• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Nias di Kecamatan Teluk Dalam

D. Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Nias di Telukdalam dan Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan

1. Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Nias di Kecamatan Teluk Dalam

Dari hasil penelitian, terdapat beberapa sebutan untuk jenis harta yang dapat di wariskan dalam masyarakat adat Teluk Dalam, yaitu:

1. Tanah (Tanó). Terdiri dari Tanó Laza (sawah) dan Tanó Sabe’e (tanah kering). Tanó Sabe’e (tanah kering) terdiri dari Tanó Naha Nomo (Tanah untuk Tapak Rumah) dan Tanó Mbenua (tanah untuk tanaman keras seperti pohon kelapa, karet, pinang dan tanaman keras lainnya yang tidak tumbuh di sawah. Kesemua istilah tersebut dikenal dengan sebutan denganTanó Wenua; 2. Rumah (Omo).

3. Emas (Ana’a). Terdiri dariAna’a Gama-Gama Nina(emas yang dipakai oleh Ibu seperti kalung, cincin, gelang, anting-anting) danAna’a Ni Ndradra(emas Batangan terdiri dari Topi Emas yang sering dipakai oleh perempuan pada acara pernikahan dan emas dalam bentuk seperti besi ulir). Emas batangan

tidak untuk dibagi-bagi tetapi hanya untuk anak laki-laki sulung. Sementara Ana’a Gama-Gama Nina hanya diberikan kepada anak perempuan, kecuali diantara anak perempuan atau anak penerima pemberian tersebut menyetujui agar sebagiannya diberikan kepada anak laki-laki.

4. Uang (Kefe)

5. Kain atau Pakaian (Nukha) 6. Tumbuhan di Kebun (Si nanó).

Salah satu contoh tata cara pembagian warisan pada keluarga Bapak I.D82(50 tahun), menuturkan pembagian warisan dalam keluarganya yang dilakukan oleh ayahnya yang bernamaM. L, yang sempat menikah untuk kedua kalinya setelah isteri pertamanya meninggal, yang digambarkan sebagai berikut:

R X Y

F G

A B C D E

Gambar Struktur keluarga Bapak I.D. Keterangan:

1. X dan Y memiliki anak yakni A, B, C, D (laki-laki) dan E (perempuan). Setelah Y meninggal dunia, X menikah lagi dengan R dan memiliki anak yang kedua-duanya adalah laki-laki;

2. Harta warisan yang dibagi ayahnya antara lain, Tanah Sawah 5 Bidang, Tanah untuk Tapak Rumah 2 bidang, Emas (batangan dan emas almarhum Ibu), Tumbuhan keras yakni Pohon Kelapa dengan jumlah 475 diatas sebidang tanah dengan luas 10 hektar batang, Rumah 1 unit, Uang Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),nukhaalmarhum (Total harta yang dimiliki setelah Y meninggal dunia);

3. Tak lama berselang ketika menikah untuk kedua kalinya, Ayahnya memanggil anak-anaknya (empat orang laki-laki dan si bungsu perempuan satu orang) dari isteri pertama A,B,C,D dan E beserta isteri barunya dengan tujuan melaksanakan pembagian harta (fobagi harato) dengan maksud agar dikemudian hari anak-anak dari isteri pertama tidak berebut harta dengan Ibu tiri dan saudara tiri mereka terutama masalah harta;

4. Pembagiannya sebagai berikut:

a) Si A (anak sulung) mendapatkan 1 bidang tanah sawah, 1 Tapak Rumah, Emas Batangan, 5 helai nukha, Rumah 1 unit, Uang Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan 100 batang pohon kelapa.

Catatan, bahwa rumah baru menjadi Hak Milik si A setelah pewaris (ayah;sokh฀ harato) meninggal dunia.

b) Si B mendapatkan 1 bidang tanah sawah, 100 batang pohon kelapa, Uang sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan 10 helai nukha;

c) Si C mendapatkan 1 bidang tanah sawah, 100 batang pohon kelapa, Uang Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah), 10 helainukha;

d) Si D mendapatkan 1 bidang tanah sawah, 100 batang pohon kelapa, Uang Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan 10 helainukha;

Hak mewaris bagi anak perempuan dan isteri kedua disebut sebagai Tana We Zekhula(bagian perempuan), antara lain:

e) Si E (anak perempuan dan satu-satunya perempuan) mendapatkan seluruh Ana’a Gama-Gama Nina, Uang Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), 25 batang pohon kelapa dannukhasebanyak 5 helai.

f) Isteri kedua mendapatkan Uang Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah), dan nukhayang tidak habis dibagi, serta ditambahkan oleh si E satu Kalung Emas dariAna’a Gama-Gama Nina.

Pemberian emasGama-Gama Ninaoleh si E kepada Ibu Tiri atau isteri kedua di tentang oleh si B dan si D, dengan alasan bahwa isteri kedua tidak berhak atas emas tersebut. Daripada diberikan kepada isteri kedua, lebih baik dibagi kepada mereka.Tetapi si E memberikan alasan bahwa pemberian itu dilakukannya karena sebagai penghargaan kepada ayah mereka yang telah memberikan kepadanya tanaman keras yakni 25 batang pohon kelapa. Sekalipun penjelasan si E diterima oleh si B dan D, tetapi mereka tetap tidak sudi kalau ana’a gama-gama nina sebagiannya diberikan kepada ibu tiri mereka. Dari pembagian tersebut masih terdapat harta yang tidak terbagi antara lain 1 bidang tanah tapak

rumah, 1 bidang tanah sawah, 50 batang pohon kelapa dan Uang sebesar Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). Harta yang tidak dibagi ini dianggap sebagaiVanuri Zi Bihasa(bekal orang tua, bekal pewaris/Ibu). Pesan pewaris, melalui ketentuannya bahwa untuk 1 bidang tanah tapak rumah, 1 bidang tanah sawah dan 50 batang pohon kelapa akan jatuh kepada anak yang merawatnya hingga meninggal dunia.

Dan biasanya orang yang sering merawat orang tua sampai meninggal dunia (di daerah Telukdalam) adalah anak perempuan. Jikapun terdapat anak laki-laki, maka itu hanya satu dua orang saja.

g) Gelar kebangsawanan (Si’ulu) jatuh kepada I.D sebagai anak sulung. Artinya ketika X meninggal dunia, maka otomatis gelar kebangsawanan turun kepada si A sebagai anak sulung. Gelar Si’ulu pada masyarakat adat Nias di Telukdalam, tidak jauh berbeda dengan gelar Sultan pada sistem kerajaan.

Cerita pembagian warisan yang dialami oleh I. D. Ini terjadi 25 tahun yang lalu, sehingga dari penuturan beliau bahwa antara mereka anak-anak pertama dan saudara mereka yang lahir dari R, sekarang ini sedang bersengketa terutama dari Rumah (Y) yang merupakan bagiannya sebagai anak sulung, dan harta lain yang dipesankan ayah mereka, karena sampai wafatnya dirawat oleh si E. Disisi lain R (ibu tiri mereka) telah meninggal dunia 5 tahun lalu. Selama hidupnya, R tidak pernah bercerita dan menitipkan pesan Y kepada anak-anaknya bahwa ayah pesan ayah mereka untuk 1 bidang tanah tapak rumah, 1 bidang tanah sawah dan 50 batang

pohon kelapa akan jatuh kepada si E (karena si E yang merawat ayah hingga meninggal dunia). Kelalaian si Ibu (R) ini, akhirnya menimbulkan perdebatan, sampai pada pertengahan Mei 2016 terjadi perkelahian antara anak-anak dari X-Y, dengan anak-anak X-R. Kedua belah pihak diperhadapkan pada sidang adat yang di hadiri oleh si Ulu (Raja/Pendiri Kampung), si Ila (penasehat), Kepala Desa, serta kedua belah pihak bersengketa. Akan tetapi sekalipun keputusan adat telah ditentukan tetap saja anak-anak R tidak mau mengakui hal itu karena tidak adanya saksi-saksi pada saat pembagian harta X yang adalah ayah kandung mereka kedua belah pihak. Sehubungan si A yang mendapatkan gelar kebangsawanan (Si’ulu), ia selalu berusaha menjadi jembatan agar kedua belah pihak saudaranya dapat berdamai. Prinsip yang dilakukan oleh si A adalah ono sia’a, ono fangali mbóró zisi artinya bahwa anak pertama atau anak sulung berkedudukan sebagai orang tua terhadap saudara-saudaranya (istilahono fangali mbóró zisi, hanya dikatakan kepada anak sulung laki-laki).

Contoh lain tata cara pembagian warisan pada masyarakat adat Teluk Dalam, dapat dilihat dari penuturan Bapak T. S,83anak dari Bapak B.S yang meninggal dunia pada tanggal 12 Oktober 2015. Yang pada tanggal 26 Mei 2016 Bapak T.S (anak laki-laki dan telah menikah) menyelenggarakan pembagian harta warisan, sebagai berikut:

83Wawancara dengan Bapak T. S, pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 20.00 sampai dengan pukul 23.00 Wib.

X Y

A B C D E F G H I

Gambar Struktur keluarga Bapak B.S Keterangan:

1. Isteri almarhum B.S atau Ibu kandung T.S masih hidup.

2. Anak berjumlah 9 orang, semuanya telah menikah. Anak laki-laki hanya 1 orang dan anak perempuan 8 orang.

3. Pembagian warisan dilakukan pada tanggal 26 Mei 2016 yang dihadiri oleh saudara ayah (iwa nama) dan saudara ibu atau paman (iwa ninaatausibaya), serta ono nakhi (saudara sepupu, anak dari adik kakek dan anak dari adik ayah dan sepupu dari keluarga adik-adik ibu) sebagai saksi, turut juga disaksikan oleh mertua si A. Kehadiran iwa namadan iwa ninaatau sibaya adalah untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan apabila apabila ada yang keberatan. Dan ternyata tidak ada yang keberatan.

4. Si A (T.S), sebagai anak laki-laki serta sebagaiono fangali mbóró zisi maka ia-lah yang memiliki kewenangan membagi harta warisan yang telah ditinggal oleh ayahnya. Tetapi sebelum pelaksanaan pembagian si A yang telah terlebih dahulu mengkonsultasikannya dan mendapat persetujuan dari ibu.

5. Harta warisan, antara lain, 2 buah rumah (omo zatua), 1 bidang Tanah Sawah (laza), Kebun pohon kelapa (kabu nohi), kebun karet (kabu hafea) dan emasgama-gama nina.

6. Pembagiannya sebagai berikut:

a. Si A mendapatkan kedua omo zatua. 2/3 (dua per tiga) kabu nohi sebagai vanuri zi bihasa (yang nantinya jatuh kepada si A) dan seluruh kabu hafea, juga utang dan piutang orang tua menjadi hak dan kewenangan si A;

b. Satu bidang sawah, diberikan dan dibagi rata diantara anak perempuan atas persetujuan si A dengan ketentuan apabila salah satu menjual bagiannya, harus dibeli oleh salah satu saudara perempuannya (dilarang dijual ke pihak lain);

c. Satu buah rumah diberikan kepada si B dengan hak pakai yang suatu waktu kembali kepada waris laki-laki.

d. 1/3 (satu per tiga) kabu nohi, diberikan hak memungut hasil (memetik buah kelapa dan menjualnya untuk kebutuhan keluarga itu) dengan masa waktu selama dua tahun terhitung sejak pelaksanaan pembagian warisan. Setelah dua tahun maka secara otomatis, hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas 1/3 kebun kelapa dimaksud kembali kepada si A.

e. Emas (gama-gama nina), diberikan dan dibagi rata di antara anak perempuan, satu bagian emas diantaranya, si A membaginya kepadaono nakhi.

Dari pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut, dapat di lihat bahwa:

a. Setelah pewaris meninggal dunia, maka anak laki-laki (ono sia’a zi matua) yang memiliki hak atas warisan orang tua (pewaris).

b. Anak laki-laki memiliki hak utama dan diutamakan dalam bagian warisan kecuali ana’a gama-gama nina. Sekalipun demikian anak perempuan tidak keberatan ketika mengambil satu bagian diantaranya dibagikan kepada ono nakhi. Termasuk utang maupun piutang merupakan hak mutlak anak laki-laki.

c. Tidak adanya keberatan dari Ibu dan anak perempuan atas pembagian tersebut. Artinya pembagian tersebut diterima oleh seluruh yang hadir lebih-lebih mereka yang menerima bagiannya masing-masing.

Dokumen terkait