• Tidak ada hasil yang ditemukan

SILAU LAUT

A. Tarekat Syattariyah

3. Tarekat Syattariyyah di Indonesia

Awal perkembangan Tarekat Syattariyyah di wilayah Melayu-Indonesia tidak dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramayn pada awal paru kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setahun setelah guru utamanya al-Qusyasyi wafat. Seperti dijelaskan dalam salah satu kitab karangannya, `Umdat al-Muhtajin, al-Sinkili menghabiskan waktu sekitar 19 tahun di Haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain. Ia belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-Faqih, dan lain-lain. Masa kembalinya al-Sinkili dari Haramayn ini dapat dianggap sebagai awal masuknya Tarekat Sattariyyah ke dunia Melayu-Indonesia. Sejauh ini tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa tarekat ini telah hadir sebelumnya.69

Tarekat Syattariyah dibawa dan dikembangkan di Indonesia70 oleh Syaikh Abdurrauf bin Ali al-Jawi, seorang ulama yang berasal dari Sinkel, Aceh. Ketika ia melaksanakan ibadah haji ke Makkah ia menggunakan kesempatan tersebut untuk menuntut ilmu seluas-luasnya seperti tafsir, hadits, fiqih, kalam, terutama di bidang tasawuf dan tarekat. Ia menetap di Haramayin selama 19 tahun. Ia belajar dari berbagai

68Lihat, Mulyati, Mengenal, h. 178.

69Lihat, Mulyati, Mengenal., h. 162

70Oman Fathurahman menjelaskan bahwa, “Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang bercorak tasawuf, sehingga karenanya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf seanantiasa dijumpai di wilayah mana pun di Melayu-Indonesia ini Islam berkembang.” Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Mukhtabarah

pengetahuan keagamaan tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan jeddah, Makkah, Madinah, Moka, Bait al-Faqih, dll.71 Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105/ 1615-1690), yang merupakan khalifah utama Tarekat Syatariyyah di dunia Melayu-Indonesia, sepanjang kariernya dipercaya oleh Sultanah Safiatuddin sebagai Qadi Malik al-Adil atau Muft Kerajaan, yang bertanggung jawab atas berbagai masalah social-keagamaan.72

Hal yang sama juga terjadi di wilayah lain pada periode berikutnya, seperti Cirebon dan Banten. Beberapa sumber menjelaskan bahwa sejumlah pembesar kerajaan di Kesultanan Cirebon dan Banten adalah murid-murid tarekat yang terhubungkan secara langsung dengan guru-guru tarekat di Mekkah. Di Derah Keratin Cirebon misalnya, pada beberapa nama yang menjadi musryid tarekat, dalam hal ini Tarekat syattariyyah, seperti, P.S. Sulediningrat, yang juga merupakan keturunan langsung dari Sunan Gunung Djati. Mursyid Tarekat Syattariyyah lainnya adalah Mbah Muqayyim, seorang penghulu keratin, yang belakangan mendirikan Pesantren Buntet, dan hingga ini menjadi satu basis terpenting Tarekat syattariyyahdi wilayah Cirebon.73Di Kesultanan Banten sendiri, Tarekat, di samping menjadi sarana untuk memperoleh kekuatan spiritual, juga diyakini oleh kalangan istana sebagai media yang dapat mendukung melegitimasi dan semakin memperkuat kedudukan mereka sebagai penguasa.74

Tarekat Syattariyyah merupakan salah satu tarekat yang terpenting di dalam pengembangan keislaman di Melayu-Indonesia dan didominasi penyebaran tarekat tersebut oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili yan berdomisili di Aceh.75Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyyah berkembang menyebar ke seluruh kawasan dunia Melayu-Indonesia.

Murid-71Oman Fathurahman, Tanbih Al-Masyi, MenyoalWahdatul Wujud:

Kasus Abdurrauf Sinkel di Aceh Abad 17, (Bandung: EFEO & Mizan, 1999), h.

32

72 Mulyati, Mengenal, h. 152.

73Mulyati, Mengenal., h. 151-152

74Mulyati, Mengenal, h. 152

murid beliau yang paling terkemuka di antaranya adalah Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat dan Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa barat. Kedua murid beliau telah berhasil melanjutkan dan mengembangkan ajaran dan silsilah Tarekat Syattariyyah dan menjadi tokoh utama di masing-masing wilayahnya. Syekh Burhanuddin menjadi khalifah utama di semua khalifah Syattariyah di kawasan Sumatera Barat sedangkan Syekh Abdul Muhyi menjadi satu mata rantai utama bagi terhubungnya silsilah Tarekat Syattariyyah, meskipun ia juga merupakan khalifah di Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Jawa Barat khususnya dan Jawa pada umumnya.76

Bersama-sama dengan tarekatlain, Tarekat Syattariyyah yang dikembangkan oleh al-Sinkili dan murid-muridnya tersebut menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran tasawuf di dunia Melayu-Indonesia dngan kecendrungan neosufisme. Di antara karakteristik yang paling menonjol dari ajaran neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syariah dengan ajaran tasawuf.77 Dalam konteks tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Indonesia, ajaran tasawuf dengan corak neosufis ini telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga memengaruhi hamper semua karya-karya keislaman yang muncul, khususnya di bidang tasawuf.78

Pemikiran tasawuf Abdurrauf dapat dilihat antara lain pada persoalan kecendrungannya untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari‟at. Kendati demikian, ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni Allah. Sedangkan alam ciptaanya bukanlah merupakan wujud hakiki, akan tetapi bayangan dari yang hakiki. Walaupun demikian antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu mempunyai persamaan.Maka dari itu, sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah, seperti

76Lihat.Mulyati, Megenal, 153.

77Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 109

yang hidup, yang tahu, dan yang melihat.Pada hakekatnya setiap perbuatan adalah merupakan perbuatan dari Allah.79

Ajaran dari tasawuf Abdurrauf yang lain adalah berkaitan dengan martabat perwujudan .menurutnya ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah atau laa Ta‟ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakekat ghoib yang masih berada didalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat

wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta hakekat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya

alam.Ketiga, martabat Wahdiyyah atau Ta‟ayyun Tsani, yang disebut juga dengan ta‟ayyun al-tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn Arobi dalam Sya‟ir-sya‟irnya. Menurut Abdurrauf, jalan untuk mengesakan tuhan adalah dengan dzikir: laa ilaha illaAllah sampai terciptanya kondisi fana.80

Di antara murid-murid Abdurrauf yang paling terkemuka di antaranya ialah Syaikh Burhanuddin dari Ulukan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syaikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dari kedua murid inilah yang kemudian berhasil melanjutkan dan mengembangkan silsilah Tarekat Syattariyah, dan menjadi tokoh sentral di wilayahnya masing-masing. Syaikh Burhanuddin menjadi Khalifah utama bagi semua Khalifah Tarekat Syattariyah di wilayah Sumatra Barat, sedangkan Syaikh Abdul Muhyi menjadi salah satu mata rantai utama bagi terhubungkannya silsilah Tarekat Syattariyah di wilayah Jawa Barat khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Di semenanjung pula Abdurrauf mempunyai murid yang terkemuka lain, yakni Abdul Malik bin Abdullah (1089-1149 H/1678-1736 M) yang dikenal sebagai Tok Pulau Manis dari Trengganu.