• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4.3.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.18. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

67 Gambar 3.19. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet”

(Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

68 223-239, saturation sebesar 55-91%, dan value sebesar 81-100%. Lineart yang bertujuan utama untuk memfokuskan tokoh dan perhatian penonton, menggunakan saturation yang lebih rendah (pucat) dan value yang lebih tinggi, bahkan hampir mencapai warna putih. Pada film animasi tersebut, penambahan volume menggunakan warna-warna aksen, seperti abu-abu (yang tampak seperti kuning gelap) dan ungu muda (yang tampak seperti merah muda). Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

2. Persona 4 The Golden Animation Episode 1 (2014)

Gambar 3.20. Color palette sebuah adegan dalam serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation”

(EctoGhost, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=HbaBnnJ3Pdg&t=194s) “Persona 4 The Golden Animation” adalah sebuah serial TV animasi Jepang yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan dirilis pada tahun 2014. “Persona 4 The Animation” menceritakan kisah seorang siswa laki-laki yang masuk ke dunia di dalam televisi. Ia memiliki kekuatan magis berupa sebuah makhluk yang merupakan manifestasi dari emosinya, dan memiliki

69 tujuan untuk menyelamatkan orang-orang yang terperangkap di dalam dunia tersebut. Serial TV animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu menggunakan sebuah makhluk sebagai manifestasi dari emosi seseorang. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” tersebut lebih menggambarkan menggambarkan bahaya, amarah, dan kekuatan yang meluap. Menurut Rustan (2019), warna merah juga melambangkan kepribadian seseorang yang suka memberontak dan agresif.

Pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” episode 1, tokoh utama mengalami sebuah kebangkitan atas kekuatan yang dimilikinya. Hal ini berakibat pada munculnya sebuah tokoh baru yang merupakan manifestasi dari diri tokoh utama tersebut. Setelah bangkit, warna dominan yang tampak adalah warna merah yang menggunakan hue nomor 3-12, saturation sebesar 75-86%, dan value sebesar 33-71%. Warna merah tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna dominan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 69.

70 3.4.3.2. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.21. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

71 Adegan imajinasi pada film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan low-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah short-lighting untuk mempertegas bentuk sang pendekar kecil dan memperkuat pengungkapan emosinya. Teknik pencahayaan short-lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 69.

Acuan Scene 2 Shot 81 3.4.4.

3.4.4.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.22. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

72

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

environment. Pada ending, lineart tersebut menggunakan hue yang

berkisar di antara nomor 205-182, saturation sebesar 29-40%, dan value sebesar 97-100%. Lineart ini jauh lebih terang jika dibandingkan dengan

lineart pada acuan-acuan “Duet” sebelumnya untuk memfokuskan

perhatian penonton pada akhir cerita. Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

73 2. A Folded Wish (2020)

Gambar 3.23. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “A Folded Wish” (Artmoeba Productions, 2020,

https://www.youtube.com/watch?v=9HEkdFzHLHs&t=86s)

“A Folded Wish” adalah sebuah film animasi pendek 3D karya Artmoeba Productions dan dirilis pada tahun 2020. “A Folded Wish” menceritakan kisah anak kembar perempuan yang berusaha melipat seribu origami bangau dengan harapan bisa sembuh dari penyakit mematikan. Film animasi pendek ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep color

mood yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu konsep hangat

(warm) dengan warna jingga-kekuningan (warna jingga-kemerahan yang tampak disebabkan oleh warna kayu yang lebih gelap, sehingga color

mood-nya tetap jingga-kekuningan). Warna jingga dan kuning jika

digabungkan dapat menggambarkan kehangatan dari persaudaraan untuk melawan rasa ketidakamanan (Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan, (2019)). Hal ini sesuai dengan adegan yang menampilkan hangatnya persaudaraan anak kembar tersebut, tetapi di saat yang sama, mereka

74 sedang melawan rasa ketidakamanan yang disebabkan oleh penyakit mematikan.

Pada film animasi “A Folded Wish”, warna dominan yang digunakan adalah jingga-kekuningan dengan hue nomor 22-47, saturation sebesar 46-66%, dan value sebesar 100%. Warna jingga-kekuningan tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna dominan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

3. Spring Herald (2019)

Gambar 3.24. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “Spring Herald” (Curie Lu, 2019, https://www.youtube.com/watch?v=b9JEhQbpUsA)

“Spring Herald” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Curie Lu dan dirilis pada tahun 2019. “Spring Herald” menceritakan kisah seorang perempuan yang menyusuri desa dengan menaiki naga terbang. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki salah satu adegan yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu terdapat suatu tokoh

75 atau objek yang bersifat magis dan memiliki unsur pembeda dari tokoh yang asli (memiliki wujud).

Seekor naga kecil pada film animasi “Spring Herald” merupakan sebuah tokoh yang magis, tidak ada di kehidupan nyata dalam dunia tersebut. Untuk membedakan tokoh yang magis dengan tokoh yang asli (memiliki wujud), naga kecil tersebut menggunakan warna kuning-kejinggaan dengan hue nomor 42, saturation sebesar 27%, dan value sebesar 100%. Naga kecil tersebut juga mengeluarkan sinar dari dirinya sendiri sehingga tampak bercahaya. Selain untuk membedakan tokoh yang magis dengan tokoh yang asli, sinar tersebut juga dapat memfokuskan perhatian penonton pada dirinya. Hal ini karena sinar tersebut menggunakan value yang lebih tinggi daripada value di sekitarnya. Warna tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna untuk jubah dan pedang pada Scene 2 Shot 81.

76 3.6.1.1. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.25. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

77 Adegan imajinasi pada film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan low-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah short-lighting untuk mempertegas bentuk sang pendekar kecil dan memperkuat pengungkapan emosinya. Teknik pencahayaan short-lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

2. Spring Herald (2019)

Gambar 3.26. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “Spring Herald”

78 “Spring Herald” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Curie Lu dan dirilis pada tahun 2019. “Spring Herald” menceritakan kisah seorang perempuan yang menyusuri desa dengan menaiki naga terbang. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki salah satu adegan yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu terdapat suatu tokoh atau objek yang bersifat magis dan memiliki unsur pembeda dari tokoh yang asli (memiliki wujud).

Teknik pencahayaan yang digunakan pada film animasi “Spring Herald” adalah high-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan

value yang tinggi dan tidak terlalu kontras, serta saturation yang cukup

rendah. Teknik pencahayaan high-key lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

79 3.5. Proses Perancangan

Tabel 3.1. Daftar aspek-aspek visual sesuai dengan emosi yang ingin dicapai Emosi yang Ingin Dicapai

Pertanda Buruk Diiringi dengan Suasana Mistis Puncak Bahaya dan Agresivitas Tekad untuk Melawan Bahaya Hangatnya Persaudaraan dalam Situasi Tidak Aman Warna yang Muncul Biru, ungu, hitam, merah tua, kuning Merah, merah tua, hitam, jingga, putih Merah, merah tua, jingga, putih Jingga, kuning, putih, merah muda Warna

Dominan Biru/ungu Merah Merah Jingga/kuning

Arti Warna Dominan Dingin, isolasi, fantasi, mistis, pertanda buruk Bahaya, amarah, kekuatan Bahaya, semangat, kekuatan Hangat, pertemanan, kegembiraan Hue Biru: 204-247 Ungu: 291-316 3-12 3-12 22-47 Saturation Biru: 41-87% Ungu: 64-66% 75-86%; 99% untuk warna ekstrim 75-86% 46-66%; 27% untuk warna glow Values Biru: 82-99% Ungu: 25-55% 33-71%; 100% untuk warna ekstrim 33-71% 100% Harmoni Warna Split complementary, analogous Analogous/ triadic/ monochromatic Analogous, mono-chromatic Analogous/ mono-chromatic Teknik Penca-hayaan Low-key lighting, backlighting Low-key lighting, backlighting Low-key lighting, short lighting High-key lighting, short lighting

80 Proses perancangan dimulai dengan eksperimen pertama sesuai dengan referensi visual yang diinginkan, yaitu film animasi “Duet” (2014). Setelah itu, penulis merancang color script untuk memperoleh gambaran umum mengenai progresivitas warna dan intensitas cahaya yang ditampilkan. Kemudian, penulis menganalisis emosi yang dirasakan saat melihat adegan tersebut untuk direvisi mengikuti perkembangan shot.

Gambar 3.27. Color script pertama film animasi hybrid “Crayon” (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.28. Color script akhir film animasi hybrid “Crayon” (Dokumentasi pribadi)

81

Color script pertama dinilai terlalu gelap dan tidak sesuai dengan target

audience film animasi hybrid “Crayon”, yaitu anak-anak usia 7-12 tahun.

Berdasarkan pada teori Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan nama dari warna tertentu (hue) sehingga dengan progresivitas warna dan intensitas cahaya yang terlalu gelap, anak-anak tidak akan bisa membedakan hue yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, color script tersebut tidak sesuai dengan teori Caldwell (2017) dalam Aditya (2020), yang mengatakan bahwa intensitas visual semakin meningkat mengikuti perkembangan cerita hingga di titik klimaks. Pada color script tersebut, tahap klimaks justru memiliki intensitas visual yang sangat rendah karena tidak sekontras tahap eksposisi dan resolusi.

Selain penggunaan warna dan teknik pencahayaan yang lebih baik dan jelas, color script akhir sesuai dengan teori Caldwell (2017) dalam Aditya (2020). Tahap eksposisi menggunakan warna dominan biru muda dan cream yang lembut sehingga kontrasnya tidak lebih tinggi daripada tahap klimaks. Pada adegan imajinasi, khususnya pada tahap rising action dan klimaks, warna dominan ungu memiliki kontras yang tinggi, sedangkan warna dominan merah memiliki kontras yang paling tinggi dari seluruh progresivitas warna dan intensitas cahaya. Hal ini bertujuan untuk mendukung intensitas cerita yang semakin dramatis hingga di titik klimaks. Pada tahap falling action dan resolusi, warna dominan jingga-kekuningan yang dilanjutkan dengan pencahayaan sore hari, memiliki kontras yang lebih rendah daripada tahap klimaks sebagai tanda berakhirnya konflik yang telah terjadi.

82 Gambar 3.29. Floor plan sebagai aturan penempatan cahaya utama

(Dokumentasi pribadi)

Agar pencahayaan yang digunakan pada setiap shot bersifat kontinu, dibuatlah sebuah floor plan yang berisi posisi tokoh-tokoh dan penempatan cahaya. Pada adegan imajinasi tersebut, sumber cahaya utama merupakan

directional light yang berada di sisi selatan denah. Pancaran cahaya yang

dihasilkan oleh sumber cahaya utama tersebut mengarah ke utara dan berwarna

warm white. Intensitasnya akan disesuaikan dengan kebutuhan setiap shot.

Proses Perancangan Scene 2 Shot 40 3.5.1.

Gambar 3.30. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

83 Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna ungu menciptakan kesan fantasi, mistis, dan munculnya pertanda buruk. Warna ungu yang digunakan memiliki hue nomor 279-281,

saturation sebesar 60-98%, dan value sebesar 20-91%. Harmoni warna yang

digunakan adalah monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Gambar 3.31. Eksplorasi color palette kedua Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Eksplorasi warna kedua yang diperoleh dari hasil observasi dari film animasi “Duet” dan “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah biru. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru menciptakan kesan isolasi, dingin, dan kepasifan. Warna biru yang digunakan memiliki hue nomor 238-241, saturation sebesar 60-98%, dan value sebesar 20-91%. Harmoni warna yang digunakan adalah monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

84 Penggunaan warna biru pada shot tersebut dinilai kurang sesuai dengan emosi yang ingin dicapai, karena kesan yang didapat oleh penonton condong ke arah kondisi yang tenang dan dingin. Warna ungu lebih sesuai untuk digunakan karena menciptakan kesan pertanda buruk yang diiringi dengan suasana mistis atau magis. Selain itu, penggunaan value yang lebih banyak di bawah 50% membuat shot tersebut tampak sangat gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan

target audience film animasi “Crayon”, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun.

Menurut Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan kategori, yaitu berdasarkan nama dari warna tertentu dan asosiasinya terhadap subjek atau objek tertentu, bukan berdasarkan

value dari warna tersebut. Hal ini dapat berakibat pada kesalahpahaman dalam

kinerja kognitif anak-anak saat memahami pesan dari adegan yang dilihatnya.

Gambar 3.32. Eksplorasi color palette ketiga Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Kemudian, shot tersebut dieksplorasi ulang penggunaan warnanya dengan memilih value di atas 50% untuk warna ungu dominan. Warna ungu yang digunakan memiliki hue nomor 281-300, saturation sebesar 55-78%, dan value

85 sebesar 91-100%. Tokoh tidak lagi hanya menggunakan lineart, tetapi juga menggunakan solid fill dan glow. Harmoni warna yang digunakan tetap

monochromatic, namun terdapat warna aksen biru tua dan merah muda-keunguan

dengan hue yang berdekatan, sehingga sekilas tampak seperti analogous. Menurut Rustan (2019), harmoni warna monochromatic memberikan nuansa tenang dan bersih, sedangkan harmoni warna analogous memberikan nuansa yang hampir sama dengan monochromatic, namun variasinya dapat dibuat beragam sehingga menciptakan nuansa yang berbeda. Nuansa tenang dan bersih yang diberikan harmoni warna monochromatic tidak terlalu sesuai dengan emosi yang ingin dicapai pada shot tersebut, yaitu adanya pertanda buruk. Oleh karena itu, eksplorasi warna selanjutnya menggunakan harmoni warna analogous.

Gambar 3.33. Eksplorasi denah pencahayaan ketiga Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

86 Walaupun terdapat glow pada sisi luar tubuh Monomono, prinsip cahaya pada shot tersebut tidak tampak dengan jelas. Hal ini dikarenakan warna yang digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 55% di saat warna-warna lainnya juga tampak bersaturasi tinggi, sehingga terkesan tidak bersinar seperti sumber cahaya, bahkan dapat menyakitkan mata. Namun, penggunaan teknik pencahayaan backlighting menambah kesan magis dan mencekam, serta membuat perhatian penonton terfokus pada tokoh tersebut. Hal ini dikarenakan backlighting dapat memisahkan suatu objek dari environment (Lotman, 2016).

Gambar 3.34. Eksplorasi color palette keempat Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi selanjutnya, terdapat perubahan desain tokoh Alvin serta perubahan shot angle. Warna ungu dominan yang digunakan juga divariasikan

saturation dan value-nya agar tercipta nuansa yang seimbang. Warna ungu

tersebut memiliki hue nomor 288-289, saturation sebesar 36-62%, dan value sebesar 84-96%. Selain menggunakan solid fill dan glow, lineart tokoh tidak lagi menggunakan solid color saja, tetapi menggunakan dua warna yang bersifat komplementer. Pada shot tersebut, lineart yang tidak terkena cahaya

87 menggunakan warna ungu tua, sedangkan lineart yang terkena cahaya menggunakan warna kuning muda. Teknik tersebut diperoleh dari observasi visual film animasi “Duet”, yang bertujuan untuk memperkuat arah sumber cahaya dan mempertegas bentuk atau figur tokoh. Harmoni warna yang digunakan adalah

analogous.

Gambar 3.35. Eksplorasi denah pencahayaan keempat Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Pada shot tersebut, prinsip cahaya tampak dengan jelas. Perhatian penonton terfokuskan pada Alvin dan Delwyn atas penggunaan warna

background yang lebih terang ketimbang warna tokoh. Selain itu, warna yang

digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 2% dan value sebesar 100%, yaitu hampir mencapai warna putih. Teknik pencahayaan backlighting yang dipadukan dengan warna glow tersebut memberikan kesan bersinar seakan-akan cahaya tersebut berasal dari tubuh Monomono.

88 Pada eksplorasi akhir, terdapat perubahan shot angle dan desain tokoh Monomono. Shot tersebut kini hanya menampilkan kemunculan Monomono di dunia imajinasi karena emosi tokoh Alvin tahap pertama, yaitu anger and

mystical, digambarkan dengan munculnya Monomono yang diliputi aura magis

untuk mencapai konsep emosi Shot 40: pertanda buruk diiringi dengan suasana mistis. Eksplorasi akhir beserta alternatifnya ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.36. Floor plan Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.37. Eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

89 Gambar 3.38. Eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 40

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir utama, pembentukan warna dominan ungu menggunakan warna-warna hasil observasi dari acuan “KAIE and The Phantasus’s Giant”. Warna ungu tua menggunakan hue nomor 266, saturation sebesar 72%, dan value sebesar 62%; sedangkan warna ungu muda menggunakan

hue nomor 278, saturation sebesar 53%, dan value sebesar 69%. Teknik

pencahayaan yang digunakan adalah low-key lighting, backlighting, dan glow.

Gambar 3.39. Alternatif eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

90 Gambar 3.40. Alternatif eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 40

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir alternatif, pembentukan warna dominan ungu menggunakan warna-warna dari proses perancangan sebelumnya. Warna ungu tua menggunakan hue nomor 266, saturation sebesar 72%, dan value sebesar 62%; sedangkan warna ungu muda menggunakan hue nomor 276, saturation sebesar 49%, dan value sebesar 92%. Teknik pencahayaan yang digunakan sama dengan eksplorasi akhir utama, yaitu low-key lighting, backlighting, dan glow.

Tabel 3.2. Persamaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 40 dengan alternatifnya Persamaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna Dasar Tokoh Harmoni Warna Teknik Pencahayaan Shot 40 Ungu dan hitam Analogous Low-key lighting,

91 Tabel 3.3. Perbedaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 40 dengan alternatifnya

Perbedaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna

Dominan Hue Saturation Value

Shot 40 Ungu Utama: 278 Alternatif: 276 Utama: 53% Alternatif: 49% Utama: 69% Alternatif: 92%

Dibandingkan dengan eksplorasi akhir alternatif, warna dominan ungu yang diperoleh dari acuan “KAIE and The Phantasus’s Giant” dianggap lebih kontras karena menggunakan warna ungu yang lebih gelap. Selain itu, penggunaan warna dominan ungu tersebut memberikan kesan yang lebih mencekam ketimbang dengan menggunakan warna dominan ungu yang lebih muda pada eksplorasi akhir alternatif. Oleh karena itu, eksplorasi akhir utama diputuskan sebagai desain akhir Scene 2 Shot 40.

Gambar 3.41. Desain akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

92 Proses Perancangan Scene 2 Shot 45

3.5.2.

Gambar 3.42. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah menciptakan kesan bahaya, amarah, dan kekuatan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 4-12, saturation sebesar 71-98%, dan value sebesar 20-98%. Harmoni warna yang digunakan adalah

monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga

teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Dokumen terkait