• Tidak ada hasil yang ditemukan

IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IR PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

2.1.1 Pendahuluan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease/ covid-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan covid-19 sebagai pandemi. Penambahan jumlah kasus covid-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

2.1.2 Definisi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Covid-19 merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh coronavirus yang disebut Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 secara genetik mirip dengan Severe Acute Respiratory Coronavirus 1 (SARS-CoV-1) yang menyebabkan wabah sindrom pernafasan akut akut (SARS) pada awal 2000-an.(Lai et al., 2020)

(2)

2.1.3 Etiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Penyebab covid-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu : protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein S (spike), protein E (envelope). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya covid-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus), HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus). (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Gambar 2.1 Struktur coronavirus. (Yuki, Fujiogi and Koutsogiannaki, 2020)

Coronavirus yang menjadi etiologi covid-19 termasuk dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah

(3)

SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama penyebab covid-19 sebagai SARS-CoV-2. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Lamanya coronavirus bertahan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian yang dilakukan oleh (Taylor, Lindsay and Halcox, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin). (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

2.1.4 Penularan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia namun hewan yang menjadi sumber penularan covid-19 ini masih belum diketahui. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

(4)

Studi epidemiologi dan virologi membuktikan bahwa covid-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet yaitu partikel berisi air dengan diameter >5-10 μm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 m) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu, penularan virus covid-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Penularan covid-19 melalui udara dapat terjadi pada keadaan khusus seperti prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

2.1.5 Patofisiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Proses replikasi SARS-CoV-2 yaitu virus masuk dan berikatan dengan reseptor sel inang yaitu enzim Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) oleh bantuan enzim Transmembrane Serine Protease 2 (TMPRSS2), kemudian virus memasuki sel inang melalui endositosis dan fusi membran, selanjutnya genom RNA virus dilepaskan di sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi poliprotein dan

(5)

protein struktural. Proses selanjutnya sintesis RNA virus melalui kompleks translasi dan replikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran Retikulum endoplasma atau badan golgi kemudian terbentuk nukleokapsid yang tersusun atas protein virus dan RNA. Partikel virus berkembang di dalam badan golgi. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung virion akan mengalami eksositosis, menembus membran plasma kemudian melepaskan komponen virus baru yang menginfeksi sel lain dan mengulangi siklus replikasi di atas. (Boopathi, Poma and Kolandaivel, 2021; Susilo et al., 2020)

ACE2 diekspresikan tinggi di paru, jantung, usus dan ginjal. Pada paru, ACE2 sangat diekspresikan pada sel-sel epitel paru di alveolar. Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas kemudian menyebar ke saluran nafas bawah dan bereplikasi di saluran napas bawah diikuti dengan respons sistem imun bawaan dan spesifik. Pada tahap pertama terjadi kerusakan difus alveolar, makrofag, dan infiltrasi sel T dan proliferasi pneumosit tipe 2 (Pada rontgen toraks diawal tahap infeksi terlihat infiltrat pulmonar seperti bercak-bercak). Pada tahap kedua, terjadi perubahan infiltrat atau konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Inflamasi dan kerusakan jaringan paru merangsang pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar dan memicu respon inflamasi sistemik yang tidak terkontrol. Respon inflamasi yang berlanjut mengaktivasi sistem kinin-kallikrein yang menyebabkan angioedema dan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, penebalan interstisial alveolar dan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema paru dapat memicu ARDS dan juga mengaktivasi faktor koagulasi sehingga terjadi trrombosis kapiler paru, keduanya dapat menyebabkan kegagalan multiorgan dan

(6)

berakhir kematian. (Weinberger, Cockrill and Mandel, 2018; PDPI, 2020; Wiersinga et al., 2020)

Gambar 2.2 Patofisiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) (Wiersinga et al., 2020)

(7)

2.1.6 Epidemiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Peningkatan jumlah kasus konfirmasi covid-19 berlangsung cukup cepat, dan menyebar ke berbagai negara dalam waktu singkat. Penyebaran covid-19 sampai dengan tanggal 15 Mei 2021, dilaporkan total kasus konfirmasi covid-19 global adalah 161.545.247 kasus dengan 3.352.830 kematian (CFR 2,07%) di 222 negara terjangkit. Kasus terkonfirmasi covid-19 di Indonesia sejumlah 1.734.285 kasus dengan 47.823 kematian (CFR 2,75%) pada 34 Provinsi dan di Jawa Timur kasus terkonfirmasi covid-19 sebanyak 150.901 kasus dengan 11.027 kematian (CFR 7,31%). Sebanyak 47,7% kasus terjadi pada laki-laki, 49,6% pada perempuan dan 2,7% belum diketahui. Kasus paling banyak terjadi pada rentang usia 25-34 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun. Indonesia merupakan negara dengan kasus konfirmasi covid-19 tertinggi di ASEAN dan tertinggi ke-18 di dunia. (Jatim, 2021; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021; World Health Organization, 2021) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers For Disease Control (CDC) Cina, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis. (Wu and McGoogan, 2020)

2.1.7 Manifestasi Klinis Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Gejala awal umumnya bersifat ringan dan muncul secara bertahap. Beberapa yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala dan tetap merasa sehat. Gejala yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering, nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

(8)

Covid-19 dapat terjadi pada pasien immunocompromised dan populasi normal, bergantung paparan jumlah virus. Jika terpapar virus dalam jumlah besar dalam satu waktu, dapat menimbulkan penyakit walaupun sistem imun tubuh berfungsi normal. Orang-orang dengan sistem imun lemah seperti orang tua, wanita hamil, dan kondisi lainnya, penyakit dapat secara progresif lebih cepat dan lebih parah. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multiorgan, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020; PDPI, 2020)

Tabel 2.1 Kriteria Gejala dan Manifestasi Klinis Covid-19 Berdasarkan Beratnya Kasus. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Kriteria Gejala Manifestasi Klinis Penjelasan Tanpa gejala Tidak ada gejala klinis

Pasien tidak menunjukkan gejala apapun.

Gejala ringan

Sakit ringan tanpa

komplikasi

Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, anoreksia, malaise, sakit kepala, nyeri otot, diare, mual atau muntah. Pasien usia lanjut dan immunocompromised gejala atipikal.

Gejala sedang

Pneumonia ringan

Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) tanpa tanda pneumonia berat dan tidak membutuhkan suplementasi oksigen.

Anak dengan pneumonia ringan dengan keluhan batuk atau kesulitan bernapas disertai napas cepat :

Frekuensi napas: <2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat.

(9)

Kriteria Gejala Manifestasi Klinis Penjelasan Gejala berat Pneumonia berat / ISPA berat

Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas/pneumonia, ditambah satu dari:

- Frekuensi napas >30 x/menit, distres pernapasan berat atau SpO2 ≤ 93% Pada udara kamar atau rasio PaO2/ FiO2 <300

Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

- Sianosis sentral atau SpO2 ≤ 93%;

- Distres pernapasan berat (mendengkur, tarikan dinding dada yang berat)

- Tanda pneumonia berat : ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran atau kejang.

- Tanda lain pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea : <2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit; >5 tahun, ≥30x/menit. Kritis Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Onset : Baru terjadi atau perburukan respirasi dalam waktu 1 minggu setelah diketahui kondisi klinis. Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru): Opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak diketahui penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus/ nodul.

Penyebab edema: Gagal napas yang bukan akibat gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko.

Kriteria ARDS Pada Dewasa:

- ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau CPAP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

- ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200 - mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak

diventilasi)

- ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi)

(10)

Kriteria Gejala Manifestasi Klinis Penjelasan Kritis (Lanjutan) Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (Lanjutan)

Kriteria ARDS Pada Anak:

- Usia : Eksklusi pasien dengan penyakit paru perinatal - Waktu : Dalam 7 hari sejak onset penyakit

- Penyebab edema : Gagal napas yang tidak dapat dijelaskan oleh gagal jantung atau kelebihan cairan (fluid overload)

- Radiologis : Infiltrat paru konsisten dengan penyakit paru akut

- Oksigenasi :

- Ventilasi mekanis non invasive

▪ CPAP ≥5 cmH20 melalui masker full wajah : Pa02/Fi02 ≤ 300 mmHg atau Sp02/Fi02 ≤ 264 ▪ PARDS : Masker full face ventilasi bi-level atau

CPAP

- Ventilasi mekanis invasive ▪ ARDS Ringan : 4 ≤ OI ≤ 8 ▪ ARDS Sedang : 8 ≤ OI ≤ 16 ▪ ARDS Berat : OI ≥ 16

• Derajat ringan beratnya ARDS berdasarkan kondisi hipoksemia. Hipoksemia didefinisikan tekanan oksigen arteri (PaO2) dibagi fraksi oksigen inspirasi.

• Analisis gas darah penting dilakukan untuk melihat tekanan oksigen darah dalam menentukan tingkat keparahan ARDS.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis, antara lain : (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

1. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula Darah, Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium, Kalium, Chlorida, Analisa Gas Darah, Procalcitonin, PT, APTT, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin Indirect, Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium RT-PCR, dan/atau semua jenis kultur MO (aerob) dengan resistensi Anti HIV.

(11)

2.1.9 Diagnosis Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi Covid-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT- PCR. Pada kondisi dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test dapat digunakan sebagai skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan, serta untuk penguatan pelacakan kontak seperti di lapas, asrama, dan pada kelompok rentan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

2.1.10 Komorbid Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) 1. Diabetes Mellitus

a) Diabetes Mellitus Tipe 1 b) Diabetes Mellitus Tipe 2

c) Glucocorticoid-associated Diabetes 2. Penyakit terkait Geriatri

3. Penyakit terkait Autoimun 4. Penyakit Ginjal

5. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) 6. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) 7. Hipertensi

8. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 9. Tuberkulosis

10. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit covid-19. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

(12)

2.1.11 Komplikasi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

1. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) yang lama 2. Ventilator-associated pneumonia (VAP)

3. Tromboemboli vena

4. Catheter-related bloodstream

5. Stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan

6. Kelemahan akibat perawatan di Intensive Care Unit (ICU)

7. Komplikasi lainnya selama perawatan pasien. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Tabel 2.2 Pencegahan Komplikasi. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020) Antisipasi Dampak Tindakan Mengurangi lamanya hari penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV)

• Protokol penyapihan meliputi penilaian harian kesiapan untuk bernapas spontan

• Pemberian sedasi berkala atau kontinyu yang minimal, titrasi untuk mencapai target khusus (walaupun begitu sedasi ringan merupakan kontraindikasi) atau dengan interupsi harian dari pemberian infus sedasi kontinyu.

Mengurangi terjadinya ventilator-associated

pneumonia (VAP)

• Intubasi oral adalah lebih baik daripada intubasi nasal pada remaja dan dewasa

• Pertahankan posisi pasien semi-recumbent (naikkan posisi kepala pasien membentuk sudut 30 - 45o) • Gunakan sistem closed suctioning, kuras dan buang

kondensat dalam pipa secara periodik

• Setiap pasien menggunakan sirkuit ventilator yang baru; pergantian sirkuit dilakukan hanya jika kotor atau rusak

Ganti alat heat moisture exchanger (HME) jika tidak berfungsi, ketika kotor atau setiap 5-7 hari.

Mengurangi terjadinya ulkus karena tekanan

• Posisi pasien miring ke kiri-kanan bergantian setiap dua jam.

(13)

Antisipasi Dampak Tindakan Mengurangi terjadinya Tromboemboli vena

• Gunakan obat profilaksis (low molecular-weight heparin, bila tersedia atau heparin 5000 unit subkutan dua kali sehari) pada pasien remaja dan dewasa bila tidak ada kontraindikasi.

• Bila terdapat kontraindikasi, gunakan perangkat profilaksis mekanik seperti intermiten pneumatic compression device. Mengurangi terjadinya infeksi terkait Catheter-related bloodstream

Gunakan checklist sederhana pada pemasangan kateter IV sebagai pengingat untuk setiap langkah yang diperlukan agar pemasangan tetap steril dan adanya pengingat setiap harinya untuk melepas kateter jika tidak diperlukan. Mengurangi terjadinya stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan

• Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu 24-48 jam pertama)

Berikan histamin-2 receptor blockers atau proton-pump inhibitors. Faktor risiko yang perlu diperhatikan untuk terjadinya perdarahan saluran pencernaan termasuk pemakaian ventilasi mekanik ≥48 jam, koagulopati, terapi sulih ginjal, penyakit hati, komorbid ganda, dan skor gagal organ yang tinggi.

Mengurangi terjadinya

kelemahan akibat perawatan di ICU

• Mobilisasi dini apabila aman untuk dilakukan.

2.1.12 Tata Laksana Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah atau mengobati covid-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis dan suportif sesuai indikasi klinis. Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien covid-19 tanpa gejala, sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada kondisi tertentu. Berikut tata laksana klinis pasien terkonfirmasi covid-19 :

(14)

1. Pasien terkonfirmasi tanpa gejala a. Isolasi dan Pemantauan

Pasien terkonfirmasi covid-19 tanpa gejala tidak memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, tetapi harus menjalani isolasi selama 14 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang disediakan pemerintah dan kontrol di FKTP setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis.

b. Non-farmakologis

Edukasi terkait tindakan yang perlu dilakukan : ▪ Pasien

o Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari o Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat

berinteraksi dengan anggota keluarga

o Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.

o Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing) o Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah

o Menerapkan etika batuk (diajarkan oleh tenaga medis) o Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun

o Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya o Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong

plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci

(15)

o Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC

▪ Keluarga

o Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.

o Anggota keluarga senanitasa pakai masker o Jaga jarak minimal 1 m dari pasien

o Senantiasa mencuci tangan

o Tidak menyentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih o Senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar o Membersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh

pasien misalnya gagang pintu dll c. Farmakologis

▪ Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACEi dan ARB perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam ATAU Dokter Spesialis Jantung.

▪ Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ;

o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

o Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari)

(16)

2. Pasien terkonfirmasi gejala ringan a. Isolasi dan Pemantauan

Pasien terkonfirmasi covid-19 gejala ringan harus menjalani isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang disediakan pemerintah dan kontrol di FKTP setelah melewati masa isolasi untuk pemantauan klinis.

b. Non-farmakologis

Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala).

c. Farmakologis

▪ Vitamin C dengan pilihan:

o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

o Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet/24 jam (selama 30 hari),

o Dianjurkan vitamin yang mengandung vitamin C,B, E, zink ▪ Azitromisin 500 mg/24 jam/oral selama 5 hari

▪ Salah satu dari antivirus berikut ini :

o Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari, Atau o Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama

10 hari, Atau

(17)

▪ Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat dipertimbangkan apabila pasien dirawat inap di RS dan tidak ada kontraindikasi.

▪ Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila demam.

▪ Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.

▪ Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.

3. Pasien terkonfirmasi gejala sedang a. Isolasi dan Pemantauan

▪ Rujuk ke rumah sakit ke ruang perawatan covid-19/ rumah sakit darurat covid-19

▪ Isolasi di rumah sakit ke ruang perawatan covid-19/ rumah sakit darurat covid-19

b. Non-farmakologis

▪ Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), saturasi oksigen.

▪ Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP), fungsi ginjal, fungsi hati dan ronsen dada secara berkala.

(18)

c. Farmakologis

▪ Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan.

▪ Diberikan terapi farmakologis berikut :

o Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari). setiap 3 hari kontrol EKG

o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari) dengan aternatif Levofloxacin 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari)

o Salah satu antivirus berikut :

- Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari, Atau

- Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari, Atau

- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5), Atau - Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3

jam selama 9 – 13 hari

▪ Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP ▪ Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain). ▪ Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.

(19)

4. Pasien terkonfirmasi gejala berat a. Isolasi dan Pemantauan

Pasien terkonfirmasi covid-19 gejala berat diisolasi di ruang isolasi rumah sakit rujukan atau rawat secara kohorting.

b. Non-farmakologis

▪ Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), saturasi oksigen.

▪ Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan hs-CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.

▪ Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan. ▪ Monitor tanda-tanda sebagai berikut;

o Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,

o Saturasi oksigen dengan pulse oximetry ≤ 93% o PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,

o Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24 - 48 jam,

o Limfopenia progresif, o Peningkatan CRP progresif, o Asidosis laktat progresif. ▪ Monitor keadaan kritis

o Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, shock atau gagal Multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.

(20)

o Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik

o langkah penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut :

1) Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV. 2) Pembatasan resusitasi cairan, terutama pasien edema paru. 3) Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone

position). ▪ Terapi oksigen :

o NRM : 15 liter per menit. o HFNC

- Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).

- Batasi flow agar tidak melebihi 30 liter/menit.

- Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi).

Indeks ROX = (SpO

2

/ FiO

2

) / laju

(21)

o NIV (Noninvasif Ventilation)

- Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).

- Lakukan pemberian NIV selama 1 jam, kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg, tidak ada gejala kegagalan pernapasan atau peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan ventilasi dan penilaian ulang 2 jam kemudian.

- Pada kasus ARDS berat, disarankan dilakukan ventilasi invasif. - Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.

- Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang. Hindari penggunaan strategi ini pada ARDS berat.

o Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)

Tatalaksana setting ventilator pada covid-19 sama seperti protokol ventilator ARDS dimana dilakukan Tidal volume < 8 mL/kg, Pplateau < 30 cmH2O, titrasi PEEP dan Recruitment Maneuver, serta target driving pressure yang rendah.

o ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)

Pasien covid-19 kritis dapat menerima terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO setelah pasien tersebut menerima terapi posisi prone (kecuali dikontraindikasikan) dan terapi ventilator ARDS yang maksimal menurut klinisi.

(22)

- Indikasi ECMO

1) PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam 2) PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam

3) pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam - Kontraindikasi relatif

1) Usia ≥ 65 tahun 2) Obesitas BMI ≥ 40 3) Status imunokompromis

4) Tidak ada ijin informed consent yang sah. 5) Penyakit gagal jantung sistolik kronik

6) Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mucus bronkus, abdominal compartment syndrome)

- Kontraindikasi absolut

1) Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3 2) Ventilasi mekanik > 10 hari

3) Adanya penyakit komorbid yang bermakna : a. Gagal ginjal kronis ≥ III

b. Sirosis hepatis c. Demensia

d. Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.

e. Keganasan metastase f. Penyakit paru tahap akhir

(23)

g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik

h. Penyakit vaskular perifer berat 4) Gagal organ multipel berat

5) Injuri neurologik akut berat. 6) Perdarahan tidak terkontrol.

7) Kontraindikasi pemakaian antikoagulan. 8) Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.

Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan, stroke, pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati otak.

c. Farmakologis

▪ Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan.

▪ Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena.

▪ Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG.

▪ Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).

▪ Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus

(24)

infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.

▪ Antivirus :

o Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari, Atau

o Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari, Atau

o Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5), Atau o Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3

jam selama 9 – 13 hari

▪ Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP

▪ Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator. ▪ Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

▪ Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok.

▪ Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020; PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, 2020)

(25)

2.2 Tinjauan Hipertensi

2.2.1 Pendahuluan Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering ditemui pada pasien covid-19. Hipertensi juga banyak terdapat pada pasien covid-19 yang mengalami ARDS. SARS-CoV-2 berikatan dengan ACE2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEi) dan angiotensin receptor blockers (ARB), 2 golongan obat yang sering digunakan dalam mengontrol hipertensi secara teoritis akan meningkatkan ikatan SARS-Cov-2 ke paru-paru. Akan tetapi, ACE2 menunjukkan efek proteksi dari kerusakan paru pada studi eksperimental. ACE2 membentuk angiotensin 1-7 dari angiotensin II, sehingga mengurangi efek inflamasi dari angiotensin II dan meningkatkan potensi efek anti- inflamasi dari angiotensin 1-7. ACE Inhibitors dan ARB, dengan mengurangi pembentukan angiotensin II dan meningkatkan angiotensin 1-7, mungkin dapat berkontribusi mengurangi inflamasi sistemik terutama di paru, jantung, ginjal dan dapat menghilangkan kemungkinan perburukan menjadi ARDS, miokarditis, atau gagal ginjal akut (GGA). (PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, 2020)

2.2.2 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arteri yang tetap setelah pemeriksaan berulang dengan tekanan darah sistolik ≥140 mm Hg dan/ atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. (PDHI, 2019; Unger et al., 2020) Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah jantung (cardiac output) dan resistensi vaskular perifer

(26)

(peripheral vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous return) dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah. (DPPTM, 2013; Wells et al., 2016; PDHI, 2019)

2.2.3 Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu :

1. Hipertensi Primer (Esensial), merupakan hipertensi idiopatik yang belum diketahui penyebabnya dan sering dikaitkan dengan faktor genetik, usia, jenis kelamin, kolesterol, gaya hidup (asupan natrium berlebih, merokok, dll) dengan presentasi 95%. (Delacroix and Chokka, 2014; Wells et al., 2016) 2. Hipertensi Sekunder, merupakan hipertensi yang dapat diidentifikasi

penyebabnya seperti stenosis arteri renalis, penyakit ginjal kronis, sleep apnea, penyakit endokrin (diabetes melitus, tiroid) dan penggunaan obat-obatan dengan presentasi 5%. (Delacroix and Chokka, 2014; Wells et al., 2016)

(27)

Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah Klinik. (PDHI, 2019)

Hipertensi sistolik terisolasi (HST) di definisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dengan tekanan darah distolik < 90 mmHg. Berbagai studi membuktikan bahwa prevalensi HST pada usia lanjut sangat tinggi akibat proses penuaan, akumulasi kolagen, kalsium serta degradasi elastin pada arteri. Kekakuan aorta akan meningkatkan tekanan darah sistolik dan pengurangan volume aorta yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan tekanan darah sistolik. HST juga dapat terjadi pada keadaan anemia, hipertiroidisme, insufisiensi aorta, dan fistula arteriovena. (DPPTM, 2013)

2.2.4 Patofisiologi Hipertensi

Sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebabnya. Terdapat beberapa mekanisme yang berperan dalam peningkatan tekanan darah.

KATEGORI TDS (mmHg) TDD (mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal 120 – 129 dan/ atau 80 – 84

Normal – tinggi 130 – 139 dan/ atau 85 - 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 dan/ atau 90 – 99

Hipertensi derajat 2 160 - 179 dan/ atau 100 – 109

Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/ atau ≥ 110

Hipertensi sistolik terisolasi

(28)

1) Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (SRAA)

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE yang memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Renin yang diproduksi oleh ginjal akan diubah menjadi angiotensin I. ACE yang terdapat di paru-paru kemudian akan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peranan dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi antidiuretic hormone (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan menarik cairan dari intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat dan akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. (Delacroix and Chokka, 2014)

Pada sistem aldosteron, terjadi stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. (Delacroix and Chokka, 2014)

(29)

2) Sistem Saraf Simpatis (SSS)

Sistem pengatur konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula otak. Pusat vasomotor ini bermula dari jaras saraf simpatis yang kemudian berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. (Delacroix and Chokka, 2014)

2.2.5 Gejala Hipertensi

Hipertensi dikenal sebagai “silent killer” karena tidak memiliki tanda peringatan atau gejala, banyak orang tidak menyadari telah menderita hipertensi. bahkan ketika tingkat tekanan darah sangat tinggi, kebanyakan orang tidak memiliki tanda atau gejala apa pun. Pada beberapa orang muncul gejala sakit kepala, muntah, pusing dan mimisan. Gejala ini biasanya terjadi setelah tekanan darah telah mencapai tahap yang parah atau sudah mengancam jiwa. (Olin and Pharm, 2015)

2.2.6 Faktor Resiko

Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu :

(30)

i. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi a. Usia

Faktor usia sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur maka resiko mengalami hipertensi menjadi semakin besar. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Hal ini disebabkan karena elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun juga perubahan alamiah yang mempengaruhi jantung serta hormon. (DPPTM, 2013)

b. Keturunan/ Genetik

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga meningkatkan resiko hipertensi terutama hipertensi primer. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. (DPPTM, 2013)

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pada usia produktif, hipertensi lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita karena wanita mempunyai hormon estrogen yang dapat melindungi dari hipertensi dan komplikasinya. Namun ketika memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita dan pria cenderung setara karena terjadi penurunan kadar estrogen. (DPPTM, 2013)

ii. Faktor resiko yang dapat di modifikasi a. Kegemukan (Obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam indeks massa tubuh (IMT) yang diperoleh dari hasil

(31)

pembagian berat badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m2) dengan nilai lebih dari atau sama dengan 30. Makin besar massa tubuh, makin banyak pula suplai darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan volume darah yang beredar melalui pembuluh darah akan meningkat sehingga tekanan pada dinding arteri menjadi lebih besar. (DPPTM, 2013)

b. Merokok

Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Hal ini disebabkan oleh kandungan nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok akan memasuki sirkulasi darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri. Zat tersebut mengakibatkan proses artereosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Nikotin juga diserap oleh pembuluh darah kecil di paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Dengan segera nikotin sudah mencapai otak kemudian otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas hormon epinefrin atau adrenalin. Hormon inilah yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. (DPPTM, 2013)

c. Kurang Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras

(32)

dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri. (DPPTM, 2013)

d. Konsumsi Garam Berlebih

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari. (DPPTM, 2013)

e. Dislipidemia

Kelainan metabolisme lipid (lemak) ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang kemudian menyebabkan peningkatan tahanan perifer pembuluh darah sehingga takanan darah meningkat. (DPPTM, 2013) f. Konsumsi Alkohol Berlebih

Pengaruh alkohol terhadap peningkatan tekanan darah telah dibuktikan namun mekanismenya masih belum diketahui secara pasti. Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan volume sel darah merah dan peningkatan kekentalan darah berperan dalam meningkatkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol. (DPPTM, 2013)

(33)

g. Psikososial dan Stress

Stress dapat merangsang kalenjar adrenal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan beradaptasi sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. (DPPTM, 2013)

2.2.7 Diagnosis Hipertensi

Diagnosis hipertensi didasarkan pada pengukuran minimal dua kali pengukuran dari tekanan darah tetap yang menunjukkan peningkatan. Pengulangan pengukuran tekan darah dilakukan setelah dua menit. Istilah “white coat” adalah suatu peningkatan tekanan darah yang terbaca saat diukur oleh dokter atau tenaga kesehatan lain. Dalam pengukuran tekanan darah harus diperhatikan cara pengukuran, alat ukur, saat pengukuran dan tempat pengukuran. Pemeriksaan pada ginjal perlu dilakukan untuk menilai keterlibatan organ tersebut pada hipertensi. Anamnesis yang dilakukan meliputi hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan lainnya. Serta dilihat apakah terdapat gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok), konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan, dan sebagainya). (Delacroix and Chokka, 2014; PDHI, 2019)

(34)

2.2.8 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi lama dan atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ target baik secara langsung maupun tidak langsung pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer. Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ - organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi TGF- β. (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014)

Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, pada otak dapat terjadi stroke karena pecahnya pembuluh darah serebral dan pada ginjal dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal. Pada mata dapat terjadi retinopati hipertensif berupa bercak-bercak perdarahan pada retina dan edema papil nervus optikus. Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dengan akibat penyakit jantung koroner dan stroke iskemik. Hipertensi yang sangat berat juga dapat menimbulkan aneurisma aorta dan robeknya lapisan intima aorta atau dissecting aneurisma. (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014)

(35)

Gambar 2.3 Komplikasi Hipertensi. (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014)

2.2.9 Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi termasuk penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Kematian terkait hipertensi terjadi paling umum sebagai akibat penyakit jantung iskemik, stroke hemoragik, dan stroke iskemik. (Taddei et al., 2020) Pada tahun 2015 sekitar 1,13 miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi. (World Health Organization, 2019) Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2018 menunjukkan data angka penderita hipertensi mencapai 34,11%, dengan estimasi jumlah kasus hipertensi sebesar 63.309.620 orang dan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian, dari populasi tersebut hanya 8,8% yang

(36)

terdiagnosis hipertensi dan hanya 54,4% dari yang rutin minum obat. (P2PTM, 2019)

2.2.10 Tatalaksana Hipertensi 1. Target Terapi Hipertensi

Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan nilai mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas berhubungan dengan kerusakan organ target, seperti kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal. (PDHI, 2019)

Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan upaya untuk menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien, namun pemberian obat antihipertensi tidak selalu menjadi langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi. Pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai atau ambang tekanan darah. (PDHI, 2019)

Tabel 2.4 Ambang Batas TD untuk Inisiasi Obat. (Williams et al., 2018; PDHI, 2019) Kelompok

Usia

Ambang batas TDS di klinik untuk inisiasi obat

(mmHg) TDD di

klinik (mmHg) Hipertensi + Diabetes + PGK + PJK + Stroke

/TIA 18 – 65 tahun ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 90 65 – 79 tahun ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 140 ≥ 90 ≥ 80 tahun ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 160 ≥ 90 TDD di klinik (mmHg) ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90 ≥ 90

TD = Tekanan darah; TDD = Tekanan darah diastolik; TDS = Tekanan darah sistolik; PGK = Penyakit ginjal kronik; PJK = Penyakit jantung coroner; TIA = Transient ischemic attack; Untuk stroke lakunar : target penurunan TDS 12 – 130 mmHg

(37)

Tabel 2.5 Target Tekanan Darah. (Williams et al., 2018; PDHI, 2019)

2. Intervensi Pola Hidup (Non Farmakologis)

Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1. Modifikasi pola hidup terbukti menurunkan tekanan darah, yaitu :

a. Pembatasan konsumsi garam

Konsumsi garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2 gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl Kelompok

Usia

Target TDS (mmHg) TDD di

klinik (mmHg) Hipertensi + Diabetes + PGK + PJK + Stroke

/TIA 18 – 65 tahun Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target < 140 hingga 130 jika dapat di toleransi Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 Target ≤ 130 jika dapat di toleransi tetapi tidak < 120 70 - 79 65 – 79 tahun Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139* jika dapat di toleransi 70 - 79 ≥ 80 tahun Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139 jika dapat di toleransi Target 130 – 139* jika dapat di toleransi 70 - 79 TDD di klinik (mmHg) 70 - 79 70 - 79 70 - 79 70 - 79 70 - 79

TD = Tekanan darah; TDD = Tekanan darah diastolik; TDS = Tekanan darah sistolik; PGK = Penyakit ginjal kronik; PJK = Penyakit jantung coroner; TIA = Transient ischemic attack; Untuk stroke lakunar : target penurunan TDS 12 – 130 mmHg

(38)

perhari atau 1 sendok teh garam dapur). (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

b. Perubahan pola makan

Pasien hipertensi disarankan untuk Diet dengan cara Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yaitu pola diet yang menekankan konsumsi makanan seimbang yang mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh. (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

c. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal

Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8% berdasarkan data Riskesdas 2013, menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018. Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2). (Giuseppe Mancia, Guido Grassi, 2014; PDHI, 2019)

d. Olah raga teratur

Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi, sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. (PDHI, 2019)

e. Berhenti merokok

Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga penderita hipertensi yang merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok. (PDHI, 2019)

(39)

3. Terapi antihipertensi Oral (Farmakologis).

Terdapat 4 golongan obat yang menjadi lini pertama dalam terapi hipertensi, golongan tersebut adalah Diuretics, Angiotensin Converting Enzyme inhibitors (ACEi), Angiotensin II Receptor Blockers (ARB),dan Calcium Chanal Blockers (CCB). (PDHI, 2019)

a. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstitial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. (Wells et al., 2017)

Diuretik golongan thiazid sebagai obat lini pertama untuk pasien dengan hipertensi. Diuretik thiazid bekerja pada segmen awal tubulus distal dengan menghambat reabsorbsi NaCl sehingga menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah perifer dan akibatnya akan menurunkan tekanan darah. Penggunaan diuretik thiazid pada pasien dengan riwayat gout atau hiperglikemia memerlukan pemantauan karena dapat menghambat ekskresi urat oleh ginjal sehingga meningkatkan kadar asam urat serta menghambat pelepasan insulin dari pancreas. (Wells et al., 2017)

Diuretik hemat kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan thiazid atau loop sehingga sering dikombinasikan dengan diuretik

(40)

lainnya untuk membuang kalium. Diuretik hemat kalium bekerja dengan menurunkan reabsorpsi Na+ dengan memblok kanal Na+ sehingga potensial listrik epitel tubulus menurun akibatnya sekresi K+ terhambat. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. (Wells et al., 2017)

Diuretik loop bekerja pada segmen angsa henle asendens dengan menghambat reabsorpsi NaCl. Diuretik loop memiliki efek diuresis yang lebih kuat dari diuretik thiazid namun bukan yang ideal jika digunakan untuk pasien hipertensi kecuali untuk pasien hipertensi yang mengalami edema akibat penyakit ginjal kronik (PGK) yang dialami pasien ketika nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 30 ml/menit/1.732 m2. Selain digunakan untuk pasien dengan nilai GFR rendah, diuretik juga digunakan untuk menurunkan kadar serum kalium. Penggunaan diuretik loop perlu diperhatikan karena pada dosis tinggi dapat menginduksi perubahan komposisi elektrolit. (Wells et al., 2017)

▪ Hidroklortiazid. (Drugs.com, 2020) Bioavailabilitas : 65 – 75%

Tmax : 1 - 5 jam

Volume Distribusi: 3.6 to 7.8 L/kg Ikatan protein : 40 - 60%

Onset : Bayi : 2 - 6 jam; Dewasa 2 jam (Efek puncak 4 – 6 jam)

(41)

Ekskresi : Urin ( ≥ 61% sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 6 – 15 jam

Mekanisme kerja : Menghambat reabsorbsi elektrolit berupa sodium dan klorida dari tubulus distal di ginjal sehingga menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit, termasuk juga sodium, potasium dan magnesium yang keluar dalam bentuk urin.

Gambar 2.4 Struktur Kimia Hidroklortiazid. (Drugs.com, 2020) ▪ Spironolakton. (Drugs.com, 2020)

Absorbsi

Bioavailabilitas : 73% (tablet)

Tmax : 2,6 - 4,3 jam (tablet, metabolit aktif); 0,5 - 1,5 jam (suspensi)

Onset : 2 – 4 jam (tablet) Durasi : 2 – 3 hari (tablet) Distribusi

Ikatan Protein : > 90%

Metabolisme : Cepat dan ekstensif di hepar dan ginjal metabolit aktif : Canrenone, 7-alphathiomet hylspirolactone, 6-beta-hydroxy-7-alpha-thiomethylspirolactone

(42)

Ekskresi : Urin 47 – 57%; Feses 35 – 41% (tablet) T½ eliminasi : 1,4 jam (tablet); 1 – 2 jam (suspensi)

Mekanisme kerja : Antagonis aldosteron, mengikat reseptor aldosterone-dependent sodium-potassium exchange site secara kompetitif dengan aldosteron di tubulus distal. Proses ini menyebabkan peningkatan ekskresi Natrium dan air serta retensi Kalium.

Gambar 2.5 Struktur Kimia Spironolakton. (Drugs.com, 2020) ▪ Furosemid. (Drugs.com, 2020)

Absorbsi

Bioavailabilitas : 47 – 64% (oral)

Onset : 30 – 60 menit (oral); 30 menit (iv) Durasi : 6 – 8 jam (oral); 2 jam (iv) Distribusi

Volume Distribusi : 0.2 L/kg Ikatan Protein : 91 – 99%

Metabolisme : Hepar (10 %), metabolit : Glucuronide ( 2- amino-4chloro-5-sulfamoylanthranilic acid) Ekskresi : Urin : 50% (oral), 80% (iv) dalam 24 jam;

(43)

T½ eliminasi : 30 – 120 menit (fungsi renal normal); 9 jam (gangguan ginjal stadium akhir) Mekanisme kerja : Menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus ginjal proksimal dan distal serta lengkung Henle; dengan mengganggu sistem transportasi pengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium, dan klorida.

Gambar 2.6 Struktur Kimia Furosemide. (Drugs.com, 2020)

b. Angiotensin Converting Enzyme inhibitors (ACEi)

ACE inhibitors merupakan pilihan obat lini pertama yang bekerja dengan cara memblok konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. ACEi adalah suatu vasokonstriktor poten dan stimulator sekresi aldosteron. ACEi juga menghambat degradasi dari bradikinin dan merangsang sintesis zat vasodilatasi lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Dosis awal penggunaan ACEi harus rendah dengan titrasi dosis lambat. ACEi menurunkan aldosteron dan dapat meningkatkan konsentrasi kalium serum, namun hiperkalemia dapat terjadi terutama pada pasien dengan PGK. (Wells et al., 2017)

(44)

▪ Lisinopril. (Drugs.com, 2020) Absorbsi

Bioavailabilitas : 25%

Onset : 1 jam (awal); 6 jam (puncak)

Durasi : 24 jam

Tmax : Anak 6 bulan – 15 tahun : 5 – 6 jam Dewasa : 7 – 8 jam

Distribusi

Ikatan Protein : 25% Volume Distribusi : 24 L/kg

Metabolisme : Tidak dimetabolisme

Ekskresi : Urin (sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 12 jam

Mekanisme Kerja : Penghambat Angiotensin converting enzyme (ACE). Melebarkan arteri dan vena dengan secara kompetitif menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor endogen yang poten) dan dengan menghambat metabolisme bradikinin. Aktivitas ini menghasilkan pengurangan preload dan afterload pada jantung sehingga meringankan beban kerja jantung dalam memompa darah. ACEi juga menimbulkan efek renoprotektif melalui vasodilatasi arteriol ginjal dan mengurangi remodeling jantung dan pembuluh darah yang berhubungan dengan hipertensi kronis, gagal jantung, dan infark miokard.

(45)

Gambar 2.7 Struktur Kimia Lisinopril. (Drugs.com, 2020)

c. Angiotensin II Receptor Blockers (ARB)

Angiotensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim : Sistem Renin Angiotensin Aldosterone (SRAA) yang melibatkan enzim ACE dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEi hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui SRAA, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACEi hanya menghambat sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung angiotensinogen II tipe 1 reseptor (AT1R) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok angiotensinogen II tipe 2 reseptor (AT2R). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2R (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. (Wells et al., 2017)

▪ Candesartan. (Drugs.com, 2020) Absorbsi

(46)

Tmax : 3 – 4 jam T½ : 5 – 9 jam Onset : 2 – 3 jam Durasi : > 24 jam Distribusi Ikatan Protein : > 99% Volume Distribusi : 0.13 L/kg Metabolisme : Hepar (minor)

Ekskresi : Urin : 33% (26% sebagai obat tdak berubah) Feses : 67%

T½ eliminasi : 5 – 9 jam tergantung dosis

Mekanisme kerja : Menghambat pengikatan Angiotensin II (Ang II) ke reseptor AT1 (AT1R) sehingga menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.

Gambar 2.8 Struktur Kimia Candesartan. (Drugs.com, 2020)

d. Calcium Channel Blockers (CCB)

Calcium Channel Blockers atau penghambat kanal kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler sehingga menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos. Ion kalsium di jantung

(47)

mempengaruhi kontraktilitas otot jantung melalui peristiwa repolarisasi dan depolarisasi sel. Kelebihan ion ini akan meningkatkan kontraksi otot jantung sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat golongan penghambat kanal kalsium akan menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jatung. (Wells et al., 2017)

▪ Amlodipin. (Drugs.com, 2020) Absorbsi Bioavailabilitas : 64 – 90 % Onset : 24 – 96 jam Durasi : 24 jam Tmax : 6 – 12 jam. Distribusi Ikatan Protein : 93 – 98 % Volume Distribusi : 21 L/kg

Metabolisme : Hepar 90% (enzim CYP3A4)

Metabolit : Analog pyridine (inaktif) Ekskresi : Urin (10 % sebagai obat tidak berubah) T½ eliminasi : 30 – 50 jam

(48)

Mekanisme kerja : Menghambat masuknya transmembran ion kalsium ekstraseluler melintasi membran sel miokard dan sel otot polos pembuluh darah tanpa mengubah konsentrasi kalsium serum, sehingga menghambat kontraksi otot polos jantung dan pembuluh darah dan melebarkan arteri koroner dan sistemik utama. Meningkatkan pengiriman oksigen miokard pada pasien dengan angina vasospastik.

(49)

Tabel 2.6 Obat Antihipertensi Oral. (Whelton et al., 2018; PDHI, 2019)

Golongan Obat Dosis

(mg/ hari)

Frekuensi per hari Obat Lini Pertama

Diuretik Thiazid Hidroklortiazid 25 – 50 1

Idapamide 1,25 – 2,5 1 ACEi Kaptopril 12,5 - 150 2 atau 3 Enalapril 5 - 40 1 atau 2 Lisinopril 10 - 40 1 Perindopril 5 - 10 1 Ramipril 2,5 - 10 1 atau 2 ARB Candesartan 8 – 32 1 Eprosartan 600 1 Irbesartan 150 – 300 1 Losartan 50 – 100 1 atau 2 Olmesartan 20 – 40 1 Telmisartan 20 – 80 1 Valsartan 80 – 320 1 CCB - dihidropiridin Amlodipin 2,5 – 10 1 Felodipin 5 – 10 1 Nifedipin OROS 30 – 90 1 Lercanidipin 10 – 20 1 CCB - nondihidropiridin Diltiazem SR 180 – 360 1 Diltiazem CD 100 – 200 1 Verapamil SR 120 - 480 1 atau 2

Obat Lini Kedua

Diuretik Loop Furosemid 20 – 80 2

Torsemid 5 - 10 1

Diuretik Hemat Kalium Amilorid 5 - 10 2 atau 1

Triamteren 50 - 100 2 atau 1

Diuretik Antagonis Aldosteron Eplerenon 50 – 100 2 atau 1

Spironolakton 25 - 100 1

Beta bloker – kardioselektif dan vasodilator

Nebivolol 5 - 40 1

Beta bloker – nonkardioselektif dan vasodilator

Propanolol IR 160 – 480 2

Propanolol LA 80 - 320 1

Beta bloker – kombinasi

reseptor alfa dan beta Carvedilol

12,5 - 50 2

Alfa – 1 bloker

Doxazosin 1 – 8 1

Prazosin 2 – 20 2 atau 3

Terazosin 1 – 20 1 atau 2

Sentral alfa – 1 agonis dan obat sentral lainnya

Metildopa 250 – 1000 2

Klonidin 0,1 – 0,8 2

Direct vasodilator Hidralazin 25 – 200 2 atau 3

(50)

2.2.11 Algoritma Terapi Hipertensi

Algoritma farmakoterapi telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi praktis pengobatan hipertensi. Beberapa rekomendasi utama menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia yang diadaptasi dari 2018 ESC/ESH Hypertension Guidelines dan 2014 Guideline for Management of High Blood

Pressure (JNC VIII), yaitu:

1) Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat. 2) Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah penghambat system renin

angiotensin (SRA), yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretik.

3) Kombinasi beta bloker dengan diuretik ataupun obat golongan lain dianjurkan bila ada indikasi spesifik, misalnya angina, pasca IMA, gagal jantung dan untuk kontrol denyut jantung.

4) Pertimbangkan monoterapi bagi pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah (TDS <150mmHg), pasien dengan tekanan darah normal-tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien usia sangat lanjut (≥80 tahun) atau ringkih. 5) Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari penghambat SRA (ACEi atau

ARB), CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat. 6) Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten, kecuali ada

kontraindikasi.

7) Penambahan obat golongan lain pada kasus tertentu bila TD belum terkendali dengan kombinasi obat golongan di atas.

8) Kombinasi dua penghambat SRA tidak direkomendasikan.(James et al., 2014; Williams et al., 2018; PDHI, 2019)

(51)
(52)

2.2.12 Kontraindikasi Terapi Hipertensi

Tabel 2.7 Kontra Indikasi Obat Antihipertensi. (Williams et al., 2018; PDHI, 2019)

OBAT KONTRAINDIKASI

TIDAK DIANJURKAN RELATIF

Diuretik (Chlorthalidone dan

indapamide)

Gout Sindrom metabolik,

Intoleransi glukosa,

Kehamilan, Hiperkalsemia, Hipokalsemia

Beta bloker Asma, Setiap blok sinoatrial atau atrioventrikular derajat tinggi, Bradikardi (HR < 60 x/menit)

Sindrom metabolik. Intoleransi glukosa, Atlit dan individu yang aktif secara fisik

Calcium Channel Blockers

(Dihidropiridin)

Tidak ada Takiaritmia, Gagal jantung

(HFrEF kelas III atau IV), terdapat edema tungkai berat

Calcium Channel Blockers

(Non-Dihidropiridin)

Setiap bloksinoatrial atau atrioventricular derajat tinggi, Gangguan ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%), Bradikardi (HR < 60 x/menit)

Konstipasi

ACE inhibitors Kehamilan, Riwayat

angioedema, Hiperkalemia (K > 5,5 meq/L), Stenosis arteri renalis bilateral

Perempuan usia subur tanpa kontrasepsi

Angiotensin Receptor Blockers

Kehamilan, Hiperkalemia (K > 5,5 meq/L), Stenosis arteri renalis bilateral

Perempuan usia subur tanpa kontrasepsi

Gambar

Gambar 2.1 Struktur coronavirus. (Yuki, Fujiogi and Koutsogiannaki, 2020)
Gambar 2.2 Patofisiologi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)  (Wiersinga et al., 2020)
Tabel 2.1 Kriteria Gejala dan Manifestasi Klinis Covid-19 Berdasarkan Beratnya  Kasus
Tabel 2.2 Pencegahan Komplikasi. (Kementerian Kesehatan Republik  Indonesia, 2020)  Antisipasi  Dampak  Tindakan  Mengurangi  lamanya hari  penggunaan  ventilasi mekanik  invasif (IMV)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mewabahnya Covid-19 membuat masyarakat melakukan pencegahan agar tidak terinfeksi, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mencuci tangan menggunakan sabun

Dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan diri, dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer &amp; Stone

Biasiswa untuk mengikuti pengajian di peringkat a) Ijazah Sarjana dan Ijazah Kedoktoran. b) Tempat pengajian di dalam/ luar negara ELAUN YANG DITAWARKAN2. Elaun Keperluan

Kapten Rudi dari Adam Air, yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk menerima wawancara saya dalam menghimpun informasi dan data dalam penyusunan tesis ini;.. v

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana pendidikan jurusan pendidikan khusus fakultas ilmu pendidikan, skripsi ini meneliti tentang

Penyebaran COVID-19 yang sudah hampir menjangkau seluruh wilayah provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian semakin meningkat dan berdampak

Golongan diuretik, beta blocker, CCB, ACE inhibitor, dan angiotensin receptor blocker (ARB) diketahui menyebabkan terjadinya mata kering dengan menyebabkan instabilitas

Gerak nasti adalah gerak sebagian tubuh tumbuhan dan tidak dipengaruhi oleh arah datangnya rangsang.. Fotonasti, gerak nasti yang dipengaruhi