekstraksi dan dieksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Alhasil, penghancuran lingkungan hidup pun menjadi hal yang

massif, hutan ditebang untuk dicari kayu dan lahannya untuk dijadikan perkebunan monokultur, perut bumi dibongkar untuk diambil mineral, batubara, dan minyaknya, serta lain sebagainya. Pada gilirannya, kesuburan tanah, daur hidrologi, dan keanekaragaman hayati mengalami penurunan pada tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya.58

Paska menurunnya kemampuan alam untuk menyediakan sumber daya alam bagi industri negara maju, ekspansi atas nama globalisasi ekonomi dengan motor utama korporasi multinasional dibantu oleh lembaga keuangan dan perdagangan internasional seperti Bank Dunia, WTO (World Trade

Organisation), IMF (International

Monetery Fund), meluaskan

cengkramannya ke negara-negara berkembang yang berkolaborasi dengan elit lokal. Yang menjadi korban dari praktek eksploitatif ini bukanlah para bankir, elit, ataupun pemilik korporasi namun korbannya adalah rakyat, terutama yang ada di negeri dunia ketiga. Padahal di tingkat rakyat, lingkungan hidup tidaklah semata-mata merupakan sumber daya alam tetapi lingkungan hidup

58 Millenium Ecosystem Assessment 2005 sebagaimana dikutip Douglas Murray & Laura Raynolods, ‘Globalisation and Its Antinomies’ dalam Reynolds at all (eds), Fair

Trade: The Challenges of Transforming Globalisation (Routledge, London, 2007) 6.

122

...

merupakan sumber kehidupan dimana relasi sosial, ekonomi lokal dan budaya terjalin. Sehingga, penghancuran lingkungan hidup bagi mereka akan berarti penghancuran sumber kehidupan yang menjadi awal bagi kehancuran peradaban mereka.

Dalam rangka mempertahankan ruang-ruang kehidupan dari ekspansi modal, rakyat yang berpotensi terkena dampak perusakan lingkungan menggunakan berbagai cara menghadang praktek eksploitatif dan ekstraktif tersebut. Salah satunya dengan menggunakan bahasa-bahasa perlawanan seperti ‘keadilan lingkungan’59, ‘hak penentuan nasib sendiri’60, hingga ‘hak atas lingkungan’ untuk dijadikan alat klaim sekaligus mendorong solidaritas antar korban kerusakan lingkungan dan membangun simpati terhadap perjuangan mereka. Terdapat keterkaitan antara bahasa-bahasa perlawanan tersebut, terutama ‘hak atas lingkungan’ dalam

59

Misalnya di Amerika Serikat pada era 1980an, terdapat gerakan akar rumput yang menuntut keadilan lingkungan akibat dari pembuangan bahan beracun berbahaya di dekat kawasan pemukiman kulit hitam, lihat Andrew Dobson, Justice and the Environment: Conceptions of Environmental Sustainability and Dimensions of Social Justice (Oxford University

Press, Oxford, 1998).

60 Hak penentuan nasib sendiri sering digunakan oleh kelompok masyarakat adat yang terancam kelangsungan hidupnya akibat intervensi dari negara dan korporasi yang ingin menguasai dan mengambil sumber daya alam yang ada dikawasan adat mereka.

menentukan pemenuhan hak-hak asasi lainnya, khususnya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar kehidupan yang layak, hak kesehatan, dan hak-hak lainnya yang pemenuhannya sangat terkait dengan kondisi lingkungan.

Sebenarnya, resistensi beberapa pihak untuk mengakui hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia bukanlah terletak pada konsepsi moral dan legal-nya. Namun yang seringkali menjadi kekhawatiran pihak yang skeptis dengan hak atas lingkungan adalah dampak politis yang dapat dijangkaunya. Dalam kata lain, penolakan dan skeptisisme terhadap hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia sebenarnya memiliki dimensi ekonomi-politik. Artinya, hak atas lingkungan memiliki kemampuan untuk alat klaim (legitimasi)