• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Panduan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

Panduan Pemantauan Kondisi Pemenuhan

Hak-Hak Konstitusional Perempuan

(2)

Panduan Pemantauan Kondisi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan

Agustus, 2010 162 mm x 229 mm viii + 50 halaman ISBN : 978-979-26-7550-4

1. Hak Perempuan 2. Otonomi Daerah 5. Pemantauan 3. Konstitusi 4. Kekerasan Terhadap Perempuan

Tim Penyusun Andy Yentriyani Dahlia Madanih Husein Muhammad Ismail Hasani Kamala Chandrakirana Virlian Nurkristi Yustina Tim Diskusi

Abu Darda (Indramayu), Atang Setiawan (Tasikmalaya), Budi Khairon (Banjarmasin), Daden Sukendar (Sukabumi), Enik Maslahah (Yogyakarta), Ernawati (Bireun), Irma Suryani (Banjarmasin), Fajriani Langgeng (Makassar), Lalu Husni Ansyori (Lombok Timur), Marzuki Rais (Cirebon), Mieke Yulia (Tangerang), Mieftahul Rezeki (Hulu Sungai Utara), Muhammad Riza (Yogyakarta), Munawiyah (Banda Aceh), Musawar (Mataram), Nikmatullah (Mataram), Nur’ani (Cianjur), Sukriathi (Makassar), Wanti Maulidar (Banda Aceh), Yusuf HAD (Dompu), Zubair Umam (Makassar).

© Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memegang penuh hak cipta atas buku ini. Semua atau sebagian dari buku boleh digandakan untuk segala pendidikan pemajuan hak-hak konstitusional warga negara dan upaya menghapuskan diskriminasi, khususnya perempuan. Dalam menggunakannya, mohon menyebutkan sumber dan menginformasikan kepada Komnas Perempuan.

Jl. Latuharhari No. 4B, Jakarta 10310, Indonesia Telp. : 62-21 390 3963, Fax. : 62-21 390 3922 Email : mail@komnasperempuan.or.id

(3)

Kata Pengantar

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada bulan Maret 2009 yang lalu menyampaikan hasil pemantauan tentang kondisi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan di era otonomi daerah kepada pihak negara dan publik Indonesia. Pemantauan ini difokuskan di 16 kabupaten/kota yang tersebar di tujuh provinsi, yaitu (1) Kota Banda Aceh, (2) Kab. Bireuen, dan (3) Kota Lhokseumawe di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (4) Kab. Cianjur, (5) Kab. Sukabumi, (6) Kab. Tasikmalaya, dan (7) Kab. Indramayu di Provinsi Jawa Barat; (8) Kota Mataram, (9) Kab. Lombok Timur, dan (10) Kab. Dompu di Provinsi Nusa Tenggara Barat; (11) Kab. Banjar, dan (12) Kab. Hulu Sungai Utara di Provinsi Kalimantan Selatan, (13) Kab. Pangkajene dan Kepulauan, dan (14) Kab. Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan, (15) Kab. Bantul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; dan (16) Kab. Tangerang di Provinsi Banten.

Sebagaimana disampaikan dalam laporan bertajuk “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia”, keenambelas kabupaten/kotamadya ini adalah bagian dari 69 kabupaten/kotamadya di 21 provinsi yang telah menerbitkan 154 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Daerah-daerah tersebut, seperti dalam model studi kasus, merepresentasi jenis-jenis kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, yaitu yang terfokus pada persoalan pengaturan tentang tubuh dan perempuan, serta pada migrasi.

Pemantauan ini tidak hanya diarahkan untuk memetakan bentuk-bentuk diskriminasi bagi perempuan yang hadir akibat kemunculan kebijakan daerah yang diskriminatif itu. Pemantauan ini juga menjawab sejumlah

(4)

pertanyaan, baik tentang praktik berpolitik di daerah yang memunculkan kebijakan tersebut, tentang efektivitas sistem otonomi daerah yang telah diciptakan, maupun tentang kinerja mekanisme-mekanisme nasional yang berwenang dalam memastikan otonomi daerah mencapai tujuannya. Dengan menggunakan konsep keadilan gender dan kebangsaan sebagai pisau analisis, temuan pemantauan menampilkan proses institusionalisasi diskriminasi akibat pembiaran terhadap proliferasi (tumbuh biak) kebijakan daerah yang mengedepankan moralitas dan simbol-simbol agama mayoritas. Diskriminasi tersebut terutama ditujukan kepada perempuan dan juga kelompok minoritas, khususnya masyarakat adat, kelompok masyarakat dengan pilihan seksualitas non heteroseksual, dan kelompok agama minoritas.

Temuan ini didasarkan pada pengujian persoalan diskriminasi di tiga aras. Pertama, pengujian atas muatan kebijakan. Kedua, pengujian atas dampak dari kehadiran dan pelaksanaan kebijakan daerah. Ketiga, pengujian atas proses perumusan kebijakan. Bila pada aras pertama digunakan metode analisis isi untuk pengujiannya, pada aras kedua dan ketiga digunakan metode pengamatan dan analisis persepsi. Analisis persepsi dimungkinkan dengan menghimpun informasi dengan cara wawancara dan diskusi kelompok terfokus kepada berbagai pihak pemangku kepentingan

(stakeholders).

Selama pemantauan berlangsung, yaitu sejak 22 Desember 2008 hingga 29 Januari 2009, lebih dari 1.100 orang yang dimintai pendapatnya. Sebanyak 339 narasumber telah diwawancarai, baik di tingkat provinsi (102 narasumber) maupun di kabupaten/kota (237 narasumber). Sebanyak 40 narasumber adalah perempuan yang terlanggar hak konstitusionalnya sebagai akibat dari pelaksanaan kebijakan daerah yang diskriminatif; 21 di antaranya adalah korban langsung dan 19 lainnya berasal dari komunitas minoritas di daerah tersebut. Sebanyak 86 narasumber adalah pengambil kebijakan di tingkat eksekutif, termasuk di antaranya seorang Gubernur, tujuh orang Bupati, 57 anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, dan 40 penegak hukum. Selain wawancara, pendapat masyarakat dihimpun melalui diskusi kelompok terfokus, terutama dengan kelompok perempuan dengan latar belakang ibu rumah tangga, kepala keluarga, orang tua tunggal, pendidik, penggerak organisasi masyarakat, dan penggiat dalam organisasi kemasyarakatan ataupun lembaga swadaya masyarakat baik yang secara khusus menyikapi persoalan perempuan maupun persoalan sosial pada umumnya. Lebih dari 800 orang menjadi

(5)

peserta dalam 98 diskusi kelompok terfokus di dalam pemantauan ini. Seluruh pemantauan ini dilakukan oleh sebuah tim yang dipersiapkan Komnas Perempuan berdasarkan rekomendasi dari organisasi-organisasi mitra di daerah yang menjadi wilayah pemantauan. Tim pemantauan terdiri dari 21 orang pemantau dengan komposisi gender yang seimbang, yaitu 11 perempuan dan 10 laki-laki. Mereka memiliki latar belakang aktivitas keseharian yang beragam: akademisi, penggiat advokasi kebijakan publik, pendamping korban, mahasiswa dan juga ibu rumah tangga. Mereka semua dipersatukan oleh pengalaman dalam bidang penelitian dan/atau pengelolaan diskusi komunitas, dengan pemahaman dasar tentang hak asasi manusia dan keadilan gender. Usia pemantau berkisar antara 24 dan 40 tahun, separuh di antara mereka berusia di bawah 30 tahun.

Dalam pelaksanaannya, Komnas Perempuan menggunakan sistem silang. Artinya tidak ada pemantau yang memantau di daerahnya sendiri. Sistem silang membuka ruang interaksi pemantau dengan setiap pihak yang peduli terhadap pemajuan hak asasi manusia dan juga demokrasi yang tinggal di kabupaten/kota atau provinsi lain. Selama ini, arah interaksi yang tercipta lebih banyak pusat-daerah, sementara ruang interaksi antardaerah justru sangat minim. Sistem silang, terutama, dimaksudkan untuk merawat prinsip imparsialitas dan untuk membangun analisis perbandingan (komparatif) antara satu wilayah dan wilayah lain dari kacamata pemantau.

Pemilihan wilayah pemantauan didasarkan pada rekomendasi dari konsultasi nasional Komnas Perempuan dengan mitra-mitranya yang berlatar belakang legislatif, eksekutif maupun lembaga swadaya masyarakat dari berbagai daerah. Untuk memulai pemantauan tersebut, Komnas Perempuan berkomunikasi secara tatap muka dengan otoritas daerah setempat untuk mendiskusikan mandat pemantauan yang akan dilaksanakan. Temuan-temuan pemantauan kemudian digunakan sebagai dasar dialog kebijakan kepada semua otoritas, di tingkat nasional maupun daerah setelah pelaporan pemantauan.

Untuk pemantauan ini, Komnas Perempuan bersama tim pemantauan menyiapkan sejumlah instrumen pemantauan yang kami hadirkan lewat publikasi panduan pemantau ini. Ide publikasi panduan pemantauan sudah ada sejak awal. Bagi Komnas Perempuan, publikasi ini menjadi penting untuk membuka akses publik pada alat yang memampukan masyarakat

(6)

untuk ikut serta dalam mengawasi pelaksanaan tanggungjawab negara dalam pemenuhan hak konstitusional dalam konteks otonomi daerah. Pembaca tentunya dapat mereplikasi, bahkan memperbaiki alat ini untuk pemantauan-pemantauan sejenis di daerah masing-masing.

Buku panduan pemantauan ini disajikan dalam lima bagian. Pertama, kerangka pemantauan yang dikembangkan oleh Komnas Perempuan. Bagian kedua dan ketiga adalah daftar pertanyaan yang disusun untuk menggali informasi dari para narasumber, baik dengan metode wawancara maupun diskusi kelompok terfokus. Bagian keempat adalah instrumen untuk penggalian informasi tentang kasus kekerasan ataupun diskriminasi terhadap perempuan akibat kehadiran ataupun pelaksanaan dari kebijakan daerah yang dipantau itu. Terakhir, kerangka konseptual yang dijadikan pijakan analisa muatan kebijakan dan informasi-informasi yang dikumpulkan.

Panduan pemantauan ini sebaiknya dipelajari bersama dengan buku laporan pemantauan “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia”. Komnas Perempuan juga menyiapkan modul pelatihan tentang hak-hak konstitusional warga negara, dan buku proses tentang menjadikan konstitusi sebagai kerangka analisa dan advokasi hak-hak asasi setiap warga negara, terutama dalam kaitannya dengan mewujudkan keadilan gender. Kami juga mengembangkan fi lm sebagai sarana diskusi tentang hak-hak konstitusional warga negara, serta buku rujukan tentang perempuan, negara, agama. Selain demi perjuangan penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, kehadiran seluruh perangkat pengetahuan ini kami harapkan berkontribusi pada upaya perbaikan tatanan negara bangsa Indonesia demi mewujudkan cita-cita “menjadi Indonesia”, sebagaimana disampaikan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu masyarakat yang cerdas, adil, makmur, sejahtera serta menjunjung tinggi kemanusian dan keberagaman dalam masyarakat.

Jakarta, 18 Agustus 2010

(7)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vii

1. Kerangka Pemantauan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Capaian yang diharapkan ... 3

1.4. Pertanyaan Kunci ... 3

1.5. Aras dan Pilihan Metode ... 4

1.6. Cakupan Kebijakan Daerah ... 5

1.7. Cakupan Wilayah ... 6

2. Lembar Pertanyaan Penggalian Informasi Melalui Metode Wawancara ... 7

2.1. Bagi Perempuan yang dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan, dan/atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah ... 7

2.2. Bagi Legislatif dan Eksekutif di tingkat kabupaten/kota ... 9

2.3. Bagi Legislatif dan Eksekutif di tingkat provinsi ... 11

2.4. Bagi Kantor Wilayah Hukum dan HAM dan Badan/ Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak ... 12

2.5. Bagi Satuan Pamong Praja (termasuk Wilayatul Hisbah di Aceh) ... 14

2.6. Bagi Penegak hukum, yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim ... 15

2.7. Bagi Kelompok Masyarakat yang mendukung dan/atau melakukan kekerasan atas nama penegakan kebijakan daerah ... 17

(8)

3. Lembar Pertanyaan Penggalian Informasi Melalui

Metode Diskusi Kelompok Terfokus ... 21

4. Lembar Isian Kasus Kekerasan dan Diskriminasi ... 25

5. Kerangka Analisa ... 35

5.1. Hak-hak Konstitusional Warga Negara ... 35

5.2. Prinsip Non Diskriminasi ... 40

5.3. Tanggung Jawab Negara ... 42

(9)

1. Kerangka Pemantauan

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses reformasi Indonesia setelah runtuhnya rejim Orde Baru yang sentralistik. Melalui otonomi daerah, pemerintahan daerah, terutama tingkat kabupaten, mempunyai kewenangan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam merumuskan kebijakan yang lebih sesuai dengan konteks lokal, baik untuk tujuan pengembangan potensi daerah secara lebih optimal maupun untuk penyelesaian persoalan-persoalan yang khas daerah tersebut. Pendelegasian kewenangan ke tingkat lokal juga diharapkan membuka ruang partisipasi publik yang lebih besar dalam proses perumusan kebijakan negara. Hasil yang diharapkan lewat proses otonomi daerah ini tentunya percepatan pertumbuhan kesejahteraan rakyat, tegaknya hak asasi manusia, dan bertumbuhkembangnya demokrasi.

Selama lima tahun terakhir, di satu sisi, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat lahirnya kebijakan-kebijakan daerah yang menjadi terobosan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya bagi perempuan korban kekerasan.1 Contohnya, kebijakan daerah terkait pengadaan layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan dan yang terkait dengan penguatan akses perempuan pada program pendidikan, ekonomi dan politik. Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mencatat bertambahnya

1 Catatan Awal Tahun 2008 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan, Jakarta: 2008.

(10)

jenis dan jumlah kebijakan daerah yang diskriminatif berbasis gender. Kebijakan tersebut tidak hanya mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan, tetapi juga mengkriminalisasi perempuan dan sebagai akibat lanjutannya, memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Contohnya, kebijakan daerah terkait busana, jam malam dan tentang ketertiban umum, khususnya mengenai prostitusi. Kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif gender jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi Indonesia, terutama pada jaminan atas hak warga negara perempuan. Di dalam konstitusi disebutkan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk melakukan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk untuk menghapuskan diskrimasi berbasis gender. Negara juga berkewajiban memastikan adanya jaminan kesamaan kedudukan seluruh warga negara, apapun jenis kelaminnya, di hadapan hukum. Selain itu, bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan daerah yang diskriminatif berbasis gender merupakan wujud kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya untuk menghadirkan rasa aman.

Mencermati kondisi ini, Komnas Perempuan berpendapat adanya kebutuhan yang mendesak untuk segera mengambil langkah strategis dalam menyikapi pelanggaran hak konstitusional perempuan dan mencegah pertumbuhan kebijakan daerah yang diskriminatif gender Untuk itu, dibutuhkan segera pemahaman yang lebih utuh dan mendalam tentang persoalan jaminan pemenuhan hak konstitusional perempuan dalam era otonomi daerah. Pemahaman ini hanya dapat diperoleh bila ada informasi yang akurat dan terpercaya, yang terutama berasal dari suara di tingkat lokal dan khususnya, berangkat dari pengalaman pererempuan. Atas dasar pemikiran inilah kegiatan pemantauan tentang tantangan jaminan hak konstitusional perempuan di dalam era otonomi daerah diselenggarakan.

1.2. Tujuan

Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk:

• Mendokumentasikan kemajuan dan kemunduran pemenuhan hak konstitusional perempuan melalui perumusan/penetapan/ pelaksanaan peraturan daerah paska UU Otonomi Daerah.

(11)

• Mendokumentasikan unsur-unsur penting penentu keberhasilan atau kemunduran tersebut

• Menghimpun pendapat kelompok perempuan mengenai persoalan pemenuhan hak konstitusional yang sedang mereka hadapi dan saran mereka untuk perbaikan.

• Menguatkan kapasitas daerah dalam melakukan pemantauan dalam kerangka HAM berperspektif keadilan gender sebagai sebuah penelitian aksi bagi pemenuhan HAM perempuan.

1.3. Capaian yang diharapkan

Dari pemantauan ini diharapkan adanya informasi yang komprehensif mengenai tantangan pemenuhan hak konstitusional perempuan di era otonomi daerah. Informasi ini akan menjadi rujukan bagi pengembangan strategi kebijakan yang berpihak pada pemenuhan HAM, khususnya bagi perempuan, termasuk dengan menjadikannya sebagai informasi bagi pemilih perempuan dalam pemilu 2009. Di penghujung pemantauan, diharapkan pula adanya kelompok pemantau di daerah yang memiliki komitmen dan kompetensi untuk menyelenggarakan pemantauan dalam kerangka HAM berperspektif keadilan gender sebagai sebuah penelitian aksi bagi pemenuhan HAM perempuan.

1.4. Pertanyaan Kunci

Pemantauan yang dirancang ini bermaksud untuk menggali informasi dari para pemangku kepentingan (stakeholders) di tingkat kabupaten/ kota dan provinsi mengenai (a) proses perumusan, (b) substansi atau materi-materi muatan dan (c) pelaksanaan kebijakan daerah. Informasi yang diperoleh diharapkan akan menjawab sejumlah pertanyaan kunci berikut ini:

• Bagaimana proses kemunculan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif gender dalam praktik demokrasi yang berlaku? Apa persepsi aparat dan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan ini? Bagaimana kinerja dari mekanisme-mekanisme negara, di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten, yang telah dikembangkan untuk menjamin hak-hak konstitusional setiap warga?

(12)

sejauhmana kebijakan-kebijakan daerah meningkatkan (atau mengurangi) peluang perempuan untuk memenuhi hak-hak konstitusionalnya, dan bagaimana persepsi perempuan sendiri tentang hal ini? Apa dampaknya pada kehidupan bermasyarakat secara umum (misalnya pelembagaan budaya kekerasan) dan secara khusus bagi perempuan? Mengapa bisa muncul?

• Apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan peluang pemenuhan hak-hak konstitusional dalam konteks otonomi daerah, baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun nasional?

1.5. Aras dan Pilihan Metode

Untuk menguji apakah sebuah kebijakan daerah diskriminatif atau tidak, dilakukan dalam tiga aras. Pertama, tujuan pembentukan kebijakan daerah. Pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) atas kebijakan daerah maupun melalui analisis persepsi penggagas dan pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan tentang tujuan kebijakan daerah tersebut. Kedua, dampak yang ditimbulkan akibat kehadiran dan pelaksanaan kebijakan daerah itu. Hal ini dapat dilakukan melalui metode observasi dan analisis persepsi dari pihak-pihak yang menjadi target pelaksanaan kebijakan daerah maupun masyarakat pada umumnya. Ketiga, praktik berdemokrasi dalam proses perumusan kebijakan. Perhatian utama diberikan pada sejauh mana warga negara, tanpa kecuali, dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan dan pengawasan kebijakan yang merupakan bagian dari hak konstitusionalnya dalam pemerintahan (Pasal 28D (3) UUD Negara RI 1945). Pengujian ini dapat dilakukan melalui metode observasi dan analisis persepsi pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan serta pemangku kepentingan (stakeholders) yang seharusnya dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut. Pemangku kepentingan paling utama adalah mereka yang diproyeksikan akan mengalami dampak langsung maupun tidak langsung dari kebijakan daerah itu.

Penggalian informasi untuk melakukan analisis persepsi dilakukan dengan dua cara yaitu wawancara dan diskusi kelompok terfokus

(focus group discussion/FGD). Masing-masing metode ini menyasar

pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Metode wawancara digunakan untuk menggali informasi dari:

(13)

a. Perempuan yang dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan, dan/ atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah. b. Legislatif di tingkat kabupaten/kota dan provinsi

c. Eksekutif di tingkat Kabupaten/kota dan provinsi d. Kantor Wilayah Hukum dan HAM

e. Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak

f. Satuan Pamong Praja (termasuk Wilayatul Hisbah di Aceh) g. Penegak hukum, yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim

h. Kelompok Masyarakat yang mendukung dan/atau melakukan kekerasan atas nama penegakan kebijakan daerah

i. Kelompok minoritas (bila FGD tidak dimungkinkan)

Sementara itu, metode diskusi kelompok terfokus menyasar pada: a. Perempuan kepala keluarga dan orang tua tunggal

b. Perempuan muda: pelajar atau mahasiswa yang adalah pemilih pemula

c. Perempuan penggerak masyarakat, pemimpin organisasi masyarakat

d. Perempuan pendidik: pemuka agama atau berprofesi sebagai guru atau dosen

e. Perempuan pembela HAM, terutama aktivis hak perempuan dan akademisi (khususnya yang biasa terlibat dalam penyusunan kebijakan)

f. Kelompok kritis non spesifi k kelompok perempuan, termasuk aktivis HAM, media, budayawan dan akademisi (terutama yang biasa terlibat dalam penyusunan kebijakan)

g. Perwakilan kelompok minoritas

1.6. Cakupan Kebijakan Daerah

Kebijakan daerah yang dipantau mencakup tidak saja peraturan daerah (perda) yang dibentuk oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama kepada laerah di tingkat kabupaten/kota. Pemantauan ini juga mencakup kebijakan daerah yang dihasilkan oleh eksekutif secara terpisah, misalnya dalam bentuk Surat Keputusan, Surat Edaran dan penetapan lainnya. Kebijakan-kebijakan daerah yang dimaksudkan ini dapat bersifat pengaturan (regeling) dan juga bersifat penetapan (beschikking) dan pengaturan administratif dalam menjalankan kewenangan kelembagaan pemerintahan di daerah.

(14)

1.7. Cakupan Wilayah

Wilayah yang dipilih adalah kabupaten atau kota yang telah mengeluarkan kebijakan daerah yang diskriminatif gender, termasuk: • tentang penggunaan aturan busana penggunaan jilbab, atau

busana muslim, atau sejenis

• tentang prostitusi dan perilaku lainnya yang dianggap asusila • tentang migrasi []

(15)

2. Lembar Pertanyaan Penggalian

Informasi Melalui Metode

Wawancara

Metode wawancara dipilih untuk menggali informasi secara mendalam dari narasumber-narasumber kunci yang merupakan pemangku kepentingan

(stakeholders) kebijakan daerah. Wawancara ini dilakukan ke

masing-masing individu yang mewakili delapan kelompok pemangku kepentingan yang terdapat di tingkat kabupaten/kota dan juga propinsi. Para pemangku kepentingan ini adalah (a) perempuan yang dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan dan/atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah, (b) legislatif, (c) eksekutif, (d) Satuan Pamong Praja atau unit sejenis yang diberikan kewenangan pelaksanaan kebijakan daerah, (e) penegak hukum, (e) kelompok masyarakat yang mendukung dan/atau melakukan kekerasan atas nama penegakan kebijakan daerah dan (f) kelompok minoritas yang seringkali luput dimintakan pendapatnya dalam proses perumusan kebijakan. Informasi yang diharapkan adalah data dan juga persepsi narasumber yang terkait dengan proses perumusan, muatan, pelaksanaan dan dampak dari kebijakan daerah itu.

(16)

2.1. Bagi perempuan yang dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan, dan/atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah.

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Adakah Anda diberitahu dan dijelaskan tentang kebijakan yang Anda langgar? Bila ada, jelaskan seperti apa bentuknya, siapa yang melakukan, kapan dan dimana?

• Apa pendapat Anda tentang kebijakan yang menjadi alasan menuduh Anda melakukan pelanggaran? • Apakah Anda sependapat bahwa Anda telah melakukan

pelanggaran sebagaimana yang dituduhkan? Pelaksanaan

(peristiwa yang dialami perempuan tersebut)

• Kapan, dimana dan siapa yang melakukan pengucilan/ penangkapan/penahanan/ penghukuman yang anda alami?

• Adakah Anda mengalami kekerasan atau merasa dilecehkan dalam proses tersebut? Bila ada, jelaskan seperti apa bentuknya, siapa yang melakukan, kapan dan dimana? Bila ada, adakah Anda melaporkan tindakan tersebut? Jika ya, kepada siapa dan bagaimana tanggapannya? (bila ada, catatkan pula di format

dokumentasi kekerasan terhadap perempuan)

• Dapatkah Anda memprotes atas tuduhan tersebut dan memperjuangkan keadilan bagi Anda? Kalau dapat, bagaimana caranya dan tanggapan yang diperoleh? Kalau tidak, apa alasannya?

• Bagaimana tanggapan keluarga dan masyarakat sekeliling mengenai tuduhan dan proses yang dikenakan ke Anda ?

Dampak • Dampak peristiwa tersebut secara individual, baik fi sik, psikologis, seksual, dan sosial?

• Dampak peristiwa itu kepada keluarga, masyarakat sekitar?

• Usulan perbaikan baik untuk kebijakan maupun pelaksanaannya?

(17)

2.2. Bagi Legislatif dan Eksekutif di Tingkat Kabupaten/Kota

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Apa sajakah persoalan utama yang dihadapi masyarakat di daerah ini?

• Apa sajakah persoalan utama yang dihadapi perempuan di daerah ini?

• Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong perumusan kebijakan tersebut? Bagaimana pendapat Anda mengenai faktor-faktor pendorong itu?

• Bagaimanakah keterkaitan antara persoalan utama yang dihadapi masyarakat, dan khususnya perempuan, dengan faktor-faktor pendorong perumusan kebijakan tersebut?

• Bagaimanakah pendapat Anda mengenai kebijakan ini? Sejauhmana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan dan/atau menjawab persoalan-persoalan utama kepada perempuan?

• Bagaimana pendapat Anda mengenai solusi yang ditawarkan oleh kebijakan ini? Kelompok mana yang diuntungkan dan yang dirugikan dengan pengaturan ini?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini justru melanggar HAM?

Proses perumusan

• Pihak-pihak mana saja yang mengusulkan atau mendukung perumusan kebijakan itu?

• Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam pembahasan kebijakan, baik mendukung maupun menolak, dan apa alasan sikap dari masing-masing pihak itu?

• Apa saja tahapan yang dilalui dalam perumusan kebijakan tersebut?

• Berapa lama waktu yang digunakan untuk melakukan perumusannya?

• Bagaimana cara memastikan semua anggota masyarakat memiliki akses untuk menyampaikan aspirasinya dengan terbuka?

(18)

• Sejauhmana proses perumusan ini melibatkan kelompok perempuan? Bagaimana cara memastikan seluruh kelompok perempuan ikut terlibat?

• Sejauh mana proses diskusi juga dilakukan dengan kelompok yang menolak rancangan kebijakan? • Bagaimana cara mengumpulkan masukan dari

kelompok minoritas?

• Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi sebagai anggota legislatif untuk dapat menjalankan mandat legislasi Anda dalam perumusan kebijakan ini? • Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa

kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit?

Pelaksanaan • Apakah kebijakan sudah dilaksanakan? Bila belum, mengapa?

• Bila kebijakan sudah dilaksanakan, bagaimana tahapan mempersiapkan pelaksanaannya? Siapa yang menjalankannya? Bagaimana kesiapan pelaksananya? • Apakah juga digunakan kekerasan oleh aparat negara?

Bila ya, oleh siapa, apakah ada pedoman penggunaan kekerasan dan bagaimana persiapannya?

• Bila sudah tidak lagi dilaksanakan, mengapa?

• Bagaimana penilaian Anda tentang pelaksanaannya? Apa saja keberhasilannya? Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk menjalankan kebijakan ini?

Dampak • Bagaimana proses monitoring/pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut?

• Adakah kelompok masyarakat yang ikut serta menjalankan kebijakan ini? Apakah mereka menggunakan kekerasan? Bagaimana sikap aparat negara menanggapi hal ini?

• Bisakah masyarakat melakukan pengaduan, bagaimana caranya dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

(19)

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

2.3. Bagi Legislatif dan Eksekutif di Tingkat Provinsi

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Bagaimanakah pendapat Anda mengenai kebijakan ini? Sejauh mana pula kebijakan ini membahas persoalan-persoalan utama yang dihadapi masyarakat?

• Sejauhmana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada perempuan? • Kelompok mana yang diuntungkan dan yang dirugikan

dengan pengaturan ini?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini melanggar jaminan hak konstitusional warga negara?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit? • Sejauh mana kebijakan ini berperan dalam mendukung

integritas hukum nasional? Proses

perumusan

• Bagaimana Anda menilai proses penyusunan kebijakan ini?

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? • Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi

institusi Anda untuk dapat menjalankan mandat legislasinya dengan baik dalam perumusan kebijakan ini?

Pelaksanaan • Bagaimana Anda menilai proses mempersiapkan pelaksanaannya?

• Bagaimana penilaian Anda tentang pelaksanaannya? Apa saja keberhasilannya?

• Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk menjalankan kebijakan ini?

(20)

• Bagaimana tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan ini?

Dampak • Bagaimana proses monitoring/pengawasan terhadap pelaksanaannya?

• Bagaimana caranya masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebijakan ini dapat melakukan pengaduan dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam pengawasan pelaksanaan dan dampak kebijakan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam pengawasan tersebut?

• Bagaimana sikap institusi Anda terhadap kelompok dalam masyarakat yang melakukan intimidasi atau kekerasan dalam kerangka partisipasi masyarakat untuk menjalankan kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

• Apa usulan perbaikan untuk menguatkan peran institusi Anda dalam perumusan dan pengawasan kebijakan daerah?

2.4. Bagi Kantor Wilayah Hukum dan HAM serta Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Apa sajakah persoalan utama yang dihadapi masyarakat, khususnya perempuan? Hak-hak warga negara apa saja yang masih belum terpenuhi, dan mengapa? • Bagaimanakah pendapat Anda mengenai kebijakan ini?

Sejauh mana pula kebijakan ini membahas persoalan-persoalan utama yang dihadapi masyarakat?

• Sejauhmana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada perempuan?

(21)

• Kelompok mana yang diuntungkan dan yang dirugikan dengan pengaturan ini?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini melanggar jaminan hak konstitusional warga negara?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit? • Sejauh mana kebijakan ini berperan dalam mendukung

integritas hukum nasional? Proses

perumusan

• Bagaimana Anda menilai proses penyusunan kebijakan ini?

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? • Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi

institusi Anda untuk dapat menjalankan mandat legislasinya dengan baik dalam perumusan kebijakan ini?

Pelaksanaan • Bagaimana Anda menilai proses mempersiapkan pelaksanaannya?

• Bagaimana penilaian Anda tentang pelaksanaannya? Apa saja keberhasilannya?

• Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk menjalankan kebijakan ini?

• Bagaimana tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan kebijakan ini?

Dampak • Bagaimana proses monitoring/pengawasan terhadap pelaksanaannya?

• Bagaimana caranya masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebijakan ini dapat melakukan pengaduan dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

(22)

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam pengawasan pelaksanaan dan dampak kebijakan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam pengawasan tersebut?

• Bagaimana sikap institusi Anda terhadap kelompok dalam masyarakat yang melakukan intimidasi atau kekerasan dalam kerangka partisipasi masyarakat untuk menjalankan kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

• Apa usulan perbaikan untuk menguatkan peran institusi Anda dalam perumusan dan pengawasan kebijakan daerah?

2.5. Bagi Satuan Pamong Praja2

Cakupan Pertanyaan

Latar Belakang

• Bagaimana cara rekruitmen, mempersiapkan dan penguatan kapasitas petugas?

• Apakah ada pedoman penggunaan kekerasan? Apakah pernah ada evaluasi terhadap pedoman ataupun penggunaan kekerasan dalam tugas? Bila ada, bagaimana hasil evaluasi dan apa tindak lanjutnya? Muatan • Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan ini?

Kelompok mana yang diuntung, dan kelompok mana yang dirugikan, mengapa?

• Sejauhmana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan kepada perempuan?

Pelaksanaan • Sebagai pelaksana kebijakan daerah, bagaimana Anda memahami kebijakan ini?

• Apakah kebijakan ini sudah pernah dilaksanakan? Bila belum mengapa?

(23)

• Bila kebijakan ini sudah dilaksanakan, bagaimana penilaian Anda tentang proses pelaksanaannya? Apakah sesuai dengan yang diharapkan oleh kebijakan tersebut?

• Apa saja tantangan dan hambatan untuk melaksanakannya?

Dampak • Bagaimana dampak pelaksanaan ini pada masyarakat, khususnya pada perempuan?

• Bagaimana caranya masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebijakan ini dapat melakukan pengaduan dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Bagaimana sikap institusi Anda terhadap kelompok dalam masyarakat yang melakukan intimidasi atau kekerasan dalam kerangka partisipasi masyarakat untuk menjalankan kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

2.6. Bagi Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim)

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan ini? Kelompok mana yang diuntungkan, dan kelompok mana yang dirugikan, mengapa?

• Sejauh mana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada perempuan? • Sejauh mana kebijakan ini berperan dalam mendukung

integritas hukum nasional? Proses

perumusan

• Bagaimana Anda menilai proses penyusunan kebijakan ini?

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini?

(24)

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini melanggar jaminan hak konstitusional warga negara?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit?

Pelaksanaan • Sebagai penegak hukum, bagaimana Anda memahami kebijakan ini?

• Apakah kebijakan ini sudah pernah dilaksanakan? Bila belum mengapa?

• Bila kebijakan ini sudah dilaksanakan, bagaimana penilaian Anda tentang proses pelaksanaannya? Apakah sesuai dengan yang diharapkan oleh kebijakan tersebut?

• Apa saja tantangan dan hambatan untuk melaksanakannya?

Dampak • Bagaimana dampak pelaksanaan ini pada masyarakat, khususnya pada perempuan?

• Bagaimana caranya masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebijakan ini dapat melakukan pengaduan dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Bagaimana sikap institusi Anda terhadap kelompok dalam masyarakat yang melakukan intimidasi atau kekerasan dalam kerangka partisipasi masyarakat untuk menjalankan kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

(25)

2.7. Bagi Tokoh Kelompok Masyarakat yang mendukung dan/ atau melakukan kekerasan atas nama penegakan kebijakan daerah

Cakupan Pertanyaan

Muatan • Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan ini? Kelompok mana yang diuntungkan, dan kelompok mana yang dirugikan, mengapa?

• Sejauhmana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan hukum dan HAM kepada perempuan? Proses

perumusan

• Bagaimana Anda menilai proses penyusunan kebijakan ini?

• Bagaimana keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? Seberapa penting Anda menilai arti keterlibatan (institusi) Anda dalam perumusan ini? • Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat

bahwa kebijakan daerah ini melanggar jaminan hak konstitusional warga negara?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit? Pelaksanaan • Apakah kebijakan ini sudah pernah dilaksanakan? Bila

belum mengapa?

• Bila kebijakan ini sudah dilaksanakan, bagaimana penilaian Anda tentang proses pelaksanaannya? Apakah sesuai dengan yang diharapkan oleh kebijakan tersebut?

• Apa saja tantangan dan hambatan untuk melaksanakannya?

• Bagaimana sikap (institusi) Anda menghadapi hambatan dan tantangan pelaksanaan kebijakan ini? • Bagaimana sikap institusi Anda terhadap komentar

tentang aksi (institusi) Anda melakukan intimidasi atau kekerasan terhadap masyarakat atas nama menjalankan kebijakan ini?

(26)

Dampak • Bagaimana dampak pelaksanaan ini pada masyarakat, khususnya pada perempuan?

• Bagaimana caranya masyarakat yang mengalami kerugian akibat kebijakan ini dapat melakukan pengaduan dan bagaimana tindak lanjutnya?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

2.8. Bagi Kelompok Minoritas

Cakupan Pertanyaan

Latar Belakang

• Apa sajakah permasalahan utama yang dihadapi perempuan di wilayah Anda?

• Tahukah Anda tentang kebijakan yang dipantau ini? Bila ya, bagaimana Anda mengetahuinya?

Muatan • Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan ini? Kelompok mana yang diuntung, dan kelompok mana yang dirugikan, mengapa?

• Sejauh mana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan kepada perempuan?

• Sejauh mana kebijakan ini menjawab persoalan utama yang dihadapi perempuan di wilayah Anda?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini justru melanggar hak-hak warga negara?

Proses Perumusan

• Adakah Anda terlibat dalam perumusan atau adokasi kebijakan daerah? Mengapa?

• Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam pembahasan kebijakan yang dipantau, baik mendukung maupun menolak, dan apa alasan sikap dari masing-masing pihak itu?

(27)

• Bagaimana penilaian Anda tentang proses perumusannya? Adakah sudah melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat? Sejauh mana proses diskusi juga dilakukan dengan kelompok yang menolak rancangan kebijakan?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit?

• Apa usulan perbaikan untuk proses perumusan kebijakan ?

Pelaksanaan • Apakah kebijakan sudah dilaksanakan? Bila belum, mengapa? Bila sudah, bagaimana tahapan mempersiapkan pelaksanaannya? siapa yang menjalankannya? bagaimana kesiapan pelaksananya? • Bagaimana pelaksanaannya dilakukan? Apakah juga

digunakan kekerasan?

• Bagaimana penilaian Anda tentang pelaksanaannya? Apa saja keberhasilannya? Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk menjalankan kebijakan ini?

Dampak • Bagaimana dampak pelaksanaan ini pada masyarakat, dan khususnya pada perempuan?

• Bisakah masyarakat melakukan pengaduan bila merasa dirugikan oleh kebijakan ini? Bila bisa,kepada siapa dan bagaimana caranya? Bagaimana pula tanggapan yang diperoleh?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

(28)
(29)

3. Lembar Pertanyaan Penggalian

Informasi Melalui Metode Diskusi

Kelompok Terfokus

Pemantauan Komnas Perempuan merumuskan tujuh kelompok yang perlu ditanyakan pendapatnya dalam kajian kebijakan daerah untuk pemenuhan hak konstitusional perempuan, yaitu:

a. Perempuan kepala keluarga dan orang tua tunggal

b. Perempuan muda: pelajar atau mahasiswa yang adalah pemilih pemula

c. Perempuan penggerak masyarakat, pemimpin organisasi masyarakat

d. Perempuan pendidik: pemuka agama atau berprofesi sebagai guru atau dosen

e. Perempuan pembela HAM, terutama aktivis hak perempuan dan akademisi (khususnya yang biasa terlibat dalam penyusunan kebijakan)

f. Kelompok kritis non spesifi k kelompok perempuan, termasuk aktivis HAM, media,budayawan dan akademisi (terutama yang biasa terlibat dalam penyusunan kebijakan)

(30)

Panduan pertanyaan ini digunakan untuk semua kelompok tersebut di atas. Dalam proses diskusinya, pertanyaan-pertanyaan tidak disampaikan secara berturut-turut melainkan disesuaikan atau tanggap pada dinamika atau perkembangan diskusi kelompok .

Cakupan Pertanyaan

Latar Belakang

• Apa sajakah permasalahan utama yang dihadapi perempuan di wilayah Anda?

• Tahukah Anda tentang kebijakan yang dipantau ini? Bila ya, bagaimana Anda mengetahuinya?

Muatan • Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan ini? Kelompok mana yang diuntungkan, dan kelompok mana yang dirugikan, mengapa?

• Sejauh mana kebijakan ini dapat memberikan perlindungan kepada perempuan?

• Sejauh mana kebijakan ini menjawab persoalan utama yang dihadapi perempuan di wilayah Anda?

• Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa kebijakan daerah ini justru melanggar hak-hak warga negara?

Proses Perumusan

• Adakah Anda terlibat dalam perumusan atau adokasi kebijakan daerah?

• Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam pembahasan kebijakan yang dipantau, baik mendukung maupun menolak, dan apa alasan sikap dari masing-masing pihak itu?

• Bagaimana penilaian Anda tentang proses perumusannya? Adakah sudah melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat? Sejauh mana proses diskusi juga dilakukan dengan kelompok yang menolak rancangan kebijakan? • Bagaimana tanggapan Anda terhadap pendapat bahwa

kebijakan daerah ini merupakan produk politisasi identitas untuk kepentingan politik partai/elit? • Apa usulan perbaikan untuk proses perumusan

(31)

Pelaksanaan • Apakah kebijakan sudah dilaksanakan? Bila belum, mengapa? Bila sudah, bagaimana tahapan mempersiapkan pelaksanaannya? Siapa yang menjalankannya? Bagaimana kesiapan pelaksananya? • Bagaimana pelaksanaannya dilakukan? Apakah juga

digunakan kekerasan?

• Bagaimana penilaian Anda tentang pelaksanaannya? Apa saja keberhasilannya? Apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapi untuk menjalankan kebijakan ini?

Dampak • Bagaimana dampak pelaksanaan ini pada masyarakat, dan khususnya pada perempuan?

• Bisakah masyarakat melakukan pengaduan bila merasa dirugikan oleh kebijakan ini? Bila bisa,kepada siapa dan bagaimana caranya? Bagaimana pula tanggapan yang diperoleh?

• Bagaimana posisi perempuan di masyarakat akibat dari implementasi kebijakan ini?

• Apa usulan perbaikan baik untuk muatan maupun pelaksanaannya?

(32)
(33)

4. Lembar Isian Kasus

Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan Akibat Implementasi Kebijakan Daerah

Lembar isian kasus ini diisikan ketika pemantau menemukan adanya perempuan yang dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan, dan/atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah. Bila pada lembar wawancara yang lebih digali adalah persepsi dari narasumber, pada lembar isian kasus informasi yang digali secara terperinci adalah tentang peristiwa dimana perempuan tersebut merasa dirugikan, dikucilkan, ditangkap, ditahan, dan/atau dihukum karena dianggap melanggar kebijakan daerah yang diskriminatif. Lembar isian kasus ini merujuk pada lembar isian kasus yang dikembangkan Komnas Perempuan dalam mencatatkan pengaduan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

1. Identitas

1.1. Korban

Nama Korban : ………

Tempat tanggal lahir (atau umur) : ………

Alamat tinggal (lengkap) : ………

……… ………

Pekerjaan/jabatan : ………

(34)

Status perkawinan : belum kawin/orang tua tunggal/

kawin/cerai /cerai mati/ cerai gantung

Jumlah tanggungan : …………orang;

Usia masing-masing tanggungan : ……… ……… 1.2. Pelaku

Jumlah pelaku : ………...…… orang.

(Bila pelaku lebih dari satu orang, tulis lengkap identitas setiap pelaku di lembar terpisah dengan rincian seperti di bawah ini)

Nama Korban : ………

Jenis kelamin : Laki-laki/perempuan*

Tempat tanggal lahir (atau umur) : ………

Alamat tinggal (lengkap) : ………

……… ……… Pekerjaan/jabatan : ……… Etnis/suku : ……… Status perkawinan : belum kawin/orang tua tunggal/

kawin/cerai /cerai mati/ cerai gantung

Hubungan pelaku dengan korban: ………

Jika korban tidak mengenal pelaku, jelaskan ciri-ciri pelaku

(seperti wajah, postur tubuh, rambut, tahi lalat atau pengenal lainnya, pakaian, sepatu, tas , topi, apakah ada cacat tubuh, tanda khusus di tubuh,bekas luka, dll.)

....……… ....……… ....………

(35)

Hubungan pelaku dengan negara/kekuasaan: ....……… ....……… ....……… ....……… ....……… 2. Kejadian/Peristiwa 2.1. Kronologi peristiwa

a. Tulis kejadian yang dialami korban serinci mungkin, dengan menyebutkan waktu, tempat dan peristiwa yang terjadi. Dalam kejadian tersebut, sebutkan juga alat yang digunakan dan bagian tubuh yang menjadi sasaran bila terjadi kekerasan.

b. Bila kejadian lebih dari satu kali, tuliskan kejadian secara berurutan pula

c. Bila lembar isian ini tidak muat, tuliskan di lembar terpisah

……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

(36)

2.2. Apakah ada korban lain dalam kejadian yang sama?

(bila ada, sebutkan. Informasi lengkap ditulis di lembar isian terpisah)

……… ……… ……… ………

2.3. Menurut korban, mengapa ia menjadi sasaran kekerasan atau diskriminasi? ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… 3. Dampak 3.1. Fisik ……… ……… ……… ………

(37)

3.2. Psikologis ……… ……… ……… ……… ……… ……… 3.3. Seksual ……… ……… ……… ……… ……… ……… 3.4. Ekonomi ……… ……… ……… ……… ……… ………

3.5. Sosial (termasuk pendidikan, dan penerimaan masyarakat pada korban) ……… ……… ……… ……… ……… ………

(38)

4. Tanggapan

4.1. Apakah peristiwa ini sudah dilaporkan ke aparat keamanan, pejabat pemerintah setempat, atau pihak lain yang dianggap mampu menolong?

……… ……… ……… ………

4.2. Bila ya, siapa yang melaporkan, kapan dan kepada siapa? ……… ……… ……… ………

4.3. Apa tanggapan pihak yang memperoleh laporan ?

(Tindakan apa yang diambil, kapan dan apa dampaknya bagi korban dan pelaku)

……… ……… ……… ………

4.4. Bila Tidak, apa alasan kasus tidak dilaporkan?

……… ……… ……… ……… ……… ………

(39)

5. Persepsi Korban

5.1. Pendapat korban tentang kebijakan daerah yang menyebabkannya mengalami peristiwa kekerasan atau diskriminasi tersebut ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

5.2. Usulan korban terkait kebijakan daerah yang menyebabkannya mengalami peristiwa kekerasan/diskriminasi tersebut

……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

5.3. Pendapat korban tentang rasa aman:

……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

(40)

6. Informasi lainnya

6.1. Saksi

Nama Saksi : ………

Tempat tanggal lahir (atau umur) : ………

Jenis kelamin : Laki-laki/perempuan*

Alamat tinggal (lengkap) : ………

………

Pekerjaan/jabatan : ………

Etnis/suku : ……… Agama: ….…….….

Status perkawinan : belum kawin/orang tua tunggal/

kawin/cerai /cerai mati/ cerai gantung

Jumlah tanggungan : …………orang;

Usia masing-masing tanggungan : ……… Hubungan saksi dengan korban : ………

Catatan:

Saksi adalah yang menyaksikan/mendengar secara langsung/ memperoleh informasi dari korban*

6.2. Pelapor (jika informasi bukan dari korban)

Nama Pelapor : ………

Tempat tanggal lahir (atau umur) : ……… Jenis kelamin : Laki-laki/perempuan*

Alamat tinggal (lengkap) : ………

……… ……… Pekerjaan/jabatan : ……… Etnis/suku : ………Agama: ………

(41)

Status perkawinan : belum kawin/orang tua tunggal/

kawin/cerai /cerai mati/ cerai gantung*

Hubungan pelapor dengan korban:……… Alasan korban tidak melaporkan peristiwa ini sendiri:

……… ……… ……… Pelapor adalah saksi/bukan saksi*

Keterangan:

a. Informasi yang tersedia di Lembar Isian Kasus bersifat rahasia. Kerahasiaannya menjadi tanggung jawab pemantau dan organisasi yang melakukan pemantauan.

(42)
(43)

5. Kerangka Analisis

Seluruh informasi yang diperoleh dari hasil wawancara, diskusi kelompok terfokus, pengamatan dan juga informasi-informasi yang relevan lainnya kemudian dianalisis dengan menggunakan kerangka pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan. Kerangka analisis ini dibangun dengan tiga konsep utama, yaitu konsep tentang (a) hak-hak konstitusional warga negara, (b) prinsip non diskriminasi, dan (c) tanggung jawab negara. Sejauh mana hak konstitusional dipenuhi, prinsip non diskriminasi ditegakkan dan tanggungjawab negara untuk pemenuhan hak dijalankan menjadi alat ukur apakah sebuah kebijakan-dari proses perumusan, muatan dan pelaksanaannya- adalah kebijakan diskriminatif atau bukan. Kerangka analisis ini dibutuhkan tidak hanya untuk penajaman pemahaman tentang persoalan tetapi menjadi kompas dalam merumuskan rekomendasi untuk perbaikan dari situasi diskriminatif yang dihadirkan oleh kehadiran kebijakan-kebijakan daerah tersebut.

5.1. Hak-Hak Konstitusional Warga Negara

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan pernyataan cita-cita, tujuan, dan prinsip tata cara pengelolaan negara bangsa Indonesia. Dinyatakan dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945 bahwa:

(44)

… rakyat Indonesia ... membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia… dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…

Sebagai landasan hukum tertinggi di Indonesia maka segala peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh para pemimpin politik dan wakil rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, adalah untuk merealisasikan cita-cita bangsa ini. Oleh karena itu, kebijakan daerah, sebagaimana dijabarkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, namun ia dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang dan terutama, Konstitusi. Pembentukan kebijakan perda adalah semata-mata dimaksudkan untuk membuka kesempatan bagi daerah menciptakan berbagai terobosan dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan umum dan daya saing daerah dan demokrasi sebagai mandat utama otonomi daerah.

Karena merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka kebijakan daerah juga berkewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negara yang telah dijamin di dalam konstitusi. Komnas Perempuan menemukan 40 hak yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, termasuk hak atas kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1); hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani (Pasal 28I ayat 1); hak atas penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2); hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat 1); serta hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan hak atas perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif (Pasal 28I ayat 2). Secara keseluruhan, keempat puluh hak tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat belas rumpun, sebagaimana tampak pada Tabel 1 di bawah ini.

(45)

Tabel 1

40 HAK KONSTITUSIONAL DALAM 14 RUMPUN

I. HAK ATAS KEWARGANEGARAAN

1 Hak atas status kewarganegaraan Pasal 28 D (4) 2 Hak atas kesamaan kedudukan di dalam hukum

dan pemerintahan

Pasal 27 (1), Pasal 28 D (1), Pasal 28 D (3)

II. HAK ATAS HIDUP

3 Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya,

Pasal 28 A, Pasal 28 I (1) 4 Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang Pasal 28 B (2)

III. HAK UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI

5 Hak untuk mengembangkan diri melalui

pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya

Pasal 28C (1)

6 Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat

Pasal 28H (3)

7 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial

Pasal 28F

8

Hak mendapat pendidikan Pasal 31 (1), Pasal 28 C (1)

IV. HAK ATAS KEMERDEKAAN PIKIRAN & KEBEBASAN MEMILIH

9 Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani Pasal 28 I (1) 10 Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan Pasal 28 E (2)

11 Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya

Pasal 28 E (1), Pasal 29 (2)

(46)

12 Hak untuk bebas memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal

Pasal 28 E (1)

13 Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul Pasal 28 E (3) 14 Hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai

dengan hati nurani Pasal 28 E (2)

V. HAK ATAS INFORMASI

15 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi Pasal 28 F

16 Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia

Pasal 28 F

VI. HAK ATAS KERJA & PENGHIDUPAN LAYAK

17 Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan Pasal 27 (2) 18 Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Pasal 28 D (2) 19 Hak untuk tidak diperbudak Pasal 28 I (1)

VII. HAK ATAS KEPEMILIKAN & PERUMAHAN

20 Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Pasal 28 H (4) 21 Hak untuk bertempat tinggal Pasal 28 H (1)

VIII. HAK ATAS KESEHATAN & LINGKUNGAN SEHAT

22 Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin Pasal 28 H (1) 23 Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat

Pasal 28 H (1)

(47)

IX. HAK BERKELUARGA

25 Hak untuk membentuk keluarga Pasal 28 B (1)

X. HAK ATAS KEPASTIAN HUKUM & KEADILAN

26 Hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil

Pasal 28 D (1)

27 Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum Pasal 28 D (1), Pasal 27 (1) 28 Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum Pasal 28 I (1)

XI. HAK BEBAS DARI ANCAMAN, DISKRIMINASI & KEKERASAN

29 Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi

Pasal 28 G (1)

30 Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

Pasal 28 G (2)

31 Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun

Pasal 28 I (2)

32 Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan

Pasal 28 H (2)

XII. HAK ATAS PERLINDUNGAN

33 Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya

Pasal 28 G (1)

34 Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

Pasal 28 I (2)

35 Hak atas perlindungan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

(48)

36 Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Pasal 28 B (2), Pasal 28 I (2) 37 Hak untuk memperoleh suaka politik dari negara

lain

Pasal 28 G (2)

XIII. HAK MEMPERJUANGKAN HAK

38 Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif

Pasal 28 C (2)

39 Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat

Pasal 28 Pasal 28 E (3)

XIV. HAK ATAS PEMERINTAHAN

40 Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan

Pasal 28 D (3) Pasal 27 (1)

5.2. Prinsip Non Diskriminasi

Prinsip non diskriminasi merupakan salah satu karakter utama dalam konstitusi Indonesia. Setiap hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 ditujukan kepada ‘setiap orang’ – bukan kepada kelompok istimewa tertentu, bukan pula kepada penduduk mayoritas, dan tanpa kecuali. Jaminan tanpa kecuali dijabarkan secara eksplisit dalam pasal tersendiri yang menyatakan hak setiap orang untuk bebas dari diskriminasi. Dalam membela hak-haknya, di muka hukum ataupun secara kolektif, konstitusi pun menegaskan kedudukan dan hak yang sama bagi setiap orang. Lebih jauh lagi, Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan diskriminatif yang dialami (Pasal 28I ayat 2) dan bahkan berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama untuk mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28H ayat 2). Hak mendapatkan kemudahan atau perlakuan khusus merupakan sarana yang disediakan oleh konstitusi untuk memperbaiki sebuah sistem yang diskriminatif dan memastikan pembebasan warga negara dari jeratan sistem tersebut.

Diskriminasi, menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 didefi nisikan sebagai:

(49)

“setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Komitmen negara untuk menghapuskan diskriminasi sudah dinyatakan sejak penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifi kasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam Undang-Undang tersebut, diskriminasi disebutkan sebagai:

“setiap pembedaan, pengabaian, atau pembatasan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan, mempengaruhi atau bertujuan mengurangi ataupun meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.” (Garis bawah oleh Penulis)

Komitmen penghapusan diskriminasi ditegaskan berulang kali dalam berbagai produk perundang-undangan. Misalnya, komitmen ini disampaikan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2005 tentang ratifi kasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di akhir 2008, pernyataan kromitmen untuk penghapusan diskriminasi dikuatkan kembali dengan penerbitan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada pasal 138, juga memantapkan komitmen negara untuk merawat prinsip non diskriminasi dalam tata kelola negara-bangsa Indonesia. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa asas material yang berlaku dalam sistem otonomi daerah di Indonesia adalah (a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c) kebangsaan, (d) kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f) Bhinneka Tunggal Ika,

(50)

(g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau (j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.3

Kebijakan daerah yang diskriminatif tidak saja melanggar prinsip non diskriminasi yang dianut konstitusi, tetapi terutama menjadi sarana pelembagaan diskriminasi. Kebijakan diskriminatif berangkat dari praktik-praktik diskriminatif yang terdapat di masyarakat, termasuk diskriminasi berbasis gender. Karena mengikat secara hukum, kehadiran kebijakan daerah yang diskriminatif itu tidak saja melanggengkan praktik diskriminasi dalam kehidupan masyarakat tetapi juga, dan terutama, memosisikan praktik diskriminasi sebagai tindakan yang sah dalam tata kelola berbangsa dan bernegara dimana lembaga negara menjadi penggagas dan pelaku langsung tindak diskriminasi terhadap warga negaranya. Situasi inilah yang dimaksudkan dengan pelembagaan diskriminasi.

5.3. Tanggungjawab Negara

Pasal 28I(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Ini adalah pernyataan tegas mandat konstitusional bagi negara. Tanggung jawab negara adalah konsep yang sangat penting dan integral dalam pemenuhan hak asasi dan dalam memastikan terselenggaranya prinsip non diskriminasi yang diusung oleh konstitusi Indonesia.

Ada lima konsep penting dalam memahami konsep tanggung jawab negara, yaitu:

a. Kewajiban menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata

Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan perangkat, dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, untuk mewujudkan kesetaraan. Kewajiban mendapat hasil nyata memberi tekanan pada perlunya tindakan afi rmasi untuk mencapai kesetaraan substantif.

3 Garis bawah dalam pasal 138 dilakukan oleh penulis untuk menunjukkan asas-asas yang terkait secara langsung dengan prinsip non diskriminasi.

(51)

b. Penghormatan, pemenuhan dan perlindungan

Negara menggemban tiga tingkat tanggung jawab yaitu penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Masing-masing tingkat saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Penghormatan memerlukan peneguhan melalui pelaksanaan standar normatif yang mengakui hak asasi manusia tanpa kecuali. Ini adalah syarat awal bagi penikmatan hak dan kebebasan. Negara perlu menciptakan lingkungan, termasuk kerangka kelembagaan yang memungkinkan pemenuhan standar normatif tersebut. Negara juga harus mengembangkan mekanisme yang secara efektif melindungi standar-standar tersebut dari ancaman dan tindak pelanggaran.

c. Tindakan Afi rmasi

Tindakan afi rmasi adalah sarana atau cara yang dapat dan harus digunakan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat dalam hal pengakuan, penikmatan dan penerapan hak asasi manusia. Untuk memastikan setiap orang, tanpa kecuali dapat menikmati hak-haknya secara utuh maka negara menyusun langkah-langkah khusus untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab negara atas hak asasi manusia. Langkah-langkah khusus ini bersifat sementara dan perlu dapat terus dilanjutkan sampai ketidaksetaraan berhasil diatasi.

d. Uji Kelayakan (due diligence)

Negara memiliki tanggungjawab atas semua pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun aktor privat, di ranah publik maupun privat. Karenanya, negara tidak hanya perlu menunjukkan bahwa tanggung jawab tersebut telah dilakukan secara formal dan de jure (hukum), tetapi juga sudah mengambil “langkah” yang memungkinkan, mengatur dan melindunginya. Uji kelayakan dibutuhkan untuk memastikan sejauh mana atau efektivitas mekanisme korektif dari peraturan perundang-undangan, kebijakan, program memberikan hasil yang nyata pada pemenuhan hak.

e. Harmonisasi kebijakan

Harmonisasi kebijakan adalah cara di tingkat nasional yang dilakukan negara untuk memastikan pemenuhan hak asasi

(52)

manusia, yang telah diakui dan dijamin di dalam konstitusi sebagai rujukan berbangsa dan bernegara. Harmonisasi kebijakan di tingkat nasional berarti pengujian dan perubahan kebijakan di seluruh tingkatan tata kelola negara, yaitu dari desa hingga pusat, agar berkesesuaian atau konsisten dengan jaminan hak manusia sebagai hak warga negara.

Pelaksanaan tanggungjawab negara tersebut berawal sejak proses perumusan kebijakan daerah sampai dengan seluruh proses pelaksanaan kebijakan daerah. Tanggung jawab ini tidak terbatas pada lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan fungsi legislasi dan pengawasan, lembaga eksekutif (tingkat kabupaten/kota dan provinsi) yang turut merumuskan dan melaksanakan kebijakan, dan lembaga yudikatif yang berwenang untuk memproses tanggung jawab pelaku pelanggaran HAM dan membatalkan kebijakan demi menjaga integritas hukum nasional.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan mandat pengawasan ada pada Kementrian Dalam Negeri (Mendagri) selaku pembina pelaksanaan otonomi daerah. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 188.34/1586/SJ/2006 tentang Tertib Perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah menyebutkan, agar pembentukan peraturan daerah sebelum disahkan dapat dikonsultasikan ke Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM (Kanwil Hukham) Provinsi jika perda kabupaten, dan kepada Menkumham (pusat) untuk perda provinsi. Demikian juga Keputusan Presiden (Keppres) No. 49 tahun 2004 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) yang di dalamnya mengagendakan harmonisasi perundang-undangan dengan instrumen HAM. Keppres ini menegaskan pentingnya konsultasi dalam pembentukan peraturan daerah dan kebijakan daerah lain untuk memastikan hak-hak asasi yang telah dijamin dalam konstitusi mewujud di dalam semua produk kebijakan.

Terkait dengan langkah khusus yang dibutuhkan agar perempuan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara, maka Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional memerintahkan seluruh menteri, kepala lembaga pemerintahan non departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, kepala kepolisian RI, Jaksa Agung, gubernur, bupati/walikota untuk memastikan perspektif keadilan gender terintegrasi dalam seluruh

Referensi

Dokumen terkait

Aspek menerapkan konsep yang diterapkan pada tahap Applying mengalami peningkatan sebesar 0,33 dengan kategori sedang, peningkatan KPS pada aspek menerapkan

subjek yang merokok mempunyai resiko mengalami penyakit jantung koroner 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang bukan perokok dan hal tersebut

Dengan menggunakan hasil uji kadar lengas tanah pada beberapa kondisi (Tabel 1), kadar lengas tanah pada saat pembentukan lorong dan persamaan empirik laju penurunan lengas tanah

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kompos yang terbuat dari sampah kulit pisang kepok dan tanaman Mucuna bracteata telah memenuhi syarat kompos

Kami menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa progam studi keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Pada perancangan struktur menu Aplikasi Resep Makanan Berbasis Android memiliki 5 menu utama diantaranya Resep, Tips, Panduan, Tentang dan Keluar. Gambar 4.24 Perancangan

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Kondisi Sungai Dolok yang mengalami penyempitan alur serta pendangkalan menyebabkan berkurangnya kapasitas penampang sungai

Dalam penelitian Mohardi tentang pengaruh motivasi guru dan persepsi guru terhadap kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru SMA Negeri di Pulau Batam