• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali:

a. Realisasi ekspor non migas Bali tahun 2013 sebesar 0,88%, angka ini belum mencapai target ekspor Bali tahun 2013 yang ditetapkan sebesar 3,22%. Sedangkan target ekspor Bali tahun 2014 sebesar 5,02%. Adapun upaya pencapaian target ekspor 2014 Provinsi Bali dilakukan dengan meningkakan promosi ekspor ke Sydney (Australia) dan China. Disperindag Bali giat melakukan pembinaan terutama bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) agar dapat mengikuti kegiatan pameran baik dalam maupun luar negeri sehingga dapat meningkatkan pangsa ekspor.

b. Ekspor Produk batuan dari Bali mengalami kendala akibat diterbitkannya

peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No

04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Ekspor batu khususnya serta ekspor

31 furniture dan kerajinan umumnya mengalami penurunan, penundaan bahkan terjadi pembatalan order akibat tidak adanya sosialisasi dari pemerintah terkait berlakunya Permendag tersebut.

c. Berdasarkan informasi dari DPW Asosiasi Logistik dan Forwader (ALFI) Bali mengusulkan penundaan berlakunya Permendag No: 04/ M-DAG/PER/1/2014, mengingat ekspor dari Bali berupa barang campuran, dimana dalam satu container dapat berisi berbagai jenis komoditi, termasuk batu.

d. Sementara ekspor buah manggis ke China masih ditolak, padahal kadar

Cadmium sudah mengikuti ketentuan global yang berlaku di China.

Informasi yang diperoleh dari Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia, Bapak Dwi Agus Siswa Putra

a. Target ekspor untuk ikan tangkap tidak ada, karena produksi (penangkapan) sangat tergantung pada kebijakan nasional dan internasional, serta faktor cuaca. Wilayah tangkap terbatasi karena perjanjian laut internasional, Indonesia memiliki garis pantai yang mencapai 81.000 km dari 17.508 pulau. Dari luas itu, nelayan dan industri tuna asal Indonesia biasanya beroperasi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Samudera Hindia membentang dari ujung barat Pulau Sumatera hingga ke Pulau Timor, meliputi perairan Sumatera, Jawa dan Bali.

b. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan, potensi eksplorasi ikan Indonesia sebesar 7,3 juta ton per tahun. ATLI sendiri memiliki 664 kapal tangkap untuk kegiatan operasionalnya. Berdasarkan data logbook yang diterima, data produksi kapal anggota ATLI tahun 2013 sebesar 14,8 ribu ton. Dalam kurun waktu lima tahun

32 terakhir produksi tahun 2008 mencapai angka tertinggi yaitu 21,8 ribu ton karena pada tahun tersebut pemerintah masih memberi subsidi BBM sekaligus untuk 3 bulan.

c. Permasalahan yang dapat menghambat pertumbuhan ekspor tuna saat ini secara garis besar ada 2 yaitu; 1. Kebijakan pemerintah yang mengikuti kebijakan internasional dimana saat ini sudah tidak mengizinkan penangkapan sekaligus di dua samudera (Hindia dan Pasifik). Saat ini hanya diizinkan dua pangkalan dari samudera yang sama (misalnya pangkalan Benoa dan Jakarta yang berada di samudera yang sama yaitu Hindia; 2. Biaya operasional yang tinggi, dimana komponen biaya bahan bakar mencapai 70 persen dari total biaya operasional. Beberapa tahun yang lalu subsidi BBM dari pemerintah diberikan pada nelayan dan industri tuna untuk tiga bulan sekaligus, sedangkan saat ini hanya untuk satu bulan yaitu 25 kilo liter.

Informasi yang diperoleh dari para eksportir di provinsi Bali adalah:

a. PT. Intimas Surya merupakan eksportir tuna terbesar dari provinsi Bali. Sejak tahun 2010 perusahaan ini mentargetkan ekspor sebesar 96 kontainer per tahun. Namun target ini belum pernah tercapai. Khusus ekspor penangkapan ikan perlu diperhatikan tidak sama dengan ekspor budidaya karena sangat tergantung faktor cuaca dan iklim. Produk utama yang dihasilkan perusahaan ini adalah ikan tuna, cumi-cumi, meka dan

albacore. Pesaing utama berasal dari Vietnam, Thailand, Meksiko dan

Chile. Faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor perusahaan ini diantaranya harga bahan baku dan kuantitas produksi.

33 b. CV. Kambuna Jaya adalah eksportir produsen untuk produk wood

working dan interior design. Bahan baku berupa kayu untuk produksi

diperoleh dari Bali, Kalimantan, Sumbawa dan Papua. Target ekspor perusahaan tahun 2014 sebesar 2,8% target ini tidak begitu besar karena tahun ini merupakan tahun politik dan kebijakan SVLK masih dalam tahap sosialisasi, sedangkan target ekspor tahun 2015 diperkirakan tumbuh lebih dari 10%. Negara tujuan ekspor utama produk kayu ini adalah Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sementara negara pesaing produk kayu berasal dari China. Kebijakan pemerintah terkait Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK) dirasa sangat baik sehingga kayu yang beredar di dalam negeri maupun ekspor, jelas status legalitas dan sertifikasinya. Permasalahan yang dihadapi perusahaan ini adalah ekspor produk berbahan baku kayu dapat masuk ke beberapa kode HS sekaligus, sehingga terkadang membingungkan untuk pemilihan kode HS yang paling sesuai.

c. CV. La Chidehafu merupakan perusahaan komoditas berbagai produk ekspor berbahan baku kulit. Produk yang dihasilkan antara lain jaket, baju, tas, ikat pinggang dan dompet. Produk ekspor yang diproduksi perusahaan ini sangat dinikmati konsumen mancanegara karena bahan yang digunakan berkualitas, diproduksi handmade dan pengerjaan dengan desain yang unik dan detail. Perusahaan ini menetapkan target ekspor tahun 2014 untuk tas kulit sebanyak 65.000 pcs. Negara pesaing utama China karena komponen biaya upah tenaga kerja yang lebih murah.

34 d. CV. Sri Djaya Bali adalah eksportir pakaian wanita (dress, top, skirt). Target ekspor perusahaan tahun ini meningkat 70%. Perkiraan terjadinya peningkatan ekspor pada bulan Agustus, dengan tujuan ekspor utama ke Australia 50%, Eropa 30% dan Amerika Serikat 20%. Pesaing utama produk ekspor perusahaan ini berasal dari negara China dan India. Perusahaan ini aktif mengikuti pameran seperti Hongkong Fashion

Week, TEI dan Indonesia Fashion Week. Sedangkan faktor yang

mempengaruhi daya saing produk yang dihasilkan antara lain biaya bahan baku dan upah tenaga kerja.

e. PT. Pacific Express mempunyai dua bidang usaha yaitu cargo internasional dan ekspor produk pakaian jadi. Perusahaan ini menetapkan target volume ekspor tahun 2014 tumbuh 10% terhadap ekspor tahun 2013. Peningkatan ekspor paling tinggi diperkirakan terjadi pada bulan Juli - Agustus, dengan tujuan ekspor utama ke Amerika Serikat 40%, Eropa 20% dan Asia/Australia 40%. Pesaing utama produk pakaian jadi berasal dari China karena harga yang lebih murah, kualitas dan desain lebih menarik. Permasalahan yang dihadapi perusahaan ini adalah turunnya permintaan dari luar negeri akibat dari peristiwa ledakan bom Bali beberapa tahun silam dan ACFTA yang berlaku sejak tahun 2010.

2. Provinsi Sumatera Selatan

35

Karet dan Produk Karet 1. Kondisi Terkini

Ekspor karet dan produk karet yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan tahun 2014 sebesar Rp 9,4 miliar. Sumatera Selatan menyumbang sekitar sepertiga dari total produksi karet nasional. Sekitar 85% dari produksi karet Sumatera Selatan diekspor dan sisanya untuk kebutuhan domestik. Sementara itu karet naik di pasaran dunia maupun domestik sekitar 70% untuk bahan baku ban sedangkan 30% untuk barang jadi karet lainnya.

Berdasarkan informasi Gapkindo dan para pengusaha karet di Sumatera Selatan, produksi karet tahun 2013 mencapai 1,0 juta ton (naik sekitar 13,8% dibanding tahun 2012) dan volume ekspor karet tahun 2013 sebesar 973 ribu ton (naik 12,5% dibanding tahun 2012). Namun harga karet yang turun di tahun 2013 menyebabkan penerimaan devisa menurun menjadi USD 2,5 miliar (turun sekitar 9,1% dibanding tahun sebelumnya).

Untuk target ekspor karet 2014, Gapkindo dan para pengusaha karet di Sumatera Selatan optimis dapat memberikan kontribusi maksimal, hal tersebut didukung oleh pertumbuhan produksi 2014 yang diperkirakan akan mencapai 1,1 juta ton (naik sekitar 10% dibanding 2013) serta ditambah prediksi bahwa harga karet akan mengalami sedikit kenaikan, sehingga dapat mendorong nilai ekspor karet dan produk karet nasional.

Namun demikian, untuk dapat mencapai target tersebut, seluruh stakeholder harus bekerja bersama-sama melakukan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan.

36

2. Permasalahan dan Hambatan

Permasalahan utama terkait ekspor karet, khususnya di Sumatera Selatan adalah infrastruktur, birokrasi dan sistem on farm maupun off farm petani karet. Kurang baiknya infrastruktur pelabuhan yang meliputi akses ke pelabuhan yang terbatas, kurangnya kapasitas pelabuhan dan belum adanya jaminan keamanan di kawasan pelabuhan menyebabkan keterlambatan pengapalan serta menimbulkan kerugian baik dari sisi material maupun dari sisi waktu.

Ketersediaan formulir SKA dan pelayanan pengurusannya di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan masih kurang memadai. Pengenaan biaya untuk pengurusan SKA, biaya pemuatan di pelabuhan, pengenaan biaya jasa monitoring & IT, serta biaya-biaya lainnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi, sehingga menyebabkan produk karet Indonesia kurang berdaya saing.

Sementara itu, pelaku usaha mengeluhkan rendahnya kualitas bahan baku karet yang diperoleh dari petani lokal, sehingga membutuhkan proses pengolahan lagi yang menyebabkan biaya produksi lebih mahal dan lebih lama. Karet mentah yang dihasilkan oleh petani karet di Indonesia dalam keadaan basah dan kotor, sehingga kualitas dan konsistensi mutu karet Sumatera Selatan cenderung rendah dibanding negara pesaing utama.

Kurangnya mutu bahan baku karet merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petani untuk menghasilkan karet yang berkualitas dan memiliki produktivitas yang tinggi. Petani juga tidak memahami tentang Kadar Karet Kering (KKK) dan sangat tergantung dengan harga per kg berat karet basah.

Sebagai perbandingan karet mentah yang dihasilkan petani karet di Thailand dalam kondisi kering dan bersih sehingga dapat diolah langsung. Oleh sebab

37 itu, harga karet mentah di Indonesia lebih rendah daripada karet mentah di Thailand. Bahkan, harga karet mentah Indonesia lebih rendah USD 0,2/kg dibanding harga karet mentah di Thailand.

Kopi

1. Kondisi Terkini

Berdasarkan informasi pengusaha kopi, volume ekspor kopi biji Sumatera Selatan tahun 2013 sebesar 1.780 ton (turun sekitar 17,4% dibanding tahun 2012). Harga kopi turun di tahun 2013 karena kondisi perekonomian global dimana rata-rata sebesar USD 1,7/ton.

Untuk target ekspor karet 2014, pengusaha kopi Sumatera Selatan optimis dapat tercapai namun harus tetap melihat faktor pendukung baik internal maupun eksternal. Hal tersebut didukung oleh prediksi bahwa harga kopi dunia akan mengalami kenaikan, sehingga dapat mendorong nilai ekspor kopi nasional.

Bahan baku kopi biji berasal dari Lahat, Pagar Alam, Empat Lawang, Lubuklinggau, dan Muara Dua. Bahan baku tersebut 25% untuk diekspor dan sisanya 75% untuk memenuhi kebutuhan domestik. Kopi biji Sumatera Selatan sebagian besar adalah kopi robusta yang memiliki grade 4,5 dan 6.

Negara tujuan ekspor kopi biji yang paling besar adalah Jerman dan Eropa Barat lainnya sedangkan untuk Amerika Serikat, Asia dan Timur Tengah masih sedikit. Sementara itu, negara yang menjadi pesaing utama kopi Indonesia adalah Brazil dan Vietnam.

38

2. Permasalahan dan Hambatan

Permasalahan utama terkait ekspor kopi, khususnya di Sumatera Selatan adalah infrastruktur, biaya transportasi, birokrasi pemerintah daerah, sistem

on farm dan off farm petani kopi. Kurang baiknya infrastruktur pelabuhan

dikarenakan jenis pelabuhan Palembang yang notabene adalah pelabuhan sungai yang meliputi akses ke pelabuhan yang terbatas, kurangnya kapasitas pelabuhan serta terjadinya pendangkalan alur pelayaran sungai Musi menyebabkan biaya transportasi yang cukup mahal untuk melakukan ekspor. Akses terhadap dokumen ekspor berupa Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kopi baik pelayanan, pengurusan maupun pengenaan biaya oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga menimbulkan hambatan bagi pengusaha kopi.

Sementara itu, pengusaha kopi mengeluhkan kualitas dan kontinyuitas bahan baku kopi yang diperoleh dari petani lokal, sehingga membutuhkan proses pemilihan grade kembali yang menyebabkan biaya produksi lebih mahal dan lebih lama.

Kurangnya mutu bahan baku kopi merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petani untuk menghasilkan kopi yang berkualitas dan memiliki produktivitas yang tinggi. Petani juga tidak memahami tentang standar kualitas kopi yang baik seperti keasaman, aroma, kadar air, dan cacat kopi.

Produk Udang 1. Kondisi Terkini

Berdasarkan informasi pengusaha udang di Sumatera Selatan, produksi udang terus menurun dari tahun 2008 hingga tahun 2013, tahun 2008

39 produksi mencapai 1100 ton menjadi 555 ton pada tahun 2013. Untuk target ekspor karet 2014, pengusaha udang di Sumatera Selatan terkesan pesimis karena produksi udang dengan tren terus menurun tersebut. Hal tersebut juga ditambah dengan turunnya baik harga maupun permintaan udang internasional. Tentunya kondisi tersebut mempersulit kegiatan ekspor udang.

Udang di Sumatera Selatan saat ini 80% hasil tambak dan sisanya merupakan hasil laut. Hampir 90% untuk pasar ekspor dan sisanya dijadikan buffer stock. Pasar ekspor terbesar yaitu Jepang dengan pangsa sebesar 95% dan sisanya adalah negara Eropa. Negara yang menjadi pesaing utama adalah India dan China yang cenderung sebagai price maker udang internasional.

2. Permasalahan dan Hambatan

Permasalahan utama terkait ekspor karet, khususnya di Sumatera Selatan adalah pencemaran lingkungan, penambakan liar, teknologi yang masih tradisional, dan birokrasi. Pada dasarnya udang sensitif terhadap pencemaran lingkungan. Hal tersebut terbukti dari jumlah udang yang mulai berkurang semenjak disekitar aliran Sungai Musi juga mulai tumbuh industri seperti sawit dan pupuk. Tentunya hal tersebut menyebabkan produksi udang sungai menurun. Penambakan secara liar juga menyebabkan gangguan ekosistem sungai seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Sementara itu tenologi produksi udang yang masih tradisional menyebabkan produktifitas cenderung stagnan dan menurun. Diperlukan adanya penyuluhan dan sosialisasi untuk nelayan agar mengedepankan intensifikasi maupun ekstensifikasi sehingga produktifitas bisa ditingkatkan menjadi 500

40 kg hingga satu ton untuk 2 Ha berbanding 200-400 kg saja jika hanya menggunakan teknologi tradisional.

Nelayan saat ini mulai beralih ke hasil ikan dibanding dengan udang, hal tersebut tentunya dikarenakan saat ini harga udang ekspor yang tidak berbeda jauh dengan harga udang lokal.

Kondisi riil dalam pembuatan SKA dan surat-surat perlengkapan ekspor saat ini masih sulit diterapkan, tentunya dibutuhkan kerjasama antara semua stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha serta nelayan tentunya. Program penyuluhan jangka panjang Kementerian Kelautan dan Perikanan diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Dokumen terkait