• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TANGGUNGJAWAB HUKUM TERHADAP DIREKS

C. Tanggungjawab Pidana Perseroan

Krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyisakan berbagai persoalan bagi pemerintah RI. Beberapa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, akademis, dan intelektual lainnya serta beberapa politisi yang mendesak penyelesaian krisis tersebut. Berbagai instansi baik penegak hukum dan departemen terkait terus mengupayakan secara optimal melakukan penyelesaian yang seadil – adilnya dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan efek negatif sehingga tidak terkesan tebang pilih.

Berdasarkan pengamatan terhadap kemajuan – kemajuan yang dicapai dibidang ekonomi, kita diingatkan bahwa : “suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah adanya gangguan – gangguan atas kesejahteraan masyarakat.” Kemajuan yang dicapai dibidang ekonomi tidak akan menghilangkan kejahatan bahkan bisa dipastikan kemajuan ekonomi itu sendiri merupakan faktor dominan yang menyebabkan perkembangan kejahatan.111

Persekutuan (maatschap, partnership) merupakan dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk memberikan berupa uang, barang atau tenaga dalam bentuk suatu kerjasama, yang tujuan kerjasama dimaksud biasanya untuk membagi keuntungan dari hasil kerjasama secara prorata sesuai dengan porsi atau besarnya

modal yang dimasukkan.112 Pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa segala bentuk kerjasama dalam persekutuan dengan mengeluarkan modal untuk usaha dimaksimalkan upayanya agar mendapat kemajuan dan keuntungan persekutuan yang sebesar – besarnya sehingga hasil yang akan dicapai maksimal sesuai dengan tujuan dari kerjasama tersebut.

Badan hukum merupakan suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau Undang-Undang, dan sebagai subyek hukum secara materil ia (badan hukum) mencakup hal- hal sebagai berikut :

1. Kumpulan atau asosiasi modal yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya.

2. Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum(rechtshandeling)dalam hubungan-hubungan hukum(rechtsbestrekking), dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

3. Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang – undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, serta menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.

112Alvi Syahrin,Ketentuan Pidana Dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

4. Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurus harta kekayaan tersebut oleh pengurus.

5. Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.

6. Sifat keanggotannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.

7. Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.113

Maksud dan tujuan dari pengertian diatas adalah dapat dipastikan bahwa persekutuan yang mempunyai badan hukum dalam menggerakan segala bentuk kegiatan asosiasi persekutuan harus berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dengan tidak melawan ketentuan hukum yang telah ada. Semua kegiatan usaha persekutuan haruslah sesuai dengan tujuan perkumpulan modal agar seluruh pengurus dalam menggerakan persekutuan bertujuan agar kepentingan badan hukum menjadi prioritas sehingga kebaradaan modal badan hukum aman. Kepentingan badan hukum itu sendiri yang mana sifat dari keanggotaan persekutuan bisa saja beralih kepada

siapapun juga yang terpisah tanggung jawab masing – masing pengurus jika terjadi perbuatan yang melawan hukum.

Korporasi dewasa ini merupakan bentuk organisasi bisnis yang paling penting, korporasi berkembang menjadi institusi tidak saja dalam dunia bisnis yang mencari keuntungan melainkan juga sebagai bentuk organisasi publik dan swasta yang tujuan nya semata – mata tidak hanya untuk mencapai keuntungan. Korporasi telah tumbuh menjadi konsep yang canggih dalam kerja sama dan pengumpulan modal, berbeda dengan aktivitas ekonomi masyarakat primitif yang hanya dilakukan secara individual atau paling jauh antar kelompok keluarga, korporasi dihimpun dengan mengikutsertakan pihak ketiga bahkan melampaui batas – batas negara.

Kegiatan bisnis pada umumnya merupakan landasan utama bagi pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat kompetisi. Berkembangnya perekonomian dan dunia usaha yang semakin pesat disertai dengan hadirnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penyimpangan yang terjadi pada aktivitas perekonomian telah menghadirkan berbagai bentuk kejahatan yang pada akhirnya merupakan pelanggaran hukum pidana. Pelanggaran hukum bisnis tersebut yang dikenal dengan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi sudah dikenal di dalam dunia ilmu kriminologi, sebagai bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime).114 White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar hukum kriminologi E. H. Sutherland yang menyatakan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya.

Kejahatan korporasi sebenarnya merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris terjadi dalam konteks hubungan diantara dewan direktur, eksekutif dan manager disatu pihak dan diantara perusahaan induk, perusahaan cabang, dan anak perusahaan dilain pihak. Anatomi kejahatan-kejahatan korporasi sangat komplek yang bermuara pada motif- motif ekonomis, motif-motif ekonomis tersebut tersebar pada spectrum yang sangat luas. Kejahatan korporasi pada umumnya diperankan oleh orang-orang yang berstatus sosial tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu serta dengan cara kolektif dengan modus operandi yang halus, yang sukar dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan dengan secara individu.

Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi.115 Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama dengan pejabat senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. Motivasi dari korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan dorongan yang kuat sehingga sering kali di dalam memutuskan strategi dan operasi niaganya secara langsung mengarah pada keterlibatan atau melibatkan diri dalam kejahatan. Sedangkan korban dari kejahatan korporasi memiliki spektrum yang sangat luas, korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk diketahui atau korban baru kelihatan pada waktu cukup lama bahkan korban tidak menyadari kalau dirinya telah menjadi korban atas suatu perbuatan tertentu.

Karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi antara lain :

a. Kejahatan tersebut sulit dilihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin melibatkan keahlian yang profesional dan sistem organisasi yang kompleks dan karena dari tingkat penyelidikan, penyidik dan penuntutan bahkan dalam penegakan hukumnya lemah, karena ketentuan hukum positif yang mengaturnya masih dapat dimultitafsirkan serta ketidak – acuhan masyarakat atas tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi.

b. Terjadi ketidakjelasan tanggungjawab (diffusion of responsibility),

c. Peraturan yang tidak jelas yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.

d. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai akibat dari profesionalitas yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.116

Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat Undang – Undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya, mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam

hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang – Undang, yaitu:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnya yang bertanggungjawab; b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab117;

Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan – tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku, jika terbukti tindakan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindakan oleh yang bersangkutan dengan melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun, dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.

Selanjutnya menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Badan hukum yang dalam kenyataannya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut,

sehingga badan hukum dinyatakan bertanggungjawab atas kejadian tersebut.118 Tujuan dari korporasi adalah untuk kepentingan masyarakat agar sejahtera dalam kehidupan namun kegiatan yang dilakukan korporasi juga dapat menjurus kepada suatu tindak pidana karena melakukan berbagai kecurangan dalam menjalankan persekutuan, kejahatan dalam persekutuan tentunya dilakukan oleh pengurus persekutuan dengan perencanaan yang matang sehingga dalam melakukan kejahatan korporasi sulit dibuktikan sampai tingkat Pengadilan. Namun menetapkan siapa pelaku dalam badan hukum dapat diamati dan diselidiki dari kegiatan pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan yang berbuat suatu tindak pidana.

Kegagalan untuk melaksanakan “duty of care” tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan perbuatan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia atau tidak, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standard perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin

“constructive fraud” untuk pelanggaran fiduciary duty.119 Dalam kegiatan pelaksanaan kegiatan persekutuan tentunya lebih teliti dan hati – hati sehingga kerugian dapat dihindari, namun bila terjadi sesuatu yang diluar ketentuan persekutuan tentunya ada pihak yang harus bertanggung jawab karena pelanggaran tersebut adalah suatu tindak pidana.

118Ibid, hal. 68 – 69. 119Ibid, hal. 76.

Makna dan aspek itikad baik yang lain dalam konteks pengurusan perseroan adalah patuh dan taat (obedience) terhadap hukum dalam arti luas, terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka pengurus perseroan, wajib dilakukan dengan itikad baik, yang mengandung arti bahwa setiap orang Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan, wajib melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, atau tidak hati-hati atau semborono dalam melaksanakan kewajiban mengurus perseroan, mengakibatkan pengurusan itu melanggar peraturan perundang- undangan, maka tindakan pengurusan itu “melawan hukum” (onwettig, unlawful)

yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum(onrechtmatigedaad, unlawful act), atau bisa dikualifikasi perbuatanultra viresyakni melampaui batas kewenangan dan kapasitas (beyond the authority) perseroan. Dalam kasus yang disebutkan terdahulu, anggota Direksi bertanggungjawab secara pribadi(personally liable) atas segala kerugian yang timbul kepada perusahaan.120 Dalam pengertian ini tentunya pengurus perseroan dapatlah orang yang benar-benar teliti dan hati-hati dalam menjalankan perseroan sehingga perbuatan melawan hukum oleh pengurus tidak terjadi karena disimpulkan kewenangan pengurus yaitu Direksi dapat saja terjadi karena kewenangan yang dimilikinya tidak dicermati dan diawasi, namun jika terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan Direksi mapun pengurus lainnya dalam menjalankan perseroan adalah tanggung jawab pribadi masing-masing karena telah melampaui wewenang yang diberikan sehingga perusahaan dalam hal ini mengalami kerugian.

Anggota Direksi dalam melaksanakan pengurusan perseroan wajib berhati- hati (the duty of the due care) atau duty care atau disebut juga prudential duty, sehingga yang layak diangkat jadi anggota Direksi adalah orang yang tidak diragukan lagi kehati-hatiannya. Direksi harus mampu memperlihatkan tingkat kehati-hatiannya yang wajar atau yang layak sesuai dengan pengalaman dan kualifikasinya sebagai seorang Direksi. Ia (Direksi) dalam melakukan tindakan kepengurusan perseroan dilaksanakan dengan pertimbangan wajar(reasonable judgement).

Begitu juga dalam hal anggota Direksi akan mendelegasikan atau memberi kuasa kepada orang lain terhadap pelaksanaan pengurusan perseroan, wajib hati – hati memilih atau menunjuk orang yang benar-benar layak (reasonable man) serta jujur dan dapat dipercaya sebagai pelaksana delegasi atau kuasa tersebut.

Direksi tidak hanya dikategorikan melakukan kelalaian, tetapi menjadi risikonya sendiri apabila dia mendelegasikan atau mewakilkan suatu pengurusan perseroan kepada seorang yang tidak berkompeten. Jika anggota Direksi itu ditipu oleh yang dipercayainya, padahal dari awal dia tahu orang itu tidak berkompeten, maka segala risiko yang timbul dari pendelegasian atau pemberian kuasa itu, dipikul sepenuhnya oleh anggota Direksi tersebut. Sebaliknya, jika penerima delegasi atau kuasa yang ditunjuknya memenuhi syarat reasonable man, dan untuk memastikan orang itureasonable mandilakukan berdasarkan penelitian yang cukup dan sungguh- sungguh, dia tidak memikul risiko dan tanggungjawab atas kerugian yang timbul dari

pendelegasian dimaksud.121Oleh karena itu setiap pelaksanaan kegiatan usaha dalam menjalankan suatu perseroan harus setiap saat berpedoman kepada kehati – hatian, seperti mendelegasikan atau memberikan kuasa kepada orang lain karena apapun alasannya baik lalai dalam mendelegasikan dan memberi kuasa tetap menjadi tanggung jawab pengurus perseroan.

Jenis-jenis sanksi yang selama ini diterapkan sebagaimana yang diatur Pasal 10 KUH Pidana secara filosofis dibentuk atas dasar dan ditujukan kepada subjek pelaku pidana “manusia alamiah” (Naturalijk Persoon), namun demikian tidak menutup kemungkinan jenis sanksi tersebut dapat ditujukan kepada korporasi dengan catatan tidak semua jenis sanksi tersebut relevan untuk diterapkan kepada korporasi, secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana. Sistem pemberian atau penjatuhan pidana itu dapat dilihat dari 2 (dua) sudut: pertama, dilihat dari sudut berfungsinya sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem untuk fungsionalisasi pidana atau keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana Hukum Pidana ditegakkan sehingga seseorang dijatuhi sanksi (pidana); Kedua, dari sudut norma- substantif, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem atau norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan, atau keseluruhan sistem atau aturan hukum pidana untuk penjatuhan dan pelaksanaan pidana.122

121Ibid, hal. 380.

122Dwija Priyatna,Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta : Bahan Kuliah Program Pascasarjana,

Dokumen terkait