• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

G. Tata Cara Penelitian dan Analisis Data 1.Tahap Perijinan 1.Tahap Perijinan

Diawali dengan pencarian informasi mengenai teknis pengambilan bahan penelitian ke RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Dilanjutkan dengan permohonan perijinan untuk melakukan studi pendahuluan dan penelitian.

2. Studi pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan saat studi pendahuluan yaitu mencari informasi profil sepuluh besar penyakit infeksi pada pasien yang menjalani rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta tahun 2014.

Hasil menunjukkan diare menduduki peringkat pertama. Hal inilah yang mendasari pemilihan kasus diare sebagai topik penelitian.

Pada tahapan ini juga dilakukan observasi untuk mengetahui banyaknya pasien diare pada periode yang telah ditentukan. Observasi ini bertujuan untuk menentukan periode pengambilan data dan jumlah data yang akan digunakan dalam penelitian, selanjutnya dilakukan penyusunan proposal penelitian.

3. Seleksi dan pengambilan data

Seleksi data dilakukan dengan menelusuri dan mengumpulkan seluruh rekam medis pasien diare periode April 2015. Seleksi rekam medis dilakukan dengan cara memilih rekam medis pasien yang menjalani rawat inap dan menerima terapi dengan antibiotika. Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data mengenai terapi antibiotika yang diresepkan oleh dokter yang tercantum dalam rekam medis pasien.

4. Penelusuran peta kuman dan wawancara dengan dokter.

Peta kuman digunakan untuk mengidentifikasi pola resistensi bakteri terhadap antibiotika di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta selama bulan Januari – April 2015. Peta kuman ini juga digunakan untuk membantu mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika, dengan memberikan informasi mengenai jenis bakteri (gram positif atau gram negatif) yang masih sensitif atau sudah resisten terhadap antibiotika yang digunakan.

Wawancara dengan dokter bertujuan untuk memastikan pedoman terapi yang digunakan oleh dokter. Hal ini terkait pedoman terapi dari RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang terbaru tahun 2006 dan didalamnya tidak memuat pedoman terapi diare karena infeksi. Wawancara hanya dapat dilakukan dengan dokter anak, sedangkan untuk dokter penyakit dalam tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu dan kesempatan.

5. Pengolahan data

Sebelum dilakukan pengolahan data dilakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan kelengkapan data yang diperoleh dari rekam medis pasien. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menguraikan data rekam medis, untuk menggambarkan profil pasien diare dan pola peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.

Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika sesuai dengan alur Gyssens dan hasil evaluasi dikategorikan sesuai kriteria Gyssens, yang ditunjukkan dengan jumlah antibiotika yang diresepkan secara tepat atau kurang tepat. Proses evaluasi peresepan antibiotika dengan metode Gyssens adalah sebagai berikut :

a. Bila data tidak lengkap berhenti di kategori VI.

Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa anamnesa, diagnosis yang tidak jelas, atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga

informasi yang ada tidak lengkap. Antibiotika yang lolos kategori VI dilanjutkan dengan evaluasi kategori V.

b. Bila tidak ada indikasi penggunaan antibiotika, berhenti di kategori V. Tidak adanya indikasi penggunaan antibiotika terjadi ketika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi bakteri. Tanda-tanda infeksi bakteri tersebut dapat dilihat dari gejala, diagnosa, tanda-tanda vital pasien, dan hasil uji laboratorium yang dilakukan (pemeriksaan darah dan feses). Adanya indikasi penggunaan antibiotika ketika pasien demam tinggi, peningkatan nilai leukosit, diare disertai dengan lendir dan/atau darah, adanya leukosit dan/atau eritrosit pada feses dalam jumlah yang tinggi, atau pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya amoeba atau bakteri tertentu jika dilakukan kultur bakteri. Kriteria lain perlunya pemberian antibiotika pada pasien diare juga tercantum pada hal 17 berdasarkan WGO (2012). Antibiotika yang lolos kategori V dilanjutkan dengan evaluasi kategori IV.

c. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA.

Adanya antibiotika lain yang lebih efektif adalah pasien diberikan antibiotika yang bukan menjadi lini pertama pengobatan, atau antibiotika lini pertama yang digunakan tidak memberikan outcome yang baik. Daftar antibiotika lini pertama dan alternatifnya untuk terapi diare baik pada pasien dewasa dan anak-anak berdasarkan beberapa

literatur seperti Barr & Smith (2014), DuPont (2009), DuPont (2014), dan WGO (2012) yang tercantum pada hal 16 dan 17.

d. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB.

Adanya antibiotika lain yang kurang toksik adalah adanya peresepan antibiotika yang kontraindikasi terhadap pasien, atau adanya interaksi dengan obat lain yang digunakan pasien yang dapat meningkatkan efek toksik obat-obat tersebut. Informasi mengenai kontraindikasi dan interaksi obat disini berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy, Amstrong, Goldman, and Lance, 2012) Antibiotika yang lolos kategori IVB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVC.

e. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, maka berhenti di kategori IVC.

Ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah yaitu ketika pasien diberikan antibiotika dengan nama paten meskipun tersedia yang generik. Informasi mengenai harga antibiotika yang diberikan didasarkan pada daftar harga obat yang ada di apotek RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Antibiotika yang lolos kategori IVC dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVD.

f. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVD.

Ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit yaitu ketika sudah diketahui bakteri penyebab diare secara pasti, namun

antibiotika yang diberikan tidak atau kurang spesifik untuk bakteri penyebab diare tersebut. Antibiotika yang lolos kategori IVD dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIA.

g. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA.

Durasi pemberian antibiotika terlalu panjang yaitu durasi pemberian antibiotika empiris lebih dari durasi yang dianjurkan menurut Kemenkes (2011). Durasi pemberian antibiotika empiris menurut Kemenkes (2011) adalah selama 2-3 hari dan selanjutnya dilakukan evaluasi berdasarkan kultur bakteri, kondisi klinis, pemeriksaan labortaorium, dan data penunjang lainnya. Antibiotika empiris yang sudah digunakan lebih dari 2-3 hari namun belum memberikan outcome yang baik juga dapat dikategorikan durasi pemberian terlalu panjang. Antibiotika yang lolos kategori IIIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIB.

h. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB.

Durasi pemberian antibiotika terlalu singkat yaitu durasi pemberian antibiotika empiris kurang dari durasi yang dianjurkan menurut Kemenkes (2011). Antibiotika empiris yang digunakan kurang dari 2-3 hari juga dapat dikategorikan durasi pemberian terlalu singkat. Antibiotika yang lolos kategori IIIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIA.

i. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIA. Dosis pemberian antibiotika yang tidak tepat terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi ataupun terlalu rendah dari dosis yang dianjurkan menurut Drug Information Handbook (Lacy, et al., 2012). Antibiotika yang lolos kategori IIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIB.

j. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIB. Interval pemberian antibiotika yang tidak tepat terjadi ketika interval yang diberikan kurang ataupun lebih dari yang dianjurkan menurut Drug Information Handbook (Lacy, et al., 2012). Antibiotika yang lolos kategori IIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIC.

k. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIC. Rute pemberian antibiotika tidak tepat terjadi ketika pasien masih memungkinkan diberikan antibiotika secara oral namun diberikan secara intravena, atau pasien yang muntah diberikan antibiotika secara oral (tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien). Pertimbangan pemberian antibiotika secara intravena ini berdasarkan National Health Service (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIC dilanjutkan dengan evaluasi kategori I.

l. Bila waktu pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori I. Waktu pemberian antibiotika dievaluasi berdasarkan waktu pemberian antibiotika setiap harinya. Antibiotika yang lolos kategori I dilanjutkan dengan evaluasi kategori 0.

m.Bila antibiotika tidak masuk dalam kategori I-VI, antibiotika tersebut masuk kategori 0.

6. Penyajian hasil

Hasil yang diperoleh diwujudkan dalam bentuk tabel dan gambar yang disertai dengan pembahasannya. Hasil tersebut meliputi profil pasien diare, pola peresepan antibiotika, dan evaluasi peresepan antibiotika yang diberikan pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang telah dievaluasi dengan metode Gyssens.

Dokumen terkait