• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat di Kecamatan Gomo

D. Tata Cara Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Adat Nias di Telukdalam dan Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan

2. Tata Cara Pembagian Warisan pada Masyarakat Adat di Kecamatan Gomo

Dari hasil penelitian, terdapat beberapa beberapa sebutan untuk jenis harta yang dapat diwariskan dalam masyarakat adat Teluk Gomo, yaitu:

1. Tanah (Tanó). Terdiri dari Tanó Laza (sawah) dan Tanó Sabe’e (tanah kering). Tanó Kabu (tanah kering) terdiri dari Tanó Naha Nomo (Tanah untuk Tapak Rumah) dan Tanó Mbenua (tanah yang digunakan untuk perkebunan). Kesemua istilah tanah tersebut dikenal dengan sebutan dengan Tanó Wenua, Tanó Mbenua;

2. Rumah (Omo).

3. Emas (Ana’a). Terdiri dari Ana’a Gama-Gama Nina (emas yang dipakai oleh Ibu seperti kalung, cincin, gelang, anting-anting) danAna’a Ni Ndradra (emas Batangan terdiri dari Topi Emas/tekula ana’ayang sering dipakai oleh perempuan pada acara pernikahan dan emas batangan dalam bentuk seperti besi ulir).

4. Firó(sejenis uang logam, tapi bergambar kaisar Belanda).

5. Rigi (sejenis uang logam, bergambar kaisar Belanda, bentuknya lebih besar darifiró, memiliki warna kuning)

6. Uang (Kefe)

7. Kain atau Pakaian (Nukha) 8. Usaha (fogale), artinya berjualan.

9. Barang berharga seperti piring (cap lonceng),arambadan góndra (gendang dan gong), faracia (peralatan yang sering dibunyikan pada saat sedang diperjalanan menuju rumah pengantin perempuan), pedang dan perlengkapannya (perlengkapan perang zaman dulu). Bahkan kayu rumah (eu nomo hadaatau kayu pada rumah adat atau kayu pada rumah orang tua) dapat menjadi warisan yang dibagi-bagi antara ahli waris, karena kayu tersebut merupakan kayu terbaik yang tidak akan busuk sampai 3 atau 4 keturunan.

Bapak F. Z. Yang barusan melakukan pembagian hartanya kepada anak-anaknya (pada hari minggu tanggal 29 Mei 2016), menuturkan bahwa

pelaksanaan pembagian warisan tersebut dilakukan mengingat usainya yang sudah 74 Tahun, sebagai berikut:

Gambar Struktur Keluarga Bapak F. Z. Keterangan

1. Suami/ayah dan Istri/Ibu masih hidup, anak si A, B, C, D, E adalah anak laki-laki, F adalah anak perempuan. A, B, C, D sudah menikah sedangkan E dan F masih belum menikah. Kemudian si B sudah meninggal dunia dan memiliki anak 2 orang (kedua-duanya anak laki-laki). Si A, D dan E adalah Pegawai Negeri Sipili (PNS);

2. Pada saat pembagian dihadiri oleh sibaya (saudara ibu) dan sibaya pewaris (pamannya pewaris), istri beserta anak-anak beserta istri masing-masing dan cucunya (ahli waris dan ahli waris pengganti) 3. Harta yang ada, antara lain: Rumah 2 unit, Tanah 5 bidang (terdiri dari

tanó kabu 2 bidang, tanó laza 1 bidang, tanó naha nomo (tanah tapak rumah) 2 bidang, Gendang 1 buah, Gong 1 buah,Faracia 1 set lengkap, piring zaman dulu 4 buah,Firó15 buah,Rigi20 buah, satu unit usaha, 1 unit mobil L300 pic up bak terbuka dan Emas, utang di Bank

X Y

Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah), piutang Rp. 40.000.000 (empat puluh juga rupiah), dan 15 ekor piutang babi.

4. Bagian masing-masing sebagai berikut:

a. Si A mendapatkan Rumah 1 unit, Tanó kabu 1 bidang, tanó laza, tanó naha nomo 1 bidang, Gendang dan Gong, Faracia, Piring 2 buah, Firó 10 buah, Rigi 10 buah dan semua Emas, termasuk seluruh utang-piutang.

b. Karena si B telah meninggal dunia maka digantikan oleh anaknya, disebut sebagai fangali nono, fangali za nema (ahli waris pengganti), antara lain 1 unit rumah, tanó kabu 1 bidang, piring 1 buah,Firó5 buah,Rigi5 buah.

c. Bagian si C, antara lain: 1 unit usaha beserta tanahnya, 1 unit mobil L300.

d. Bagian si D, antara lain: 1 unittanó naha nomo, 5 buahRigi.

e. Si E tidak mendapatkan apa-apa dari warisan, tetapi Bapak F.Z memberi pesan agar pada saat si E menikah, maka semua biaya ditanggung oleh si A, si C, dan si D. pemberian pesan ini diikuti dengan sumpah seperti masa dulu (la fahólu’฀). Sumpah ini sangat berakibat fatal apabila di langgar oleh penerima sumpah.

f. Berhubungan si F anak perempuan, tidak mendapatkan apa-apa. Tetapi pewaris menitipkan pesan agar pada saat si F menikah, baik si A, C, D dan E wajib memberikan masing-masingsara batu ana’a

(setara dengan emas murni seharga Rp.4.500.000). Pesan ini disertai dengan sumpah zaman dahulu atau la fahólu’ó, agar ahli waris tidak melanggarnya.

g. Pesan paling terakhir yang juga disertai dengan Hólu (sumpah) adalah bahwa seluruh anak-anaknya bertanggungjawab terhadap hidup mereka sampai pada pengurusan penguburan mereka. Segala biaya harus ditanggung bersama antara si A, C, D, E dan F.

Pembagian warisan oleh Bapak F. Z, bertujuan agar para ahli waris atau anak-anaknya kelak tidak meributkan peninggalannya serta memberi kelegaan tersendiri bagi pewaris. MasalahVanuri Zatua(bekal orang tua) tidak diragukan lagi karena anak-anaknya telah disumpahin agar tidak lari dari tanggungjawabnya sebagai anak. Karena apabila sumpah tersebut dilanggar maka akibatnya sangat fatal (kepercayaan masa dulu).

Sebagai catatan bahwa tidak ada seorang pun yang keberatan terhadap bagian masing-masing warisan tersebut. Hanya saja masalah sumpah sempat ditentang oleh paman pewaris, dengan alasan bahwa saat ini sudah zamannya agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi pewaris tetap kukuh untuk melakukanhólusebagai jaga-jaga karena seluruh hartanya sudah dibagikan.

Tata cara pembagian yang dilakukan pewaris diatas menunjukkan kuisioner yang disebarkan dan telah dijawab oleh responden adalah 100% benar, dimana seorang ayah/suami memiliki hak mutlak atas seluruh harta benda atau harta yang dapat diwariskan.

Berbeda dengan apa yang dialami pada keluarga Y.H di Kecamatan Gomo (dimana pembagian warisan ayahnya (almarhum) baru dilakukan pada Tahun 2010, yang akhirnya menimbulkan keributan antara dirinya dan adiknya.

Gambar Struktur Keluarga Bapak Y.H. Keterangan:

1. Pembagian warisan dihadiri oleh paman mereka, Kepala Desa, Tokoh Adat, saudara sepupu dari alamarhum ayah, isteri/suami dan anak-anak mereka;

2. Ibu masih hidup, anak laki-laki 2 orang (A dan E) sedangkan anak perempuan 4 orang (B, C, D dan F) kesemuanya telah menikah dan memiliki anak. Pewaris meninggal pada Tahun 1979. Pewaris tidak meninggalkan utang atau piutang.

3. Harta antara lain: Tanah (tanó kabu 5 bidang, tanó laza 3 bidang), Rumah 3 unit, Emas, Firó 50 buah, Rigi 50 buah, piring 2 buah, peralatan perang satu set lengkap.

X+ Y

4. Pembagian langsung oleh si A sebagai ono fangali mbóró zisi (anak pengganti orang tua/pewaris), dengan bagian masing-masing:

a. Si A sebagai anak sulung mendapatkan Rumah 2 unit,tanó kabu 3 bidang, tanó laza 1 bidang, semua Emas, Firó 35 buah, Rigi 35 buah, piring 2 buah serta perlengkapan perang.

b. Bagian si E, terdiri daritanó kabu 1 bidang, tanah sawah 1 bidang, Firó10 buah,Rigi10 buah.

c. Rumah 1 unit, tanó kabu 1 bidang, Firó 5 buah, Rigi 5 buah dibrikan kepada si B karena dia yang merawat ibu sejak ayah mereka meninggal.

d. Sedangkan tanah sawah 1 bidang lagi dibagi rata antara si C, D dan F.

Pembagian ini ditentang oleh si E dengan alasan bahwa pembagian tidak adil. Baginya ia dapat menerima, kalau si B mendapat bagian karena telah mengurus ibu, tetapi yang ditentang adalah pemberian tanah sawah kepada si C, si D dan si F, si E memberikan alasan karena benda berharga seperti piring dan peralatan perang menjadi milik si A. si E baru menyetujui pembagian itu apabila bagiannya dari Firódan Rigiditambah 10 lagi, piring 1 buah dan peralatan perang yakni pedang harus menjadi bagiannya. Tetapi si A tetap berkeras pada pendiriannya. Menghindari keributan semakin parah, Kepala Desa dan Tokoh Adat memberikan pendapat yang sama bahwa tanah sawah yang diberikan kepada C, D dan

F harus dibatalkan dan diserahkan kepada si E, karena lebih luas, Firó danRigi masing-masing ditambah 5 buah, sedangkan tanah sawah bagian si B itulah yang dibagi antara si B, C, D dan F.

Si A menerima pertimbangan dari Kepala Desa dan Tokoh adat, akan tetapi si E tetap pada pendiriannya dengan alasan bahwa anak perempuan tidak berhak atas warisan orang tua, sekalipun si B yang merawat Ibu itu sudah merupakan kewajiban anak kepada orang tuanya. Karena kedua belah pihak sama-sama tidak mau tunduk hingga menimbulkan perkelahian dan si A melapor ke pihak kepolisian, walaupun demikian si A telah memaafkan si E yang akhirnya oleh polisi, kepala desa dan tokoh adat mendamaikan mereka. Akan tetapi bagian warisan yang dituntut oleh si E sampai sekarang tidak dapat digunakan, karena si E telah mengeluarkan pernyataan ancaman apabila tanah sawah yang dimintanya tidak boleh diganggu. Demikian juga si A tidak berani menggunakan bagian harta yang di minta oleh adiknya si E.

Masalah tersebut sampai sekarang ini telah diusahakan diselesaikan tetapi si E tetap pada pendiriannya tentang tuntutannya.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Bapak F. Z, dan membenarkan hal tersebut terjadi sehingga terhadap objek yang direbutkan semua ahli waris belum dapat mengganggunya. Dengan harapan agar masalah antara si A dan si E dapat terselesaikan dengan baik.

Demikian juga Ketua Lembaga Adat Nias Selatan Kecamatan Gomo mengakui bahwa pada masyarakat adat di Gomo, pembagian warisan masih tergolong keras, bahkan terkesan lebih mengutamakan untung rugi. Apabila dalam pembagian warisan terjadi hal seperti demikian, dapat dipastikan bahwa pembagian warisan akan mengalami keributan dan melihat kebiasaan kita orang Nias yang terlalu ngotot bisa-bisa terjadi pertumpahan darah. Sudah banyak contoh yang terjadi di daerah kita, bahkan baru-baru ini melalui berita terjadi pembunuhan adik oleh abang kandungnya hanya gara-gara pembagian warisan yang menurut si bungsu tidak adil. Pada hal kalau zaman dahulu, kalau ke-dua orang tua telah meninggal dunia dan harta belum dibagi, kalau kita tergolong adik dalam golongan ahli waris, kita hanya pasrah menunggu kebaikan abang sulung kita yang laki-laki. Karena semua harta tersebut menjadi hak dan kewenangannya84.

Selaras dengan pernyataan di atas, F.Z.85 menuturkan bahwa pembagian warisan di óri gomo sering mengalami deadlock artinya sering berakhir dengan kekacauan karena ada saja ahli waris yang tidak menerima bagiannya karena merasa dirugikan. Makanya zaman dahulu seorang pewaris selalu menyumpahi (la fahólu’ó) anak laki-laki yang sulung agar berlaku adil dalam pembagian warisan kelak apabila dirinya meninggal dunia. Untuk menghindari keributan di antara anak-anaknya atau ahli warisnya. Kadang

84Wawancara dengan Bapak Y. H. pada tanggal 7 Juni 2016, pukul 20,00 Wib

juga di zaman dahulu, sekalipun tidak dilaksanakan pembagian warisan pada masa hidupnya pewaris (karena dianggap aib), sering para orang tua memberikan pesan (sekarang ini dapat dianggap sebagai “draf”) kepada ono fangali mbóró zisi (anak sulung laki-laki) disertai dengan sumpah, yang apabila draf tersebut dilanggar olehnya atau membagi warisan tidak sesuai draf dari pewaris maka anak sulung laki-laki tersebut dipercaya akan mengalami derita (lumana= miskin) bahkan muntah darah sampai meninggal. Demikian tambahan informasi dari Bapak F. Z. Jadi anak-anak zaman sekarang banyak yang tidak tahu terhadap fungsihóludi zaman dahulu.Untuk saat ini, kita dapat merenungi bahwa dulu dalam 1órikecil atau satu kampung terasa hidup tentram dan damai karena takut kena kutukan atauhólu.

Tetapi seiring masuknya Agama di Pulau Nias sampai sekarang ini, kebiasaanhóluyang seperti masa duhulu itu sudah mulai hilang. Kecuali bagi orang tua yang telah berumur 60 tahun keatas, masih menggunakan kutukan menakuti anak-anaknya agar tidak melanggar pesan-pesan orang tua seperti yang dilakukan oleh Bapak F.Z.

Dokumen terkait