• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Kerangka Analisis

5.3. Tanggungjawab Negara

Pasal 28I(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Ini adalah pernyataan tegas mandat konstitusional bagi negara. Tanggung jawab negara adalah konsep yang sangat penting dan integral dalam pemenuhan hak asasi dan dalam memastikan terselenggaranya prinsip non diskriminasi yang diusung oleh konstitusi Indonesia.

Ada lima konsep penting dalam memahami konsep tanggung jawab negara, yaitu:

a. Kewajiban menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata

Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan perangkat, dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, untuk mewujudkan kesetaraan. Kewajiban mendapat hasil nyata memberi tekanan pada perlunya tindakan afi rmasi untuk mencapai kesetaraan substantif.

3 Garis bawah dalam pasal 138 dilakukan oleh penulis untuk menunjukkan asas-asas yang terkait secara langsung dengan prinsip non diskriminasi.

b. Penghormatan, pemenuhan dan perlindungan

Negara menggemban tiga tingkat tanggung jawab yaitu penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Masing-masing tingkat saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Penghormatan memerlukan peneguhan melalui pelaksanaan standar normatif yang mengakui hak asasi manusia tanpa kecuali. Ini adalah syarat awal bagi penikmatan hak dan kebebasan. Negara perlu menciptakan lingkungan, termasuk kerangka kelembagaan yang memungkinkan pemenuhan standar normatif tersebut. Negara juga harus mengembangkan mekanisme yang secara efektif melindungi standar-standar tersebut dari ancaman dan tindak pelanggaran.

c. Tindakan Afi rmasi

Tindakan afi rmasi adalah sarana atau cara yang dapat dan harus digunakan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat dalam hal pengakuan, penikmatan dan penerapan hak asasi manusia. Untuk memastikan setiap orang, tanpa kecuali dapat menikmati hak-haknya secara utuh maka negara menyusun langkah-langkah khusus untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab negara atas hak asasi manusia. Langkah-langkah khusus ini bersifat sementara dan perlu dapat terus dilanjutkan sampai ketidaksetaraan berhasil diatasi.

d. Uji Kelayakan (due diligence)

Negara memiliki tanggungjawab atas semua pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun aktor privat, di ranah publik maupun privat. Karenanya, negara tidak hanya perlu menunjukkan bahwa tanggung jawab tersebut telah dilakukan secara formal dan de jure (hukum), tetapi juga sudah mengambil “langkah” yang memungkinkan, mengatur dan melindunginya. Uji kelayakan dibutuhkan untuk memastikan sejauh mana atau efektivitas mekanisme korektif dari peraturan perundang-undangan, kebijakan, program memberikan hasil yang nyata pada pemenuhan hak.

e. Harmonisasi kebijakan

Harmonisasi kebijakan adalah cara di tingkat nasional yang dilakukan negara untuk memastikan pemenuhan hak asasi

manusia, yang telah diakui dan dijamin di dalam konstitusi sebagai rujukan berbangsa dan bernegara. Harmonisasi kebijakan di tingkat nasional berarti pengujian dan perubahan kebijakan di seluruh tingkatan tata kelola negara, yaitu dari desa hingga pusat, agar berkesesuaian atau konsisten dengan jaminan hak manusia sebagai hak warga negara.

Pelaksanaan tanggungjawab negara tersebut berawal sejak proses perumusan kebijakan daerah sampai dengan seluruh proses pelaksanaan kebijakan daerah. Tanggung jawab ini tidak terbatas pada lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan fungsi legislasi dan pengawasan, lembaga eksekutif (tingkat kabupaten/kota dan provinsi) yang turut merumuskan dan melaksanakan kebijakan, dan lembaga yudikatif yang berwenang untuk memproses tanggung jawab pelaku pelanggaran HAM dan membatalkan kebijakan demi menjaga integritas hukum nasional.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan mandat pengawasan ada pada Kementrian Dalam Negeri (Mendagri) selaku pembina pelaksanaan otonomi daerah. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 188.34/1586/SJ/2006 tentang Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah menyebutkan, agar pembentukan peraturan daerah sebelum disahkan dapat dikonsultasikan ke Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM (Kanwil Hukham) Provinsi jika perda kabupaten, dan kepada Menkumham (pusat) untuk perda provinsi. Demikian juga Keputusan Presiden (Keppres) No. 49 tahun 2004 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang di dalamnya mengagendakan harmonisasi perundang-undangan dengan instrumen HAM. Keppres ini menegaskan pentingnya konsultasi dalam pembentukan peraturan daerah dan kebijakan daerah lain untuk memastikan hak-hak asasi yang telah dijamin dalam konstitusi mewujud di dalam semua produk kebijakan.

Terkait dengan langkah khusus yang dibutuhkan agar perempuan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara, maka Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional memerintahkan seluruh menteri, kepala lembaga pemerintahan non departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, kepala kepolisian RI, Jaksa Agung, gubernur, bupati/walikota untuk memastikan perspektif keadilan gender terintegrasi dalam seluruh

landasan kebijakan dan program pembangunan. Integrasi ini mulai dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Instruksi ini mengandung perintah perlunya upaya sistematis dalam memastikan akomodasi perspektif dan analisis gender, termasuk dan yang utama adalah jaminan hak-hak konstitusional perempuan dalam pembentukan kebijakan daerah. Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tingkat nasional menjadi motor koordinasi dalam pengarusutamaan gender ini.

Ketika mekanisme preventif tidak berfungsi dengan sempurna untuk dapat menjaga jaminan konstitusional dalam sistem otonomi daerah, harapan yang tersisa ada pada MA yang secara eksklusif memegang kewenangan yudisial untuk menguji materi kebijakan daerah. Uji materi terhadap perda dapat dilakukan terhadap materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari perda. Dasar kewenangan MA dapat melakukan pengujian tertera pada pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Mahkamah Agung juga telah memberi ukuran atau alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu: [1] karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau [2] pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

Dokumen terkait