• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Tinjauan Hipertensi

2.2.10 Tatalaksana Hipertensi 1. Target Terapi Hipertensi

Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan nilai mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas berhubungan dengan kerusakan organ target, seperti kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal. (PDHI, 2019)

Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien, namun pemberian obat antihipertensi tidak selalu menjadi langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi. Pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai atau ambang tekanan darah. (PDHI, 2019)

Tabel 2.4 Ambang Batas TD untuk Inisiasi Obat. (Williams et al., 2018; PDHI, 2019) Kelompok

Usia

Ambang batas TDS di klinik untuk inisiasi obat

(mmHg) TDD di

klinik (mmHg) Hipertensi + Diabetes + PGK + PJK + Stroke

/TIA 18 – 65 tahun ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 90 65 – 79 tahun ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 90 ≥ 80 tahun ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 90 TDD di klinik (mmHg) ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90

TD = Tekanan darah; TDD = Tekanan darah diastolik; TDS = Tekanan darah sistolik; PGK = Penyakit ginjal kronik; PJK = Penyakit jantung coroner; TIA = Transient ischemic attack; Untuk stroke lakunar : target penurunan TDS 12 – 130 mmHg

Tabel 2.5 Target Tekanan Darah. (Williams et al., 2018; PDHI, 2019)

2. Intervensi Pola Hidup (Non Farmakologis)

Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1. Modifikasi pola hidup terbukti menurunkan tekanan darah, yaitu :

a. Pembatasan konsumsi garam

Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl Kelompok

Usia

Target TDS (mmHg) TDD di

klinik (mmHg) Hipertensi + Diabetes + PGK + PJK + Stroke

/TIA 18 – 65 tahun Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target < 140 hingga 130 jika dapat di toleransi Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 70 - 79 65 – 79 tahun Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139* jika dapat di toleransi 70 - 79 ≥ 80 tahun Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139* jika dapat di toleransi 70 - 79 TDD di klinik (mmHg) 70 - 79 70 - 79 70 - 79 70 - 79 70 - 79

TD = Tekanan darah; TDD = Tekanan darah diastolik; TDS = Tekanan darah sistolik; PGK = Penyakit ginjal kronik; PJK = Penyakit jantung coroner; TIA = Transient ischemic attack; Untuk stroke lakunar : target penurunan TDS 12 – 130 mmHg

perhari atau 1 sendok teh garam dapur). (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

b. Perubahan pola makan

Pasien hipertensi disarankan untuk Diet dengan cara Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yaitu pola diet yang menekankan konsumsi makanan seimbang yang mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh. (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

c. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal

Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8% berdasarkan data Riskesdas 2013, menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018. Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2). (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

d. Olah raga teratur

Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. (PDHI, 2019)

e. Berhenti merokok

Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga penderita hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok. (PDHI, 2019)

3. Terapi antihipertensi Oral (Farmakologis).

Terdapat 4 golongan obat yang menjadi lini pertama dalam terapi hipertensi, golongan tersebut adalah Diuretics, Angiotensin Converting Enzyme inhibitors (ACEi), Angiotensin II Receptor Blockers (ARB),dan Calcium Chanal Blockers (CCB). (PDHI, 2019)

a. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstitial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. (Wells et al., 2017)

Diuretik golongan thiazid sebagai obat lini pertama untuk pasien dengan hipertensi. Diuretik thiazid bekerja pada segmen awal tubulus distal dengan menghambat reabsorbsi NaCl sehingga menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan akibatnya akan menurunkan tekanan darah. Penggunaan diuretik thiazid pada pasien dengan riwayat gout atau hiperglikemia memerlukan pemantauan karena dapat menghambat ekskresi urat oleh ginjal sehingga meningkatkan kadar asam urat serta menghambat pelepasan insulin dari pancreas. (Wells et al., 2017)

Diuretik hemat kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan thiazid atau loop sehingga sering dikombinasikan dengan diuretik

lainnya untuk membuang kalium. Diuretik hemat kalium bekerja dengan menurunkan reabsorpsi Na+ dengan memblok kanal Na+ sehingga potensial listrik epitel tubulus menurun akibatnya sekresi K+ terhambat. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. (Wells et al., 2017)

Diuretik loop bekerja pada segmen angsa henle asendens dengan menghambat reabsorpsi NaCl. Diuretik loop memiliki efek diuresis yang lebih kuat dari diuretik thiazid namun bukan yang ideal jika digunakan untuk pasien hipertensi kecuali untuk pasien hipertensi yang mengalami edema akibat penyakit ginjal kronik (PGK) yang dialami pasien ketika nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 30 ml/menit/1.732 m2. Selain digunakan untuk pasien dengan nilai GFR rendah, diuretik juga digunakan untuk menurunkan kadar serum kalium. Penggunaan diuretik loop perlu diperhatikan karena pada dosis tinggi dapat menginduksi perubahan komposisi elektrolit. (Wells et al., 2017)

▪ Hidroklortiazid. (Drugs.com, 2020) Bioavailabilitas : 65 – 75%

Tmax : 1 - 5 jam

Volume Distribusi: 3.6 to 7.8 L/kg Ikatan protein : 40 - 60%

Onset : Bayi : 2 - 6 jam; Dewasa 2 jam (Efek puncak 4 – 6 jam)

Ekskresi : Urin ( ≥ 61% sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 6 – 15 jam

Mekanisme kerja : Menghambat reabsorbsi elektrolit berupa sodium dan klorida dari tubulus distal di ginjal sehingga menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit, termasuk juga sodium, potasium dan magnesium yang keluar dalam bentuk urin.

Gambar 2.4 Struktur Kimia Hidroklortiazid. (Drugs.com, 2020) ▪ Spironolakton. (Drugs.com, 2020)

Absorbsi

Bioavailabilitas : 73% (tablet)

Tmax : 2,6 - 4,3 jam (tablet, metabolit aktif); 0,5 - 1,5 jam (suspensi)

Onset : 2 – 4 jam (tablet) Durasi : 2 – 3 hari (tablet) Distribusi

Ikatan Protein : > 90%

Metabolisme : Cepat dan ekstensif di hepar dan ginjal metabolit aktif : Canrenone, 7-alphathiomet hylspirolactone, 6-beta-hydroxy-7-alpha-thiomethylspirolactone

Ekskresi : Urin 47 – 57%; Feses 35 – 41% (tablet) T½ eliminasi : 1,4 jam (tablet); 1 – 2 jam (suspensi)

Mekanisme kerja : Antagonis aldosteron, mengikat reseptor aldosterone-dependent sodium-potassium exchange site secara kompetitif dengan aldosteron di tubulus distal. Proses ini menyebabkan peningkatan ekskresi Natrium dan air serta retensi Kalium.

Gambar 2.5 Struktur Kimia Spironolakton. (Drugs.com, 2020) ▪ Furosemid. (Drugs.com, 2020)

Absorbsi

Bioavailabilitas : 47 – 64% (oral)

Onset : 30 – 60 menit (oral); 30 menit (iv) Durasi : 6 – 8 jam (oral); 2 jam (iv) Distribusi

Volume Distribusi : 0.2 L/kg Ikatan Protein : 91 – 99%

Metabolisme : Hepar (10 %), metabolit : Glucuronide ( 2- amino-4chloro-5-sulfamoylanthranilic acid) Ekskresi : Urin : 50% (oral), 80% (iv) dalam 24 jam;

T½ eliminasi : 30 – 120 menit (fungsi renal normal); 9 jam (gangguan ginjal stadium akhir) Mekanisme kerja : Menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal proksimal dan distal serta lengkung Henle; dengan mengganggu sistem transportasi pengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan klorida.

Gambar 2.6 Struktur Kimia Furosemide. (Drugs.com, 2020)

b. Angiotensin Converting Enzyme inhibitors (ACEi)

ACE inhibitors merupakan pilihan obat lini pertama yang bekerja dengan cara memblok konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. ACEi adalah suatu vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi aldosteron. ACEi juga menghambat degradasi dari bradikinin dan merangsang sintesis zat vasodilatasi lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Dosis awal penggunaan ACEi harus rendah dengan titrasi dosis lambat. ACEi menurunkan aldosteron dan dapat meningkatkan konsentrasi kalium serum, namun hiperkalemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan PGK. (Wells et al., 2017)

▪ Lisinopril. (Drugs.com, 2020) Absorbsi

Bioavailabilitas : 25%

Onset : 1 jam (awal); 6 jam (puncak)

Durasi : 24 jam

Tmax : Anak 6 bulan – 15 tahun : 5 – 6 jam Dewasa : 7 – 8 jam

Distribusi

Ikatan Protein : 25% Volume Distribusi : 24 L/kg

Metabolisme : Tidak dimetabolisme

Ekskresi : Urin (sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 12 jam

Mekanisme Kerja : Penghambat Angiotensin converting enzyme (ACE). Melebarkan arteri dan vena dengan secara kompetitif menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor endogen yang poten) dan dengan menghambat metabolisme bradikinin. Aktivitas ini menghasilkan pengurangan preload dan afterload pada jantung sehingga meringankan beban kerja jantung dalam memompa darah. ACEi juga menimbulkan efek renoprotektif melalui vasodilatasi arteriol ginjal dan mengurangi remodeling jantung dan pembuluh darah yang berhubungan dengan hipertensi kronis, gagal jantung, dan infark miokard.

Gambar 2.7 Struktur Kimia Lisinopril. (Drugs.com, 2020)

c. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)

Angiotensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim : Sistem Renin Angiotensin Aldosterone (SRAA) yang melibatkan enzim ACE dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEi hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui SRAA, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACEi hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung angiotensinogen II tipe 1 reseptor (AT1R) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok angiotensinogen II tipe 2 reseptor (AT2R). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2R (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. (Wells et al., 2017)

▪ Candesartan. (Drugs.com, 2020) Absorbsi

Tmax : 3 – 4 jam T½ : 5 – 9 jam Onset : 2 – 3 jam Durasi : > 24 jam Distribusi Ikatan Protein : > 99% Volume Distribusi : 0.13 L/kg Metabolisme : Hepar (minor)

Ekskresi : Urin : 33% (26% sebagai obat tdak berubah) Feses : 67%

T½ eliminasi : 5 – 9 jam tergantung dosis

Mekanisme kerja : Menghambat pengikatan Angiotensin II (Ang II) ke reseptor AT1 (AT1R) sehingga menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.

Gambar 2.8 Struktur Kimia Candesartan. (Drugs.com, 2020)

d. Calcium Channel Blockers (CCB)

Calcium Channel Blockers atau penghambat kanal kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler sehingga menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos. Ion kalsium di jantung

mempengaruhi kontraktilitas otot jantung melalui peristiwa repolarisasi dan depolarisasi sel. Kelebihan ion ini akan meningkatkan kontraksi otot jantung sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat golongan penghambat kanal kalsium akan menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jatung. (Wells et al., 2017)

▪ Amlodipin. (Drugs.com, 2020) Absorbsi Bioavailabilitas : 64 – 90 % Onset : 24 – 96 jam Durasi : 24 jam Tmax : 6 – 12 jam. Distribusi Ikatan Protein : 93 – 98 % Volume Distribusi : 21 L/kg

Metabolisme : Hepar 90% (enzim CYP3A4)

Metabolit : Analog pyridine (inaktif) Ekskresi : Urin (10 % sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 30 – 50 jam

Mekanisme kerja : Menghambat masuknya transmembran ion kalsium ekstraseluler melintasi membran sel miokard dan sel otot polos pembuluh darah tanpa mengubah konsentrasi kalsium serum, sehingga menghambat kontraksi otot polos jantung dan pembuluh darah dan melebarkan arteri koroner dan sistemik utama. Meningkatkan pengiriman oksigen miokard pada pasien dengan angina vasospastik.

Tabel 2.6 Obat Antihipertensi Oral. (Whelton et al., 2018; PDHI, 2019)

Golongan Obat Dosis

(mg/ hari)

Frekuensi per hari Obat Lini Pertama

Diuretik Thiazid Hidroklortiazid 25 – 50 1

Idapamide 1,25 – 2,5 1 ACEi Kaptopril 12,5 - 150 2 atau 3 Enalapril 5 - 40 1 atau 2 Lisinopril 10 - 40 1 Perindopril 5 - 10 1 Ramipril 2,5 - 10 1 atau 2 ARB Candesartan 8 – 32 1 Eprosartan 600 1 Irbesartan 150 – 300 1 Losartan 50 – 100 1 atau 2 Olmesartan 20 – 40 1 Telmisartan 20 – 80 1 Valsartan 80 – 320 1 CCB - dihidropiridin Amlodipin 2,5 – 10 1 Felodipin 5 – 10 1 Nifedipin OROS 30 – 90 1 Lercanidipin 10 – 20 1 CCB - nondihidropiridin Diltiazem SR 180 – 360 1 Diltiazem CD 100 – 200 1 Verapamil SR 120 - 480 1 atau 2

Obat Lini Kedua

Diuretik Loop Furosemid 20 – 80 2

Torsemid 5 - 10 1

Diuretik Hemat Kalium Amilorid 5 - 10 2 atau 1

Triamteren 50 - 100 2 atau 1

Diuretik Antagonis Aldosteron Eplerenon 50 – 100 2 atau 1

Spironolakton 25 - 100 1

Beta bloker – kardioselektif dan vasodilator

Nebivolol 5 - 40 1

Beta bloker – nonkardioselektif dan vasodilator

Propanolol IR 160 – 480 2

Propanolol LA 80 - 320 1

Beta bloker – kombinasi

reseptor alfa dan beta Carvedilol

12,5 - 50 2

Alfa – 1 bloker

Doxazosin 1 – 8 1

Prazosin 2 – 20 2 atau 3

Terazosin 1 – 20 1 atau 2

Sentral alfa – 1 agonis dan obat sentral lainnya

Metildopa 250 – 1000 2

Klonidin 0,1 – 0,8 2

Direct vasodilator Hidralazin 25 – 200 2 atau 3

Dokumen terkait