EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DIARE DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD
PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE APRIL 2015
Dewi Anugrah Fitriyani 128114008
INTISARI
Diare merupakan penyakit penyebab kematian terbesar kedua di dunia pada anak. Diare banyak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Terapi diare yang paling utama adalah pemberian cairan rehidrasi untuk mencegah dehidrasi, dan umumnya tidak memerlukan antibiotika. Peresepan antibiotika yang tidak perlu dapat menyebabkan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien, pola peresepan antibiotika, dan mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare rawat inap dengan metode Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan case series. Bahan penelitian yang digunakan adalah rekam medis pasien yang bersifat retrospektif. Evaluasi peresepan antibiotika menggunakan diagram alir Gyssens yang memuat kriteria untuk mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika.
Dari 34 kasus yang diperoleh menunjukkan kasus terbanyak terjadi pada pasien dewasa (59%) dengan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki (62%). Antibiotika yang paling banyak diresepkan adalah siprofloksasin (24,1%). Hasil evaluasi antibiotika dengan metode Gyssens menunjukkan terdapat 6 antibiotika masuk kategori 0; 1 antibiotika masuk kategori IIA, IIC, IVB, IVC, 23 antibiotika masuk kategori IVA; 21 antibiotika masuk kategori V. Tidak ada antibotika yang masuk kategori I, IIB, IIIA, IIIB, IVD, dan VI.
ABSTRACT
Diarrhea is a disease that caused second largest mortality in children in the world. Diarrhea occurred in many developing countries, including Indonesia. The most important treatment of diarrhea is rehydration fluids to prevent dehydration, and no need of antibiotics. Unnecessarily antibiotics prescribing can cause antibiotics resistance. The aims of this study is to determine the patients profile, antibiotics prescribing pattern, and evaluate antibiotics appropriateness in diarrhea inpatient with Gyssens method at RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta April 2015 period.
This research is descriptive study with case series design. The retrospective patient's medical record was used as the study material. Antibiotic evaluation using Gyssens flow chart that contains some criteria for evaluating the antibiotics appropriateness.
EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DIARE DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD
PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE APRIL 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Dewi Anugrah Fitriyani NIM : 128114008
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DIARE DENGAN METODE GYSSENS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD
PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE APRIL 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Dewi Anugrah Fitriyani NIM : 128114008
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan
itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al Anfal : 10)
Karya ini kupersembahkan untuk :
Allah SWT atas karunia dan berkahNya
Kedua orang tuaku atas semangat, kasih sayang, dan doa untuk kesuksesanku
Kakak, adik, dan segenap keluargaku
Semua sahabat, teman, dan orang-orang terkasih yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepadaku
vi PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, pertolongan, dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Peresepan Antibiotika pada Pasien Diare dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015”.
Dalam proses penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran, waktu, semangat, dan tenaga, skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus dosen pembimbing utama yang telah memberikan saran, bimbingan, dan dukungan dalam proses penyusunan skripsi.
2. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing pendamping yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, waktu, saran dan kritik kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
3. Ibu Dr. Rita Suhadi M.Si., Apt. dan Ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.
vii
5. Ibu Yayuk sebagai Kepala Rekam Medis RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dan Mas Aris yang telah memfasilitasi penulis dalam pengambilan data.
6. Teman seperjuangan satu kelompok skripsi Paulina Nugraheni, Cresentia Claresta, dan Christina Ari yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi.
7. Semua sahabat dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan, bantuan, dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini dengan doa dan dukungannya penulis ucapkan terimakasih.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis menyadati bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.
Yogyakarta, 23 November 2015
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PRAKATA ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xviii
ABSTRACT ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
x
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 6
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Diare ... 7
1. Definisi ... 7
2. Etiologi ... 7
3. Patofisologi ... 8
4. Gejala ... 9
5. Terapi ... 11
B. Antibiotika ... 13
1. Definisi ... 13
2. Klasifikasi antibiotika ... 13
3. Prinsip penggunaan antibiotika ... 14
C. Antibiotika pada Diare ... 16
D. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens ... 20
E. Keterangan Empiris ... 22
BAB III. METODE PENELITIAN ... 23
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 23
B. Variabel Penelitian ... 23
C. Definisi Operasional ... 23
D. Bahan Penelitian ... 25
xi
F. Instrument Penelitian ... 26
G. Tata Cara Penelitian dan Analisis Data ... 26
1. Tahap perijinan ... 26
2. Studi pendahuluan ... 26
3. Seleksi dan pengambilan data ... 27
4. Penelusuran peta kuman dan wawancara dengan dokter ... 27
5. Pengolahan data ... 28
6. Penyajian hasil ... 33
H. Keterbatasan Penelitian ... 33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Profil Pasien ... 36
1. Jenis kelamin ... 37
2. Usia ... 37
3. Status pulang pasien ... 38
B. Pola Peresepan Antibiotika ... 39
1. Golongan dan jenis antibiotika ... 40
2. Rute pemberian antibiotika ... 41
3. Durasi pemberian antibiotika ... 42
C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode Gyssens ... 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
A. Kesimpulan ... 58
xii
DAFTAR PUSTAKA ... 60
LAMPIRAN ... 63
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Gejala Klinis Infeksi Diare Berdasarkan Patogen Penyebabnya ... 10
Tabel II. Penilaian Dehidrasi pada Pasien Diare ... 11
Tabel III. Antibiotika untuk Terapi Diare pada Pasien Anak ... 18
Tabel IV. Antibiotika untuk Terapi Diare pada Pasien Dewasa ... 19
Tabel V. Kategori Gyssens ... 22
Tabel VI. Karakteristik Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015 ... 36
Tabel VII. Golongan dan Jenis Antibiotika yang Diresepkan pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015 ... 40
Tabel VIII. Durasi Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015 ... 43
Tabel IX. Hasil Evaluasi Ketepatan Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakara Periode April 2015 ... 44
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Alir Penilaian Ketepatan Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens ... 21
Gambar 2. Skema Pemilihan Bahan Penelitian ... 25
Gambar 3. Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015 ... 42
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekam Medis Kasus 1 ... 63
Lampiran 2. Rekam Medis Kasus 2 ... 66
Lampiran 3. Rekam Medis Kasus 3 ... 69
Lampiran 4. Rekam Medis Kasus 4 ... 76
Lampiran 5. Rekam Medis Kasus 5 ... 79
Lampiran 6. Rekam Medis Kasus 6 ... 83
Lampiran 7. Rekam Medis Kasus 7 ... 86
Lampiran 8. Rekam Medis Kasus 8 ... 90
Lampiran 9. Rekam Medis Kasus 9 ... 93
Lampiran 10. Rekam Medis Kasus 10 ... 98
Lampiran 11. Rekam Medis Kasus 11 ... 100
Lampiran 12. Rekam Medis Kasus 12 ... 103
Lampiran 13. Rekam Medis Kasus 13 ... 107
Lampiran 14. Rekam Medis Kasus 14 ... 110
Lampiran 15. Rekam Medis Kasus 15 ... 113
Lampiran 16. Rekam Medis Kasus 16 ... 118
xvi
Lampiran 18. Rekam Medis Kasus 18 ... 128
Lampiran 19. Rekam Medis Kasus 19 ... 131
Lampiran 20. Rekam Medis Kasus 20 ... 134
Lampiran 21. Rekam Medis Kasus 21 ... 137
Lampiran 22. Rekam Medis Kasus 22 ... 140
Lampiran 23. Rekam Medis Kasus 23 ... 145
Lampiran 24. Rekam Medis Kasus 24 ... 149
Lampiran 25. Rekam Medis Kasus 25 ... 152
Lampiran 26. Rekam Medis Kasus 26 ... 155
Lampiran 27. Rekam Medis Kasus 27 ... 159
Lampiran 28. Rekam Medis Kasus 28 ... 164
Lampiran 29. Rekam Medis Kasus 29 ... 168
Lampiran 30. Rekam Medis Kasus 30 ... 171
Lampiran 31. Rekam Medis Kasus 31 ... 175
Lampiran 32. Rekam Medis Kasus 32 ... 179
Lampiran 33. Rekam Medis Kasus 33 ... 182
xvii
Lampiran 35. Surat Keterangan atau Izin Penelitian dari RSUD Panembahan
xviii INTISARI
Diare merupakan penyakit penyebab kematian terbesar kedua di dunia pada anak. Diare banyak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Terapi diare yang paling utama adalah pemberian cairan rehidrasi untuk mencegah dehidrasi, dan umumnya tidak memerlukan antibiotika. Peresepan antibiotika yang tidak perlu dapat menyebabkan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien, pola peresepan antibiotika, dan mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare rawat inap dengan metode Gyssens di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan case series. Bahan penelitian yang digunakan adalah rekam medis pasien yang bersifat retrospektif. Evaluasi peresepan antibiotika menggunakan diagram alir Gyssens yang memuat kriteria untuk mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika.
Dari 34 kasus yang diperoleh menunjukkan kasus terbanyak terjadi pada pasien dewasa (59%) dengan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki (62%). Antibiotika yang paling banyak diresepkan adalah siprofloksasin (24,1%). Hasil evaluasi antibiotika dengan metode Gyssens menunjukkan terdapat 6 antibiotika masuk kategori 0; 1 antibiotika masuk kategori IIA, IIC, IVB, IVC, 23 antibiotika masuk kategori IVA; 21 antibiotika masuk kategori V. Tidak ada antibotika yang masuk kategori I, IIB, IIIA, IIIB, IVD, dan VI.
xix ABSTRACT
Diarrhea is a disease that caused second largest mortality in children in the world. Diarrhea occurred in many developing countries, including Indonesia. The most important treatment of diarrhea is rehydration fluids to prevent dehydration, and no need of antibiotics. Unnecessarily antibiotics prescribing can cause antibiotics resistance. The aims of this study is to determine the patients profile, antibiotics prescribing pattern, and evaluate antibiotics appropriateness in diarrhea inpatient with Gyssens method at RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta April 2015 period.
This research is descriptive study with case series design. The retrospective patient's medical record was used as the study material. Antibiotic evaluation using Gyssens flow chart that contains some criteria for evaluating the antibiotics appropriateness.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan gerakan usus normal, peningkatan kadar air dan volume feses, dan frekuensi buang air besar meningkat menjadi lebih dari tiga kali dalam sehari. Diare dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit. Diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling umum, terutama di negara berkembang (DuPont, 2014; Guandalini & Vaziri, 2011).
Menurut International Vaccine Access Center (IVAC) berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) diare menjadi penyakit penyebab kematian pada balita nomor dua di dunia. Kejadian ini banyak terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut data perkiraan angka kematian anak tahun 2014, diare menduduki peringkat kedua setelah pneumonia yang menyebabkan lebih dari 1,5 juta kematian pada balita yang terjadi secara global pada tahun 2013 (IVAC, 2014).
di Kabupaten Bantul. Terdapat 74689 kasus diare di Yogyakarta pada tahun 2012. Angka kesakitan diare di Kabupaten Bantul tahun 2013 sebesar 214 per 1000 penduduk (Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013; Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2014).
Penatalaksanaan diare yang paling utama adalah pemberian cairan rehidrasi untuk mencegah terjadinya dehidrasi yang dapat berakibat fatal. Antibiotika hanya dapat digunakan pada terapi diare karena infeksi bakteri atau diare berdarah, dan pasien menunjukkan tanda-tanda infeksi sistemik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, Umiana, dan Pane (2013) di salah satu Puskesmas di Bandar Lampung, hanya 47,7% pemberian antibiotika untuk terapi diare akut tanpa dehidrasi yang tergolong tepat. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko resistensi, mengganggu keseimbangan flora normal usus, dan meningkatkan biaya kesehatan. Beberapa bakteri penyebab diare sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotika di berbagai wilayah di Indonesia (DuPont, 2009; Tjaniadi, Lesmana, Subekti, Machpud, Komalarani, Santosa, et al., 2013).
penyakit infeksi yang paling banyak diderita pasien rawat inap tahun 2014. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rekam medis yang bersifat retrospektif dari pasien diare rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015, dan dilakukan evaluasi dengan metode Gyssens untuk menentukan kualitas dan ketepatan peresepan antibiotika pada pasien yang bersangkutan.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kualitas dan ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, sehingga hasil penelitian dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare di rumah sakit yang bersangkutan.
1. Perumusan Masalah
a. Seperti apakah profil pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta?
b. Seperti apakah pola peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta?
c. Seperti apakah ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang telah dievaluasi dengan metode Gyssens?
2. Keaslian Penelitian
a. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik untuk Penyakit Diare pada Pasien Pediatri Rawat Inap di RSUD “X” Tahun 2011” oleh Utami tahun 2012. Studi menggunakan rekam medis pasien diare pediatri rawat inap yang bersifat retrospektif. Evaluasi ketepatan peresepan antibiotika menggunakan beberapa literatur seperti, Pediatric Dosage Handbook, British National Formulary, dan Infectious Diseases Society of American Guidelines. Hasil menunjukkan peresepan antibiotika dengan
kategori tepat pasien sebanyak 100%, tepat dosis sebanyak 70%, dosis kurang sebanyak 20%, dosis berlebih sebanyak 8%, tepat frekuensi sebanyak 56%, frekuensi kurang sebanyak 45%, dan tidak ada pasien yang mendapatkan antibiotika dengan frekuensi berlebih.
b. Penelitian dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Gastroenteritis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit “X”Periode Januari −
Juni 2013” oleh Rachmawati (2014). Penelitian ini menggunakan rekam
medis pasien diare yang bersifat retrospektif. Evaluasi peresepan antibiotika menggunakan beberapa literatur, seperti The Treatment of Diarrhea : A Manual for Physicians and Other Senior Health Worker dari WHO (2005) dan Drug Information Handbook. Hasil penelitian menunjukkan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah seftriakson sebanyak 41,07%; antibiotika yang tergolong tepat indikasi sebanyak 7,14%; tepat obat sebanyak 7,14%; dan tepat dosis sebanyak 84,85%. c. Penelitian yang dilakukan oleh Satari, Firmansyah, dan Teresia (2011)
Patients”. Penelitian ini menggunakan rekam medis pasien anak di
Bangsal Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama bulan Januari – Juni 2009. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien tersebut secara kualitatif dengan metode Gyssens. Hasil penelitian menunjukkan peresepan antibiotika yang tergolong tepat sebanyak 39,6%, dan 48,3% tidak tepat. Antibiotika diberikan tanpa indikasi pada 3,3% pasien, dan 8,8% data yang ada tidak memadai. Sefotaksim adalah antibiotika yang paling banyak diresepkan, dan paling banyak tidak tepat peresepannya.
Penelitian mengenai evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu pada subjek, lokasi, dan waktu pelaksanaan penelitian. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak topik penelitian yaitu evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare, dan penilaian secara kualitatif dengan metode Gyssens.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis
b. Manfaat praktis.
1) Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare.
2) Sebagai bahan evaluasi bagi tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dalam meningkatkan kualitas dan ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare, terutama bagi apoteker.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan profil pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015. b. Mendeskripsikan pola peresepan antibiotika pada pasien diare di
instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
7 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Diare
1. Definisi Diare
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan gerakan usus, konsistensi feses menjadi lebih lunak atau cair, dan peningkatan frekuensi buang air besar menjadi lebih dari tiga kali dalam sehari. Menurut durasi terjadinya, diare dapat diklasifikasikan menjadi diare akut (terjadi kurang dari dua minggu), diare persisten (terjadi antara dua sampai empat minggu), dan diare kronik (terjadi lebih dari empat minggu) (DuPont, 2014; Guandalini & Vaziri, 2011; McPhee & Ganong, 2010).
2. Etiologi diare
Diare dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain :
a. Infeksi bakteri, beberapa bakteri yang dapat menyebabkan diare antara lain Shigella, Salmonella, Escherichia coli, dan lain-lain.
b. Infeksi virus, beberapa virus yang dapat menyebabkan diare antara lain norovirus, adenovirus, rotavirus, dan lain-lain.
c. Infeksi parasit, termasuk di dalamnya adalah protozoa (Giardia lamblia, Cryptosporidum isospora, Entamoeba histolytica, dan
d. Diare dapat pula disebabkan karena faktor non infeksi yang berkaitan dengan alergi makanan, penggunaan obat tertentu, keracunan makanan, dan adanya penyakit tertentu.
(Crombie & Hall, 2009; Hatchette & Farina, 2011). 3. Patofisiologi
Terdapat empat mekanisme gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan diare, yaitu perubahan transport ion aktif karena penurunan absorbsi atau peningkatan sekresi ion-ion tertentu, perubahan motilitas usus, peningkatan osmolaritas lumen, dan peningkatan tekanan hidrostatik jaringan. Mekanisme ini berhubungan dengan empat jenis diare, yaitu diare sekretori, osmotik, eksudatif, dan perubahan transit intestinal (DiPiro, Tarbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).
Diare sekretori terjadi ketika terdapat substansi yang menyebabkan peningkatan sekresi atau penurunan absorbsi sejumlah cairan dan elektrolit. Substansi yang menyebabkan sekresi berlebihan ini yaitu vasoactive intestinal peptide (VIP) dari lemak makanan yang tidak diabsorbsi, toksin
bakteri, dan garam empedu yang berlebih. Agen ini akan merangsang cyclic adenosine monophosphate (cAMP) intraseluler yang menyebabkan peningkatan sekresi, dan menghambat absorbsi ion secara bersamaan (DiPiro, et al., 2008).
konsumsi antasida yang mengandung magnesium atau konsumsi karbohidrat yang sukar diabsorbsi (DiPiro, et al., 2008).
Diare eksudatif terjadi karena adanya penyakit inflamasi pada saluran cerna yang menyebabkan gangguan pada tight junction atau fungsi lapisan epitel usus. Contohnya adalah inflammatory bowel disease (IBD) atau infeksi bakteri yang dapat menyebabkan peradangan usus. Kondisi ini menyebabkan gangguan absorbsi cairan dan munculnya lendir, darah, dan nanah pada feses (DiPiro, et al, 2008; Guandalini & Vaziri, 2011).
Perubahan motilitas usus menyebabkan diare melalui tiga mekanisme, yaitu penurunan waktu kontak dalam usus halus, mempercepat waktu pengosongan kolon, dan pertumbuhan bakteri yang berlebih. Pembedahan usus dan penggunan obat-obat tertentu dapat menyebabkan diare jenis ini (DiPiro, et al, 2008).
4. Gejala
Tabel I. Gejala Klinis Infeksi Diare Berdasarkan Patogen Penyebabnya (WGO, 2012)
Patogen
Gejala klinis
Nyeri
perut Demam
Fecal evidence of inflammation
Mual dan muntah
Heme-positive
stool
Diare berdarah
Shigella ++ ++ ++ ++ +/- +
Salmonella ++ ++ ++ + +/- +
Campylobacter ++ ++ ++ + +/- +
Yersinia ++ ++ + + + +
Norovirus ++ +/- - ++ - -
Vibrio Cholera +/- +/- +/- +/- +/- +/-
Cyclospora +/- +/- - + - -
Cryptosporidium +/- +/- + + - -
Giardia ++ - - + - -
Entamoeba histolytica
+ + +/- +/- ++ +/-
Clostridium difficile
+ + ++ - + +
Shiga toxin-producing E.coli
++ 0 0 + ++ ++
Keterangan : ++, sangat sering terjadi; +, terjadi; +/-, bervariasi; -, biasanya tidak terjadi; 0, seringkali tidak terjadi.
[image:32.595.101.523.141.616.2]Tabel II. Penilaian Dehidrasi pada Pasien Diare (Koletzko & Osterrieder, 2009)
Assessment
Tanpa dehidrasi atau dehidrasi
ringan
Dehidrasi ringan
sampai sedang Dehidrasi berat
Tingkat dehidrasi <3% dari berat badan
3-8% dari berat badan
≥9% dari berat badan
Keadaan umum Normal Iritasi atau kurang aktif
Letargi atau pingsan
Mata Normal Cekung Cekung
Mukosa Normal Kering Kering
Rasa haus Normal Haus Tidak dapat minum
Denyut nadi Normal Rendah Tidak ada atau tidak dapat dihitung Denyut jantung Normal Normal sampai
meningkat
Takikardi; kemudian memburuk,
bradikardi Respirasi Normal Normal atau dalam Dalam, asidosis
pernafasan
Air mata Ada Normal sampai
berkurang
Tidak ada
5. Terapi
Tujuan terapi diare adalah untuk mencegah dehidrasi, meringankan gejala, mengobati penyebab diare, dan manajemen penyakit yang menyebabkan diare. Sasaran terapi diare adalah mencegah dehidrasi, mengontrol gejala dan penyakit penyerta, dan mengurangi insidensi, keparahan, dan durasi diare (DiPiro, et al., 2008; Guandalini & Vaziri, 2011). Beberapa strategi terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi diare antara lain :
a. Rehidrasi
Oral rehydration therapy (ORT) atau terapi rehidrasi oral
dan/atau muntah yang terus menerus terjadi. Cairan rehidrasi ini mengandung sejumlah air dan elektrolit untuk menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang, dan pemeliharaan setelah rehidarsi tercapai. Oral rehydration salts (ORS) adalah jenis cairan rehidrasi yang
digunakan (WGO, 2012). b. Terapi zink
Terapi zink dapat mengurangi tingkat keparahan dan episode diare, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat diare. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak adalah 20mg/hari selama 10 hari, dan untuk bayi yang berusia kurang dari dua bulan yaitu 10mg/hari selama 10 hari (WGO, 2012).
c. Probiotik
Beberapa studi telah membuktikan keamanan dan efektifitas penggunaan probiotik untuk terapi diare. Probiotik seperti L. reuteri ATCC 55730, L. rhamnosus GG, L. casei DN-114 001, dan Saccharomyces cerevisiae (boulardii) dapat digunakan untuk
mengurangi durasi dan keparahan diare (WGO, 2012). d. Antidiare
e. Antibiotika
Penggunaan antibiotika pada pasien diare dijelaskan pada halaman 16 dalam bab ini.
A. Antibiotika 1. Definisi
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme yang dapat membunuh atau menekan pertumbuhan kuman, dan toksisitasnya pada manusia relatif kecil. Umumnya antibiotika dibuat secara mikrobiologi, yaitu pembiakan mikroorganisme dalam suatu tempat bersama zat-zat gizi khusus (Tjay & Rahardja, 2007).
2. Klasifikasi antibiotika
a. Menurut Hardmant & Limbird (2007) berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dapat dikategorikan menjadi :
1) Menghambat sintesis dinding sel bakteri, contohnya penisillin, sefalosporin, dan vankomisin.
2) Mempengaruhi permeabilitas membran sel, contohnya polimiksin, poliena nistatin, dan amfoterisin B.
3) Menghambat sintesis protein, misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, dan eritromisin.
6) Mempengaruhi metabolisme asam nukleat, seperti rifamisin dan kuinolon.
b. Menurut Tjay & Rahardja (2007) berdasarkan konsentrasi obat yang mencapai plasma, antibiotika dikategorikan menjadi :
1) Bakteriostatika adalah antibiotika yang menghambat pertumbuhan bakteri, contohnya sulfonamida, kloramfenikol, dan tetrasiklin. 2) Bakterisidal adalah antibiotika yang mampu membunuh bakteri,
contohnya penisillin, aminoglikosida, dan sefalosporin.
c. Menurut Tjay & Rahardja (2007) berdasarkan luas aktivitas kerjanya antibiotika dibedakan menjadi :
1) Spektrum luas yang bekerja pada bakteri gram positif dan negatif, misalnya, sulfonamida, ampisillin, dan sefalosporin.
2) Spektrum sempit yang aktif tehadap bakteri gram positif saja seperti penisillin G, eritromisin, dan klindamisin, dan aktif tehadap bakteri gram negatif saja seperti streptomisin, gentamisin, dan asam nalidiksat.
3. Prinsip Penggunaan Antibiotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 2406 tahun 2011 prinsip penggunaan antibiotika dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
b. Terapi definitif yaitu terapi untuk penyakit infeksi yang sudah diketahui bakteri penyebab dan pola resistensinya, dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi.
c. Terapi profilaksis yaitu terapi sebelum, saat, dan sampai 24 jam setelah operasi untuk mencegah infeksi luka operasi.
Menurut Kemenkes (2011) tentang pedoman penggunaan antibiotika ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam dalam penggunaan antibiotika, antara lain :
a. Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotika, yaitu kemampuan mikroorganisme untuk melemahkan kerja antibiotika yang dapat menyebabkan kegagalan terapi.
b. Faktor farmakokinetika dan farmakodinamika, pentingnya penetapan jenis dan dosis antibiotika untuk mengetahui cara, lama, dan interval pemberian antibiotika yang sesuai dengan setiap pasien.
c. Faktor interaksi dan efek samping obat, pemberian antibiotika dengan obat lain diperlukan pertimbangan mengenai kemungkinan ada tidaknya interaksi yang dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan.
d. Faktor biaya, harga antibiotika yang tidak sesuai dengan tingkat ekonomi pasien akan berdampak pada mampu atau tidaknya pasien membeli antibiotika tersebut.
Menurut Kemenkes (2011) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotika secara bijak antara lain :
b. Penggunaan antibiotika dimulai dari terapi lini pertama. c. Penerapan pedoman penggunaan antibiotika.
d. Penegakan diagnosis, penggunaan informasi klinis dan tes laboratorium. e. Disesuaikan dengan spektrum dan pola kepekaan kuman, hasil
pemeriksaan atau perkiraan mikroorganisme, dan profil farmakokinetika dan farmakodinamika obat, serta cost effectiveness.
f. Meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan antibiotika, ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, menjamin tenaga medis yang kompeten, dan memantau penggunaan antibiotika, serta menetapkan kebijakan penggunaan antibiotika.
B. Antibiotika pada Diare
Diare dapat disebabkan karena infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dan non infeksi (alergi, obat, keracunan makanan, dan lain-lain). Diare yang disebabkan karena infeksi virus bersifat self-limiting disease, sehingga penggunaan antibiotika pada kasus ini tidak direkomendasikan. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat memperparah penyakit, meningkatkan biaya kesehatan, mengganggu flora normal usus, dan meningkatkan resiko resistensi terhadap antibiotika (Barr & Smith, 2014).
yang mungkin terjadi. Antibiotika dapat membantu dan secara rutin digunakan dalam kasus :
1. Cholera, Shigella, Salmonella typhoid dan parathypoid
2. Infeksi Campylobacter atau Salmonellosis nonthypi yang disertai dengan darah, persisten, atau pasien mempunyai sistem imun yang lemah
3. Infeksi amoeba invasif
4. Giardiasis simtomatik (anoreksia dan penurunan berat badan, diare persisten). (DuPont, 2014; WGO, 2012). Penggunaan antibiotika dapat dipertimbangkan untuk kondisi sebagai berikut :
1. Shigella, Salmonella, Campylobacter yang disertai dengan darah atau infeksi parasit yang disertai dengan darah dan/atau lendir.
2. Infeksi Salmonella nonthypi yang disertai dengan darah pada fesenya, dan pasien termasuk bayi atau geriatri, sistem imun lemah, atau malnutrisi.
3. Diare pelancong yang sedang atau berat, atau diare dengan demam dan dengan feses disertai dengan darah dan/atau lendir.
4. Antibiotika juga dapat direkomendasikan ketika pasien memiliki penyakit infeksi non intestinal yang serius, seperti pneumonia atau sepsis.
(WGO, 2012: WHO, 2005).
[image:39.595.103.515.191.595.2]direkomendasikan untuk pasien dewasa dan anak-anak sesuai dengan bakteri penyebabnya. Data publikasi saat ini menyatakan kotrimoksazol menjadi terapi lini pertama diare pada anak-anak. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009; WGO, 2012).
Tabel III. Antibiotika untuk Terapi Diare pada Pasien Anak (DuPont, 2009; WGO, 2012)
Penyebab Terapi Lini Pertama Alternatif
Shigella Azitromisin 10mg/kg/hari
selama 3 hari
Seftriakson 50mg/kgBB/hari selama 3 hari
Salmonella typhi Seftriakson 100mg/kgBB/hari
tiap 12 jam
Azitromisin 20mg/kgBB/hari selama 7 hari
Campylobacter Azitromisin 30mg/kgBB/hari Eritromisin 30mg/kg/hari dalam
2-4 dosis terbagi selama 3-5 hari
Yersinia Terapi seperti shigellosis
Norovirus Hanya perlu diberikan penggantian cairan dan elektrolit
Vibrio Cholera Azitromisin 20mg/kg/hari TMP/SMX (5mg/kg – 25mg/kg)
setiap 12 jam selama 3 hari
Giardia
Metronidazol 5mg/kgBB
digunakan 3xsehari selama 5 hari
Tinidazol diberikan dalam dosis tunggal, 40mg/kgBB, maksimal 2gram
Entamoeba
hystolitica Metronidazol 10mg/kgBB digunakan 3xsehari selama 5 hari
Clostridium difficile
Metronidazol 7.5mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari
(maksimal: 500 mg)
Vankomisin 10 mg/kgBB setiap 6 jam, selama 10–14 hari,
Shiga
toxin-producing E.coli -
Tabel IV. Antibiotika untuk Terapi Diare pada Pasien Dewasa (Barr & Smith, 2014; DuPont, 2014; WGO, 2012)
Penyebab Terapi Lini Pertama Alternatif
Shigella
Siprofloksasin 500mg 2xsehari selama 3 hari
Azitromisin 500mg 2xsehari selama 3 hari, atau
Seftriakson 2-4gram/hari
Salmonella typhi
Florokuinolon (siprofloksasin) 500mg 2xsehari selama 7 hari
Sefalosporin intravena selama 7 hari, atau
Azitromisin 500mg/hari selama 7 hari
Campylobacter Azitromisin 500mg/hari selama
3-5 hari
Siprofloksasin 500mg 2xsehari selama 5-7 hari
Yersinia
-untuk penyakit yang parah adalah TMP/SMX (160/800mg) 2xsehari selama 5 hari, atau Siprofloksasin 500mg 2xsehari selama 7-10 hari
Norovirus Hanya perlu diberikan penggantian cairan dan elektrolit
Vibrio Cholera
Doksisiklin 300mg/hari Azitromisin 1gram dalam dosis tunggal, atau
Siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 3 hari
Cyclospora atau Isospora
TMP/SMX (160/800mg)
2xsehari selama 7-10 hari
-Cryptosporidium -
Altenatif untuk penyakit yang parah adalah Nitazoksanid 500mg/hari selama 3 hari
Giardia
Metronidazol 250mg 3xsehari selama 5 hari
Tinidazol diberikan dalam dosis tunggal, 40mg/kgBB, maksimal 2gram
Entamoeba hystolitica
Metronidazol 750mg 3xsehari selama 5 hari. *10 hari untuk kondisi yang parah . Clostridium
difficile
Metronidazol 500mg 3xsehari selama 10 hari
Vankomisin 125mg 4xsehari selama 10 hari
Shiga
toxin-producing E.coli -
C. Evaluasi Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens
Menurut Kemenkes 2011 evaluasi peresepan antibiotika bertujuan untuk mengetahui jumlah peresepan antibiotika, mengetahui dan mengevaluasi kualitas peresepan antibiotika, sebagai dasar melakukan surveilans peresepan antibiotika, dan sebagai indikator kualitas peresepan antibiotika yang dilakukan. Evaluasi peresepan antibiotika dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi peresepan antibiotika secara kuantitatif dapat dilakukan dengan perhitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed days). Evaluasi peresepan antibiotika secara kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika yang dapat dilakukan dengan metode Gyssens.
Metode Gyssens merupakan metode yang digunakan unyuk menilai kualitas peresepan antibiotika yang proses penilaiannya berupa diagram alir Gyssens. Metode Gyssens ini diadaptasi dari metode Kunin. Metode Gyssens dapat digunakan untuk mengevaluasi peresepan antibiotika baik secara empiris maupun definitif. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan, seperti adanya antibiotika yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum yang lebih sempit, durasi, dosis, interval, dan waktu pemberian antibiotika (Gyssens & Meer, 2001).
dimasksud, kemudian dilanjutkan dengan kotak di bawahnya dengan mengikuti alur sesuai Gambar 1. di bawah ini :
Tabel V. Kategori Gyssens (Kemenkes 2011)
Kategori Pengertian
Kategori 0 Penggunaan tepat
Ketegori I Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu Kategori IIA Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Kategori IIB Penggunaan antibiotika tidak tepat inteval pemberian Kategori IIC Penggunaan antibiotika tidak tepat cara atau rute pemberian Kategori IIIA Penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori IIIB Penggunaan antibiotika terlalu singkat Kategori IVA Ada antibiotika lain yang lebih efektif
Kategori IVB Ada antibiotika lain yang kurang toksik atau lebih aman Kategori IVC Ada antibiotika lain yang lebih murah
Kategori IVD Ada antibiotika lain yang spektrum kerjanya lebih sempit Kategori V Tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategori VI Data rekam medis tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
D. Keterangan Empiris
23 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan rancangan case series. Penelitian dilakukan dengan menelusuri data rekam medis yang bersifat retrospektif dari pasien diare yang menerima antibiotika di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk menilai ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare dengan metode Gyssens berdasarkan literatur yang digunakan.
B. Variabel Penelitian
1. Profil pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
2. Pola peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
3. Ketepatan peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang telah dievaluasi dengan metode Gyssens.
C. Definisi Operasional
1. Profil pasien diare
2015 yang menerima peresepan antibiotika, meliputi jenis kelamin, usia, dan status pulang pasien.
Pasien diare yang dimaksud adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi :
1) Pasien diare yang dirawat di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
2) Pasien diare di instalasi rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015 dengan rekam medis lengkap.
b. Kriteria eksklusi :
1) Pasien melanjutkan pengobatan di tempat lain.
2) Pasien diare yang dalam pengobatannya tidak menggunakan antibiotika.
3) Pasien diare dengan penyakit penyerta lainnya.
2. Rekam medis pasien diare
Rekam medis pasien diare yang dimaksud adalah semua catatan kesehatan pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
3. Pola peresepan antibiotika
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, yang meliputi golongan dan jenis antibiotika, rute pemberian, dan durasi pemberian antibiotika.
4. Ketepatan peresepan antibiotika
Evaluasi ketepatan peresepan antibiotika pada penelitian ini menggunakan bantuan diagram alir Gyssens. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan beberapa literatur utama seperti Barr & Smith, (2014); DuPont, (2009); DuPont (2014); dan World Gastroenterology Organization (2012).
5. Analisis peresepan antibiotika dengan metode Gyssens pada penelitian ini dilakukan untuk setiap antibiotika yang diresepkan pada setiap pasien.
D. Bahan Penelitian
[image:47.595.103.515.240.724.2]Bahan penelitian adalah seluruh rekam medis pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015. Jumlah dan pemilihan rekam medis pada penelitian ini ditampilkan secara terperinci pada Gambar 2 di bawah ini :
Gambar 2. Skema Pemilihan Bahan Penelitian Jumlah pasien diare
selama bulan April 2015 sebanyak 170
pasien
Rekam medis pasien yang ditemukan
sebanyak 161
Rekam medis pasien yang menjalani rawat
inap sebanyak 82
Eksklusi = 48
- Tidak menerima antibiotika = 36 - Pasien dengan penyakit penyerta = 12 Rekam medis yang
E. Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUD Panembahan Senopati, Kabupaten Bantul, dan waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2015.
F. Instrumen Penelitian
1. Formulir pengambilan data yang memuat beberapa informasi yang tercantum pada rekam medis pasien.
2. Diagram alir Gyssens yang memuat skala Gyssens dari kategori 0-IV untuk mengklasifikasikan ketepatan peresepan antibiotika.
3. Literatur utama sebagai referensi untuk melakukan evaluasi, seperti Barr & Smith (2014), DuPont (2009); DuPont (2014), dan World Gastroenterology Organization (2012).
G. Tata Cara Penelitian dan Analisis Data 1. Tahap Perijinan
Diawali dengan pencarian informasi mengenai teknis pengambilan bahan penelitian ke RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Dilanjutkan dengan permohonan perijinan untuk melakukan studi pendahuluan dan penelitian.
2. Studi pendahuluan
Hasil menunjukkan diare menduduki peringkat pertama. Hal inilah yang mendasari pemilihan kasus diare sebagai topik penelitian.
Pada tahapan ini juga dilakukan observasi untuk mengetahui banyaknya pasien diare pada periode yang telah ditentukan. Observasi ini bertujuan untuk menentukan periode pengambilan data dan jumlah data yang akan digunakan dalam penelitian, selanjutnya dilakukan penyusunan proposal penelitian.
3. Seleksi dan pengambilan data
Seleksi data dilakukan dengan menelusuri dan mengumpulkan seluruh rekam medis pasien diare periode April 2015. Seleksi rekam medis dilakukan dengan cara memilih rekam medis pasien yang menjalani rawat inap dan menerima terapi dengan antibiotika. Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan data mengenai terapi antibiotika yang diresepkan oleh dokter yang tercantum dalam rekam medis pasien.
4. Penelusuran peta kuman dan wawancara dengan dokter.
Wawancara dengan dokter bertujuan untuk memastikan pedoman terapi yang digunakan oleh dokter. Hal ini terkait pedoman terapi dari RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang terbaru tahun 2006 dan didalamnya tidak memuat pedoman terapi diare karena infeksi. Wawancara hanya dapat dilakukan dengan dokter anak, sedangkan untuk dokter penyakit dalam tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu dan kesempatan.
5. Pengolahan data
Sebelum dilakukan pengolahan data dilakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan kelengkapan data yang diperoleh dari rekam medis pasien. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menguraikan data rekam medis, untuk menggambarkan profil pasien diare dan pola peresepan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.
Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi ketepatan peresepan antibiotika sesuai dengan alur Gyssens dan hasil evaluasi dikategorikan sesuai kriteria Gyssens, yang ditunjukkan dengan jumlah antibiotika yang diresepkan secara tepat atau kurang tepat. Proses evaluasi peresepan antibiotika dengan metode Gyssens adalah sebagai berikut :
a. Bila data tidak lengkap berhenti di kategori VI.
informasi yang ada tidak lengkap. Antibiotika yang lolos kategori VI dilanjutkan dengan evaluasi kategori V.
b. Bila tidak ada indikasi penggunaan antibiotika, berhenti di kategori V. Tidak adanya indikasi penggunaan antibiotika terjadi ketika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi bakteri. Tanda-tanda infeksi bakteri tersebut dapat dilihat dari gejala, diagnosa, tanda-tanda vital pasien, dan hasil uji laboratorium yang dilakukan (pemeriksaan darah dan feses). Adanya indikasi penggunaan antibiotika ketika pasien demam tinggi, peningkatan nilai leukosit, diare disertai dengan lendir dan/atau darah, adanya leukosit dan/atau eritrosit pada feses dalam jumlah yang tinggi, atau pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya amoeba atau bakteri tertentu jika dilakukan kultur bakteri. Kriteria lain perlunya pemberian antibiotika pada pasien diare juga tercantum pada hal 17 berdasarkan WGO (2012). Antibiotika yang lolos kategori V dilanjutkan dengan evaluasi kategori IV.
c. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVA.
literatur seperti Barr & Smith (2014), DuPont (2009), DuPont (2014), dan WGO (2012) yang tercantum pada hal 16 dan 17.
d. Bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVB.
Adanya antibiotika lain yang kurang toksik adalah adanya peresepan antibiotika yang kontraindikasi terhadap pasien, atau adanya interaksi dengan obat lain yang digunakan pasien yang dapat meningkatkan efek toksik obat-obat tersebut. Informasi mengenai kontraindikasi dan interaksi obat disini berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy, Amstrong, Goldman, and Lance, 2012) Antibiotika yang lolos kategori IVB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVC.
e. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, maka berhenti di kategori IVC.
Ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah yaitu ketika pasien diberikan antibiotika dengan nama paten meskipun tersedia yang generik. Informasi mengenai harga antibiotika yang diberikan didasarkan pada daftar harga obat yang ada di apotek RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Antibiotika yang lolos kategori IVC dilanjutkan dengan evaluasi kategori IVD.
f. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVD.
antibiotika yang diberikan tidak atau kurang spesifik untuk bakteri penyebab diare tersebut. Antibiotika yang lolos kategori IVD dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIA.
g. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIA.
Durasi pemberian antibiotika terlalu panjang yaitu durasi pemberian antibiotika empiris lebih dari durasi yang dianjurkan menurut Kemenkes (2011). Durasi pemberian antibiotika empiris menurut Kemenkes (2011) adalah selama 2-3 hari dan selanjutnya dilakukan evaluasi berdasarkan kultur bakteri, kondisi klinis, pemeriksaan labortaorium, dan data penunjang lainnya. Antibiotika empiris yang sudah digunakan lebih dari 2-3 hari namun belum memberikan outcome yang baik juga dapat dikategorikan durasi pemberian terlalu panjang. Antibiotika yang lolos kategori IIIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIIB.
h. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIB.
i. Bila dosis pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIA. Dosis pemberian antibiotika yang tidak tepat terjadi ketika dosis yang diberikan terlalu tinggi ataupun terlalu rendah dari dosis yang dianjurkan menurut Drug Information Handbook (Lacy, et al., 2012). Antibiotika yang lolos kategori IIA dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIB.
j. Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIB. Interval pemberian antibiotika yang tidak tepat terjadi ketika interval yang diberikan kurang ataupun lebih dari yang dianjurkan menurut Drug Information Handbook (Lacy, et al., 2012). Antibiotika yang lolos kategori IIB dilanjutkan dengan evaluasi kategori IIC.
k. Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIC. Rute pemberian antibiotika tidak tepat terjadi ketika pasien masih memungkinkan diberikan antibiotika secara oral namun diberikan secara intravena, atau pasien yang muntah diberikan antibiotika secara oral (tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien). Pertimbangan pemberian antibiotika secara intravena ini berdasarkan National Health Service (2010). Antibiotika yang lolos kategori IIC dilanjutkan dengan evaluasi kategori I.
m.Bila antibiotika tidak masuk dalam kategori I-VI, antibiotika tersebut masuk kategori 0.
6. Penyajian hasil
Hasil yang diperoleh diwujudkan dalam bentuk tabel dan gambar yang disertai dengan pembahasannya. Hasil tersebut meliputi profil pasien diare, pola peresepan antibiotika, dan evaluasi peresepan antibiotika yang diberikan pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang telah dievaluasi dengan metode Gyssens.
H. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain :
1. Terdapat kesulitan pada penelitian dengan menggunakan rekam medis pasien yang bersifat retrospektif, yaitu masalah kelengkapan rekam medis yang digunakan sebagai bahan penelitian.
2. Metode Gyssens yang digunakan dalam penelitian ini sendiri memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
b. Metode Gyssens lebih cocok digunakan untuk penelitian prospektif, sehingga kondisi pasien dapat dipantau setiap harinya untuk menilai efektifitas terapi antibiotika yang digunakan.
c. Metode Gyssens kurang cocok digunakan untuk evaluasi peresepan antibiotika yang diberikan secara kombinasi dengan antibiotika lain, karena evaluasi antibiotika dilakukan per satuan peresepan bukan menilai ketepatan kombinasi antibiotika yang digunakan. Metode yang dapat digunakan untuk menilai ketepatan peresepan antibiotika secara kombinasi adalah Drug Related Problem (DRP), namun metode ini tidak spesifik untuk mengevaluasi peresepan antibiotika.
3. Adanya beberapa data atau kelengkapan penelitian lain yang dapat menunjang hasil penelitian namun tidak dapat diakses oleh peneliti. Seperti Standar Pelayanan Medis (SPM) yang baru selesai disusun oleh pihak komite medis rumah sakit.
4. Keterbatasan waktu dan kesempatan peneliti untuk melakukan wawancara dengan dokter. Wawancara dilakukan untuk mengkonfirmasi dan mendapatkan beberapa informasi tambahan terkait dengan pemberian antibiotika pada pasien diare, sehingga proses analisis hanya dapat dilakukan berdasarkan sumber yang diacu.
36 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dengan judul “Evaluasi Peresepan Antibiotika pada Pasien Diare dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015” dilakukan dengan menelusuri
rekam medis pasien diare yang menjalani rawat inap dan menerima peresepan antibiotika. Sebanyak 34 rekam medis pasien diare digunakan dalam penelitian ini. Hasil dan pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, profil pasien diare, pola peresepan antibiotika, dan evaluasi peresepan antibiotika dengan metode Gyssens, dan disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
A. Profil Pasien
[image:58.595.111.517.593.737.2]Terdapat 34 pasien diare dengan terapi antibiotika di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta selama periode April 2015. Profil pasien dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, dan status pulang setelah menjalani rawat inap, yang ditampilkan pada Table VI di bawah ini :
Tabel VI. Karakteristik Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015
No Karakteristik Jumlah Pasien (n = 34) Persentase (%) 1 Jenis kelamin
- Laki – laki - Perempuan
21 13
62 38 2 Usia
- Dewasa (≥17 tahun) - Anak – anak (<17 tahun)
20 14
59 41 3 Status pulang
- Membaik - Sembuh - Meninggal
28 6 0
1. Jenis Kelamin
Pengelompokkan profil pasien diare berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk mengetahui proporsi jumlah pasien diare laki-laki dan perempuan yang diresepkan antibiotika selama menjalani rawat inap di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015. Data menunjukkan bahwa dari 34 data rekam medis pasien diare, diperoleh jumlah pasien laki-laki sebanyak 21 pasien (62%) dan pasien perempuan sebanyak 13 pasien (38%) (lihat Tabel VI).
Hasil penelitian menunjukkan persentase pasien diare dengan jenis kelamin laki-laki yang menjalani rawat inap lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini sesuai dengan data dari Riskesdas (2013) yang menyatakan bahwa prevalensi diare baik pada responden dewasa maupun balita lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Faktor gaya hidup, tingkat sanitasi, dan aktifitas fisik dapat mempengaruhi kejadian diare ini. Laki-laki lebih rentan terserang diare akibat gaya hidup dan sanitasi yang cenderung lebih buruk dibandingkan perempuan. 2. Usia
Pengelompokkan usia pada penelitian ini dikategorikan menjadi anak-anak dan dewasa. Pasien dikategorikan dalam kelompok anak-anak-anak-anak jika usianya <17 tahun, dan pasien dikategorikan dewasa apabila usianya ≥17
dewasa sebanyak 20 pasien (59%), dan pasien anak-anak sebanyak 14 pasien (41%) (lihat Tabel VI).
Berbagai penelitian dan survey mengenai prevalensi diare yang pernah dilakukan sebelumnya, menyatakan bahwa diare lebih sering terjadi pada anak-anak. Diare pada anak-anak menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia setelah pneumonia (IVAC, 2014). Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa orang dewasa lebih mudah terserang diare dibandingkan dengan anak-anak. Hal tersebut terkait dengan data yang digunakan dalam penelitian ini relatif sedikit yaitu sebanyak 34 kasus, dan dalam penelitian ini tidak menggunakan seluruh rekam medis pasien diare yang ada, namun hanya rekam medis pasien diare yang menjalani rawat inap dan menerima peresepan antibiotika pada periode April 2015.
3. Status pulang pasien
tidak baik (pasien tidak sembuh dan dirujuk ke rumah sakit lain atau bahkan meninggal).
Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 28 pasien (82%) pulang dengan status membaik, 6 pasien (18%) pulang dengan status sembuh, dan tidak ada pasien yang pulang dengan status meninggal. Menurut hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa, penggunaan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015 memberikan outcome terapi yang baik. Outcome terapi yang baik tersebut dapat disebabkan karena antibiotika yang digunakan dalam penelitian ini memiliki spektrum yang luas. Mengingat bahwa antibiotika yang digunakan merupakan antibiotika empiris, karena tidak dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui bakteri penyebab diare secara pasti. Antibiotika dengan spektrum luas efektif digunakan untuk terapi empiris, karena jangkauan aktifitasnya yang luas baik untuk bakteri gram positif maupun gram negatif, sehingga dapat memberikan outcome yang optimal (Leekha, Terrell, and Edson, 2011; Tjay & Rahardja, 2007).
B. Pola Peresepan Antibiotika
dilakukan kultur bakteri sehingga tidak diketahui bakteri penyebab diare secara pasti. Tidak dilakukannya kultur bakteri dapat disebabkan karena faktor biaya yang relatif mahal, dan diperlukan waktu antara 2-3 hari untuk memperoleh hasil kultur bakteri, sedangkan kondisi pasien perlu segera diberikan terapi dengan antibiotika.
[image:62.595.101.519.219.589.2]1. Golongan dan Jenis Antibiotika
Tabel VII. Golongan dan Jenis Antibiotika yang Diresepkan pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta
Periode April 2015
No Golongan dan Jenis Antibiotika Jumlah Satuan Resep (R/)
Persentase (%)
1. Penisillin Ampisillin Koamoksiklav
5 1
9,3 1,8 2. Sefalosporin
Sefiksim Sefotaksim Seftriakson
2 7 10
3,7 13 18,5 3. Kuinolon
Siprofloksasin Levofloksasin
13 1
24,1 1,8 4. Sulfonamida
Kotrimoksazol 6 11,1
5. Makrolida
Azitromisin 1 1,8
6. Antibiotika lain
Metronidazol 8 14,8
Total 54 100
siprofloksasin dengan jumlah peresepan sebanyak 13 (24,1%), diikuti dengan seftriakson sebanyak 10 peresepan (18,5%), dan metronidazol sebanyak 8 peresepan (14,8%). Jenis antibiotika yang paling sedikit diresepkan adalah levofloksasin, azitromisin, dan koamoksiklav dengan masing-masing hanya terdapat 1 peresepan (1,8%) dari seluruh penggunaan antibiotika.
Banyaknya peresepan siprofloksasin pada penelitian ini terkait dengan distribusi pasien diare yang lebih banyak pada pasien dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Siprofloksasin tidak boleh diberikan pada anak dibawah 12 tahun karena dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan (Kemenkes, 2011). Siprofloksasin sendiri merupakan antibiotika dengan spektrum luas dan mampu melawan bakteri yang bersifat anaerob (sifat bakteri yang ada di dalam saluran cerna). Siprofloksasin dapat digunakan sebagai lini pertama diare karena beberapa bakteri, seperti Shigella dan Salmonella (Barr & Smith, 2014; Tjay & Rahardja, 2007). Kedua bakteri tersebut banyak ditemui di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia (Fletcher, McLaws, dan Ellis. 2013)
2. Rute Pemberian Antibiotika
mengalami muntah. Distribusi rute pemberian antibiotika pada pasien diare dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. di bawah ini :
Gambar 3. Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015
Alasan lain banyaknya peresepan antibiotika secara intravena yaitu pertimbangan onset yang cepat dan bioavalabilitasnya yang lebih baik dibandingkan dengan rute per oral. Onset yang cepat dan bioavailabilitas yang baik ini akan berpengaruh pada aksi dan efek terapetik obat yang akan lebih cepat tercapai. Efek terapetik yang lebih cepat tercapai ini akan lebih menguntungkan bagi pasien, karena beberapa pasien pada penelitian mengalami diare berat, yang ditandai dengan pasien mengalami BAB cair lebih dari 10 kali dalam sehari (Verma, Thakur, Deshmukh, Jha, and Verma, 2010).
3. Durasi Pemberian Antibiotika
Durasi pemberian antibiotika pada penelitian ini dihitung sesuai dengan jumlah hari pemberian antibiotika selama menjalani rawat inap dan
65% 35%
Intravena Oral
dilanjutkan dengan pengobatan rawat jalan (jika pasien diberikan obat pulang berupa antibiotika). Hasil penelitian ini menunjukkan durasi pemberian antibiotika yang diresepkan bervariasi, yaitu mulai dari 1 hari sampai dengan 9 hari.
Tabel VIII. Durasi Pemberian Antibiotika pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode April 2015
Antibiotika Durasi Pemberian (hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ampisillin - - 2 2 1 - - - -
Koamoksiklav - 1 - - - -
Sefiksim 2 - - - -
Sefotaksim - - 1 4 1 1 - - -
Seftriakson 1 1 3 3 2 - - - -
SiprofloksSasin - 2 - 1 1 2 2 2 3
Levovloksasin - - - - 1 - - - -
Kotrimoksazol - 1 - - 1 2 1 1 -
Azitromisin - - - 1 - - - - -
Metronidazol - 1 2 2 2 - 1 - -
Jumlah 3 6 8 13 9 5 4 3 3
Persentase (%) 5,6 11,1 14,8 24,1 16,7 9,3 7,4 5,6 5,6
Tabel VIII menunjukkan durasi pemberian antibiotika yang paling banyak adalah selama 4 hari (24,1%). Antibiotika yang paling banyak diresepkan selama 4 hari adalah sefotaksim yaitu sebanyak 4 peresepan. Durasi pemberian antibiotika tersingkat yaitu 1 hari (5,6%) yang terdapat pada 2 peresepan sefiksim dan 1 peresepan seftriakson. Durasi pemberian antibiotika paling lama adalah 9 hari. Antibiotika yang diberikan selama 9 hari yaitu siprofloksasin sebanyak 3 peresepan (5,6%).
mikrobiologi, dan/atau data penunjang lainnya. Tidak dilakukan kultur bakteri pada semua kasus dalam penelitian ini, sehingga evaluasi hanya dilakukan berdasarkan perkembangan kondisi klinis pasien, dan/atau data penunjang lainnya. Pasien yang dalam 2-3 hari pemberian antibiotika mengalami perbaikan kondisi klinis, maka pemberian antibiotika tersebut dapat dilanjutkan sampai pasien sembuh. Sebaliknya jika pasien dalam 2-3 hari setelah pemberian antibiotika tidak menunjukkan perbaikan kondisi klinis, maka seharusnya dilakukan penggantian terapi dengan menggunakan antibiotika yang lain (Kemenkes, 2011).
[image:66.595.101.518.265.694.2]C. Evaluasi Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens Evaluasi peresepan antibiotika dengan metode Gyssens terbagi dalam 12 kategori. Hasil evaluasi ditunjukkan pada tabel IX dibawah ini :
Tabel IX. Hasil Evaluasi Ketepatan Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul Yogyakarta Periode April 2015
No Antibiotika Kategori Gyssens Total
0 I II III IV V VI
1 Ampisillin - - - - 1 4 - 5
2 Koamoksiklav - - - - 1 - - 1
3 Sefiksim - - - - 1 1 - 2
4 Sefotaksim 1 - - - 3 3 - 7
5 Seftriakson - - - - 6 3 - 10
6 Siprofloksasin 3 - - - 4 7 - 13
7 Levofloksasin - - - - 1 - - 1
8 Kotrimoksazol - - - - 3 3 - 6
9 Azitromisin - - - - 1 - - 1
10 Metronidazol 2 - 2 - 3 1 - 8
Gambar 4. Hasil Evaluasi Ketepatan Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul
Tabel X. Hasil Evaluasi Ketepatan Peresepan Antibiotika dengan Metode Gyssens pada Pasien Diare di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakara Periode April 2015 Sesuai Nomor Rekam Medis Kasus
Kategori Gyssens Jenis Antibiotika Rekam Medis Kasus
Kategori 0 Siprofloksasin
Sefotaksim Metronidazol
3, 15, dan 22 9 27 dan 33
Kategori I - -
Kategori IIA Metronidazol 26
Kategori IIB - -
Kategori IIC Metronidazol 31
Kategori IIIA - -
Kategori IIIB - -
Kategori IVA Sefiksim
Metronidazol Seftriakson Azitromisin Kotrimoksazol Koamoksiklav Sefotaksim Ampisillin Siprofloksasin 3 3, 16, dan 16 3, 5, 12, 16, 23, dan 34
12 16, 21, dan 23
16 17, 18, dan 30
26 dan 27 30,31, dan 33
Kategori IVB Levofloksasin 9
Kategori IVC Siprofloksasin 22
Kategori IVD - -
Kategori V Siprofloksasin
Sefotaksim Sefriakson Kotrimoksazol Metronidazol Ampisillin Sefiksim
1, 2, 7, 19, 20, dan 32 4, 6 dan 28 7, 8, 14, dan 24
8, 13, dan 14 11 10, 11 dan 25
29
Kategori VI - -
Berikut ini disajikan evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien diare di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015 secara lebih terperinci :
1. Data tidak lengkap (kategori VI)
[image:69.595.98.521.177.588.2]informasi yang ada tidak lengkap. Tidak ditemukan peresepan antibiotika yang masuk dalam kategori ini, karena apabila terdapat data yang tidak lengkap akan di eksklusikan.
2. Tidak ada indikasi peresepan antibiotika (kategori V)
Antibiotika tanpa indikasi terjadi ketika antibiotika yang digunakan tidak diperlukan atau tidak sesuai dengan kondisi klinis pasien, seper