• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PERKARA PENGADILAN

TATA USAHA NEGARA MEDAN NO. 07/G/2013/PTUN-MDN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Alexander Leomandra

NIM : 130200373

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PERKARA PENGADILAN

TATA USAHA NEGARA MEDAN NO. 07/G/2013/PTUN-MDN SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Alexander Leomandra NIM : 130200373

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM AGRARIA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen HAN Ketua PK Hukum Agraria

Suria Ningsih, S.H., M.Hum. Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN (NIP. 1960021487032002) (NIP. 196112311987031023)

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S. ,CN Affan Mukti, S.H, M.Hum.

(NIP. 196112311987031023) (NIP. 195711201980011002)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PERKARA PENGADILAN TATA

USAHA NEGARA MEDAN NO. 07/G/2013/PTUN-MDN ABSTRAK

Prof.Dr.Muhammad Yamin,S.H.,M.S.,C.N.**

Affan Mukti,S.H.,M.Hum.***

Judul yang dibuat oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis Tentang Proses Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/PTUN-MDN. Penulis memilih judul ini dikarenakan banyaknya sertifikat tanah diterbitkan penjabat berwenang mengandung cacat administrasi yang menyebabkan pembatalan sertifikat tanah padahal sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti hak yang sangat penting dalam pembuktian hak miliknya. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang proses penebitan sertifikat sampai ke terjadinya pembatalan sertifikat dan dilihat dari putusan perkara pengadilan.

Mengingat, sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.

Yang dengan seiring berjalan waktu penerbitan sertifikat tanah masih banyak cacat administrasi dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam penerbitan sertfikat tersebut tentang proses penerbitan sertifikat dalam memperoleh sertifikat hak atas tanah, serta proses terjadinya pembatalan sertifikat hak atas tanah berserta penyebab terjadinya pembatalan sertifikat yang telah diterbitkan dan dilihat dari sudut pandang kasus pembatalan sertifikat menurut putusan perkara pengadilan tata usaha negara medan No. 07/G/2013/PTUN-MDN.

Dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan metode yuridis normatif dengan melakukan penelitian tentang proses pembatalan sertifikat hak atas tanah berdasarkan putusan perkara pengadilan tata usaha negara medan No.

07/G/2013/PTUN-MDN.

Pembatalan sertifikat hak atas tanah merupakan pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Bahwa penyebab terjadinya pembatalan sertifikat berdasarkan putusan pengadilan karena adanya cacat hukum administratif dalam penerbitannya sertifikat tersebut.

Tujuan dilakukannya serangkaian kegiatan pembatalan sertifikat hak atas tanah tersebut adalah untuk memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum dan tertib dalam administrasi pertanahan.

Kata Kunci : Sertifikat, Penerbitan Sertifikat, Putusan Perkara Pengadilan No.07/G//2013/PTUN-MDN, Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar di Fakultas Hukum USU

***Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar di Fakultas Hukum USU

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya dan telag memberikan penulis kekuatan serta kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PERKARA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN NO. 07/G/2013/PTUN-MDN.”

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penasehat Akademik penulis dari awal semester hingga akhir semester;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

(5)

7. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S, C.N., selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Agraria dan merangkap sebagai Dosen Pembimbing I.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak yang sudah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini serta waktu bimbingan yang diberikan agar skripsi ini diselesaikan dengan baik;

8. Bapak Affan Mukti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak atas segala bantuan, kritikan, waktu bimbingan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;

9. Ibu Zaidar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Dalam Program Kekhususan Hukum Agraria yang telah memberikan segala bantuan, kritikan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;

10. Ibu Mariati Zendrato, S.H., M.Hum., selaku Dosen Dalam Program Kekhususan Hukum Agraria yang telah memberikan segala bantuan, kritikan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Teristimewa untuk keluarga yaitu orangtua/wali yang sangat penulis sayangi, serta keluarga besar penulis, terima kasih atas kasih sayang, motivasi,

(6)

kesabaran, pengorbanan, bantuan dan terutama doa kalian semua yang sangat berarti bagi penulis, khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;

13. Teman-teman stambuk 2013 lainnya. Terimakasih atas waktu dan bantuannya kepada Penulis selama ini;

14. Teman-teman diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 20 Oktober 2016

ALEXANDER LEOMANDRA 130200373

(7)

Daftar isi

Abstrak I

Kata Pengantar II

Daftar Isi V

Bab 1 : Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penulisan 9

D. Manfaat Penulisan 10

E. Metode Penelitian 10

F. Keaslian Penulisan 13

G. Tinjauan Pustaka 14

H. Sistematika Penulisan 26

BAB 2 : Proses Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah 28 A. Dasar Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah 28 B. Proses Penerbitan Sertifikat Terhadap Permohonan Hak, 37

Pengukuran dan Pendaftaran Hak serta Penerbitan Sertifikat

C. Hambatan-Hambatan Administratif Dalam Penerbitan Sertifikat 45 Hak Atas Tanah

(8)

BAB 3 : Proses Pembatalan dan Penyebab Terjadinya

Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah 55

A. Pengertian Pembatalan Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang 55

B. Penyebab Terjadinya Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah karena Putusan Pengadilan 60

C. Tata Cara Proses Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah 74

Bab 4 : Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/PTUN-MDN 79

A. Sertifikat Hak Atas Tanah Dalam Persepektif Hukum Tata Usaha Negara 79

B. Identifikasi dan Analisa Kasus 88

C. Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/PTUN-MDN 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 112

A. Kesimpulan 112

B. Saran 114

DAFTAR PUSTAKA 116

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan kurnia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak menguasai dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang-undang Pokok Agraria yang individualistic komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum ha katas tanah melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.1

Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria Juncto Pasal 1 Angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 secara eksplisit menyatakan sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah. Namun dalam perkembangnya, eksistensi sertifikat hak atas tanah tidak hanya dipandang dari segi hukum semata, juga segi sosial, ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan, bahkan di era globalisasi saat ini lalu-lintas transaksi bidang pertahanan menjadi semakin ramai hingga bermuara kepada upaya efektivitas, efisiensi, dan transparansi penegakan hukum (law enforcement) bidang pendaftaran tanah, antara lain melalui upaya penyatuan presepsi peraturan perundang-

1S.Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor Pertanahan, Grasindo, Jakarta, 2005, hlm.3

(10)

undangan terkait dengan persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah di kantor pertanahan.2

Persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah di kantor pertanahan dimaksud, berkaitan dengan sekumpulan peraturan perundang-undangan yang tertulis atau tidak tertulis sepanjang mengenai persyaratan data fisik dan data yuridis yang seharusnya dilaksanakan untuk menerbitkan sertifikat kepemilikan hak atas tanah di kantor pertanahan di Indonesia.

Persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah yang ditentukan di dalam Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional telah dibuat sesuai konstelasi hukum positif, terutama Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Permerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang peraturan pelaksananya, baik diproses secara sistematik melalui panitia ajudikasi ataupun sporadic melalui inisiatif pemilik tanah sendiri di kantor pertanahan.

Dalam UUPA tidak pernah disebutkan sertifikat tanah, namun seperti yang dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai

2ibid, hlm.4

(11)

sertifikat tanah. Dan penulis pun disini membuat pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertifikat.3

Secara etimologi sertifikat berasal dari bahasa Belanda “Certificat” yang artinya surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang sesuatu. Jadi kalau dikatakan Sertifikat tanah adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

Inilah yang disebut sertifikat tanah tadi.4

Diatas sudah disebut sertifikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertifikat itu berguna sebagai “alat bukti”. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh Negara. Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasi tersebut. Bukti atau sertifikat adalah milik seseorang sesuai dengan yang tertera dalam tulisan di dalam sertifikat tadi. Jadi bagi si pemilik tanah , sertifikat tadi adalah merupakan pegangan kuat dalam hal pembuktian hak miliknya, sebab dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang secara hukum. Hukum melindungi pemegang sertifikat tersebut dan lebih kokoh bila pemegang itu adalah namanya yang tersebut dalam sertifikat. Sehingga bila yang memegang sertifikat itu belum namanya maka

3M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung,2008, hlm.203

4ibid, hlm. 204

(12)

perlu dilakukan balik namanya kepada yang memegangnya sehingga terhindar lagi dari gangguan pihak lain.

Bila terjadi misalnya sengketa terhadap bidang tanah itu, maka oleh yang memiliki tanah, sertifikat yang di tangannyalah yang digunakan untuk membuktikan bahwa tanah itu miliknya.5

Jadi, penerbitan sertifikat tersebut menurut peraturan pemerintah no 10 tahun 1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi salah satu dokumen (pasal 13) dan menurut peraturan pemerintah no 24 tahun 1997 ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

5ibid, hlm.204

6B.Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya) Jilid I, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm.501

(13)

Terhadap hapusnya hak atas tanah tersebut karena disebabkan pembatalan hak, maka pendaftaranya hapusnya hak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 131 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997, dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas Permohonan yang berkepentingan dengan melampirkan:

a. Surat keputusan pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah batal atau dibatalkan.

b. Sertifikat hak atas apabila sertifikat tersebut tidak ada pada pemohon, keterangan mengenai keberadaan sertifikat tersebut.

Sertifikat hak atas tanah merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara jika memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 9-nya (Pasal 1 angka 3 menjadi Pasal 1 angka 9 pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) ditegaskan :

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat huku bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dengan demikian sertifikat hak atas tanah merupakan

(14)

1) Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

2) Maksud isi tulisan sertifikat intinya berisi jenis hak (missal hak milik dan hak guna bangunan), lokasi/alamat tanah, luas tanah, batas tanah, nomor sertifikart, surat ukur, dan nomor surat ukur dan sebagainya

Tulisan itu ditujukan kepada orang, sekumpulan orang atau badan hukum sebagai pemegang hak atas tanah.7

Dalam hubungannya dengan sertifikat hak atas tanah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, maka bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau ditentukan (dalam hal ini luas, letak, dan batas tanah). Kemudian, kepada siapa Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan (nama pemegang hak atas tanah), harus secara jelas disebutkan dalam sertifikat hak atas tanah, artinya objek dan subjeknya harus disebutkan secara tegas dan jelas dalam sertifikat hak atas tanah.8

Didalam Hukum Tata Usaha Negara, sertifikat hak atas tanah juga merupakan objek dari sengketa tata usaha negara, yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 10-nya

7A.Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.34

8ibid, hlm.35

(15)

(Pasal 1 angka 4 menjadi Pasal 1 angka 10 pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) Menegaskan:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Banyaknya pembatalan sertifikat hak atas tanah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memperlihatkan masih dijumpai kecerobohan atau pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tersebut.9 Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No.

07/G/2013/PTUN-MDN tanggal 25 Juli 2013 membatalkan Keputusan yang dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat Hak atas tanah oleh Badan Pertahanan Nasional, yang amarnya menyatakan sebagai berikut:

1. Mengabulkan Gugatan Para Pengugat seluruhnya.

2. Menyatakan Batal Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No. 01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.

3. Mewajibkan Kepada Tergugat untuk mencabut Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No.

9ibid, hlm.45

(16)

01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.

4. Membebankan Tergugat dan Tergugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 654.000,- (Enam Ratus Lima Puluh Empat Ribu Rupiah).

Dalam Pertimbangnnya bahwasannya, Pengadilan Tata Usaha Negara mengemukakan bahwa tergugat mengajukan bukti-bukti surat tidak relevan dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah bahwa “Semua surat keputusan, akta, kutipan autentik berita acara lelang, surat wasiat dan surat-surat pemberitahuan dari Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 dan semua warkah lain yang perlu untuk pendaftaran, setelah dibubuhi tanda-tanda pendaftaran diberi nomor surat dan ditahan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk disimpan dan kemudian dijilid menjadi buku”. Dan Tindakan Tergugat Menerbitkan Sertifikat Hak Milik Objek sengketa adalah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Sebagaiman dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(17)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Proses Penerbitan sertifikat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997?

2. Bagaimana proses terjadinya Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan penyebab terjadinya pembatalan sertfikat yang Telah diterbitkan?

3. Bagaimana terjadinya Pembatalan Sertifikat Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/Ptun-Mdn?

C. Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan agar dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi orang yang akan atau ingin mengetahui tentang proses pembatalan sertifikat hak atas tanah beserta ditinjau dari putusan pengadilan dan tentang penerbitan sertifikat tanah sebagai alat bukti.

Secara terperinci tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk Megetahui Proses Penerbitan dalam sertifikat hak atas tanah menurut Hukum Agraria Di Indonesia

2. Untuk Mengetahui proses terjadinya Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan penyebab terjadinya pembatalan sertfikat yang Telah diterbitkan tersebut 3. Untuk Mengetahui terjadinya Pembatalan Sertifikat Berdasarkan Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/Ptun-Mdn

(18)

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dan dapat dijadikan informasi dalam mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh selama perkuliahan

2. Secara Praktis

Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan mengenai Proses Penerbitan dalam sertifikat hak atas tanah, proses terjadinya Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan penyebab terjadinya pembatalan sertfikat yang Telah diterbitkan serta terjadinya Pembatalan Sertifikat Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/Ptun-Mdn. Dan bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi ilmu pengetahuan.

E. Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat dekriptif analisis yang mengarah pada penelitian yuridis normative, dimana penelitian

(19)

yang dilakukan hanya ditujukan pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.

2. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, sumber data penelitian diambil berdasarkan data primer dan sekunder :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

- Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria

- Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah - Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah - Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara

- Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelohan

- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya. Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para ahli yang

(20)

mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder oleh penulis disini adalah doktrin-doktrin yang ada di dalam jurnal hukum, buku dan internet.

Baik bahan hukum primer maupun sekunder dikumpulkan berdasarkan topic permasalahan yang telah dirumuskan melalui studi kepustakaan, baik studi literatur maupun aturan perundang-undangan. Bahan hukum primer dan sekunder juga dikumpulkan dengan cara menelusuri pustaka dan peraturan perundang-undangan melalalui media internet kemudian dihubungkan, dikomprasikan secara hirarki sesuai hirarki peraturan perundang-undagan dan disimpulkan sehingga penulis dapat menyajikan dalam bentuk penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sesuai dengan tujuan dari penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan – bahan yang berkaitan dengan proses pembatalan sertifikat hak atas tanah berserta putusan pengadilannya menurut Hukum Agraria, baik literature yang diperoleh dari pemikiran para praktisi atau ahli, referensi buku – buku, makalah, hasil seminar, media cetak, media elektronik seperti internett serta bantuan dari berbagai pihak yang berdasarkan pada asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Jika dikemudian hari apabila terdapat judul yang sama

(21)

atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta pertanggungjawabannya.

F. Keaslian Penulisan

Dalam hal untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama perkuliahan, maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/Ptun- Mdn”. Penulis berdasarkan karena pertimbangan sendiri melihat bahwa pentingnya untuk mengetahui proses pembatalan sertifikat hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan tata usaha negara medan No. 07/G/2013/Ptun-Mdn, sehingga melalui penulisan skripsi ini penulis berharap dapat menambah wawasan serta pengetahuan dalam hal proses pembatalan sertifikat berdasarkan putusan pengadilan. Untuk memastikan keaslian penulisan, penulis telah melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi departemen Hukum Agraria Fakultas Hukum USU dan tidak menemukan judul yang sama. Dengan berdasarkan surat tertanggal 27 Mei 2016 yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara / Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila dikemudian hari terdapat kesamaan dengan penulisan skripsi sebelum skripsi ini dibuat, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja. Penulisan skripsi ini juga dilengkapi dengan kutipan-kutipan dari berbagai

(22)

para ahli dengan tidak bermaksud untuk mengurangi manfaat, tujuan dan keaskian dari penulisan ini.

G. Tinjauan Pustaka

1. Gambaran Umum Hak Atas Tanah

Mengenai Hak Atas Tanah terdapat pada pasal-pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak-hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, Pasal 16 ayat 1 dan Pasal 53.

- Pasal 4 ayat 1 bunyinya sebagai berikut :

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

- Pasal 4 ayat 2 bunyinya sebagai berikut :

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum yang lebih tinggi.

- Pasal 16 ayat 1 bunyinya sebagai berikut :

Hak-hak atas tanah sebagai berikut yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah:

a. hak milik,

(23)

b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil-tanah,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifanya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

- Pasal 53 ayat 1 dan 2 bunyinya sebagai berikut :

(1)Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

(2)Ketentuan dalam pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan- peraturan yang dimaksud dalam pasal ini

2. Proses Penerbitan dalam sertifikat hak atas tanah

Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur

(24)

dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.10

Jadi, penerbitan sertifikat tersebut menurut peraturan pemerintah no 10 tahun 1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi salah satu dokumen (pasal 13) dan menurut peraturan pemerintah no 24 tahun 1997 ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan. Dalam pendaftaran secara sistematik terdapat ketentuan mengenai sertifikat dalam pasal 69 s/d 71 peraturan menteri 3/1997, sedang dalam pendaftaran secara sporadik dalam pasal 91 s/d 93.11

Prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat yang di laksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) merunut pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mana dalam mengurus sertifikat harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :

1. Permohonan Hak

2. Pengukuran dan Pendaftaran Hak

10B.Harsono I, op.cit., hlm.500

11B.Harsono I, op.cit., hlm.501

(25)

3. Penerbitan Sertifikat12

Hambatan-Hambatan adminitratif yang menjadi penerbitan sertifikat hak atas tanah, yang sepenuhnya belum dapat diatasi, antara lain sebagai berikut :

1. Terbatasnya tenaga berkeahlian pengukuran dan pemetaan pada lingkungan pegawai negeri dalam lembaga BPN.

2. Terbatasnya daya beli pemerintah, dalam hal ini BPN terhadap peralatan pengukuran yang berteknologi mutakhir, yang tentunya berkemampuan dab berkecepatan lebih tinggi.

3. Tuntutan ketelitian teknis proses pengadaan data fisik bidang tanah dan pemeriksaan data yuridis dokumen yang menjadi dasar ha katas tanah.

4. Rendahnya rasio jumlah tenaga teknis kegeodesian dan hukum terhadap volume pekerjaan pendaftaran tanah yang belum bisa dipecahkan dengan kemampuan rekrutmen pegawai dalam manajemen kepagawaiaan BPN.

5. Meningkatnya ketergantungan pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik dan pendaftaran sporadik massal kepada system proyek administrasi pertanahan.

6. Meningkatnya frekuensi dan pelaksanaan program redistribusi tanah pertanian objek landreform.

7. Meningkatnya kewenangan Kepala Kantor Pertanahan dalam hal pemberian dan pembatalan sertifikat asal tanah negara diperkirakan besar pengaruhnya terhadap meningkatntya beban kerja kantor – kantor pertanahan.

12“Prosedur Penerbitan Sertifkat Tanah”, Wordpress, diakses dari

https://materihukum.wordpress.com/2013/10/28/prosedur-penerbitan-sertifikat-tanah/, pada tanggal 1 juni 2016, pukul 13.00

(26)

8. Meningkatnya volume pekerjaan dan tuntutan kecepatan pelayanan terhadap permohonan perubahan status tanah rumah tinggal.

9. Kurang lengkapnya Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Produk (SP).

10. Sering munculnya berbagai kasus sertifikat ganda yang diakibatkan oleh belum dipetakannya bidang – bidang tanah terdaftar dalam peta pendaftaran.

11. Kurang tersedianya peta skala besar yang merupakan salah sarana penting dalam melaksanakan pendaftaran tanah yang menyebabkan bidang – bidang tanah terdaftar tidak bisa dipetakan.

12. Kecilnya jumlah bidang tanah yang terdaftar.

13. Banyaknya peraturan pertanahan lain yang bersifat komponen yang kemudian menimbulkan pelaksanaan pendaftaran yang rumit.

14. Hingga saat ini belum ada kesatuan penafsiran mengenai definisi tanah adat dan tanah negara.13

3. Proses Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Dan Penyebab Terjadinya Pembatalan Sertfikat

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan mengandung cacat hukum

(27)

administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seseorang atau beberapa orang dapat menempuh upaya pembatalan hak atas tanah (sebelum masuk ke pengadilan), jika orang tersebut merasa dalam penerbitnnya ada cacat hukum administratif.14 Sebagaimana disebutkan dalam pasal 106 ayat (1) Peraturan Menteri Agrari/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, dikatakan bahwa:

Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat administratif dalan penerbitannya, dapat dimohonkan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan (Pasal 119). Jadi siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dia menggap penerbitan tersebut cacat hukum administratif, dapat menempuh upaya pembatalan hak atas tanah.15

Dalam Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, disebutkan bahwa:

14Adrian Sutedi, op.cit., hlm.252

15Adrian Sutedi, op.cit., hlm.253

(28)

Cacat hukum Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) adalah: a) kesalahan prosedur; b) kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan; c) kesalahan subjek hak; d) kesalahan objek hak; e) kesalahan jenis hak; f) kesalahan perhitungan luas; g) terdapat tumpang-tindih hak atas tanah; h) data yuridis atau data fisik tidak benar; atau i) kesalahan lainnya yang bersifat administratif.

Dalam hubungan dengan putusan pengadilan ini hendaknya diperhatikan hal – hal sebagai berikut:

1. Putusan pengadilan tersebut secara tegas harus memerintahkan pembatalan keputusan pemberian hak yang bersangkutan.

2. Apabila terdapat keragu-raguan atau diperlukan penafsiran mengenai maksud putusan Pengadilan hendaknya hal tersebut dikonsultasikan dengan kepala BPN.16

Beberapa proses dalam tata cara pembatalan hak atas tanah, sebagai berikut:

1. Kantor Pertanahan

Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa:

(29)

 fotocopy surat bukti identitas dan surat bukti

kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy akta pendirian (badan hukum);

 fotocopy surat keputusan dan/atau sertifikat;

 surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan

pembatalan.

- Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:

 memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.

 mencatat dalam formulir isian.

 memberikan tanda terima berkas permohonan.

 memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi

data yuridis dan data fisik apabila masih diperlukan.

2. Kantor Wilayah

- Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya.

- Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan

(30)

keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

3. Menteri

- Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang telah ditetapkan.

- Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya.17

4. Pembatalan Sertifikat Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No. 07/G/2013/Ptun-Mdn

Dalam hubungannya dengan sertifikat hak atas tanah sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, maka bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau ditentukan (dalam hal ini luas, letak, dan batas tanah).18 Kemudian, kepada siapa Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan (nama pemegang hak atas tanah), harus secara jelas

17B.Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Djambatan, Jakarta, 2008,hlm. 391-394

18Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

(31)

disebutkan dalam sertifikat hak atas tanah, artinya objek dan subjeknya harus disebutkan secara tegas dan jelas dalam sertifikat hak atas tanah.19

Di dalam Hukum Tata Usaha Negara, sertifikat hak atas tanah juga merupakan objek dari sengketa tata usaha negara, yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 1 angka 10-nya (Pasal 1 angka 4 menjadi Pasal 1 angka 10 pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009) Menegaskan:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Banyaknya pembatalan sertifikat hak atas tanah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memperlihatkan masih dijumpai kecerobohan atau pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tersebut.

19Adrian Sutedi, op.cit., hlm.35

(32)

Tentang Duduk pekara bahwa Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Tergugat dengan surat gugatannya tertanggal 23 Januari 2013 dengan Register Perkara No. 07/G/2013/PTUN-MDN.

Sedangkan Objek Sengketa dalam perkara Aquo adalah Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No.

01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan

Bahwasannya para Penggugat baru mengetahui adanya sertifikat lain yang terbit diatas sebahagian tanah sampai saat ini secara sah tercatat nama para Penggugat sebagaimana Sertifikat Hak Milik No.1725/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 17 Maret 2003, surat ukur No. 24/Dwikora/2002 tanggal 02 September 2002 seluas + 6.220 M2, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan (selanjutnya disebut SHM No. 1725) pada tanggal 04 Desember 2012. Dan diketahui adanya sertifikat ganda pada tanggal tangggal 06 Desember 2012, para pihak Penggugat melakukan pencatatan blokir atas objek sengketa.

Dalam Putusan Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Medan No.

07/G/2013/PTUN-MDN tanggal 25 Juli 2013 membatalkan Keputusan yang dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat Hak atas tanah oleh Badan Pertahanan Nasional, yang amarnya menyatakan sebagai berikut:

1. Mengabulkan Gugatan Para Pengugat seluruhnya.

(33)

2. Menyatakan Batal Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No. 01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.

3. Mewajibkan Kepada Tergugat untuk mencabut Sertifikat Hak Milik No.3202/Desa/Keluruhan/Dwikora tanggal 3-9-2012, surat ukur No.

01030/Dwikora/2012 tanggal 15 agustus 2012 seluas 1.762 M2, atas nama Arsyad lis, yang terletak di Keluruhan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.

4. Membebankan Tergugat dan Tergugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 654.000,- (Enam Ratus Lima Puluh Empat Ribu Rupiah).

Dalam Pertimbangnnya bahwasannya, Pengadilan Tata Usaha Negara mengemukakan bahwa tergugat mengajukan bukti-bukti surat tidak relevan dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah bahwa “Semua surat keputusan, akta, kutipan autentik berita acara lelang, surat wasiat dan surat-surat pemberitahuan dari Panitera Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 dan semua warkah lain yang perlu untuk pendaftaran, setelah dibubuhi tanda-tanda pendaftaran diberi nomor surat dan ditahan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk disimpan dan kemudian dijilid menjadi buku”. Dan Tindakan Tergugat Menerbitkan Sertifikat Hak Milik Objek

21

(34)

sengketa adalah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Sebagaiman dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

H. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab itu sendiri terdiri dari beberapa sub-bagian. Adapun sistematika penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam Bab ini memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II PROSES PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

Di dalam Bab ini akan membahas tentang dasar hukum penerbitan sertifikat hak atas tanah serta proses penerbitan sertifikat Terhadap permohon hak, pengukuran dan pendaftaran hak sampai penerbitan sertifikat dan hambatan - hambatan administratif dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah.

(35)

BAB III PROSES PEMBATALAN DAN PENYEBAB TERJADINYA PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

Di dalam Bab ini akan membahas tentang pengertian pembatalan hak atas tanah menurut undang-undang, penyebab terjadinya pembatalan sertifikat hak atas tanah karena putusan pengadilan dan tata cara proses pembatalan sertifikat hak atas tanah

BAB IV PEMBATALAN SERTIFIKAT HAK ATAS

TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN NO. 07/G/2013/PTUN-MDN

Di dalam Bab ini akan membahas tentang sertifikat hak atas tanah dalam perspektif hukum tata usaha negara, identifikasi dan analisa kasus, pembatalan sertifikat hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan tata usaha negara medan no. 07/G/2013/PTUN-MDN.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Di dalam Bab ini akan membahas tentang kesmipulan dan saran dari hal-hal yang dibahas dan diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sebagai hasil analisis penulisan dan permasalahan dalam skripsi ini.

(36)

BAB II

PROSES PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

A. Dasar Hukum Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah

UUPA mengatur bahwa Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas hak atas tanah. Adapun kegiatan pendaftaran tanahnya, meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat yang pembuktian yang kuat. Hak-hak atas tanah dalam UUPA yang diterbitkan surat tanda bukti haknya adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.20

Peraturan pemerintah yang dimaksudkan oleh pasal 19 Ayat (1) UUPA, adalah semula Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 ditegaskan bahwa instansi pemerintah yang mengadakan pendaftaran tanah adalah Jawatan Pendaftaran Tanah, sedangkan nama surat tanda bukti hak adalah sertifikat.21

Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 sejak tanggal 8 Juli 1997 dinyatakan tidak berlaku sejak diundangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

20U.Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2014, hlm.249

(37)

ditegaskan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Nama surat tanda bukti hak sebagai produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah sertifikat.22

Secara etimologi sertifikat berasal dari bahasa Belanda “Certificat” yang artinya surat bukti atau surat keterangan yang membuktikan tentang sesuatu. Jadi kalau dikatakan Sertifikat tanah adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang. Inilah yang disebut sertifikat tanah tadi.

Diatas sudah disebut sertifikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena itu telah kelihatan berfungsinya, bahwa sertifikat itu berguna sebagai “alat bukti”. Alat bukti yang menyatakan tanah ini telah diadministrasi oleh Negara. Dengan dilakukan administrasinya lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasi tersebut. Bukti atau sertifikat adalah milik seseorang sesuai dengan yang tertera dalam tulisan di dalam sertifikat tadi. Jadi bagi si pemilik tanah , sertifikat tadi adalah merupakan pegangan kuat dalam hal pembuktian hak miliknya, sebab dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwenang secara hukum. Hukum melindungi pemegang sertifikat tersebut dan lebih kokoh bila pemegang itu adalah namanya yang tersebut

22Ibid, hlm.234

(38)

dalam sertifikat. Sehingga bila yang memegang sertifikat itu belum namanya maka perlu dilakukan balik namanya kepada yang memegangnya sehingga terhindar lagi dari gangguan pihak lain.

Bila terjadi misalnya sengketa terhadap bidang tanah itu, maka oleh yang memiliki tanah, sertifikat yang di tangannyalah yang digunakan untuk membuktikan bahwa tanah itu miliknya.23

Dengan demikian surat tanda bukti hak atau sertifikat hak atas tanah itu merupakan perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang- undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu.24

Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.25

Jadi, penerbitan sertifikat tersebut menurut peraturan pemerintah no 10 tahun 1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi salah satu dokumen (pasal 13) dan menurut peraturan pemerintah no 24 tahun 1997 ini

23M. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, op.cit., hlm.204

24A. Sutedi, op.cit., hlm.52

25B.Harsono I, op.cit., hlm.500

(39)

bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang diperlukan. Dalam pendaftaran secara sistematik terdapat ketentuan mengenai sertifikat dalam pasal 69 s/d 71 peraturan menteri 3/1997, sedang dalam pendaftaran secara sporadik dalam pasal 91 s/d 93.26

Beberapa instrumen penerbitan sertifikat hak atas tanah dijelaskan dibawah ini:

1. Instrumen Yuridis

Dalam negara hukum modern tugas dan kewenagan pemerintah tidak hanya sekadar menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga mengupayakan kesejahteraan umum. Tugas dan kewenangan merupakan tugas yang harus dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan yang dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi perisitiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Sesuai dengan sifatnya, individual dan konkret ketetapan ini merupakan ujung tombak dan instrument hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah diterbitkannya sertifikat hak atas tanah. Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, sertifikat hak atas tanah termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang

26B.Harsono I, op.cit., hlm.501

(40)

menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam sertifikat ha katas tanah.

Dengan demikian, sertifikat hak atas tanah merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah dalam hal ini Kepala Kanwil BPN/Kantor Pertanahan untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret sebagai ketetapan, sertifikat ha katas tanah dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku.

2. Instrumen Peraturan Perundang-undangan

Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Stroink dan steenbeek untuk dapat melaksanakan dan menegakan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa wewenang tidak dapat dibuat keputusan.

Penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan tindakan hukum pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu tidak menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal membuat dan menerbitkan sertifikat

(41)

haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tanpa adanya dasar wewenang tersebut sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan menjadi tidak sah.

Pada umumnya wewenang pemerintah untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah itu ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat hak atas tanah. Akan tetapi, dalam penerapannya, jika mengambil pendapat marcus lukman, maka kewenangan pemerintah dalam menerbitkan ketetapan mengenai sertifikat hak atas tanah itu bersifat diskresionare power atau berupa kewenangan bebas, dalam arti kepada pemerintah diiberi kewenangan untk mempertimbangkan atas dasar inisiatif sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah, misalnya pertimbangan tentang:

1. Kondisi-kondisi apa yang memungkinkan suatu sertifikat dapat diterbitkan untuk pemohon;

2. Bagaimana mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut;

3. Konsekuensi yuridis yang mungkin timbuk akibat pemberian atau penolakan dikaitan dengan pembatasan perundang-undangan yang berlaku;

4. Prosedur apa yang harus diikuti atau dipersiapkan pada saat keputusan diberikan baik penerimaan maupun penolakan penerbitan sertifikat hak atas tanah.

(42)

3. Instrumen Organ Pemerintah

Lembaga pemerintah adalah lembaga yang menjalankan urusan pemerintahan baik ditingkat pusat, yakni Badan Pertahanan Nasional, maupun di tingkat Daerah, yakni Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertahanan Kabupaten / Kota. Dengan demikian , penerbitan sertifikat ha katas tanah hanya boleh dikeluarkan oleh Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertahanan Kabuptaen / Kota sesuai dengan pelimpahan wewenangnya ) sebagai organ pemerintahan . Keputusan yang memberikan sertifikat ha katas tanah harus diambil oleh organ pemerintahan yang berwenang.

Kecepatan pelayanan dan efisiensi di dalam sertifikat hak atas tanah okeh Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan jajarannya di Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabuoaten / Kota merupakan tuntutan masyarakat , sehingga perlu menyederhanakan prosedur dan birokasi. Keputusan – keputusan pejabat untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah sering membutuhkan waktu yang lama, sementara khususnya bagi perusahaan atau dunia usaha perlu berjalan cepat. Terlalu banyaknya mata rantai dalam prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah banyak membuang waktu dan biaya . Oleh karena itu, biasanya dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah perlu dilakukan deregulasi mengandung arti peniadaan berbagai peraturan perundang- undangan yang

(43)

dipandang berlebihan. Karena peraturan perundang – undangan yang berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan campur tangan pemerintah atau negara, deregulasi itu pada dasarnya bermakna mengurangi campur tangan pemerintah atau negara dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu terutama dalam bidang ekonomi, sehingga deregulasi itu pada akhirnya bermakna debirokratisasi. Meskipun debirokratisasi ini dimungkinkan dan dalam bidang penerbitan sertifikat hak atas tanah pernah di praktakan misalnya untuk usaha / kegiatan perindustrian dan perkebuanan dalam skala besar, namun dalam suatu negara hukum tentu saja harus ada batasan atau rambu – rambu yang ditentukan oleh hukum.

Oleh karena itu , deregulasi dan debirokratisasi dalam menerbitkan sertifikat ha katas tanah harus memperhatikan hal – hal , yakni pertama, jangan sampai menghilangkan esensi dari system penerbitan sertifikat hak atas tanah itu sendiri, terutama dalam fungsinya sebagai pengarah kegiatan ;kedua , deregulasi hanya diterapkan pada hal – hal yang bersifat teknis administratif dan finansial ; ketiga , deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal – hal prinsip dalm peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar dalam sertifikat ha katas tanah ; keempat , deregulasi dan debirokratisasi haru smemperhatikan asas – asas umum pemerintahan yang layak ( algemene beginselen van behoorlijk bestuur).

(44)

4. Peristiwa Konkret

Sertifikat hak atas tanah merupakan instrument yuridis yang dituangkan dalam bentuk ketetapan, yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang atau badan hukum tertentu, lokasi tanah tertentu dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam untuk menentukan jenis hak yang dituangkan dalam sertiifkat hak atas tanah ( misalnya HGB , HGU, Hak Milik ) dikarenakan beragamnya asal usul perolehan tanah ( dari negara atau masyarakat adat, jual beli , hibah , warisan , wakaf, dan sebagainya ) , bukti – bukti perolehan tanah, dan subjek penerima hak atas tanah ( perorangan , yayasan , perusahaan ) , maka sejalan dengan keberagaman pemberian hak atas tanah yang dituangkan dalam sertifikat hak atas tanah yang jenisnya beragam dalam sertifikat itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dari macam sertifikat dan kewenangan yang dilimpahkan dari Badan Pertanahan Nasional kepada Kanwil BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.

5. Prosedur dan Persyaratan

Pada umumnya permohonan penerbitan sertifikat hak atas tanah harus menempuh suatu prosedur yang sitentukan oleh BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota selaku instansi yang berwenang menerbitkan

(45)

sertifikat. Disamping harus menempuh prosedur yang ditentukan, pemohon juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh Badan Pertanahan Nasional ( melaluo Peraturan Kepala BPN ) . Prosedur dan persyaratan itu berbeda- beda tergantung dari jenis hak atas tanahnya.

Penentuan prosedur dan persyaratan penerbitan sertifikat ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Meskipun demikian Badan Pertahanan Nasional tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara sewenang- wenang, tetapi harus sejalan dengan peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar penerbitan sertifikat hak atas tanah. Pemerintah tidak boleh menentukan syarat yang melampui batas tujuan ayng hendak dicapai oleh peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasarnya.27

B. Proses Penerbitan Sertifikat Terhadap Permohonan Hak, Pengukuran dan Pendaftaran Hak serta Penerbitan Sertifikat

Untuk menjamin hak atas tanah yang telah didaftarkan maka diterbitkan sertifikat yang merupakan tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

27A. Sutedi, op.cit., hlm.52

(46)

Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau juga disebut Sertifikat Hak terdiri dari salinan Buku Tanah atau Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul yang memuat :

 Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik Tanah dan beban yang ada di atas Tanah;

 Data Yuridis: Jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

Dari uraian di atas, maka prosedur pengurusan dan penerbitan sertifikat yang di laksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) merunut pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mana dalam mengurus sertifikat harus melewati 3 (tiga) tahap, yang garis besarnya adalah sebagai berikut :

1. Permohonan Hak

Pemohon sertifikat hak atas tanah dibagi menjadi 4 golongan, dan masing- masing diharuskan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu antara lain:

A.Penerima Hak

yaitu para penerima hak atas tanah Negara berdasarkan Surat Keputusan pemberian hak yang dikeluarkan pemerintah. Direktur Jenderal Agraria atau pejabat yang ditunjuk. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat:

1.Asli Surat Keputusan Pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

(47)

2.Tanda lunas pembayaran uang pemasukan yang besarnya telah ditentukan dalam Surat Keputusan pemberian hak atas tanah tersebut.

B.Para Ahli Waris

yaitu mereka yang menerima warisan tanah, baik tanah bekas hak milik adat ataupun hak-hak lain. Bagi pemohon ini diharuskan melengkapi syarat sebagai berikut:

1. Surat tanda bukti hak atas tanah, yang berupa sertifikat hak tanah yang bersangkutan.

2. Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi/petok D lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.

3. Surat Keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

4. Surat keterangan waris dari instansi yang berwenang.

5. Surat Pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.

6. Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.

(48)

7. Keterangan pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris.

8. Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

C. Para pemilik tanah

yaitu mereka yang mempunyai tanah dari jual-beli, hibah, lelang, konversi hak dan sebagainya. Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat :

1. Bila tanahnya berasal dari jual beli dan hibah:

 Akta jual beli / hibah dari PPAT.

 Sertifikat tanah yang bersangkutan.

 Bila tanah tersebut sebelumnya belum ada sertifikatnya, maka harus disertakan surat tanda bukti tanah lainnya, seperti surat pajak hasil bumi/petok D lama/perponding lama Indonesia dan segel-segel lama, atau surat keputusan penegasan/pemberian hak dari instansi yang berwenang.

 Surat keterangan dari kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan surat tanda bukti hak tersebut.

 Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.

 Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.

 Ijin peralihan hak jika hal ini disyaratkan.

2. Bila tanahnya berasal dari lelang:

 Kutipan otentik berita acara lelang dari kantor lelang.

(49)

 Sertifikat tanah yang bersangkutan atau tanda bukti hak atas tanah lainnya yang telah kepala desa dan dikuatkan oleh camat.

 Surat pernyataan tentang jumlah tanah yang telah dimiliki.

 Keterangan pelunasan / bukti lunas pajak tanah yang bersangkutan.

 Turunan surat keterangan WNI yang telah disahkan oleh pejabat berwenang.

 Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang diminta sebelum

lelang.

3. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah adat, maka syarat-syaratnya adalah:

 Bagi daerah yang sebelum UUPA sudah dipungut pajak

Surat pajak hasil bumi / petok D lama, perponding Indonesia dan segel-segel lama. Keputusan penegasan / pemberian hak dari instansi yang berwenang.

Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebaginya. Surat kepala desa yang dikuatkan oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan. Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

 Bagi daerah yang sebelum UUPA belum dipungut pajak

Keputusan penegasan/pemberian hak dari instansi yang berwenang. Surat asli jual-beli, hibah, tukar menukar, dan sebagainya yang diketahui atau dibuat oleh kepala desa/pejabat yang setingkat. Surat kepala desa yang dikuatkan

(50)

oleh camat yang membenarkan isi keterangan-keterangan tentang tanah yang bersangkutan. Surat pernyataan yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa dan tidak dijadikan tanggungan hutang serta sejak kapan dimiliki.

4. Bila tanahnya berasal dari konversi tanah hak barat, misalnya eks tanah hak eigendom, syarat-syaratnya adalah:

 Grosse akta.

 Surat Ukur.

 Turunan surat keterangan WNI yang disahkan oleh pejabat berwenang.

 Kuasa konversi, bila pengkonversian itu dikuasakan.

 Surat pernyataan pemilik yang berisi bahwa tanah tersebut tidak berada dalam sengketa, tidak dijadikan tanggungan hutang, sejak kapan dimiliki dan belum pernah dialihkan atau diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain.

D. Pemilik sertifikat hak tanah yang hilang atau rusak.

Bagi pemohon ini diharuskan memenuhi syarat:

1. Surat keterangan kepolisian tentang hilangnya sertifikat tanah tersebut.

2. Mengumumkan tentang hilangnya sertfikat tanah tersebut dalam Berita Negara atau harian setempat.

3. Bagi pemohon yang sertifikatnya rusak, diharuskan menyerahkan kembali

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun kebebasan beragama secara jelas telah diatur, namun pada kenyataannya sekarang ini masih banyak masyarakat dunia yang tidak mengamalkan dan

Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakanunsur-unsur pokok disamping unsurlain yang menentukan lahirnya perjanjian.Berlakunya asas konsensualisme menurut

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan Kepada Kedua Orang Tua Tercinta, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Berdasarkan uraian diatas maka terbukti sebagai fakta didepan persidangan, sehingga tepatlah Amar putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa Fahmi Adriyanto alias

Ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak operator penerbangan tidak hanya mengenai barang muatan atau bagasi saja,melainkan juga mengenai hak penumpang.Apabila

Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif. Akibat hukum terhadap

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun

907/MENKES/SK/VII/2002.(2).Perusahaan Daerah Air Minum dalam melaksanakan kegiatan jasanya sebagai subjek hukum diwakili oleh organ-organnya, kemudian segala sesuatu hal