• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : M. SYAHPUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Oleh : M. SYAHPUTRA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

M. SYAHPUTRA 130200199

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 8

(2)
(3)

ABSTRAK M. Syahputra*)

Prof. Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum**) Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum***)

Pelaksanaan pengangkutan udara tidak semua berjalan sesuai dengan yang diharapkan seperti berangkat dan sampai pada tempat tujuan pada waktu sesuai dengan yang tertera pada tiket atau terjaminnya keamanan dan keselamatan penumpang.Permasalahan dalam penelitian ini adalah hal-hal dapat menimbulkan risiko dalam perjanjian pengangkutan udara.Batasan-batasan tanggung jawab PT.

Garuda Indonesia terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara.Penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada PT. Garuda Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, Sifat penelitian deskriptif.Teknik pengumpulan data yang digunakanstudi kepustakaan (library researchdan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif.

Hal-hal dapat menimbulkan risiko dalam perjanjian pengangkutan udara, dapat keterlambatan diakibatkan terjadinya delay, penundaan penerbangan disebabkan cuaca buruk yang dianggap dapat mengganggu penerbangan, dan pembatalan penerbangan diakibatkan oleh faktor maskapai (faktor teknis).Maskapai penerbangan tidak diwajibkan memberikan kompensasi manakala diakibatkan oleh faktor di luar kendali maskapai seperti faktor cuaca, penutupan airport, banjir dan faktor lainnya di luar kontrol maskapai seperti faktor teknis dipahami sebagai kondisi pesawat mulai dari hidung hingga ekor pesawat. Perawatan rutin dan apabila terdapat temuan yang mengharuskan pesawat di grounded untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Batasan-batasan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara, Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udpara tujuan.Tanggung jawab pengangkut terhadap bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi tercatat oleh penumpang.Penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada PT. Garuda Indonesia, berdasarkan Pasal 141 ayat (1) dan Pasal 165 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun2009 Tentang Penerbangan ialah berupa ganti rugi, serta Pasal 3 huruf (a) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 menyatakan besarnyaganti rugi terhadap korban kecelakaan karena kerusakan pesawat.

Kata Kunci : Tanggung Jawab Pengangkut, Penumpang, Kecelakaan Pengangkutan Udara1

1*) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.Adapun judul dari skripsi ini adalah Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Karena Kerusakan PesawatDalam Pengangkutan Udara.Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas.

Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H, M.Hum, selakuWakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**) Dosen Pembimbing II

(5)

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. BapakProf. Dr.H. Hasim Purba, S.H., M.Hum,selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2018 Penulis,

M. Syahputra

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGANGKUTAN UDARA ... 17

A. Pengertian Pengangkutan Udara ... 17

B. Pengaturan Pengangkutan Udara ... 23

C. Perjanjian Pengangkutan Udara dan Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut. ... 25

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PADA KONSUMEN SELAKU PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA ... 37

A. Pengertian Konsumen Secara Umum ... 37

B. Hak dan Kewajiban Konsumen Selaku Pengguna Jasa Angkutan Udara dan ... 44

(7)

C. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan... 53 BAB IV TANGGUNGJAWAB PENGANGKUTAN UDARA

TERHADAP PENUMPANG ... 58 A. Hal-Hal Dapat Menimbulkan Risiko Dalam

Perjanjian Pengangkutan Udara ... 58 B. Batasan-batasan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia

terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara ... 62 C. Penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang

mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada

PT. Garuda Indonesia. ... 70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan, bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.2

Hasim Purba menilai kesadaran hukum untuk keselamatan penerbangan sipil itu tidak dapat ditolerir.Caranya, melalui penerapan budaya kepatuhan (savety culture).Hal ini diungkapkannya dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap Universitas Sumatera Utara bidang ilmu hukum keperdataan, mengatakan “Mewujudkan Keselamatan Penerbangan dengan Membangun Kesadaran Hukum bagi Stakeholders melalui Penerapan Savety Culture”, menukilkan betapa pentingnya savety culture untuk keselamatan penerbangan sipil. “Maskapai penerbangan sipil berperan sangat penting sebagai penyedia jasa penerbangan dengan melaksanakan savety culture mulai pemeliharaan pesawat, menyediakan pilot dan kru pendukung”.3

2 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005, .hal 3

3 Hasim Purba, Mewujudkan Keselamatan Penerbangan dengan Membangun Kesadaran Hukum bagi Stakeholders melalui Penerapan Savety Culture”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Hukum, 2016.

(9)

Untuk kepatuhan hukum melalu savety culture itu, “harus ada reward (penghargaan) dan punishment (penghukuman)” Berbasiskan teknologi tinggi (hi- tech), pesawat udara mutlak dioperasikan sempurna oleh tenaga profesional yang patuh standar operasional dan prosedur yang dibimbing kebudayaan keselamatan (savety culture).“Kesadaran hukum harus menjadi sikap dan menjadi praktik (cultural practice)”.4

Penyelenggaraan transportasi udara merupakan bagian dari pelaksanaan tugas penyediaan transportasi, baik sebagai “servicing function” maupun

“promoting function” tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi masyarakat pengguna jasa transportasi udara/ yang dilayani, dan juga kecenderungan perkembangan global yang terjadi.5

Tranportasi umum telah menjadi kebutuhan utama manusia untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Kini, pilihan transportasi pun sudah sangat beragam.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Rabu tanggal 1 Februari /2017, jumlah penumpang angkutan udara mencapai 95,1 juta orang, naik 15,3 persen dari data 2015 yang hanya 82,5 juta orang.Kenaikan itu didorong oleh melambungnya jumlah penumpang angkutan udara domestik yang mencapai 80,4 juta orang, atau naik 16,9 persen dibandingkan 2015Selain itu, jumlah penumpang angkutan udara tujuan internasional juga mengalami

4Ibid

5 Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Cetak Biru Transportasi Udara 2005 – 2024, hal 1

(10)

kenaikan siginifikan. Sepanjang 2016, total penumpangnya mencapai 14,7 juta orang, atau naik 8,16 persen dibandingkan 2015.6

Alat angkut dalam angkutan udara adalah pesawat terbang.7Menurut Annex 6 dan 73 Konvensi Chicago 1944 yang telah diratifikasi pada tanggal 18 November 1967, pesawat udara (air craft).8 Any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air other that the of the air against the earth’s surface.Batasan ini digunakan sejak Konvensi Perancis 1919 yang menyebutkan pesawat udara sebagai a machine can derive support in the atmosphere from the reaction of the air. Batasan terakhir ini juga diterima dalam Konvensi Chicago 1944 sebelum diratifikasi pada tahun 1967.Pesawat udara dalam arti luas tersebut mencakup pesawat terbang, helikopter, pesawat terbang layang, layangan dan balon yang bebas dikendalikan seperti yang digunakan untuk meterologi.Penambahan kata-kata pada batasan Konvensi Chicago 1944 di atas, yang diadakan pada tahun 1967, yaitu other that the reaction of the air against earth’s surface dimaksudkan umtuk mengecualikan hovercraft ke dalam definisi pesawat udara.9

Terlaksananya pengangkutan melalui udara, karena adanya perjanjian antara pihak pengangkut dan pengguna jasa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dengan jelas menyatakan bahwa, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak pengguna jasa dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan

6http://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/01/173112326/pertumbuhan.penumpang.angk utan.udara.paling.tinggi.pada.2016, diakses tanggal 29 September 2017

7 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Yogyakarta: FH. UII Press, 2006, 180

8Ibid, hal. 181

9Ibid

(11)

pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lainnya.

Perjanjian pengangkutan yang telah disepakati antara pihak pengangkut dan pengguna jasa dibuktikan dengan tiket.Pengguna jasa sekaligus sebagai konsumen jasa penerbangan komersil tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya pengguna jasa.

Industri penerbangan, pengguna jasa merupakan salah satu aset penting yang patut diperhitungkan bagi maskapai penerbangan untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu penumpang yang menggunakan jasa penerbangan perlu dilindungi haknya, dalam hal ini adalah hak ganti rugi apabila penumpang mengalami kecelakaan (yang menyebabkan kematian, luka-luka atau cacat tetap), mempunyai hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.10

Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah maskapai penerbangan dan pihak pengguna jasa.Para pihak tersebut terikat oleh suatu perjanjian, yaitu perjanjian pengangkutan.Sebagaimana layaknya suatu perjanjian yang merupakan manisfestasi dari hubungan hukum yang bersifat keperdataan, maka di dalamnya terkandung hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipenuhi, yang biasa dikenal dengan istilah prestasi.Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian11

10 Annalisa Yahanan dan Kamal ili Hassan, Hak Ganti Rugi Penumpang dan Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Telaah Undang-Undang Penerbangan Indonesia, Jurnal, Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol.7 No.2 April 2010, hal 175-176

11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hal, 239

Prestasi adalah objek perjanjian.Dalam hukum

(12)

perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur.12

Pelaksanaan pengangkutan udara tidak semua berjalan sesuai dengan yang diharapkan seperti berangkat dan sampai pada tempat tujuan pada waktu sesuai dengan yang tertera pada tiket atau terjaminnya keamanan dan keselamatan penumpang. Akhir-akhir ini kecelakaan yang menimpa sejumlah maskapai penerbangan meningkat, seperti pada tahun 2005 dari 50 kasus kecelakaan meningkat menjadi 102 pada tahun 2009. Kecelakan yang menimpa maskapai penerbangan tersebut seperti tergelincir dilandasan, kerusakan navigasi, dan terjatuhnya pesawat. Selain hal tersebut terdapat hal lain yang juga meresahkan penumpang seperti yang sering terjadi yaitu keterlambatan jadwal penerbangan, hilang dan rusaknya barang penumpang yang berada dalam kabin pesawat dan sering terjadinya pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh maskapai penerbangan.13

Kejadian tersebut di atas tentunya sangat merugikan konsumen sebagai pengguna jasa pengangkutan udara, dimana pada dasarnya terlaksananya pengangkutan disebabkan oleh adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu penyedia jasa yaitu angkutan udara dan pengguna jasa yaitu pengguna jasa.Kegiatan pengangkutan adalah sebuah akibat dari adanya perjanjian yang dilakukan oleh pengangkut dan penumpang. hal ini termuat dengan jelas pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa

12Ibid

13Rhirien Adriani, Tanggung Gugat Pengangkut Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, JurnalIUS | Vol III | Nomor 8 | Agustus; 2015, hal 301.

(13)

“perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pihak pengangkut dan penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/ atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lainnya.

Tangung jawab pengangkut angkutan udara memiliki prinsip-prinsip yang secara umum dikemukakan oleh hukum pengangkutan yaitu prinsip tangung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (fault liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability), serta prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability). Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab tersebut di atas, Pasal 141-147 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwapengangkut bertanggungjawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Demikian juga Peraturan Menteri PerhubunganNomor 77 Tahun 2011 tetang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.14 Prinsip tanggungjawab perusahaan penerbangan terhadap korban penumpang akibat kecelakaan pesawat sebagaimana diatur di dalam keseluruhan peraturan atau norma dan prinsip.15

Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia yang terbang ke lebih 40 tujuan domestik dan 36 tujuan internasional. Garuda Indonesia meraih penghargaan sebagai Maskapai Penerbangan Regional Terbaik

14 Henri Yosua Massie, Tanggungjawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, Jurnal Fakultas Hukum Unsrat, Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015, . hal 5-6

15Ibid

(14)

di Dunia yang diberikan oleh Skytrax yang berbasis di London.Terbang untuk pertama kalinya di tahun 1949, saat ini Garuda Indonesia membawa lebih dari 25 juta penumpang setiap tahunnya.Garuda Indonesia mengoperasikan tipe pesawat berikut ini berdasarkan kelasnya masing-masing.16

16 https://www.tiket2.com/blog/tipe-pesawat-yang-dipakai-oleh-maskapai-penerbangan- indonesia/, diakses tanggal 2 November 2017

Sebagai perusahaan penerbangan komersial PT. Garuda Indonesia berkaitan dengan tanggung jawab, permasalahan yang sering timul menyangkut jadwal keberangkatan yang tidak tepat waktu, Delay Management dan lambatnya pemeriksaan mekanik layak terbang pesawat oleh Tekniksi PT. Garuda Indonesia.

Banyaknya peristiwa yang terjadi akibat keterlambatan angkutan penerbangan sangatlah bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan yang tertib,teratur,selamat,aman dan nyaman, dengan adanya kejadian seperti itu, maka akan timbul pertanggung jawaban dari pihak pengangkut untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak operator penerbangan tidak hanya mengenai barang muatan atau bagasi saja,melainkan juga mengenai hak penumpang.Apabila penumpang menggunakan jasa penerbangan berakibat terjadinya kerugian, maka pengangkut bertanggungjawab selaku maskapai penerbangan.Skripsi ini mengkaji Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang yang Mengalami Kecelakaan Karena Kerusakan Pesawat Dalam Pengangkutan Udara (studi pada PT.

Garuda Indonesia Cabang Medan).

(15)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Apa hal-hal dapat menimbulkan risiko dalam perjanjian pengangkutan udara?

2. Apa batasan-batasan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara ?

3. Bagaimana penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada PT. Garuda Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian yang diharapkan adalah

1. Untuk mengetahui hal-hal dapat menimbulkan risiko dalam perjanjian pengangkutan udara.

2. Untuk mengetahui batasan-batasan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara.

3. Untuk mengetahui penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada PT. Garuda Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk:

(16)

1. Manfaat teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat dalam pengangkutan udara.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan memberi pengetahuan tentang apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan pengangkut terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat dalam pengangkutan udara.

E. Metode Penulisan 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) dan penelitian yuridis empiris.17

2. Sifat penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian hukum ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan

17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 81

(17)

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya18

3. Sumber data

Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor: PM 115 Tahun 2015 Tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 176 (Civil Aviation Safetyregulation Part 176) Tentang Pencarian dan Pertolongan pada Kecelakaan Pesawat Udara. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor PM 89 tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (delay managemen1) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM : 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum perdata dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan III, Jakarta: UI Press, 2010, hal . 5.

(18)

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar dan internet.

4. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder.19

Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku, jurnal, artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian, termasuk peraturan perundang-undangan. Selain itu ada pun metode pengumpulan data yang lain yaitu data primer, data yang diperoleh langsung dari

19Soejono Soekanto, Op.Cit, hal. 24.

(19)

objek penelitian seperti wawancara. Wawancara dilakukan kepada Anindita Marisa, selaku Unit Service Quality Management Garuda Indonesia, tanggal 20 November 2017.

5. Analisa data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat dalam pengangkutan udara (studi pada PT. Garuda Indonesia Cabang Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, namun ada beberapa penelitian yang membahas tanggung jawab pengangkut, diantaranya :

Eko August Sihombing. FH USU (2010), dengan judul penelitian Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Pengangkutan Orang Dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Undang-Undang No.1 Tahun 2009 (studi kasus pada PT.Garuda Indonesia Cabang Monginsidi, Medan). Adapun permasalahan dalam penelitian adalah

(20)

1. Peranan tanggung jawab pengangkut terhadap orang dan barang menurut Undang-Undang No. 1 tahun 2009

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang penerbangan domestik.

3. Realisasi pertanggung jawaban PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang dan barang dalam penerbangan domestik

Ismi Beby Lestari Harahap, FH. USU (2010), dengan judul penelitian Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

1. Tanggung jawab PT. Garuda Indonesia (Persero) sebagai pengangkut terhadap penumpang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

2. Peraturan perlindungan penumpang dalam moda transportasi udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

3. Tata cara pemberian ganti rugi oleh PT. Garuda Indonesia (Persero) terhadap resiko yang mengakibatkan kerugian bagi penumpang.

Desy Hariani Nasution, FH. USU (2011), dengan judul penelitian Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Barang Bagasi Penumpang.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Hukum Pengangkutan Udara di Indonesia menurut UndangUndang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

2. Penyelenggaraan Angkutan Udara oleh PT. Garuda Indonesia Airlines.

(21)

3. Tanggung Jawab PT. Garuda Indonesia Airlines Terhadap Barang Bagasi Penumpang

Freddy Luth Putra Purba, FH. USU (2012), dengan judul penelitian Perlindungan Konsumen Atas Kerusakan Dan Kehilangan Bagasi Penumpang Pesawat Udara Oleh Maskapai Penerbangan (Studikasus PT. Metro Batavia Cabang Medan). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

1. Bentuk perlindungan konsumen pada pengangkutan udara 2. Kedudukan pengangkut udara dalam pengangkutan bagasi

3. Pertanggungjawaban PT.Metro Batavia terhadap kerusakan dan kehilangan bagasi penumpang.

Robert Simon Joshua Maail, FH. USU (2015), dengan judul penelitian tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap pengirim yang kehilangan barang (Studi Kargo PT. Garuda Indonesia Bandar Udara Kualanamu). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

1. Bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap pengirim yang kehilangan barang

2. Pelaksanaan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia atas barang yang hilang

3. Penyelesaian terhadap barang yang hilang oleh PT. Garuda Indonesia Aulia Rizki, FH. USU (2015), dengan judul penelitian Perlindungan Hak Konsumen Atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket Yang Tinggi Ketika Musim Libur Dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT.

(22)

Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah

1. Faktor penyebab naiknya harga tiket pada musim libur

2. Pengaturan pemerintah tentang kenaikan harga tiket penerbangan ketika musim libur

3. Perlindungan hak konsumen pengguna jasa penerbangan tentang pelayanan umum dan keselamatan penerbangan.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya baik secara akademi maupun secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian sekunder dan primer.Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis serta hasilnya digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematika secara sistematika dalam bab yang satu sama lain berhubungan satu dengan yang lainnya. Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantaranya bab-bab ini terdir atas sub bab.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

(23)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGANGKUTAN UDARA Bab ini berisikan pengertian pengangkutan udara, pengaturan pengangkutan udara, perjanjian pengangkutan udara dan prinsip- prinsip tanggung jawab pengangkut.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PADA KONSUMEN SELAKU

PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA

Bab ini berisikan pengertian konsumen secara umum, hak dan kewajiban konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara dan pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan

BAB IV TANGGUNGJAWAB PENGANGKUTAN UDARA TERHADAP PENUMPANG

Bab ini berisikan hal-hal dapat menimbulkan risiko dalam perjanjian pengangkutan udara, batasan-batasan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap konsumen selaku pengguna jasa angkutan udara dan penyelesaian ganti rugi terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan karena kerusakan pesawat pada PT.

Garuda Indonesia.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, di mana penulis membuat suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini dilanjutkan dengan memberi saran-saran atas masalah- masalah yang tidak terpecahkan yang diharapkan akan dapat berguna dalam pelaksanaannya.

(24)

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGANGKUTAN UDARA

A. Pengertian Pengangkutan Udara

Sebelum diuraikan apa yang dimaksud dengan pengangkutan udara, maka perlulah lebih dahulu diketahui pengertian tentang pengangkut.Berikut pengertian pengangkutan menurut beberapa para ahli, antara lain :

Fadia Fitriyanti dan Sentot Yulianugroho, menyatakan bahwa pengangkutan berasal dari kata dasar angkut yang berarti angkat/bawa muat dan bawa/kirimkan. Pengangkutan adalah pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang/orang, jadi dalam pengertian pengangkutan tersimpul suatu proses kegiatan/gerakan dari satu tempat ke tempat lain.20

Hasim Purba memberikan definisi pengangkutan sebagai “Kegiatan pemindahan orang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan.” 21

Sinta Uli pengangkutan suatu kegiatan perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien.22

20 Fadia Fitriyanti dan Sentot Yulianugroho, Hukum Perniagaan Internasional, Lab Hukum, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah, 2007, hal 71

21 Hasim Purba, Op.Cit, hal 4

22 Sinta Uli, Pengangkutan: Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat, dan Angkutan Udara, Medan: USU Press, 2006, hal 20.

(25)

M.N. Nasution didefinisikan pengangkutan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal menuju tempat tujuannya.23 Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pengangkutan tersebut merupakan gerakan dari tempat asal, di mana kegiatan angkutan itu dimulai, ke tempat tujuan, dan ke mana kegiatan pengangkutan diakhiri.24

H.M.N Purwosutjipto, yang dimaksud dengan pengangkutan adalah

“perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.25

Pengangkut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang(KUHD) dalam Pasal 466 KUHD titel VA, Buku II tentang pengangkutan barang adalah“orang yang baik karena penggunaan penyediaan kapal menurut waktu (carter waktu) atau penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan (carter perjalanan), baik dengan suatu persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.26

Konvensi-konvensi internasional seperti The Hague Rules 1924 dan The Hamburg Rules 1978 memberikan pengertian tentang Internatikonal Convention for the unification of certain rules relating to Bill of Lading, da,lam pasal 1 terdapat pengertian tentang pengangkut “bahwa arti pengangkut termasuk

23M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, Bogor:Ghalia Indonesia, 2008, hal. 3

24Ibid

25H.M.N Purwosutjipto, Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pengangkutan, Jakarta : Djembatan, 2008, hal. 21.

26 Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 178

(26)

didalamnya pemilik kapal atau pengusaha kapal yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pengirim barang”, jika dibandingkan antara Pasal 466 KUHD dengan Pasal 1 The Hague Rules 1924 tersebut, maka pengertian pengangkut menurut Pasal 1 The Hague Rules 1924 lebih luas.

The Hamburg Rules 1978 memberikan arti pengangkut dengan mengadakan perbedaan antara carrier (pengangkut) dan actual carrier (pengangkut sesungguhnya).

Pasal 1 The Hamburg Rules 1978 menyebutkan:

1. Pengangkut (carrier) adalah setiap orang untuk siapa atau untuk atas nama siapa perjanjian pengangkutan barang dilaut itu diadakan dengan pihak mereka yang berkepentingan dengan barang-barang muatan.

2. Pengangkut sesungguhnya (actual carrier) adalah mereka yang melaksakan pengangkutan barang atau sebagian pengangkutan yang telah dipercayakan padanya oleh pengangkut dan termasuk pula orang lain terhadap siapa pelaksanaannya telah dipercayakan padanya.27

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat.

Pengertian pesawat udara di Indonesia menurut Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 adalah setiap alat yang dapat memperoleh daya angkat dari udara.,

27Ibid

(27)

kemudian pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1962, pesawat udara diartikan sebagai semua alat angkut yang dapat bergerak dari atas tanah atau air ke udara atau ke angkasa atau sebaliknya. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 1992, pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara. Kemudian baru pada Undang-Undang Penerbangan No.

1 Tahun 2009, Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.28

Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan Pesawat Udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.29

Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.30

Konvensi Chicago 1944, yaitu “setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”. Ketentuan

28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Pasal 1 angka 13

29Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011, tentang Tanggung jawab Pengangkutan Udara Pasal 1 angka 1

30 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara, Pasal 1 angka 1

(28)

internasional dalam Konvensi Chicago 1944 dan ketentuan nasional dalam UndangUndang No. 1 Tahun 2009 secara umum adalah untuk pengaturan pesawat udara sipil.31

Alat angkut dalam udara adalah pesawat terbang.Disini perlu pula dikemukakan pengertian atau defenisi pesawat udara dan pesawat terbang mengingat didalam praktik seringkali terjadi kesalahan memahami pesawat udara yang terkadang rancu dengan pesawat terbang atau kapal udara.32

Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang kargo dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Menurut Annex dan 7.3. Konvensi Chicago 1944 yang telah dimodifikasi pada tanggal 18 November 1967, pesawat udara (air craft) ialah “any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air other that the air against the earth’s surface”

33

31 Baiq Setiani, Prinsip-Prinsip Pokok Pengelolaan Jasa Transportasi Udara, Jurnal Ilmiah WIDYA. Volume 3 Nomor 2 September - Desember 2015, hal. 104

32 Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 180

33 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 89 tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Managemen1) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia, Pasal 1 angka 1

Batasan ini digunakan sejak Konvensi Perancis 1919 yang menyebutkan pesawat udara sebagai a machine which can derive support in the atmosphere from the reaction of the air”.Batasan terakhir ini juga diterima dalam Konvensi Chicago 1944 sebelum dimodifikasi pada tahun 1967.

(29)

Alat angkut dalam udara adalah pesawat terbang.Disini perlu pula dikemukakan pengertian atau defenisi pesawat udara dan pesawat terbang mengingat didalam praktik seringkali terjadi kesalahan memahami pesawat udara yang terkadang rancu dengan pesawat terbang atau kapal udara.34

34 Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 180

Menurut Annex dan 7.3. Konvensi Chicago 1944 yang telah dimodifikasi pada tanggal 18 November 1967, pesawat udara (air craft) ialah “any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air other that the air against the earth’s surface”

Batasan ini digunakan sejak Konvensi Perancis 1919 yang menyebutkan pesawat udara sebagai a machine which can derive support in the atmosphere from the reaction of the air”.Batasan terakhir ini juga diterima dalam Konvensi Chicago 1944 sebelum dimodifikasi pada tahun 1967.

Pesawat udara dalam arti luas tersebut mencakup pesawat terbang, helicopter, pesawat terbang laying, layangan, dan balon yang bebas dan dikendalikan seperti yang digunakan untuk bidang meteorology.

Penambahan kata-kata pada batasan Konvensi Chicago 1944 di atas, yang diadakan pada tahun 1967, yaitu other that the reaction of the air against earth’s surface dimaksudkan untuk mengecualikan hovercraft ke dalam defenisi pesawat udara. Jadi, penambahan kata-kata tersebut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi penerbangan dan perkapalan, khususnya dengan adanya penemuan air cushion craft (hover craft).

(30)

Penambahan kata-kata pada batasan Konvensi Chicago 1944 di atas, yang diadakan pada tahun 1967, yaitu other that the reaction of the air against earth’s surface dimaksudkan untuk mengecualikan hovercraft ke dalam defenisi pesawat udara. Jadi, penambahan kata-kata tersebut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi penerbangan dan perkapalan, khususnya dengan adanya penemuan air cushion craft (hover craft).

B. Pengaturan Hukum Pengangkutan Udara

Sumber hukum udara nasional terdapat di berbagai peraturan perundang- undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945)35

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

juga perjanjian angkutan internasional (bilateral air transport agreement) di mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum. Sebagai pelaksana undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi udara, diantaranya adalah:

2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara 3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 tentang

Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal Di Indonesia

4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

35 K. Martono, Op,Cit, hal 9

(31)

5. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor Pm 115 Tahun 2015 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 176 (Civil Aviation Safety Regulation Part 176) Tentang Pencarian dan Pertolongan Pada Kecelakaan Pesawat Udara (Search And Rescue).

Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 29 September 1933.Dalam OPU tidak menyebutkan definisi mengenai angkutan udara.36

1. Konvensi Warsawa 1929 tentang Unifikasi Ketentuan-Ketentuan Tertentu Sehubungan dengan Pengangkutan Udara Internasiona l.

Disamping hukum positif nasional yang mengatur mengenai angkutan udara juga terdapat beberapa ketentuan-ketentuan internasional.Di dalam tata urutan sumber hukum konvensi-konvensi internasional dan perjanjian multilateral/ bilateral diletakkan di atas peraturan perundang-undangan nasional.

Ketentuan yang mengatur tentang pengangkutan udara internasional terdapat pada:

2. Konvensi Roma 1952 tentang Tanggung Jawab Operator Pesawat Terbang Asing kepada Pihak Ketiga di Darat.

3. Protokol The Haque 1955 tentang Amandemen Konvensi Warsawa 1929.

4. Konvensi Guadalajara 1961 tentang Tambahan Konvensi Warsawa 1929 untuk Unifikasi Aturan Tertentu Berkaitan dengan Pengangkutan Udara Internasional yang Dilakukan Oleh Pihak Selain Contracting Carrier.

5. Montreal Agreement 1966 6. Protokol Guatemala City 1971

36 http://www.suduthukum.com/2017/05/dasar-hukum-pengangkutan-udara.html, diakses tanggal 2 Desember 2017

(32)

7. Protokol Tambahan No. 1, 2, 3, dan 4 Montreal 1975 8. Konvensi Montreal 1999.37

Konvensi Warsawa adalah peraturan yang mengatur tentang pengangkutan udara internasional.Dalam konvensi ini mengatur tentang prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut udara atas kerugian yang timbul kepada penumpang, bagasi dan barang, dan juga karena kerugian yang disebabkan oleh penundaan.Seiring dengan berjalannya waktu dan pengangkutan mulai berkembang dalam skala luas, Konvensi Warsawa telah mengalami perubahan dan penambahan.38

C. Perjanjian Pengangkutan Udara dan Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut

Perjanjian pengangkutan merupakan suatu dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu kelain tempat, sedangkan lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.39 Menurut undang-undang seorang juru pengangkut (bahasa Belanda: vervoerder, bahasa Inggris: carrier) hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, jadi tidaklah perlu bahwa ia sendiri mengusahakan sebuah alat-pengangkutan, meskipun pada umumnya (biasanya) ia sendiri yang mengusahakannya.40

Menurut R. Soekardono, perjanjian pegangkutan udara adalah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu,

37 K. Martono, (2) Hukum Angkutan Udara UU RI No. 1 Tahun 2009, Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2011, .hal 233-266

38Ibid

39R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014, hal 69

40Ibid.hal. 70

(33)

sedangkan pihak lainnya (pengirimpenerima, pengirim atau penerima, penumpang), berkeharusan untuk menunaikan pembayaran tertentu untuk pengangkutan tersebut.41

Selanjutnya menurut undang-undang ada perbedaan antara seorang pengangkut dan seorang ekspeditur,yang terakhir ini hanya memberikan jasa- jasanya dalam soal pengirimannya barang saja dan pada hakekatnya hanya memberikan perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dan pihak yang mengangkut barang itu.

Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 menetapkan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.

42

Perjanjian ini harus dilakukan dengan itikad baik, hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian dengan suatu Pada umumnya dalam suatu perjanjian pengangkutan pihak pengangkut adalah bebas untuk memilih sendiri alat pengangkutan yang hendak dipakainya, sebagaimana halnya dengan perjanjian- perjanjian lainnya, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai pengangkutan yang akan diselenggarakan itu. Apabila terjadi kelalalian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaimana berlaku untuk perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam. Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

41 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986, hal 8.

42Ibid.

(34)

unsure subyektif tetapi untuk menilai perjanjian tersebut ditentukan pada unsur obyektif yaitu dengan selalu mematuhi norma-norma kesusilaan, ketentuan undang - undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan Menurut sifatnya, dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi, tidak seperti dalam perburuhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi, sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah kedudukan yang sama tinggi atau kedudukan koordinasi.43

Perjanjian pengangkutan itu pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barang-barang dan menyanggupi untuk membawanya ketempat yang telah ditunjuk dan menyerahkannya kepada orang yang dialamatkan.Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang dan/atau penumpang dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang kesuatu tempat tujuan

43 H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Jakarta: Djambatan, 2003, hal 3

(35)

tertentu, dan pihak-pihak pengirim barang dan/atau penumpang mengikatkan dirinya pula untuk membayar ongkos angkutannya.

Berdasarkan pengertian perjanjian pengangkutan diatas, didalam perjanjian pengangkutanterlibatdua pihak, yakni:

1. Pengangkut,

2. Pengirim barang atau penumpang.44

Penerima barang dalam kerangka perjanjian pengangkutan tidak menjadi para pihak.Penerima merupakan pihak ketiga yang berkepentingan atas penyerahan barang.Kewajiban utama pengangkut adalah “menyelenggarakan”

pengangkutan dari tempat asal ke tempat tujuan.Pengangkutan juga berkewajiban menjaga keselamatan barang dan atau penumpang yang diangkutnya hingga sampai ditempat tujuan yang diperjanjikan. Sebaliknya, pengangkut juga berhak atas ongkos angkutan yang ia selenggarakan.

Istilah “menyelenggarakan” pengangkutan itu bermakna, pengangkut dapat mengangkut sendiri penumpang dan atau barang yang bersangkutan atau oleh pengangkut lain atas perintahnya.Dalam halnya pengangkutan barang yang dilakukan melalui laut atau melalui udara, dengan kapal laut atau kapal udara, dibuat sepucuk surat yang dinamakan konosemen(cognossement)merupakan, sepucuk surat yang bertanggal yang ditanda-tangani oleh nahkoda atau seorang pegawai dari maskapai pelayan atau penerbangan atas nama si pengangkut, yaitumaskapai tersebut, yang menyatakan bahwa si pengangkut telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkut ketempat yang ditunjuk dan diserahkan

44Ibid

(36)

kepada orang yang diselamatkan. Melihat pada bentuk dan isinya, dapat dikatakan bahwa konosemen adalah suatu “pengakuan-berhutang” dari pihaknya pengangkut.45

Sejarah pertanggungjawaban produk di dalam common law system dan civil law system ternyata menunjukkan perbedaan asal mula bila dibandingkan dengan konsep strict liability yang dikenal pada masa sekarang.Di masa kini strict liability lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-

Kewajiban utama pihak penumpang atau pengirim barang adalah membayar ongkos angkutan yang disepakati bersama.Diatas juga telah dijelaskan bahwa dalam perjanjian pengangkutan terkait dua pihak, yaitu pengangkut dan pengirim barang dan atau penumpang.Jika tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka pada saat itu lahirlah perjanjian pengangkutan.Apabila pengangkut telah melaksanakan kewajibannya menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang, pengangkut telah terikat pada konsekuensi-konsekuensi yang harus dipikul oleh pengangkut barang atau tanggungjawab terhadap penumpang dan muatan yang diangkutnya.

Dari kewajiban-kewajibanitu makalahirlahtanggungjawab pengangkut, maka segala sesuatu yang mengganggu keselamatan penumpang atau barang menjadi tanggungjawab pengangkut.Dengan demikian, berarti pengangkut berkewajiban menanggung segala kerugian yang diderita oleh penumpang atau barang yang diangkutnya tersebut.Wujud tanggungjawab tersebut adalah ganti rugi (kompensasi).

45Ibid.,hal. 73

(37)

faultliability; liability based on nofault; liability without fault) atau pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul (liability based on risk), sebagaimana dikenal dalam common law system.46

Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya termasuk Pasal 165 UU No.1 Tahun 2009 yang merupakan tindak lanjut dari tanggung jawab perusahaan penerbangan. Pengaturan menyangkut perusahaan penerbangan yang melakukan kegiatan usaha pengangkutan udara di Indonesia diatur menurut PP No.40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.5 Pasal 1 butir 4 PP No.40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udaradisebutkan bahwa

“Perusahaan angkutan udara adalah perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan pos dengan memungut pembayaran”. Pasal 1 paragraf (1) konvensi Warsawa 1929 menyatakan “this convention shall apply to all international transportation of persons, baggage or goods performed by air craft for hire.…” dari definisi dalam PP40/95 di atas tidak jelas apakah bagasi termasuk yang diatur atau tidak, sebab antara bagasi dan kargo berbeda baik statusnya maupun pengaturannya.47

Demikian juga perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan dengan penumpang atau pemilik kargo dan pos nantinya menjadi dasar adanya tanggung jawab bila terjadi kerugian yang diderita oleh penumpang atau pemilik kargo dan pos. Dalam Konvensi Warsawa 1929 kekurangan ini diperbaiki oleh

46 Gunawan, Johannes, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia & Perdagangan Bebas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal 144

47 Henri Yosua Massie, Tanggungjawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut undang-undang no. 1 tahun, Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015, hal 6

(38)

Protocol Den Haag 1955 dengan mengubah bunyi Article 3 paragraf 2 menjadi:

“the passanger ticket shall constitute primafacie evidence of the conclusion and condition of the contract carriage”. Disini mengandung arti bahwa antara pengangkut udara dan penumpang terjadi perjanjian pengangkutan yang dibuktikan dengan adanya tiket penumpang.Dengan demikian, bila terjadi kerugian dipihak penumpang selama pengangkutan udara maka berarti pengangkutan telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang telah disepakati, yaitu untuk mengangkut sampai tempat tujuan dengan selamat.Definisi dalam PP tersebut tidak lengkap di samping ada hal yang tidak seharusnya.Jadi materi PP malah masuk (pos). Kekurangan tersebut adalah apa yang di maksud dengan

“perusahaan”, tentang “mengadakan perjanjian” tentang “bagasi” sehingga definisi tersebut seharusnya berbunyi: “perusahaan pengangkutan udara adalah orang atau badan yang mengadakan perjanjian untuk mengangkut penumpang (bagasi), dan kargo, (dan pos) dengan pesawat terbang dan memungut pembayaran”.48

Prinsip ini menekankan bahwa selalu bertanggungjawab49

48 Ibid, hal 7

49 Musa Taklima, Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan, Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 September 2010, hal. 23

atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan

(39)

dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.50

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak- pihak terkait.51

1. Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 No. 100) salah satu peraturan terpenting bagi pengangkutan udara di Indonesia adalah Ordonansi Pengangkutan Udara (luchvervoer ordonantie), seperti dimuat dalam Staatsblad Tahun 1939 No. 100. Peraturan ini hingga kini masih berlaku.

Persoalan utama yang diatur dalam peraturan ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkut.

Pertanggungjawaban pengangkut menurut Pasal 1 angka 22 Undang- Undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan merupakan kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.

Tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang diatur dalam beberapa peraturan, yaitu:

52

50 Rahayu Hartini, Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia, Malang: UMM Press, 2007, hal. 89

51 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2006, hal. 72

52 E.Suherman, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Bandung: Alumni, 1983, hal 9

(40)

Ordonansi pengangkutan udara, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam beberapa pasal, yaitu:

a. Pasal 24 ayat 1 ”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas-jejas lain pada tubuh, yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”.

b. Pasal 25 ayat (1) ”Pengangkut bertanggungjawab untuk kerugian yang terjadi sebagai akibat dari kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara”.

c. Pasal 28 ”Jika tidak ada persetujuan lain, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian, yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang”

Disamping tanggung jawab pengangkut, Ordonansi Pengangkutan Udara juga menyebutkan besarnya jumlah penggantian ganti rugi.Namun dalam hal jumlah penggantian ini menjadi suatu kekurangan peraturan ini pada masa kini. Limit penggantian yang ditentukan dalam peraturan ini sudah sama sekali tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomis sekarang, yaitu karena limit jumlah-jumlah ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam

(41)

peraturan ini adalah jumlah-jumlah yang sesuai untuk waktu peraturan ini dibuat, yaitu dalam tahun-tahun sebelum tahun 1939.53

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan .

Undang-Undang Penerbangan ini, ketentuan mengenai Tanggung Jawab Pengangkut terhadap Penumpang dan/atau Pengirim Kargo terdapat dalam Pasal 141ayat (1) Pengangkut bertanggungjawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau lukaluka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. (2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya. (3) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.54

3. Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.

Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 42, yang menyebutkan:

”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas:

a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;

53Ibid, hal 11

54 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 141

(42)

b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Dalam peraturan ini ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut sama dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009. Namun dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai batas jumlah pemberian ganti rugi, yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009,dalam pemberian batas jumlah ganti rugi, peraturan ini telah sesuai dengan keadaan ekonomis sekarang ini.

Pertanggungjawaban pengangkut dapat ditinjau dari beberapa prinsip berikut :

1. Prinsip “Presumption of Liability” Prinsip ini menyatakan bahwa pengangkut barang merupakan pihak yang dianggap selalu bertanggungjawab terhadap segala kerugian yang timbul terhadap barang selama dalam pengangkutan udara, akan tetapi bila pengangkut tidak melakukan kelalaian dan telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari terjadinya kerugian tersebut atau dapat membuktikan bahwa peristiwa yang menimbulkan kerugian tersebut tidak mungkin dapat dihindari maka pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian.

2. Prinsip “Presumption of Non Liability” Prinsip ini berlaku untuk bagasi tangan, pengangkut dianggap selalu tidak bertanggungjawab untuk kerugian yang timbul pada bagasi tangan yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang bagasi tidak tercatat “unregistered baggage”, hand baggage dan

(43)

cabin baggage. Pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab. Hal ini merupakan kebalikan dari prinsip untuk penumpang atau bagasi tercatat atau barang muatan.

3. Prinsip “ Absolute Liability atau strict Liability” Prinsp ini menyatakan bahwa pengangkut atau operator pesawat udara tidak lagi dianggap selalu bertanggungjawab akan tetapi harus bertanggungjawab untuk kerugian yang timbul pada pihak penumpang, pengirim atau penerima barang dan pada pihak ketiga di permukaan bumi. Jadi dengan kata lain bahwa pengangkut harus bertanggungjawab atas setiap kerugian yang diderita pihak lain yang disebabkan dari penyelenggaraan pengangkutan tanpa dalih apapun kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri.

4. Prinsip “Limitiation of Liability” Prinsip ini mengatur soal tanggungjawab pengangkut yang dibatasi sampai jumlah tertentu.55

55 E Suherman, Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung: Alumni, 1984, hal 18- 23

(44)

PERLINDUNGAN HUKUM PADA KONSUMEN SELAKU PENGGUNA JASA ANGKUTAN UDARA

A. Pengertian Konsumen Secara Umum

Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu diberbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya.Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan konsumen.Disamping itu, telah pula berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of Consumer Union(IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.56

Konsumen adalah setiap orang pemakai barangdan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.57

56Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen Jakarta, Sinar Grafika, 2016 hal. 22

57Indonesia Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1angka 2.

Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka olehpengusaha.Dalam buku A.Z. Nasution yang berjudul aspek-aspek hukum masalahperlindungan konsumen, istilah konsumen berasal dari bahasa consumer (InggrisAmerika)atau consument

(45)

(Belanda).Secara harfiah arti kata consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan barang.58

Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.59Perancis berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang mengartikan konsumen sebagai “the person who obtains goods or services forpersonal or family purposes”.Dari definisi diatas terkandung dua unsur, yaitu (1)konsumen hanya orang dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluanpribadi atau keluarganya.60

Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjual belikan lagi.61

Berdasarkan pengertian konsumen diatas, maka dapat dikemukakan unsur- unsur definisi konsumen :

Istilah konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan perundangundangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalammasyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupunmakhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

62

58A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media 2002, hal. 3

59Ibid. hal.6

60 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hal. 3

61 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hal. 17

62 Az. Nasution, Op.Cit., hal. 13.

(46)

a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yangberstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa.Istilah ”orang” disinitidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijkepersoonatau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Oleh karenaitu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumensebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakupjuga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

b. Pemakai

Kata “pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPerlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir (ultimateconsumer).

c. Barang dan / atau jasa

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagaibenda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidakbergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapatdihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, ataudimanfaatkan oleh konsumen.Sementara itu, jasa diartikan sebagaisetiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakanbagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Jika mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat perjanjian yang salah satunya adalah kesepakatan para pihak, kesepakatan disini maksudnya kesepakatan

Berdasarkan uraian diatas maka terbukti sebagai fakta didepan persidangan, sehingga tepatlah Amar putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa Fahmi Adriyanto alias

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif. Akibat hukum terhadap

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa jaminan sosial tenaga kerja sebagai bentuk perlindungan terhadap pekerja yang diberikan CV Melyka sendiri meliputi beberapa hal, yaitu

Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakanunsur-unsur pokok disamping unsurlain yang menentukan lahirnya perjanjian.Berlakunya asas konsensualisme menurut

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan Kepada Kedua Orang Tua Tercinta, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Apabila pihak perusahaan tidak melaksanakan tanggung jawabnya dalam menjaga dan melindungi lingkungan hidup masyarakat, maka masyarakat sosor ladang melalui organisasi