• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi herba Sonchus arvensis L.

Determinasi tumbuhan dilakukan dengan mencocokkan herbarium dari herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan buku acuan karangan van Steenis, Bloembergen, dan Eyma (1981). Determinasi dilakukan oleh Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Dosen Program Studi Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hingga tingkat spesies (lampiran 4).

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun Sonchus arvensis L. Sebelum diserbuk, terlebih dahulu dikumpulkan daun Sonchus arvensis L. yang masih berwarna hijau, terhindar dari penyakit di

daerah daunnya, serta bukan merupakan daun Sonchus arvensis L. yang telah jatuh di tanah ataupun layu. Daun Sonchus arvensis L. dipanen dari daerah Wonosari, Daerah Istimewa Jogjakarta pada bulan Januari 2015.

3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L.

Daun Sonchus arvensis L. dicuci di bawah air mengalir hingga bersih dan diangin-anginkan. Selanjutnya, pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 50°C selama 48 jam. Setelah benar-benar kering, daun kemudian diserbuk dengan alat penyerbuk dan diayak dengan ayakan mesh 40 untuk mendapatkan serbuk daun Sonchus arvensis L. yang lebih halus.

4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L.

Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. yang telah diayak melewati mesh nomor 40 ditimbang secara saksama sebanyak 5 g dalam wadah yang telah ditara kemudian dimasukkan ke dalam alat moisture balance kemudian diratakan (Depkes RI, 1995). Bobot serbuk kering daun tersebut ditimbang sebagai bobot sebelum pemanasan (bobot A), setelah itu dipanaskan pada suhu 105 °C selama 15 menit (Depkes RI, 1995). Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. yang telah dipanaskan kemudian ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan (bobot B). Kemudian dilakukan perhitungan terhadap selisih bobot A dan bobot B yang merupakan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L.

5. Pembuatan dekokta daun Sonchus arvensis L.

Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ditimbang secara saksama sebanyak 7,5 g serbuk dalam wadah. Serbuk kering tersebut kemudian dibasahi aquadest dengan 2 kali bobot serbuk, yakni 15,0 mL. Kemudian serbuk basah tersebut ditambahkan 50,0 mL pelarut aquadest, sehingga aquadest yang digunakan adalah 65,0 mL pada suhu 90 °C dan dijaga tetap dalam suhu tersebut selama 30 menit. Larutan kemudian disaring melewati kain flannel ke dalam gelas Beaker dan dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL. Bila volume yang diinginkan masih belum tercapai, maka ditambahkan 10-20 mL aquades panas ke dalam panci untuk menyari kembali serbuk hasil penyaringan dan juga yang tersisa di panci enamel. Larutan disaring kembali ke dalam gelas Beaker dan dimasukkan hingga tanda batas pada labu ukur 50 mL.

6. Penetapan dosis dekokta daun Sonchus arvensis L.

Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus, yakni 250 g dan pemberian cairan secara peroral separuhnya, yaitu 2,5 ml. Penetapan dosis tertinggi dekokta dan infusa daun Sonchus arvensisL. adalah :

( ⁄ ) ⁄

Dua dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi. Dengan demikian, dosis dekokta yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB.

7. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50% (v/v)

Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), larutan karbon tetraklorida dibuat dengan konsentrasi 50% (v/v) dengan perbandingan volume karbon tetraklorida dan pelarut, yakni 1:1. Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan melarutkan cairan karbon tetraklorida (p.a) ke dalam olive oil dengan volume yang sama.

8. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB. Volume larutan CCl4 (p.a) sebanding volume olive oil (1:1) dalam proses pembuatan larutan hepatotoksin. Pemilihan dosis hepatotoksin ini karena pada dosis tersebut, terjadi kerusakan sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang terdeteksi dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan kematian pada tikus jantan sebagai subjek penelitian tersebut(Janakat, Al-Merie, 2002).

b. Penetapan waktu pencuplikan darah

Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan cara melakukan orientasi dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam. Kemudian diukur kenaikan aktivitas ALT dan AST. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) telah menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas ALT pada tikus yang

terinduksi karbon tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1, yakni dengan dosis 2 mL/kgBB. Peningkatan aktivitas maksimal terjadi pada jam ke-18 dan jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida secara injeksi dan kemudian berangsur menurun pada jam ke-48 dan terjadi perbaikan sel hati setelah 3 hari pemberian hepatotoksin (Janakat, Al-Merie, 2002).

9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Tikus jantan galur Wistar yang diperlukan sebagai hewan uji adalah sebanyak 30 ekor yang kemudian akan dibagi kedalam 6 kelompok secara acak sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon tetraklorida dalam olive oil (1:1) dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitonial. Kelompok II (kelompok kontrol olive oil / kontrol negatif) diberi olive oil dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitonial. Kelompok III (kelompok kontrol dekokta), yakni diberi dekokta daun Sonchus arvensis L. dengan dosis 1,5 g/kgBB secara peroral. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan uji) yang diberikan dekokta daun Sonchus arvensis L. dengan dosis bertingkat, yakni 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB satu kali sehari selama 6 hari berturut-turut, selanjutnya pada hari ke-7 diinduksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB (Alkreathy, Khan, Khan, dan Sahreen, 2014). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida.

10. Pembuatan serum

Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf dan didiamkan selama 5 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3.500 rpm selama 15 menit lalu diambil supernatannya menggunakan mikro pipet dan kemudian ditampung kedalam tabung Eppendorf berbeda untuk kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya dapat dilakukan pengukuran terhadap aktivitas ALT-AST-nya.

11. Pengukuran aktivitas ALT dan AST

Tahap analisis ALT serum dilakukan dengan mencampurkan 100 μL serum dengan 1000 μL reagen I kemudian divortex selama 5 detik dan didiamkan selama 5 menit. Campuran tersebut selanjutnya dicampur dengan

250 μL reagen II dan divortex selama 5 detik. Pembacaan serapannya dilakukan setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II. Tahap analisis AST serum dilakukan dengan cara yang sama, yakni dengan mencampurkan

100 μL serum dengan 1000 μL reagen I kemudian divortex selama 5 detik dan didiamkan selama 5 menit. Campuran tersebut selanjutnya dicampur dengan

250 μL reagen II dan divortex selama 5 detik. Pembacaan serapannya dilakukan setelah 1 menit berselang dari pemberian reagen II.

Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST menggunakan Vitalab mikro (Mikrolab 200) di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Aktivitas serum yang terjadi diukur pada panjang

gelombang 340 nm pada suhu 37 °C dan hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan unit per liter (U/L).

Dokumen terkait