• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacad hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.55

Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertifikat hak atas tanah dan keputusan pemberian hak milik dalam rangka pengaturan penguasaan tanah. Pembatalan hak atas tanah juga diterbitkan karena

54A. Sutedi, op.cit., hlm.261-262

55B.Harsono, op.cit., hlm. 367

terdapat cacad hukum administratif dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri, dan menteri (menteri yang bertanggung jawab di bidang agrarian/pertanahan menurut Pasal 1 angka 18) dapat dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah (Pasal 1 angka 15) atau Pejabat yang berwenang.

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Permohonan pembatalan tersebut dapat diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.56

Cacad hukum administratif sebagaimana dimaksud adalah:

a. Kesalahan prosedur;

b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;

c. Kesalahan subjek hak;

d. Kesalahan objek hak;

e. Kesalahan jenis hak;

f. Kesalahan perhitungan luas;

g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah;

h. Data yuridis dan data fisik; atau

56B.Harsono, op.cit., hlm. 389-390

i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif;57

Tata cara proses pembatalan sertifikat hak atas tanah menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999:

1. Kantor Pertanahan

Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa:

 fotocopy surat bukti identitas dan surat bukti

kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy akta pendirian (badan hukum);

 fotocopy surat keputusan dan/atau sertifikat;

 surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan

pembatalan.

- Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:

 memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.

 mencatat dalam formulir isian.

 memberikan tanda terima berkas permohonan.

57B.Harsono, op.cit., hlm. 390

 memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi

data yuridis dan data fisik apabila masih diperlukan.

2. Kantor Wilayah

- Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.

- Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

3. Menteri

- Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan.

- Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya.58

58B.Harsono, op.cit., hlm. 391-394

BAB IV

PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN NO.

07/G/2013/PTUN-MDN

A. Sertifikat Hak Atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Tata Usaha Negara

Sertifikat hak atas tanah merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Keputusan TUN) jika memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 9-nya (Pasal 1 angka 3 menjadi Pasal 1 angka 9 pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) ditegaskan:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Oleh karena sertifikat tanah adalah penetapan tertulis, maka terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh

badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktiannya.

Dengan demikian sertifikat hak atas tanah merupakan:

1) Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yakni Keputusan Kepada Kantor Pertanahan,

2) Maksud isi tulisan sertifikat intinya berisi jenis hak (missal hak milik atau hak guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertifikat, surat ukur, dan nomor surat ukur dan sebagainya,

3) Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah.

Dalam hubungannya dengan sertifikat hak atas tanah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, maka bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau ditentukan (dalam hal ini tidak luas, letak, dan batas tanah). Kemudian, kepada siapa Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan (nama pemegang hak atas tanah), harus secara jelas disebutkan dalam sertifikat hak atas tanah, artinya objek dan subjeknya harus disebutkan secara tegas dan jelas dalam sertifikat hak atas tanah.

Bersifat individual, artinya sertifikat itu yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik objek maupun subjeknya. Objeknya adalah tanah, sedangkan subjeknya adalah orang atau

sekumpulan orang atau badan hukum. Jika yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap orang yang terkena keputusan harus disebutkan namanya satu per satu. Adapun final, artinya keputusan tersebut telah bersifat definitive, sehingga karenanya keputusan penerbitan sertifikat mempunyai akibat hukum tertentu yang ditimbulkan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan secara final.

Menimbulkan akibat hukum, berarti menimbulkan perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada. Karena penetapan tertulis itu merupakan tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Sebagai suatu tindakan hukum, penetapan tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, misalnya melahirkan hubungan hukum yang baru dan menghapus hubungan hukum yang telah ada, menetapkan status dan sebagainya.

Sertifikat hak atas tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstitutif, yang merupakan alat bukti mutlak lahirnya hubungan hukum.

Oleh karena itu, dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstitutif ini akan menciptakan hubungan hukum. Dalam kaitanya dengan ini, sertifikat hak atas tanah memberikan hubungan hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah untuk berbagai kepentingan termasuk kepentingan dengan pihak lain.

Penegasan sertifikat tanah sebagai Keputusan TUN telah mendapat tempat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dalaam Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 K/TUN/2000 tanggal 11 Februari 2002, menyatakan: Sertifikat tanah termasuk

Keputusan Tata Usaha Negara deklarator, artinya dibalik keputusan tersebut terdapat pemegang hak yang sebenarnya (de ware rechtstitel).

Sertifikat hak atas tanah merupakan perbuatan pemerintah bersegi satu, yang lahir karena hukum dan bersifat konkret karena ditujukan bagi mereka yang tercantum dalam sertifikat tersebut serta tidak memerlukan persetujuan instansi lain.

Apabila dilihat dari akibat yang ditimbulkan, maka tindakan pemerintah dalam kegiatan pemberian sertifikat hak atas tanah adalah bertujuan untuk menimbulkan keadaan hukum baru (rechtscheppend) dan juga merupakan keputusan yang bersifat konstitutif (constitutieve beschikking), sehingga lahir pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum baru terhadap orang/badan hukum tertentu.

Jelaslah bahwa perbuatan hukum pemerintah adalah perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ pemerintah atau administrasi negara yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintahan atau administrasu negara.59

Dalam hal objek sengketa atau gugatan, antara Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) Aministrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 terdapat perbedaan.

Ditinjau dari segi dapat atau tidaknya diajukan gugatan ke pengadilan, maka menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang dapat diajukan ke Pengadilan TUN adalah yang termasuk ke dalam Pengertian Keputusan TUN.

Adapun yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan TUN sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, adalah:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.60

Di dalam pengujian kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah oleh Pengadilan TUN, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah:

1) Apakah sertifikat itu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

2) Apakah sertifikat yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3) Apakah sertifikat yang dikeluarkan merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang;

4) Apakah sertifikat yang dikeluarkan merupakan perbuatan sewenang-wenang atau menyimpang dari nalar yang sehat;

5) Apakah sertifikat yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang pada waktu mempersiapkan, memutuskan, dan melaksanakan telah memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selain itu, pengujian kekuatan hukum sertifikat juga meliputi formil/prosedural terhadap sertifikat, artinya apakah sertifikat yang dikeluarkan telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Adapun pengujian materiil (berkaitan dengan isi atau apa yang tercantum dalam sertifikat), pengadilan akan menguji apakah sertifikat yang dikeluarkan atas nama orang yang berhak sebagaimana tercantum dalam sertifikat.

Di dalam daya pembuktian terdapat daya pembuktian materil dan daya pembuktian formil. Daya pembuktian materil, isi keterangan berlaku sebagai kebenaran terhadap siapa pun dan orang yang namanya tercantum dalam sertifikat serta untuk kemanfaatannya, untuk keperluan siapa keterangan itu diberikan. Adapun daya pembuktian formil, Kepala Kantor Pertanahan (yang telah menempatkan tanda tangannya pada sertifikat) menerangkan apa yang berada di atas tanda tangannya dan orang yang tercantum dalam sertifikat benar-benar pemiliknya.61

Banyaknya pembatalan sertifikat oleh putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap memperlihatkan masih dijumpai kecerobohan atau pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan.62

Sertifikat sebagai bentuk keputusan Tata Usaha Negara akan mempunyai keputusan Tata Usaha Negara akan mempunyai kekuatan hukum dengan tidak mengandung kekurangan-kekurangan/cacat-cacat, baik secara formil maupun secara materiil. Pembuatan sertifikat hak atas tanah sebagai bentuk Keputusan Tata Usaha Negara harus memperhatikan persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechstgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht). Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan ini mencakup Syarat-syarat materiil dan syarat formil. Pengertian kekuatan hukum (rechtskracht) dalam hukum administrasi negara terutama dihubungkan dengan penetapan yang sah (rechtsgeldig).

61A. Sutedi, op.cit., hlm.40-41

62A. Sutedi, op.cit., hlm.45

Suatu penetapan adalah sah apabila penetapan tersebut telah memenuhi syarat-syarat formil dan materiil.63

Dalam hubungannya dengan kekuatan hukum sertifikat yang diterbitkan, maka apabila syarat materiil dan formil ini telah terpenuhi, keputusan itu sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan hukum, artinya dapat diterima sebagai bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formil maupun materiil.

Keputusan yang sah dan sudah dinyatakan berlaku disamping mempunyai kekuatan hukum formil dan materiil, juga akan melahirkan asas praduga recmatig (atau asas het vermoedon van rechtmatigheid). Asas ini mengandung arti bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau administrasi negara itu dianggap sah menurut hukum. Asas praduga rechtmatig ini membawa konsekuensi bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, kecuali setelah ada pembatalan (vernietigging) dari pengadilan. Lebih lanjut konsekuensi Asas Praduga Rechmatig ini adalah bahwa pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah itu tidak dapat ditunda pelaksanaanya, meskipun terdapat keberatan, banding perlawanan atau gugatan terhadap suatu keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan itu.64

Jika pejabat administrasi dapat sewaktu-waktu mencabut atau membatalkan surat keputusan yang telah dikeluarkan, tindakan demikian selain dapat merugikan

63A. Sutedi, op.cit., hlm.48

penerima surat keputusan, juga dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap tindakan yang dilakukan oleh badan/pejabat administrasi negara. Karena ketiadaan kepastian hukum, masyarakat akan selalu dibayangi keraguan terhadap hak yang telah diperolehnya karena hak tersbut sewaktu-waktu dapat saja dicabut atau dibatalkan kembali oleh badan/pejabat administrasi negara yang mengeluarkannya maupun oleh atasannya.

Penggunaan istillah “kekuatan hukum” pun terdapat dalam Pasal 116 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang intinya menegaskan dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap, pejabat atau badan tata usaha negara tidak melaksanakan kewajiban, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.65

Bertolak dari pemikiran diatas, tampak bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam aturan hukum merupakan hal yang esensial agar dapat menjamin kepastian hukum. Tanpa ada aturan hukum yang jelas dan konsisten, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja, aturan hukum itu sendiri akan menimbulkan problema di dalam implementasinya.66

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas, yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat sebagai keputusannya harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Peraturan

65A. Sutedi, op.cit., hlm.51

66M.Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.10

perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului daripada tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.67

B. Identifikasi Dan Analisa Kasus

Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada tingkat pertama, dengan Acara Biasa telah mejatukan putusan (Nomor: 07/G/2013/PTUN-MDN) sebagai berikut dibawah ini dalam perkara antara:

1. ARHAN HALIM 2. HUSIN HALIM 3. KASIM HALIM 4. CHRISTINA HALIM

Dalam hal ini memberi kuasa kepada:

1. JUN CAI, SH, M.Hum 2. EVAN S. SURBAKTI, SH 3. DALDIRI, SH, MH

Selanjutnya disebut sebagai PARA PENGGUGAT;

======================LAWAN=======================

1. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN Dalam hal ini memberi kuasa kepada:

67A. Sutedi, op.cit., hlm.51

1. DRS. HISKA SIMARMATA 2. ROTUA NOVIYANTI, SH

3. HARIS SYAHBANA PASARIBU, SH 4.SYAFRIDA AYULITA SIREGAR, SH 5.ROBERT SILALAHI

Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT;

2. ARSYAD LIS

Dalam hal ini memberi kuasa kepada:

1. H. REFMAN BASRI, SH, MBA

2. MUHAMMAD FAISAL RAMBEY, SH 3. ZULCHAIRI, SH

4. ELIDAWATI HARAHAP, SH

Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT II INTERVENSI;

Tentang Duduk pekara bahwa Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Tergugat dengan surat gugatannya tertanggal 23 Januari 2013 dengan Register Perkara No. 07/G/2013/PTUN-MDN.

Sedangkan Objek Sengketa dalam perkara Aquo adalah Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No.

01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan

Bahwasannya para Penggugat baru mengetahui adanya sertifikat lain yang terbit diatas sebahagian tanah sampai saat ini secara sah tercatat nama para Penggugat sebagaimana Sertifikat Hak Milik No.1725/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 17 Maret 2003, surat ukur No. 24/Dwikora/2002 tanggal 02 September 2002 seluas + 6.220 M2, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan (selanjutnya disebut SHM No. 1725) pada tanggal 04 Desember 2012. Dan diketahui adanya sertifikat ganda pada tanggal tangggal 06 Desember 2012, para pihak Penggugat melakukan pencatatan blokir atas objek sengketa. Dan Bahwa setelah diketahui adanya sertifikat ganda maka pada tanggal 06 Desember 2012, para Penggugat melakukan pencatatan blokir atas Objek sengketa tersebut.

Bahwa adapun alasan Para Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat dalam perkara aquo adalah sebagai berikut:

1. Bahwa SHM No. 1725 merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat bagi pihak yang tercantum dalam sertifikat (para Penggugat), sehingga dengan adanya Sertifikat tersebut maka Para Penggugat diberikan kewenangan untuk menggunakannya untuk segala macam keperluan dengan jangka waktu tertentu, sepanjang tidak ada larangan khusus.

2. Bahwa adapun batas-batas tanah sebagaimana SHM No. 1725 seluas + 6.220 M2 tersebut, adalah sebagai berikut:

- Sebelah timur berbatas dengan tanah milik PT. Nurcahaya

- Sebelah barat berbatas dengan tanah dan bangunan No. 119 milik Bina

- Sebelah utara berbatas dengan Jalan Amal Luhur Medan - Sebelah selatan berbatas dengan rumah warga

3. Bahwa penerbitan SHM No. 1725, telah sesuai dengan fakta hukum (rechtsfeiten) yang sebenarnya dimana hal ini dapat dilihat dari historical hak atas tanah yang dimaskud sebagai berikut:

a. Bahwa tanah SHM No. 1725 awalnya haknya dipegang oleh Juli Untung yang kemudian berdasarkan Akte Ganti Rugi No. 25/SK/Dwk/72 tanggal 03 Mei 1972, yang dibuat dihadapan Mohamad Siman (kepala kampong dwikora ketjamatan sunggal), hak atas tanah tersebut berpindah kepada pihak yang yang memberi ganti rugi yaitu tanusili;

b. Bahwa kemudian hak atas tanah telah pula berpindah kepada ROSWITA KOSIM (Istri/Para Penggugat) berdasarkan perjanjian Perlepasan Hak No.

36 tanggal 12 Maret 1979, yang dibuat oleh kusumulyanto Ongko notaris medan;

c. Bahwa atas perolehan tanah tersebut, maka dengan demikian tanah tersebut dikuasai dan secara factual telah pula dipagari dengan tembok-tembok permanen pada tahun 1995, sebagai penanda batas hak atas tanah dimaksud dengan hak atas tanah orang lain;

d. Bahwa kemudian pada tahun 2001 Roswita Kosim meninggal dunia, sehingga Para Penggugat selaku ahli waris memohon pergantian nama ke atas nama ahli waris serta sekaligus meningkatkan status hak atas tanahnya menjadi SHM No, 1725 yang diterbitkan pada tanggal 17 Maret 2003 oleh Tergugat;

e. Bahwa Para Penggugat yang notabene selaku pihak yang berhak atas tanah baik secara de jure maupun de facto, terkejut karena diatas sebahagian tanah SHM No. 1725 terbit Keputusan Tergugat yaitu berupa objek perkara;

f. Bahwa terhadap hal demikian, para penggugat sangat dirugikan atas terbitnya objek sengketa, karena apabila Tergugat memperhitungkan fakta hukum (rechtsfeiten) yang ada, seharusnya Tergugat tidak sampai pada Keputusan menerbitkan objek sengketa dimaksud. Adapun fakta hukum tersebut antara lain:

a.Bahwa tergugat menerbitkan objek sengketa tepat berada di atas sebahagian SHM No.1725

b.Bahwa SHM No. 1725 atas nama Penggugat diterbitkan oleh tergugat pada tanggal 17 Maret 2003, sedangkan objek sengketa diterbitkan oleh Tergugat pada tanggal 03 September 2012 terdapat tenggang waktu yang cukup lama yaitu + 9 tahun

c. Bahwa sebelum tergugat menerbitkan objek sengketa, tergugat tidak pernah membatalkan sertifikat hak milik No. 1725 atas nama Para Penggugat tersebut;

Bahwa Tergugat menolak secara tegas seluruh dalil-dalil Pengugat, kecuali hal-hal yang diakui secara tegas dalam hal ini:

1. Bahwa benar Tergugat menerbitkan Sertifikat Hak Milik No.

1725/Dwikora terdaftar atas nama para penggugat, terbit tanggal 13 Maret 2013;

2. Bahwa benar Tergugat menerbitkan SHM No. 3202/Dwikora terdaftar atas nama ARSYAS LIS, terbit tanggal 03 September 2012, berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan No. 2395/2012 tanggal 07 Juni 2012, yang terletak di Jalan Komplek, kelurahan Dwikora, sesuai dengan Surat Ukur No. 01030/DWIKORA/2012 tanggal 15 Agusutus 2012 seluas 1.762 M2;

3. Bahwa SHM No. 1725/dwikora Tahun 2003 atas nama para Penggugat tumpang tindih dengan SHM No. 3202/DWIKORA Tahun 2012 atas nama ARSYAD LIS, yang berarti SHM No. 3202/ Dwikora berada diatas sebahagian SHM NO. 1725/Dwikora;

Berdasarkan hal tersebut perkara 07/G/2013/PTUN-MDN, bahwa SHM milik penggugat maupun pihak tergugat merupakan sertifikat hak milik. Hak Milik adalah hak yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun temurun artinya bahwa hak milik ini dapat diturunkan/dialihkan kepada ahli warisnya jika si pemegang Hak Milik meninggal dunia, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, jika sesorang meninggal dunia wajib untuk mengalihkan bidang tanah yang dimilikinya kepada ahli warus dalam jangka waktu 6 bulan sejak meninggalnya orang yang bersangkutan ke atas nama ahli warisnya, namun demikian jangka waktu 6 bulan tesebut dapat diperpanjang seperti yang dijelaskan

didalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 kemungkinan hukum adat atau agama tertentu belum membenarkan adanya pewarisan tersebut.

Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan: pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terhadap tanah yang sudah terdaftar dan hak milik

Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan: pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terhadap tanah yang sudah terdaftar dan hak milik

Dokumen terkait