• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. orang ini merupakan sebuah animasi hybrid tiga dimensi (3D) dan dua dimensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI. orang ini merupakan sebuah animasi hybrid tiga dimensi (3D) dan dua dimensi"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

43

BAB III

METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum

Film animasi yang penulis rancang bersama kelompok yang beranggotakan lima orang ini merupakan sebuah animasi hybrid tiga dimensi (3D) dan dua dimensi (2D) bergenre Family, Fantasy, dan Action. Film animasi ini mengisahkan seorang kakak bernama Alvin yang bertengkar dengan adiknya, Delwyn, karena diganggu saat mengerjakan submisi lomba gambarnya, bahkan submisi tersebut sampai dicoret-coret. Output 3D digunakan untuk menggambarkan situasi yang dialami Alvin dan Delwyn di kehidupan nyata, sedangkan output 2D digunakan untuk menggambarkan adegan pertarungan imajinatif antara monster bernama Monomono, sebagai manifestasi emosi Alvin, dengan kedua kakak-beradik. Film animasi ini memiliki target audience berupa anak-anak usia 7-12 tahun. Dalam proses merancang tugas akhir, penulis mengumpulkan data-data kualitatif dengan cara melakukan studi literatur serta observasi dan analisis visual terhadap berbagai film animasi. Penulis juga melakukan eksperimen visual dengan menerapkan teori-teori yang sesuai sebagai materi pembuatan karya.

Sinopsis 3.1.1.

Delwyn, seorang anak laki-laki berusia 5 tahun yang memakai kaos kutang, mencoba untuk meraih mainan monster ungu bernama Monomono yang diletakkan di atas rak komik di kamarnya. Ia berkali-kali meminta tolong kepada kakaknya yang bernama Alvin untuk mengambilkannya, tetapi ia justru diusir

(2)

44 karena dianggap mengganggu aktivitasnya menyelesaikan submisi lomba gambar. Delwyn pun berusaha memanjat rak komik untuk mengambil mainan tersebut sendiri, tetapi justru digendong turun dan disingkirkan oleh Alvin karena memberantakkan komik-komik miliknya. Melihat ada krayon yang tidak dipakai, Delwyn langsung memakainya untuk mencoret-coret submisi lomba gambar Alvin dengan harapan membuatnya lebih bagus. Emosi Alvin memuncak melihat hal tersebut, mereka saling tarik-menarik krayon hingga krayon tersebut patah menjadi dua. Pada adegan imajinasi, hiduplah Monomono. Delwyn semakin menyulut emosi Alvin dengan melempar bola ke arahnya. Amarah Alvin meledak dan Monomono bertransformasi menjadi monster merah yang lebih menyeramkan dari sebelumnya. Ia menyerang Delwyn dengan tembakan api dan berbagai pukulan. Tiba-tiba Alvin sadar bahwa tindakan Monomono sudah keterlaluan. Pada akhirnya, kedua kakak-beradik tersebut bekerja sama mengalahkan Monomono. Dunia kembali ke realita, keduanya tampak akur menggambar dan bermain bersama. Hasil gambar Alvin dan Delwyn berhasil memenangkan lomba serta memperoleh hadiah berupa peralatan gambar dan mainan Monomono baru.

Posisi Penulis 3.1.2.

Dalam pembuatan film animasi ini, penulis berperan sebagai color key artist,

lighting artist, serta 2D colorist. Color key artist adalah orang yang bertugas

dalam merancang perubahan tata warna untuk menentukan mood secara progresif dalam color script. Lighting artist adalah orang yang bertugas merancang tata pencahayaan untuk membangun atmosphere, tone, depth, dan mood dalam setiap

(3)

45 tokoh maupun environment. Ketiga peran ini penting untuk merancang visual yang dapat membangun persepsi dan emosi penonton yang diinginkan terhadap film animasi tersebut.

(4)

46 3.2. Tahapan Kerja

Gambar 3.1. Skema tahapan kerja (Dokumentasi pribadi)

(5)

47 Pada tahap preproduksi, penulis menganalisis tema, alur cerita, serta konteks yang ingin disampaikan pada scene terkait, dalam kasus ini adalah Scene 2, sebagai dasar untuk menentukan warna utama dan pencahayaan yang sesuai. Setelah konsep cerita keseluruhan telah terbentuk, penulis mengumpulkan data-data literatur, melakukan studi literatur, dan mengobservasi visual terhadap berbagai film animasi yang berisi adegan pertarungan. Beberapa aspek yang diobservasi dari berbagai film animasi tersebut adalah warna utama (hue) serta teknik pencahayaan yang digunakan, terutama pada saat adegan pertarungan. Selain itu, penulis juga mengobservasi berbagai film animasi 2D yang menggunakan tata warna dan pencahayaan abstrak atau serupa. Hasil dari penelitian tersebut digunakan sebagai dasar pemilihan harmoni warna dan tata pencahayaan pada Scene 2.

Dasar pemilihan harmoni warna dan tata pencahayaan tersebut akan menjadi acuan utama dalam perancangan shot yang akan dibahas. Perancangan

shot dimulai setelah storyboard selesai dibuat. Pada tahap ini, penulis melakukan

berbagai eksperimen visual untuk menentukan kombinasi hue, saturation, value serta teknik pencahayaan yang dapat diaplikasikan ke dalam konsep krayon dan dapat membangun mood yang diinginkan. Kemudian, palet warna dan teknik pencahayaan yang telah dirancang dari hasil eksperimen visual akan dianalisis ketepatannya dengan tujuan pembuatan Scene 2 untuk dilanjutkan ke tahap finalisasi.

(6)

48 3.3. Konsep Adegan

Scene 2 Shot 40, Shot 45, Shot 69, dan Shot 81 merupakan empat shot pada adegan imajinasi yang menggambarkan tahapan emosi tokoh Alvin terhadap tokoh Monomono. Keempat shot tersebut menjadi titik mula atau puncak dari perkembangan emosi Alvin, yaitu pertanda buruk diiringi suasana mistis (anger

and mystical, tahap pertama), puncak bahaya dan agresivitas (rage, tahap kedua),

tekad untuk melawan bahaya (realization, tahap ketiga), dan hangatnya persaudaraan dalam situasi tidak aman (anticipation, tahap keempat).

Konsep Adegan Scene 2 Shot 40 3.3.1.

Gambar 3.2. Konsep adegan Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Pada Scene 2 Shot 40, terdapat transisi dari dunia realita ke dunia imajinasi. Saat itu, Alvin semakin geram atas perbuatan Delwyn yang telah mencoret-coret submisi lomba gambarnya. Hal ini ditunjukkan dari munculnya Monomono secara mistis di belakang Alvin sebagai manifestasi emosinya. Environment pun berubah menjadi arena perang berbentuk bulat dengan beragam buku besar yang menancap

(7)

49 di tanah di sekelilingnya. Pada saat melihat adegan ini, penonton dirancang untuk merasakan pertanda buruk yang perlahan-lahan mencekam, diiringi dengan suasana mistis atau magis.

Konsep Adegan Scene 2 Shot 45 3.3.2.

Gambar 3.3. Konsep adegan Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Pada Scene 2 Shot 45, amarah Alvin meledak setelah dilempari bola oleh Delwyn. Hal ini ditunjukkan dari sumbu di atas kepala Monomono yang terbakar habis. Kemudian, Monomono bertransformasi menjadi monster merah yang lebih menyeramkan dari penampilan sebelumnya (power-up). Pada saat melihat adegan ini, penonton dirancang untuk merasakan puncak amarah Alvin, serta agresivitas Monomono yang sangat membahayakan atas kekuatan yang dimilikinya.

(8)

50 Konsep Adegan Scene 2 Shot 69

3.3.3.

Gambar 3.4. Konsep adegan Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

Pada Scene 2 Shot 69, Alvin mulai menyadari bahwa tindakan Monomono sudah keterlaluan atau melewati batasnya. Ia pun berdiri di antara Monomono dan Delwyn untuk melindungi adiknya yang sudah tidak berdaya untuk melawan. Di saat ini Alvin melawan emosinya sendiri agar ia tidak mencelakai orang lain. Pada saat melihat adegan ini, penonton dirancang untuk merasakan suasana bahaya yang dialami Alvin, tetapi juga kepribadiannya yang kuat dan bertekad untuk melawan Monomono.

(9)

51 Konsep Adegan Scene 2 Shot 81

3.3.4.

Gambar 3.5. Konsep adegan Scene 2 Shot 81 (Dokumentasi pribadi)

Pada Scene 2 Shot 81, Alvin dan Delwyn tampak siap untuk melawan Monomono. Hal ini terjadi setelah Delwyn menggambarkan jubah dan pedang yang bisa digunakan Alvin untuk melawan monster tersebut. Walaupun Delwyn tidak ambil bagian dalam perang melawan Monomono, keduanya tampak kuat dan bertekad untuk memenangkan perang tersebut. Pada saat melihat adegan ini, penonton dirancang untuk merasakan hangatnya persaudaraan Alvin dan Delwyn, yang bekerja sama dengan penuh tekad untuk melawan Monomono dan mengatasi situasi yang tidak aman tersebut.

3.4. Acuan

Penulis mengobservasi sebanyak tujuh film animasi dan menganalisis 4 bagian topik besar, yaitu hue, saturation, value, dan teknik pencahayaan. Pemilihan keempat bagian topik besar tersebut akan mewakili emosi dan pesan yang ada di Scene 2 Shot 40, Shot 45, Shot 69, dan Shot 81.

(10)

52 Acuan Scene 2 Shot 40

3.4.1.

3.4.1.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.6. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

Gambar 3.7. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini

(11)

53 digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

environment. Lineart ini menggunakan hue yang berkisar di antara nomor

223-239, saturation sebesar 55-91%, dan value sebesar 81-100%. Lineart yang bertujuan utama untuk memfokuskan tokoh dan perhatian penonton, menggunakan saturation yang lebih rendah (pucat) dan value yang lebih tinggi, bahkan hampir mencapai warna putih. Pada film animasi tersebut, penambahan volume menggunakan warna-warna aksen, seperti abu-abu (yang tampak seperti kuning gelap) dan ungu muda (yang tampak seperti merah muda). Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

(12)

54 2. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.8. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s)

Gambar 3.9. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi

(13)

55 sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan isolasi yang bernuansa dingin, sedangkan warna ungu lebih menggambarkan aura fantasi yang mistis diiringi dengan pertanda buruk.

Film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan warna dominan biru dan ungu pada adegan imajinasi. Warna dominan biru menggunakan hue yang berkisar di antara nomor 204-247, saturation sebesar 41-87%, dan value sebesar 82-99%. Warna dominan ungu menggunakan hue yang berkisar di antara nomor 291-316, saturation sebesar 64-66%, dan value sebesar 25-55%. Warna merah, jingga, kuning, dan hijau digunakan sebagai aksen tokoh. Warna dominan ungu tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 40.

(14)

56 3. Persona 5 The Animation Episode 1 (2018)

Gambar 3.10. Color palette sebuah adegan dalam serial TV animasi “Persona 5 The Animation”

(Animelab, 2018, https://www.youtube.com/watch?v=sFIlEY8NZhA&t=15s) “Persona 5 The Animation” adalah sebuah serial TV animasi Jepang yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan dirilis pada tahun 2018. “Persona 5 The Animation” menceritakan kisah seorang siswa laki-laki yang masuk ke dunia kognitif orang lain. Ia memiliki kekuatan magis berupa sebuah makhluk yang merupakan manifestasi dari emosinya, dan memiliki tujuan untuk menghancurkan sisi jahat manusia. Serial TV animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu menggunakan sebuah makhluk sebagai manifestasi dari emosi seseorang. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada serial TV animasi “Persona 5 The Animation” tersebut lebih menggambarkan pengisolasian sang tokoh utama sebagai satu-satunya orang yang memiliki kekuatan unik. Menurut

(15)

57 Storaro (1998) dalam McIver (2016), warna biru juga melambangkan kecerdasan seseorang.

Pada serial TV animasi “Persona 5 The Animation” episode 1, tokoh utama mengalami sebuah kebangkitan atas kekuatan yang dimilikinya. Hal ini berakibat pada munculnya sebuah tokoh baru yang merupakan manifestasi dari diri tokoh utama tersebut. Kebangkitan tersebut diiringi dengan sinar seperti api biru yang menggunakan hue nomor 182-216, saturation sebesar 74-85%, dan value sebesar 89-100%. Warna biru tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna magis saat Monomono muncul pada Scene 2 Shot 40.

3.4.1.2. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.11. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(16)

58 “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

Adegan imajinasi pada film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan low-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah backlighting untuk memisahkan objek dari environment. Teknik pencahayaan tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 40.

(17)

59 2. Persona 5 The Animation Episode 1 (2018)

Gambar 3.12. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam serial TV animasi “Persona 5 The Animation”

(Animelab, 2018, https://www.youtube.com/watch?v=sFIlEY8NZhA&t=15s) “Persona 5 The Animation” adalah sebuah serial TV animasi Jepang yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan dirilis pada tahun 2018. “Persona 5 The Animation” menceritakan kisah seorang siswa laki-laki yang masuk ke dunia kognitif orang lain. Ia memiliki kekuatan magis berupa sebuah makhluk yang merupakan manifestasi dari emosinya, dan memiliki tujuan untuk menghancurkan sisi jahat manusia. Serial TV animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi

(18)

60 “Crayon”, yaitu menggunakan sebuah makhluk sebagai manifestasi dari emosi seseorang.

Teknik pencahayaan yang digunakan pada episode tersebut merupakan low-key lighting, karena menggunakan value yang kontras dan

saturation yang tinggi. Teknik ini akan digunakan sebagai dasar

pembentukan cahaya magis saat Monomono muncul pada Scene 2 Shot 40.

Acuan Scene 2 Shot 45 3.4.2.

3.4.2.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.13. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

(19)

61 Gambar 3.14. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet”

(Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

(20)

62 223-239, saturation sebesar 55-91%, dan value sebesar 81-100%. Lineart yang bertujuan utama untuk memfokuskan tokoh dan perhatian penonton, menggunakan saturation yang lebih rendah (pucat) dan value yang lebih tinggi, bahkan hampir mencapai warna putih. Pada film animasi tersebut, penambahan volume menggunakan warna-warna aksen, seperti abu-abu (yang tampak seperti kuning gelap) dan ungu muda (yang tampak seperti merah muda). Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

2. Persona 4 The Golden Animation Episode 1 (2014)

Gambar 3.15. Color palette sebuah adegan dalam serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation”

(EctoGhost, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=HbaBnnJ3Pdg&t=194s) “Persona 4 The Golden Animation” adalah sebuah serial TV animasi Jepang yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan dirilis pada tahun 2014. “Persona 4 The Animation” menceritakan kisah seorang siswa laki-laki yang masuk ke dunia di dalam televisi. Ia memiliki kekuatan magis berupa sebuah makhluk yang merupakan manifestasi dari emosinya, dan memiliki

(21)

63 tujuan untuk menyelamatkan orang-orang yang terperangkap di dalam dunia tersebut. Serial TV animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu menggunakan sebuah makhluk sebagai manifestasi dari emosi seseorang. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” tersebut lebih menggambarkan menggambarkan bahaya, amarah, dan kekuatan yang meluap. Menurut Rustan (2019), warna merah juga melambangkan kepribadian seseorang yang suka memberontak dan agresif.

Pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” episode 1, tokoh utama mengalami sebuah kebangkitan atas kekuatan yang dimilikinya. Hal ini berakibat pada munculnya sebuah tokoh baru yang merupakan manifestasi dari diri tokoh utama tersebut. Setelah bangkit, warna dominan yang tampak adalah warna merah yang menggunakan hue nomor 3-12, saturation sebesar 75-86%, dan value sebesar 33-71%. Warna merah tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 45.

(22)

64 3.4.2.2. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.16. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(23)

65 Gambar 3.17. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and

The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

Pada saat monster utama ingin menyerang sang pendekar kecil dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”, teknik pencahayaan yang digunakan adalah low-key lighting. Hal ini ditunjukkan

(24)

66 dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah backlighting untuk memisahkan objek dari environment, serta mempertegas bentuk monster dan memperkuat kesan menyeramkannya. Bahkan terdapat sinar yang menggelegar seperti petir di belakang monster untuk menggambarkan amarah dan kekuatan yang meledak secara tiba-tiba. Teknik pencahayaan

backlighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film

animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 45.

Acuan Scene 2 Shot 69 3.4.3.

3.4.3.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.18. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

(25)

67 Gambar 3.19. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet”

(Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

(26)

68 223-239, saturation sebesar 55-91%, dan value sebesar 81-100%. Lineart yang bertujuan utama untuk memfokuskan tokoh dan perhatian penonton, menggunakan saturation yang lebih rendah (pucat) dan value yang lebih tinggi, bahkan hampir mencapai warna putih. Pada film animasi tersebut, penambahan volume menggunakan warna-warna aksen, seperti abu-abu (yang tampak seperti kuning gelap) dan ungu muda (yang tampak seperti merah muda). Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

2. Persona 4 The Golden Animation Episode 1 (2014)

Gambar 3.20. Color palette sebuah adegan dalam serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation”

(EctoGhost, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=HbaBnnJ3Pdg&t=194s) “Persona 4 The Golden Animation” adalah sebuah serial TV animasi Jepang yang diproduksi oleh A-1 Pictures dan dirilis pada tahun 2014. “Persona 4 The Animation” menceritakan kisah seorang siswa laki-laki yang masuk ke dunia di dalam televisi. Ia memiliki kekuatan magis berupa sebuah makhluk yang merupakan manifestasi dari emosinya, dan memiliki

(27)

69 tujuan untuk menyelamatkan orang-orang yang terperangkap di dalam dunia tersebut. Serial TV animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu menggunakan sebuah makhluk sebagai manifestasi dari emosi seseorang. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” tersebut lebih menggambarkan menggambarkan bahaya, amarah, dan kekuatan yang meluap. Menurut Rustan (2019), warna merah juga melambangkan kepribadian seseorang yang suka memberontak dan agresif.

Pada serial TV animasi “Persona 4 The Golden Animation” episode 1, tokoh utama mengalami sebuah kebangkitan atas kekuatan yang dimilikinya. Hal ini berakibat pada munculnya sebuah tokoh baru yang merupakan manifestasi dari diri tokoh utama tersebut. Setelah bangkit, warna dominan yang tampak adalah warna merah yang menggunakan hue nomor 3-12, saturation sebesar 75-86%, dan value sebesar 33-71%. Warna merah tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna dominan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 69.

(28)

70 3.4.3.2. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.21. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

(29)

71 Adegan imajinasi pada film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan low-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah short-lighting untuk mempertegas bentuk sang pendekar kecil dan memperkuat pengungkapan emosinya. Teknik pencahayaan short-lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 69.

Acuan Scene 2 Shot 81 3.4.4.

3.4.4.1. Tata Warna

1. Duet (2014)

Gambar 3.22. Color palette pada sebuah adegan dalam film animasi “Duet” (Dust, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=0qnQqXr838E)

“Duet” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Glen Keane dan dirilis pada tahun 2014. “Duet” menceritakan kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bayi hingga dewasa. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki visual style yang unik sebagai

(30)

72

appeal. Selain itu, visual style tersebut dapat mempermudah sekaligus

mempercepat produksi animasi 2D karena desain tokohnya stylized dan pewarnaannya sederhana. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru pada film animasi tersebut lebih menggambarkan ketenangan dan melankolis. Menurut Rustan (2019), warna biru melambangkan kepribadian yang menyukai keseimbangan, dan hal ini tampak pada cerita “Duet” mengenai dua pribadi yang pada akhirnya menjadi satu.

Film animasi “Duet” menggunakan visual style yang unik, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun

environment. Pada ending, lineart tersebut menggunakan hue yang

berkisar di antara nomor 205-182, saturation sebesar 29-40%, dan value sebesar 97-100%. Lineart ini jauh lebih terang jika dibandingkan dengan

lineart pada acuan-acuan “Duet” sebelumnya untuk memfokuskan

perhatian penonton pada akhir cerita. Visual style yang unik pada film animasi tersebut akan digunakan sebagai dasar visual style film animasi “Crayon” pada Scene 2.

(31)

73 2. A Folded Wish (2020)

Gambar 3.23. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “A Folded Wish” (Artmoeba Productions, 2020,

https://www.youtube.com/watch?v=9HEkdFzHLHs&t=86s)

“A Folded Wish” adalah sebuah film animasi pendek 3D karya Artmoeba Productions dan dirilis pada tahun 2020. “A Folded Wish” menceritakan kisah anak kembar perempuan yang berusaha melipat seribu origami bangau dengan harapan bisa sembuh dari penyakit mematikan. Film animasi pendek ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep color

mood yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu konsep hangat

(warm) dengan warna jingga-kekuningan (warna jingga-kemerahan yang tampak disebabkan oleh warna kayu yang lebih gelap, sehingga color

mood-nya tetap jingga-kekuningan). Warna jingga dan kuning jika

digabungkan dapat menggambarkan kehangatan dari persaudaraan untuk melawan rasa ketidakamanan (Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan, (2019)). Hal ini sesuai dengan adegan yang menampilkan hangatnya persaudaraan anak kembar tersebut, tetapi di saat yang sama, mereka

(32)

74 sedang melawan rasa ketidakamanan yang disebabkan oleh penyakit mematikan.

Pada film animasi “A Folded Wish”, warna dominan yang digunakan adalah jingga-kekuningan dengan hue nomor 22-47, saturation sebesar 46-66%, dan value sebesar 100%. Warna jingga-kekuningan tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna dominan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

3. Spring Herald (2019)

Gambar 3.24. Color palette sebuah adegan dalam film animasi “Spring Herald” (Curie Lu, 2019, https://www.youtube.com/watch?v=b9JEhQbpUsA)

“Spring Herald” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Curie Lu dan dirilis pada tahun 2019. “Spring Herald” menceritakan kisah seorang perempuan yang menyusuri desa dengan menaiki naga terbang. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki salah satu adegan yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu terdapat suatu tokoh

(33)

75 atau objek yang bersifat magis dan memiliki unsur pembeda dari tokoh yang asli (memiliki wujud).

Seekor naga kecil pada film animasi “Spring Herald” merupakan sebuah tokoh yang magis, tidak ada di kehidupan nyata dalam dunia tersebut. Untuk membedakan tokoh yang magis dengan tokoh yang asli (memiliki wujud), naga kecil tersebut menggunakan warna kuning-kejinggaan dengan hue nomor 42, saturation sebesar 27%, dan value sebesar 100%. Naga kecil tersebut juga mengeluarkan sinar dari dirinya sendiri sehingga tampak bercahaya. Selain untuk membedakan tokoh yang magis dengan tokoh yang asli, sinar tersebut juga dapat memfokuskan perhatian penonton pada dirinya. Hal ini karena sinar tersebut menggunakan value yang lebih tinggi daripada value di sekitarnya. Warna tersebut akan digunakan sebagai dasar pembentukan warna untuk jubah dan pedang pada Scene 2 Shot 81.

(34)

76 3.6.1.1. Tata Pencahayaan

1. KAIE and The Phantasus’s Giant (2017)

Gambar 3.25. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant”

(Allie Studio, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=4Iygljv4ZRM&t=2s) “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Allie Studio dan dirilis pada tahun 2017. “KAIE and The Phantasus’s Giant” menceritakan seorang anak laki-laki yang mengalami perundungan (bullying) oleh teman-teman kelasnya, dan berimajinasi sebagai pendekar kecil yang melawan monster. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki konsep yang serupa dengan film animasi “Crayon”, terutama pada adegan imajinasi.

(35)

77 Adegan imajinasi pada film animasi “KAIE and The Phantasus’s Giant” menggunakan low-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan value yang kontras dan saturation yang cukup tinggi. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah short-lighting untuk mempertegas bentuk sang pendekar kecil dan memperkuat pengungkapan emosinya. Teknik pencahayaan short-lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

2. Spring Herald (2019)

Gambar 3.26. Denah pencahayaan sebuah adegan dalam film animasi “Spring Herald”

(36)

78 “Spring Herald” adalah sebuah film animasi pendek 2D karya Curie Lu dan dirilis pada tahun 2019. “Spring Herald” menceritakan kisah seorang perempuan yang menyusuri desa dengan menaiki naga terbang. Film animasi ini digunakan sebagai acuan karena memiliki salah satu adegan yang serupa dengan film animasi “Crayon”, yaitu terdapat suatu tokoh atau objek yang bersifat magis dan memiliki unsur pembeda dari tokoh yang asli (memiliki wujud).

Teknik pencahayaan yang digunakan pada film animasi “Spring Herald” adalah high-key lighting. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan

value yang tinggi dan tidak terlalu kontras, serta saturation yang cukup

rendah. Teknik pencahayaan high-key lighting tersebut akan digunakan sebagai dasar tata pencahayaan film animasi “Crayon” pada Scene 2 Shot 81.

(37)

79 3.5. Proses Perancangan

Tabel 3.1. Daftar aspek-aspek visual sesuai dengan emosi yang ingin dicapai Emosi yang Ingin Dicapai

Pertanda Buruk Diiringi dengan Suasana Mistis Puncak Bahaya dan Agresivitas Tekad untuk Melawan Bahaya Hangatnya Persaudaraan dalam Situasi Tidak Aman Warna yang Muncul Biru, ungu, hitam, merah tua, kuning Merah, merah tua, hitam, jingga, putih Merah, merah tua, jingga, putih Jingga, kuning, putih, merah muda Warna

Dominan Biru/ungu Merah Merah Jingga/kuning

Arti Warna Dominan Dingin, isolasi, fantasi, mistis, pertanda buruk Bahaya, amarah, kekuatan Bahaya, semangat, kekuatan Hangat, pertemanan, kegembiraan Hue Biru: 204-247 Ungu: 291-316 3-12 3-12 22-47 Saturation Biru: 41-87% Ungu: 64-66% 75-86%; 99% untuk warna ekstrim 75-86% 46-66%; 27% untuk warna glow Values Biru: 82-99% Ungu: 25-55% 33-71%; 100% untuk warna ekstrim 33-71% 100% Harmoni Warna Split complementary, analogous Analogous/ triadic/ monochromatic Analogous, mono-chromatic Analogous/ mono-chromatic Teknik Penca-hayaan Low-key lighting, backlighting Low-key lighting, backlighting Low-key lighting, short lighting High-key lighting, short lighting

(38)

80 Proses perancangan dimulai dengan eksperimen pertama sesuai dengan referensi visual yang diinginkan, yaitu film animasi “Duet” (2014). Setelah itu, penulis merancang color script untuk memperoleh gambaran umum mengenai progresivitas warna dan intensitas cahaya yang ditampilkan. Kemudian, penulis menganalisis emosi yang dirasakan saat melihat adegan tersebut untuk direvisi mengikuti perkembangan shot.

Gambar 3.27. Color script pertama film animasi hybrid “Crayon” (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.28. Color script akhir film animasi hybrid “Crayon” (Dokumentasi pribadi)

(39)

81

Color script pertama dinilai terlalu gelap dan tidak sesuai dengan target

audience film animasi hybrid “Crayon”, yaitu anak-anak usia 7-12 tahun.

Berdasarkan pada teori Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan nama dari warna tertentu (hue) sehingga dengan progresivitas warna dan intensitas cahaya yang terlalu gelap, anak-anak tidak akan bisa membedakan hue yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, color script tersebut tidak sesuai dengan teori Caldwell (2017) dalam Aditya (2020), yang mengatakan bahwa intensitas visual semakin meningkat mengikuti perkembangan cerita hingga di titik klimaks. Pada color script tersebut, tahap klimaks justru memiliki intensitas visual yang sangat rendah karena tidak sekontras tahap eksposisi dan resolusi.

Selain penggunaan warna dan teknik pencahayaan yang lebih baik dan jelas, color script akhir sesuai dengan teori Caldwell (2017) dalam Aditya (2020). Tahap eksposisi menggunakan warna dominan biru muda dan cream yang lembut sehingga kontrasnya tidak lebih tinggi daripada tahap klimaks. Pada adegan imajinasi, khususnya pada tahap rising action dan klimaks, warna dominan ungu memiliki kontras yang tinggi, sedangkan warna dominan merah memiliki kontras yang paling tinggi dari seluruh progresivitas warna dan intensitas cahaya. Hal ini bertujuan untuk mendukung intensitas cerita yang semakin dramatis hingga di titik klimaks. Pada tahap falling action dan resolusi, warna dominan jingga-kekuningan yang dilanjutkan dengan pencahayaan sore hari, memiliki kontras yang lebih rendah daripada tahap klimaks sebagai tanda berakhirnya konflik yang telah terjadi.

(40)

82 Gambar 3.29. Floor plan sebagai aturan penempatan cahaya utama

(Dokumentasi pribadi)

Agar pencahayaan yang digunakan pada setiap shot bersifat kontinu, dibuatlah sebuah floor plan yang berisi posisi tokoh-tokoh dan penempatan cahaya. Pada adegan imajinasi tersebut, sumber cahaya utama merupakan

directional light yang berada di sisi selatan denah. Pancaran cahaya yang

dihasilkan oleh sumber cahaya utama tersebut mengarah ke utara dan berwarna

warm white. Intensitasnya akan disesuaikan dengan kebutuhan setiap shot.

Proses Perancangan Scene 2 Shot 40 3.5.1.

Gambar 3.30. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

(41)

83 Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna ungu menciptakan kesan fantasi, mistis, dan munculnya pertanda buruk. Warna ungu yang digunakan memiliki hue nomor 279-281,

saturation sebesar 60-98%, dan value sebesar 20-91%. Harmoni warna yang

digunakan adalah monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Gambar 3.31. Eksplorasi color palette kedua Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Eksplorasi warna kedua yang diperoleh dari hasil observasi dari film animasi “Duet” dan “KAIE and The Phantasus’s Giant” adalah biru. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna biru menciptakan kesan isolasi, dingin, dan kepasifan. Warna biru yang digunakan memiliki hue nomor 238-241, saturation sebesar 60-98%, dan value sebesar 20-91%. Harmoni warna yang digunakan adalah monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

(42)

84 Penggunaan warna biru pada shot tersebut dinilai kurang sesuai dengan emosi yang ingin dicapai, karena kesan yang didapat oleh penonton condong ke arah kondisi yang tenang dan dingin. Warna ungu lebih sesuai untuk digunakan karena menciptakan kesan pertanda buruk yang diiringi dengan suasana mistis atau magis. Selain itu, penggunaan value yang lebih banyak di bawah 50% membuat shot tersebut tampak sangat gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan

target audience film animasi “Crayon”, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun.

Menurut Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan kategori, yaitu berdasarkan nama dari warna tertentu dan asosiasinya terhadap subjek atau objek tertentu, bukan berdasarkan

value dari warna tersebut. Hal ini dapat berakibat pada kesalahpahaman dalam

kinerja kognitif anak-anak saat memahami pesan dari adegan yang dilihatnya.

Gambar 3.32. Eksplorasi color palette ketiga Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Kemudian, shot tersebut dieksplorasi ulang penggunaan warnanya dengan memilih value di atas 50% untuk warna ungu dominan. Warna ungu yang digunakan memiliki hue nomor 281-300, saturation sebesar 55-78%, dan value

(43)

85 sebesar 91-100%. Tokoh tidak lagi hanya menggunakan lineart, tetapi juga menggunakan solid fill dan glow. Harmoni warna yang digunakan tetap

monochromatic, namun terdapat warna aksen biru tua dan merah muda-keunguan

dengan hue yang berdekatan, sehingga sekilas tampak seperti analogous. Menurut Rustan (2019), harmoni warna monochromatic memberikan nuansa tenang dan bersih, sedangkan harmoni warna analogous memberikan nuansa yang hampir sama dengan monochromatic, namun variasinya dapat dibuat beragam sehingga menciptakan nuansa yang berbeda. Nuansa tenang dan bersih yang diberikan harmoni warna monochromatic tidak terlalu sesuai dengan emosi yang ingin dicapai pada shot tersebut, yaitu adanya pertanda buruk. Oleh karena itu, eksplorasi warna selanjutnya menggunakan harmoni warna analogous.

Gambar 3.33. Eksplorasi denah pencahayaan ketiga Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

(44)

86 Walaupun terdapat glow pada sisi luar tubuh Monomono, prinsip cahaya pada shot tersebut tidak tampak dengan jelas. Hal ini dikarenakan warna yang digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 55% di saat warna-warna lainnya juga tampak bersaturasi tinggi, sehingga terkesan tidak bersinar seperti sumber cahaya, bahkan dapat menyakitkan mata. Namun, penggunaan teknik pencahayaan backlighting menambah kesan magis dan mencekam, serta membuat perhatian penonton terfokus pada tokoh tersebut. Hal ini dikarenakan backlighting dapat memisahkan suatu objek dari environment (Lotman, 2016).

Gambar 3.34. Eksplorasi color palette keempat Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi selanjutnya, terdapat perubahan desain tokoh Alvin serta perubahan shot angle. Warna ungu dominan yang digunakan juga divariasikan

saturation dan value-nya agar tercipta nuansa yang seimbang. Warna ungu

tersebut memiliki hue nomor 288-289, saturation sebesar 36-62%, dan value sebesar 84-96%. Selain menggunakan solid fill dan glow, lineart tokoh tidak lagi menggunakan solid color saja, tetapi menggunakan dua warna yang bersifat komplementer. Pada shot tersebut, lineart yang tidak terkena cahaya

(45)

87 menggunakan warna ungu tua, sedangkan lineart yang terkena cahaya menggunakan warna kuning muda. Teknik tersebut diperoleh dari observasi visual film animasi “Duet”, yang bertujuan untuk memperkuat arah sumber cahaya dan mempertegas bentuk atau figur tokoh. Harmoni warna yang digunakan adalah

analogous.

Gambar 3.35. Eksplorasi denah pencahayaan keempat Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Pada shot tersebut, prinsip cahaya tampak dengan jelas. Perhatian penonton terfokuskan pada Alvin dan Delwyn atas penggunaan warna

background yang lebih terang ketimbang warna tokoh. Selain itu, warna yang

digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 2% dan value sebesar 100%, yaitu hampir mencapai warna putih. Teknik pencahayaan backlighting yang dipadukan dengan warna glow tersebut memberikan kesan bersinar seakan-akan cahaya tersebut berasal dari tubuh Monomono.

(46)

88 Pada eksplorasi akhir, terdapat perubahan shot angle dan desain tokoh Monomono. Shot tersebut kini hanya menampilkan kemunculan Monomono di dunia imajinasi karena emosi tokoh Alvin tahap pertama, yaitu anger and

mystical, digambarkan dengan munculnya Monomono yang diliputi aura magis

untuk mencapai konsep emosi Shot 40: pertanda buruk diiringi dengan suasana mistis. Eksplorasi akhir beserta alternatifnya ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.36. Floor plan Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.37. Eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

(47)

89 Gambar 3.38. Eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 40

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir utama, pembentukan warna dominan ungu menggunakan warna-warna hasil observasi dari acuan “KAIE and The Phantasus’s Giant”. Warna ungu tua menggunakan hue nomor 266, saturation sebesar 72%, dan value sebesar 62%; sedangkan warna ungu muda menggunakan

hue nomor 278, saturation sebesar 53%, dan value sebesar 69%. Teknik

pencahayaan yang digunakan adalah low-key lighting, backlighting, dan glow.

Gambar 3.39. Alternatif eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

(48)

90 Gambar 3.40. Alternatif eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 40

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir alternatif, pembentukan warna dominan ungu menggunakan warna-warna dari proses perancangan sebelumnya. Warna ungu tua menggunakan hue nomor 266, saturation sebesar 72%, dan value sebesar 62%; sedangkan warna ungu muda menggunakan hue nomor 276, saturation sebesar 49%, dan value sebesar 92%. Teknik pencahayaan yang digunakan sama dengan eksplorasi akhir utama, yaitu low-key lighting, backlighting, dan glow.

Tabel 3.2. Persamaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 40 dengan alternatifnya Persamaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna Dasar Tokoh Harmoni Warna Teknik Pencahayaan Shot 40 Ungu dan hitam Analogous Low-key lighting,

(49)

91 Tabel 3.3. Perbedaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 40 dengan alternatifnya

Perbedaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna

Dominan Hue Saturation Value

Shot 40 Ungu Utama: 278 Alternatif: 276 Utama: 53% Alternatif: 49% Utama: 69% Alternatif: 92%

Dibandingkan dengan eksplorasi akhir alternatif, warna dominan ungu yang diperoleh dari acuan “KAIE and The Phantasus’s Giant” dianggap lebih kontras karena menggunakan warna ungu yang lebih gelap. Selain itu, penggunaan warna dominan ungu tersebut memberikan kesan yang lebih mencekam ketimbang dengan menggunakan warna dominan ungu yang lebih muda pada eksplorasi akhir alternatif. Oleh karena itu, eksplorasi akhir utama diputuskan sebagai desain akhir Scene 2 Shot 40.

Gambar 3.41. Desain akhir Scene 2 Shot 40 (Dokumentasi pribadi)

(50)

92 Proses Perancangan Scene 2 Shot 45

3.5.2.

Gambar 3.42. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah menciptakan kesan bahaya, amarah, dan kekuatan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 4-12, saturation sebesar 71-98%, dan value sebesar 20-98%. Harmoni warna yang digunakan adalah

monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga

teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Penggunaan value yang lebih banyak di bawah 50% membuat shot tersebut tampak sangat gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan target audience film animasi “Crayon”, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Menurut Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan kategori, yaitu berdasarkan nama dari warna tertentu dan asosiasinya

(51)

93 terhadap subjek atau objek tertentu, bukan berdasarkan value dari warna tersebut. Hal ini dapat berakibat pada kesalahpahaman dalam kinerja kognitif anak-anak saat memahami pesan dari adegan yang dilihatnya.

Gambar 3.43. Eksplorasi color palette kedua Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Kemudian, shot tersebut dieksplorasi ulang penggunaan warnanya dengan memilih value di atas 50% untuk warna merah dominan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 353-3, saturation sebesar 68-75%, dan value sebesar 91-94%. Tokoh tidak lagi hanya menggunakan lineart, tetapi juga menggunakan solid fill dan glow. Harmoni warna yang digunakan adalah

monochromatic. Menurut Rustan (2019), harmoni warna monochromatic

memberikan nuansa tenang dan bersih. Nuansa tenang dan bersih yang diberikan harmoni warna monochromatic tidak terlalu sesuai dengan emosi yang ingin dicapai pada shot tersebut, yaitu puncak amarah dan bahaya. Sedangkan harmoni warna analogous memberikan nuansa yang hampir sama dengan monochromatic, namun variasinya dapat dibuat beragam sehingga menciptakan nuansa yang

(52)

94 berbeda. Oleh karena itu, eksplorasi warna selanjutnya menggunakan harmoni warna analogous.

Gambar 3.44. Eksplorasi denah pencahayaan kedua Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Walaupun terdapat glow pada sisi luar tubuh Monomono, prinsip cahaya pada shot tersebut tidak tampak dengan jelas. Hal ini dikarenakan warna yang digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 54% di saat warna-warna lainnya juga tampak bersaturasi tinggi, sehingga terkesan tidak bersinar seperti sumber cahaya, bahkan dapat menyakitkan mata. Namun, penggunaan teknik pencahayaan backlighting menambah kesan kuat dan mencekam, serta membuat perhatian penonton terfokus pada tokoh tersebut. Hal ini dikarenakan backlighting dapat memisahkan suatu objek dari environment (Lotman, 2016).

(53)

95 Gambar 3.45. Eksplorasi color palette ketiga Scene 2 Shot 45

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi selanjutnya, warna merah dominan yang digunakan divariasikan saturation dan value-nya agar tercipta nuansa yang seimbang. Warna merah tersebut memiliki hue nomor 2, saturation sebesar 47%, dan value sebesar 90%. Selain menggunakan solid fill dan glow, lineart tokoh tidak lagi menggunakan solid color saja, tetapi menggunakan dua warna yang bersifat komplementer. Pada shot tersebut, lineart yang tidak terkena cahaya menggunakan warna merah tua, sedangkan lineart yang terkena cahaya menggunakan warna biru pirus muda. Teknik tersebut diperoleh dari observasi visual film animasi “Duet”, yang bertujuan untuk memperkuat arah sumber cahaya dan mempertegas bentuk atau figur tokoh. Harmoni warna yang digunakan adalah analogous.

(54)

96 Gambar 3.46. Eksplorasi denah pencahayaan ketiga Scene 2 Shot 45

(Dokumentasi pribadi)

Pada shot tersebut, prinsip cahaya tampak dengan jelas. Perhatian penonton terfokuskan pada Monomono atas penggunaan warna background yang lebih terang ketimbang warna tokoh. Selain itu, warna yang digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 25% dan value sebesar 99%. Teknik pencahayaan

backlighting yang dipadukan dengan warna glow tersebut memberikan kesan

bersinar seakan-akan cahaya tersebut berasal dari tubuh Monomono. Namun, penggunaan warna-warna pada shot tersebut dianggap kurang kontras untuk menggambarkan puncak amarah dan kekuatan yang meluap. Hal ini dikarenakan penggunaan high-key lighting yang terkesan “kabur” (washed out). Oleh karena itu, eksplorasi selanjutnya menggunakan warna-warna yang lebih kontras untuk memperkuat kesan mencekam dan agresif.

(55)

97 Pada eksplorasi akhir, terdapat perubahan desain tokoh Monomono. Untuk mencapai konsep emosi Shot 45, yaitu puncak bahaya dan agresivitas, Monomono diberikan backlighting petir untuk menambah kesan menyeramkan dan sangat kuat. Eksplorasi akhir beserta alternatifnya ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.47. Floor plan Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.48. Eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

(56)

98 Gambar 3.49. Eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 45

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir utama, pembentukan warna dominan merah menggunakan warna-warna hasil observasi dari acuan “Persona 4 The Golden Animation Episode 1”. Warna merah tersebut menggunakan hue nomor 9,

saturation sebesar 83%, dan value sebesar 37%. Teknik pencahayaan yang

digunakan adalah low-key lighting dan backlighting.

Gambar 3.50. Alternatif eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

(57)

99 Gambar 3.51. Alternatif eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 45

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir alternatif, pembentukan warna dominan merah menggunakan warna-warna dari proses perancangan sebelumnya. Warna merah tersebut menggunakan hue nomor 1, saturation sebesar 60%, dan value sebesar 82%. Teknik pencahayaan yang digunakan sama dengan eksplorasi akhir utama, yaitu low-key lighting dan backlighting.

Tabel 3.4. Persamaan eksplorasi Scene 2 Shot 45 dengan alternatifnya Persamaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna Dasar Tokoh Harmoni Warna Teknik Pencahayaan Shot 45 Merah tua dan jingga Analogous Low-key lighting,

(58)

100 Tabel 3.5. Perbedaan eksplorasi Scene 2 Shot 45 dengan alternatifnya

Perbedaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna

Dominan Hue Saturation Value

Shot 45 Merah Utama: 9 Alternatif: 1 Utama: 83% Alternatif: 60% Utama: 37% Alternatif: 82%

Dibandingkan dengan eksplorasi akhir alternatif, warna dominan merah yang diperoleh dari acuan “Persona 4 The Golden Animation Episode 1” dianggap lebih kontras karena menggunakan warna merah yang lebih gelap. Selain itu, penggunaan warna dominan merah tersebut memberikan kesan yang lebih menyeramkan dan menggambarkan kesan sangat kuat ketimbang dengan menggunakan warna dominan merah yang lebih muda pada eksplorasi akhir alternatif, sehingga membuat Monomono tampak lebih agresif. Oleh karena itu, eksplorasi akhir utama diputuskan sebagai desain akhir Scene 2 Shot 45.

Gambar 3.52. Desain akhir Scene 2 Shot 45 (Dokumentasi pribadi)

(59)

101 Proses Perancangan Scene 2 Shot 69

3.5.3.

Gambar 3.53. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna merah menciptakan kesan bahaya, amarah, dan kekuatan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 4-12, saturation sebesar 71-98%, dan value sebesar 20-98%. Harmoni warna yang digunakan adalah

monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga

teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Penggunaan value yang lebih banyak di bawah 50% membuat shot tersebut tampak sangat gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan target audience film animasi “Crayon”, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Menurut Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan kategori, yaitu berdasarkan nama dari warna tertentu dan asosiasinya

(60)

102 terhadap subjek atau objek tertentu, bukan berdasarkan value dari warna tersebut. Hal ini dapat berakibat pada kesalahpahaman dalam kinerja kognitif anak-anak saat memahami pesan dari adegan yang dilihatnya.

Gambar 3.54. Eksplorasi color palette kedua Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

Kemudian, shot tersebut dieksplorasi ulang penggunaan warnanya dengan memilih value di atas 50% untuk warna merah dominan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 353-3, saturation sebesar 68-75%, dan value sebesar 91-94%. Tokoh tidak lagi hanya menggunakan lineart, tetapi juga menggunakan solid fill. Harmoni warna yang digunakan adalah split

complementary. Menurut Rustan (2019), harmoni warna split complementary

memberikan nuansa harmonis, namun tetap kontras. Nuansa tersebut sesuai untuk menggambarkan kontrasnya tokoh Alvin dan Delwyn yang pada akhirnya bekerja sama, namun kurang sesuai untuk menggambarkan tekad Alvin dalam melawan situasi bahaya yang sedang dialaminya. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada

(61)

103 Gambar 3.55. Eksplorasi color palette ketiga Scene 2 Shot 69

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi selanjutnya, warna merah dominan yang digunakan divariasikan saturation dan value-nya agar tercipta nuansa yang seimbang. Warna merah tersebut memiliki hue nomor 359, saturation sebesar 41%, dan value sebesar 89%. Selain menggunakan solid fill, lineart tokoh tidak lagi menggunakan

solid color saja, tetapi menggunakan dua warna yang bersifat komplementer. Pada

shot tersebut, lineart yang tidak terkena cahaya menggunakan warna merah tua,

sedangkan lineart yang terkena cahaya menggunakan warna biru pirus muda. Teknik tersebut diperoleh dari observasi visual film animasi “Duet”, yang bertujuan untuk memperkuat arah sumber cahaya dan mempertegas bentuk atau figur tokoh. Harmoni warna yang digunakan adalah split complementary.

(62)

104 Gambar 3.56. Eksplorasi denah pencahayaan ketiga Scene 2 Shot 69

(Dokumentasi pribadi)

Pada shot tersebut, prinsip cahaya cukup tampak jelas. Perhatian penonton cukup terfokuskan pada tokoh Alvin dan Delwyn atas penggunaan dua warna

lineart. Namun, teknik pencahayaan backlighting yang digunakan kurang tepat

untuk menggambarkan tekad kuat Alvin dalam melawan situasi bahaya. Penggunaan warna-warna pada shot tersebut juga dianggap kurang kontras dan justru terlalu gelap sehingga membuat kedua tokoh seperti ketakutan. Hal ini dikarenakan penggunaan high-key lighting yang terkesan “kabur” (washed out). Oleh karena itu, eksplorasi selanjutnya menggunakan warna-warna yang lebih kontras dan terang untuk memperkuat kesan kuat dan bertekad.

Pada eksplorasi akhir, terdapat perubahan shot angle dan desain tokoh Alvin maupun Delwyn. Untuk mencapai konsep emosi Shot 69, yaitu tekad untuk

(63)

105 melawan bahaya, shot tersebut menggunakan short lighting dari sisi kanan untuk memfokuskan perhatian penonton kepada Alvin. Eksplorasi akhir beserta alternatifnya ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 3.57. Floor plan Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

Gambar 3.58. Eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

(64)

106 Gambar 3.59. Eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 69

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi akhir utama, pembentukan warna dominan merah menggunakan warna-warna hasil observasi dari acuan “Persona 4 The Golden Animation Episode 1”. Setelah diberi efek bayangan, warna merah tersebut menggunakan hue nomor 7, saturation sebesar 84%, dan value sebesar 27%. Teknik pencahayaan yang digunakan adalah low-key lighting dan short lighting.

Gambar 3.60. Alternatif eksplorasi color palette akhir Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

(65)

107 Gambar 3.61. Alternatif eksplorasi denah pencahayaan akhir Scene 2 Shot 69

(Dokumentasi pribadi)

Pada perancangan alternatif, pembentukan warna dominan merah menggunakan warna-warna dari proses perancangan sebelumnya. Setelah diberi efek bayangan, warna merah tersebut menggunakan hue nomor 354, saturation sebesar 67%, dan value sebesar 60%. Teknik pencahayaan yang digunakan sama dengan eksplorasi akhir utama, yaitu low-key lighting dan short lighting.

Tabel 3.6. Persamaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 69 dengan alternatifnya Persamaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna Dasar Tokoh Harmoni Warna Teknik Pencahayaan Shot 69 Krem, putih, merah tua,

hitam Analogous

Low-key lighting, short lighting

(66)

108 Tabel 3.7. Perbedaan eksplorasi akhir Scene 2 Shot 69 dengan alternatifnya

Perbedaan Eksplorasi Utama dengan Eksplorasi Alternatif Warna

Dominan Hue Saturation Value

Shot 69 Merah Utama: 7 Alternatif: 354 Utama: 84% Alternatif: 67% Utama: 27% Alternatif: 60%

Dibandingkan dengan eksplorasi akhir alternatif, warna dominan merah yang diperoleh dari acuan “Persona 4 The Golden Animation Episode 1” dianggap lebih kontras karena menggunakan warna merah yang lebih gelap. Selain itu, penggunaan warna dominan merah tersebut memberikan kesan yang lebih menggambarkan suasana suram, pesimisme dan malapetaka ketimbang dengan menggunakan warna dominan merah yang lebih muda pada eksplorasi akhir alternatif, namun tetap memfokuskan perhatian penonton kepada aksi Alvin untuk melawan bahaya. Oleh karena itu, eksplorasi akhir utama diputuskan sebagai desain akhir Scene 2 Shot 69.

Gambar 3.62. Desain akhir Scene 2 Shot 69 (Dokumentasi pribadi)

(67)

109 Proses Perancangan Scene 2 Shot 81

3.5.4.

Gambar 3.63. Eksplorasi color palette pertama Scene 2 Shot 81 (Dokumentasi pribadi)

Perancangan color palette pertama hanya menggunakan acuan visual dari film animasi “Duet”, yaitu dengan lineart sebagai penegasan bentuk atau figur tokoh maupun environment. Sesuai dengan teori Mary Risk dari Color Binder dalam Rustan (2019), warna jingga menciptakan kesan hangat, pertemanan, dan kegembiraan. Warna jingga yang digunakan memiliki hue nomor 28-38,

saturation sebesar 76-98%, dan value sebesar 20-91%. Harmoni warna yang

digunakan adalah monochromatic. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada.

Penggunaan value yang lebih banyak di bawah 50% membuat shot tersebut tampak sangat gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan target audience film animasi “Crayon”, yaitu anak-anak berusia 7-12 tahun. Menurut Brooker & Franklin (2016), pengaruh warna terhadap kinerja kognitif anak-anak bekerja berdasarkan kategori, yaitu berdasarkan nama dari warna tertentu dan asosiasinya terhadap subjek atau objek tertentu, bukan berdasarkan value dari warna tersebut.

(68)

110 Hal ini dapat berakibat pada kesalahpahaman dalam kinerja kognitif anak-anak saat memahami pesan dari adegan yang dilihatnya.

Gambar 3.64. Eksplorasi color palette kedua Scene 2 Shot 81 (Dokumentasi pribadi)

Kemudian, shot tersebut dieksplorasi ulang penggunaan warnanya dengan memilih value di atas 50% untuk warna jingga dominan. Warna merah yang digunakan memiliki hue nomor 29-40, saturation sebesar 72-79%, dan value sebesar 97-98%. Tokoh tidak lagi hanya menggunakan lineart, tetapi juga menggunakan solid fill. Harmoni warna yang digunakan adalah tetradic. Menurut Rustan (2019), harmoni warna tetradic memberikan nuansa kuat dengan variasi warna yang kaya sehingga tampak menyenangkan. Prinsip cahaya tidak terlalu tampak pada shot tersebut, sehingga teknik pencahayaan dianggap tidak ada. Terlebih lagi dengan penggunaan harmoni warna tetradic, penonton tidak dapat memfokuskan perhatiannya pada objek atau subjek tertentu karena semua warna tampak flat.

(69)

111 Gambar 3.65. Eksplorasi color palette ketiga Scene 2 Shot 81

(Dokumentasi pribadi)

Pada eksplorasi selanjutnya, warna jingga-kekuningan dominan yang digunakan divariasikan saturation dan value-nya agar tercipta nuansa yang seimbang. Warna jingga-kekuningan tersebut memiliki hue nomor 35-44,

saturation sebesar 36-62%, dan value sebesar 96-99%. Selain menggunakan solid

fill dan glow, lineart tokoh tidak lagi menggunakan solid color saja, tetapi

menggunakan dua warna yang bersifat monochromatic. Pada shot tersebut, lineart yang tidak terkena cahaya menggunakan warna cokelat (jingga tua), sedangkan

lineart yang terkena cahaya menggunakan warna putih-kekuningan. Teknik

tersebut diperoleh dari observasi visual film animasi “Duet”, yang bertujuan untuk memperkuat arah sumber cahaya dan mempertegas bentuk atau figur tokoh. Harmoni warna yang digunakan adalah analogous dan complementary.

(70)

112 Gambar 3.66. Eksplorasi denah pencahayaan ketiga Scene 2 Shot 81

(Dokumentasi pribadi)

Pada shot tersebut, prinsip cahaya tampak dengan jelas. Perhatian penonton terfokuskan pada Alvin, Delwyn, dan senjatanya atas penggunaan warna

background yang lebih pucat ketimbang warna tokoh. Selain itu, warna yang

digunakan untuk glow memiliki saturation sebesar 15% dan value sebesar 100%, yaitu hampir mencapai warna putih. Teknik pencahayaan short lighting yang digunakan menciptakan kesan volume dan memisahkan kedua tokoh dari

background. Walaupun penggunaan teknik pencahayaan high-key lighting sudah

sesuai untuk menggambarkan hangatnya persaudaraan dan kegembiraan, penggunaan warna biru tua yang memiliki value sebesar 43% dianggap terlalu kontras jika dibandingkan dengan warna-warna lainnya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini akan ditinjau dari pengaruh penambahan limbah karbit terhadap peningkatan nilai California Bearing Ratio (CBR) pada tanah lempung ekspansif dengan

Pelham dalam Anjas (2007) menyebutkan tiga indikator dari kinerja pemasaran yaitu efektivitas perusahaan, pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan keuntungan relatif, dalam

Adapun total penerimaan yang diperoleh oleh peternak itik petelur sistem pemeliharaan nomaden dari penjualan telur dan itik petelur serta nilai ternak akhir di Desa

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai kondisi-kondisi dalam lingkungan kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pencahayaan dalam lingkungan kerja,

 Panel alarm Panel alarm kebakaran kebakaran akan akan mentransmisikan mentransmisikan sinyal sinyal alarm alarm ke ke pusat pusat monitor, yang monitor, yang akan

Pujilah Allah -’Azza wa Jalla- yang telah memudahkan Anda untuk berziarah ke kubur nabi kita Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- di samping berkunjung ke Masjid

Tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk mendesain dan mengimplementasikan sebuah perangkat lunak pengukuran kinerja yang berbasis web dengan menggunakan.. metode Analytical

Waktu pengikatan dry geopolimer mortar tercepat pada variasi mix desain 6 dengan rasio sodium hidroksida (NaOH) terhadap sodium silikat (Na2SiO3) sebesar 1 :