• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.2. Tataguna Lahan, Erosi dan Hidrologi

Faktor paling utama yang mempengaruhi terjadinya

pengalihan tataguna lahan pada suatu DTA adalah jumlah

penduduk (Sandy, 1973). Perkembangan jumlah penduduk

akan membutuhkan lahan yang semakin meningkat guna

untuk memenuhi pemukiman maupun kebutuhan pangan.

Hal tersebut selaras dengan uraian McKinney et al. (1999)

bahwa dalam sistem DAS tidak saja menyangkut

karakteristik hidrologi dan proses fisik, namun juga

menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh

perilaku manusia.

Berdasarkan hasil kajian BRLKT (1996a), luas DTA Waduk Sutami- Sengguruh adalah 177 030 ha yang tersebar di 1 897 unit SPL (Satuan Pengelolaan Lahan). Secara umum, luas lahan budidaya intensif (58%) relatif seimbang dengan lahan non-budidaya intensif (42%). Jenis penggunaan lahan yang tergolong dalam non-budidaya intensif adalah pekarangan, kebun, semak dan hutan. Pada lahan budidaya intensif dijumpai berbagai tanaman tahunan dan semusim. Pada lahan budidaya intensif terdapat lima (5) jenis tanaman tahunan (tebu, kopi, coklat, apel dan jeruk), serta terdapat 12 pola tanam yang terdiri dari kombinasi antar tanaman pangan dan atau tanaman sayuran (Lampiran 1 hingga 5).

Sebagian besar (

48.55

%) lahan mempunyai kemiringan

< 8% dan terdapat 17.58% dengan kemiringan ≥ 45%

(Tabel 1). Khusus untuk lahan non-budidaya intensif, luas

lahan dengan klasifikasi kemiringan V sedikit lebih luas bila

dibandingkan dengan lahan kemiringan I.

Tabel 1. Luas Jenis Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Waduk Sutami-Sengguruh Menurut Kemiringan dan Sebaran Sub-Sub DAS

Klasifikasi Non-budidaya intensif Budidaya intensif Total Luas (ha) SPL (unit) Luas (ha) SPL (unit) Luas (ha) %

Kemiringan: I ( < 8%) 24 553 474 61 397 598 85 950 48.55 II (8 – < 16%) 4 633 122 24 396 275 29 029 16.40 III (16 – < 30%) 7 209 118 14 010 140 21 219 11.99 IV (30 – < 45%) 7 111 74 2 597 34 9 708 5.48 V ( > 45%) 30 620 57 504 5 31 124 17.58

Total 74 126 845 102 904 1 052 177 030 100 Sub-sub DAS: Bango 6 719 104 11 764 113 18 483 10.44 Sumber Brantas 18 132 262 26 533 259 44 665 25.23 Amprong 14 990 35 16 082 203 31 072 17.55 Lesti 23 679 280 36 675 325 60 354 34.09 Metro 10 606 164 11 850 152 22 456 12.68

Sumber: olahan data sekunder

Keterangan: SPL = Satuan Pengelolaan Lahan

Disamping itu, pada lahan budidaya intensif sebagian besar (59.66%) merupakan lahan dengan klasifikasi kemiringan I; serta semakin besar kemiringan luas lahan semakin berkurang.

Perbedaan yang relatif besar antara luas lahan budidaya intensif dan non- budidaya intensif terjadi pada Sub-sub DAS Bango, Sumber Brantas dan Lesti. Disamping itu, Sub-sub DAS Lesti merupakan wilayah yang mempunyai areal lahan budidaya yang relatif paling luas (34%).

Dalam kaitannya dengan tataguna lahan, perilaku manusia tercermin pada berbagai macam pemanfaatan lahan dan bentuk pola tanam yang disesuaikan dengan karakteristik geofisik. Bila ditinjau dari kemampuan tanaman menghasil- kan erosi, berbagai tanaman yang ada di DTA Waduk Sutami-Sengguruh dapat dipilah menjadi 3 (tiga) kelompok; yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Tanaman yang menghasilkan erosi relatif rendah yaitu tanaman tahunan perkebunan dan buah. Tanaman perkebunan yang relatif dominan di wilayah kajian adalah tebu dan kopi; sedangkan tanaman buah adalah apel dan jeruk. Tanaman tebu dan kopi dipilih sebagai aktvitas produksi dalam perumusan model optimasi karena mempunyai sebaran lahan relatif merata baik menurut kemiringan maupun Sub- sub DAS. Walaupun apel dan jeruk relatif kurang menyebar, namun komoditas spesifik lokasi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan pada sub-sub DAS lain yang mempunyai kondisi agroekologi yang sama. Tanaman semusim

yang terdiri atas tanaman pangan dan sayuran tergolong mempunyai kemampuan menghasilkan erosi sedang hingga tinggi.

Dalam perumusan model optimasi tidak memasukan keseluruhan variasi pola tanam riil (Lampiran 1 sampai 5), karena beberapa pola tanam mempunyai sebaran lahan yang tidak merata ditinjau dari klasifikasi kemiringan lahan maupun Sub-sub DAS. Dengan demikian untuk mendapatkan luas lahan yang tersedia dilakukan penggabungan luas areal dari beberapa pola tanam yang dipertimbangkan. Dasar penggabungan pola tanam adalah potensi kemampuan menghasilkan erosi. Tanaman pangan yang menghasilkan erosi sedang adalah padi dan jagung; sedangkan tanaman kacang tanah diklasifikasikan sebagai penghasil erosi tinggi. Kentang dan wortel sebagai wakil tanaman sayuran penghasil erosi tinggi.

Dari berbagai klasifikasi kemiringan lahan seperti yang

tertera dalam Lampiran 1 hingga Lampiran 5 selanjutnya

dikelompokan menjadi dua kelas; yaitu klasifikasi I dengan

kemiringan lahan ≤ 15%, sedangkan untuk yang lain adalah

kemiringan > 15%. Hal tersebut didasarkan pada informasi

kualitatif dan hasil olahan data primer, bahwasanya

perbedaan produktivitas tanaman semusim mulai terlihat

pada kemiringan antara ≤ 15% dan > 15%. Sebaran luas

dipergunakan sebagai dasar penentuan batas ketersediaan

lahan pada perumusan model optimasi.

Dari fungsi kawasan, terdapat indikasi terjadi perubahan fungsi lahan. Hal itu terjadi pada tanaman apel dan tebu. Pada daerah-daerah tertentu lahan dengan kemiringan diatas 30% seharusnya masuk dalam kategori fungsi hutan, namun dalam realita di lapangan lahan tersebut dijadikan kebun apel atau tebu. Berdasarkan data yang dikumpulkan BRLKT (1996b) telah terjadi perubahan fungsi lahan untuk tanaman apel yang terjadi pada 9 unit SPL dan tamanan tebu pada 3 unit SPL. Perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan apel terjadi di beberapa Sub-sub DAS; yaitu Amprong (3 unit SPL seluas 214 ha); Bango (1 unit SPL dengan luas 57 ha); dan Sumber Brantas (5 unit SPL seluas 290 ha). Sedangkan untuk tanaman tebu terjadi di Sub-sub DAS Amprong (2 unit SPL dengan luas 45 ha) dan Sub-sub DAS Bango (1 unit SPL seluas 73 ha). Hasil cek lapangan dari kajian yang dilakukan Tim Peneliti ITS (2002) didapatkan indikasi bahwa jenis lahan yang berfungsi sebagai hutan mengalami perubahan (Tabel 2). Pada beberapa kawasan, pengelolaan lahan hutan diusahakan pola pergiliran tanaman, yaitu yang terdiri atas tanaman pangan dan sayuran. Pada beberapa kawasan yang lain diusahakan menjadi kebun hortikultura (apel, sayuran) ataupun kebun tebu.

Tabel 2. Perubahan Fungsi Hutan di Wilayah DAS Brantas Hulu

Sub-DAS Kecamatan Pola Tanam Aktual di Lahan Hutan Amprong Jabung Cabe, bawang, sayuran lain - jagung -

jagung/cabai, bawang, sayuran lain Tebu

Poncokusumo Cabe, bawang, sayuran lain - cabai, bawang, sayuran lain - jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Desa Belung) Cabe, bawang, sayuran lain - jagung - jagung/cabai, bawang, sayuran lain (Ds. Belung)

Apel (Gubug Klakah) Tumpang Tebu (Desa Tulus Besar)

Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Bango Jabung Tebu

Karangploso Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, sayuran)

Lesti Poncokusumo Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Sumbermanjing Wetan Tanah kosong tak diolah

Wajak Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung) Metro Dau Kacang tanah - jagung – jagung

Wagir Kebun campuran, ubikayu + kedele (Desa Petungsewu)

Sumber Brantas

Batu Pohon reboisasi, tahun 1 (tanaman jagung, sayuran)

Bumiaji: Apel dan Kentang - wortel

Sumber: data primer (cek lapangan) dari hasil interpretasi Citra Satelit Landsat 7 ETM tahun 2001 (interpretasi dari Lab. Fisika Tanah)

Sementara itu, beberapa perubahan tataguna lahan di

wilayah lokasi kajian dari hasil wawancara disajikan pada

Tabel 3. Informasi lain yang diperoleh adalah terjadinya

penjarahan hutan secara besa-besaran di seluruh Sub-sub

DAS sejak digulirkannya reformasi, yakni sejak 1997

hingga tahun 2001.

Berdasarkan wawancara dengan key-informan dari seluruh lokasi kajian dapat diinformasikan bahwa penjarahan hutan secara besar-besaran terjadi antara tahun 1999 hingga 2001; yakni sejak Presiden Abdul Rachman Wahid menyatakan dalam pidatonya bahwa “hutan dan perkebunan adalah milik rakyat”. Pernyataan politik tersebut secara meluas mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat dalam pilihan penggunaan lahan. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil kajian Tim Peneliti ITS (2002), bahwa lahan kritis di wilayah DAS Kali Brantas semakin meningkat yang dipicu oleh era reformasi dan krisi keuangan yang melanda negara Indonesia.

Sub-DAS Kecamatan (Desa)

Perubahan tataguna lahan

Amprong Jabung (Kemantren)

a. Konversi lahan tegal menjadi perumahan seluas ± 157 ha terjadi tahun 1982

b. Lahan sawah menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 (pola tanam lama: padi-padi- jagung)

Tumpang (Pulungdowo)

Pada tahun 1990 dibangun dam penahan di pedukuhan nJambu terjadi perubahan peruntukan tegal menjadi sawah, namun secara formal masih tercatat luas baku tegal

Lesti Poncokusumo (Sumberjo)

Pada tahun 2000 – 2001 terdapat penjarahan hutan Negara di Desa Sumberjo ± 50 ha. Lahan tersebut ditanami jagung dan ketela pohon, namun

produksinya kurang berhasil.

Metro Dau (Petungsewu) a. Lahan sawah menjadi kebun jeruk ( 40% dari total sawah desa) sejak tahun 1997, total lahan sawah desa: 33.18 ha.

b. Hutan produksi menjadi lahan tegal sejak 1985; di bawah wilayah kerja KPH Selorejo terdapat program hutan sosial (lahan tetelan) seluas 225 ha yang tersebar di desa Petungsewu, Selorejo dan desa Kucur. Setiap kepala keluarga diberi hak kelola seluas 25 x 75 m2 = 0.19 ha

Sumber Brantas

Bumiaji (Tulungrejo)

a. Lahan tegal tanaman sayuran menjadi kebun apel b. Hutan pelindung alam (yang berada dekat lahan

tegal ) berubah menjadi lahan tanaman sayuran Sumber: Data Primer

Berkaitan dengan erosi, Arsyad (1989) menguraikan faktor-faktor yang

mempengaruhi erosi yang terdiri atas: iklim (i), topografi (r), tumbuh-tumbuhan (vegetasi = v) dan manusia (m). Dari perbagai faktor tersebut lebih lanjut dapat diklasifikasikan menjadi: (1) faktor yang dapat diubah oleh manusia (seperti vegetasi, kapasitas infiltrasi dan kesuburan tanah), serta (2) faktor yang tidak dapat diubah manusia (iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng).

Sementara itu, merujuk hasil kajian Talkurputra

(1979) dan Wastra (1990) dapat diperoleh gambaran

bahwa tataguna lahan dan vegetasi penutup lahan dapat

mempengaruhi kondisi hidrologis wilayah Daerah Aliran

Sungai (DAS). Unsur hidrologis meliputi: (1) fluktuasi debit,

(2) rata-rata debit tahunan, serta (c) rasio antara rata-rata

debit tahunan dan luas DAS, (4) koefisien aliran, dan (5)

hidrograf satuan.

Lahan hutan lebat mempunyai pengaruh positif

terhadap fluktuasi debit, artinya semakin besar proporsi

lahan hutan lebat dari suatu wilayah DAS akan menjadikan

semakin kecilnya fluktuasi debit sungai. Dan semakin

besar proporsi lahan kebun dari suatu wilayah DAS akan

mempengaruhi semakin besarnya rata-rata debit tahunan.

Perubahan penutup vegetasi yang lebih terbuka

menyebabkan nilai fluktuasi debit dan koefisien aliran

semakin besar. Disamping itu, perubahan tersebut juga

mengakibatkan debit puncak semakin besar dan waktu

mencapai debit puncak semakin cepat. Kondisi tersebut

menggambarkan kontinyuitas aliran menjadi lebih buruk.

Produksi air yang dihasilkan wilayah DAS secara

empiris dipengaruhi oleh vegetasi hutan, perkebunan, dan

tanaman pertanian. Komponen ekosistem tersebut dapat

direkayasa dan berperan dalam mempengaruhi

ketersediaan air permukaan (Bruijnzeel, 1982 dan

Sutterland , 1982 dalam Supriadi, 1997).

Pengukuran laju limpasan permukaan di DTA Waduk Sutami-Sengguruh telah dilakukan oleh Tim Peneliti PSLH Unibraw (1984). Kajian tersebut dilakukan pada berbagai tanaman tunggal maupun tumpangsari dengan tanaman kacang tanah, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan kentang. Laju limpasan sangat bervariasi menurut jenis tanaman, pola tanam dan pengelolaan lahan maupun menurut Sub-sub DAS. Pengelolaan lahan yang dipertimbangkan adalah teras.

Bila aliran permukaan dipergunakan untuk mendekati (proksi) sumbangan lahan terhadap debit air sungai, maka kendala yang dihadapi pada perumusan model optimasi adalah menentukan tingkat sumbangan lahan terhadap debit

inflow air waduk karena:

1. Pengukuran laju limpasan pada umumnya pada skala plot.

2. Pola tanam yang dipertimbangkan dalam model cukup bervariasi bila ditinjau dari jenis tanaman (Tabel 2).

Sehingga sumbangan lahan terhadap debit inflow air dalam perumusan model optimasi diasumsikan sama untuk semua pola tanam; dan keragaman variabel tersebut terjadi menurut Sub-sub DAS.