• Tidak ada hasil yang ditemukan

TATALAKSANA Non Medikamentosa :

Dalam dokumen RHD-MSI + CHF (Halaman 43-51)

- Tirah baring

- Terapi oksigen 3 L/menit

- Terapi cairan RL 10 tetes/menit

- Terapi nutrisi : diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan

- Edukasi untuk membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi Medikamentosa : - Digoxin 2 x 0,25 mg - ISDN 3 x 5 mg - Spironolactone 1 x 100 mg - Bisoprolol 1 x 10 mg - Captopril 2 x 12,5 mg - Penisilin V 2 x 200 mg - Meloksikam 1 x 15 mg Usulan Pemeriksaan Lanjutan :

- Pemeriksaan laboratorium lanjutan : LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT - Pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O)

- Röntgen Thoraks PA

- Pemeriksaan Ekokardiografi

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam Ad functionam : dubia ad malam Ad sanactionam : malam

Sabtu, 10/01/09

S : sesak napas agak berkurang, perut terasa kembung, nyeri ulu hati susah BAB

O : Keadaan umum tampak sakit ringan Kesadaran kompos mentis, GCS 15

TD : 100/70 mmHg, FN : 60 x/menit, FP : 24 x/menit, suhu 36,20C Oedema tungkai (-), sianosis (-), jari tabuh (-)

Pemeriksaan jantung :

- Inspeksi : iktus kordis terlihat

- Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, thrill (+)

- Perkusi : batas jantung melebar (batas jantung atas di ICS 2,  batas jantung bawah di ICS 6, batas jantung kanan di

linea parasternalis dextra, batas jantung kiri di linea aksilaris anterior).

- Auskultasi : bunyi jantung I-II tunggal, bising sistolik dan

diastolik derajat 5 terdengar di apeks dan menjalar  ke aksila, gallop (-)

Nyeri tekan (+) di regio epigastrium, hepatomegali

A : Penyakit Jantung Rematik-Mitral Stenosis Insufisiensi + Gagal Jantung Kongestif 

P : - Tirah baring

- Terapi oksigen 3 L/menit -Terapi cairan RL 10 tetes/menit

-Diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan - Digoxin 2 x 0,25 mg - ISDN 3 x 5 mg - Spironolactone 1 x 100 mg - Bisoprolol 1 x 10 mg - Captopril 2 x 12,5 mg - Penisilin V 2 x 200 mg -Meloksikam 1 x 15 mg

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun lamanya. Sesak napas timbul ketika  pasien beraktivitas ringan seperti menyapu dan berjalan. Hal ini menandakan bahwa  pasien mengalami dyspnea d’effort . Sesak terasa bertambah berat ketika pasien  berbaring dan agak berkurang dengan duduk atau tidur dengan 2 hingga 3 bantal. Ini  berarti pasien mengalami ortopneu. Pasien sering harus terbangun pada malam hari karena merasa sesak. Ini berarti pasien mengalami  paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). Pasien juga mengeluh bengkak di kedua kaki, nyeri lutut, kelemahan otot,  perut terasa kembung, nyeri ulu hati, dan dada terasa berdebar-debar. Selain itu,  pasien juga mengeluhkan kebiruan pada jari-jari tangan dan kaki ketika cuaca dingin. Pasien memiliki riwayat sakit maag dan menyangkal adanya sakit kencing manis dan hipertensi. Pasien juga tidak merokok. Pasien pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu dan pernah dirawat di RS dengan katup (klep) jantung bocor pada tahun yang sama.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan oedema di kedua tungkai, sianosis di jari- jari tangan dan kaki, jari tabuh, dan ronki di basal paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan : inspeksi iktus kordis terlihat; palpasi iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6

linea aksilaris anterior, kuat angkat, dan teraba thrill; perkusi batas jantung melebar  (kardiomegali); dan auskultasi terdengar suara bunyi jantung I-II tunggal, ada bising sistolik dan diastolik derajat 5 di apeks dan menjalar ke aksila. Selain itu, ada nyeri tekan di regio epigastrium abdomen dan hepatomegali.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipikirkan diagnosis fungsional  pada pasien ini yaitu gagal jantung kongestif. Ini dilihat dari gejala-gejala yang didapatkan dari hasil anamnesis dimana terdapat dyspnea d’effort , adanya ortopneu dan  paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). Gejala-gejala tersebut merupakan gejala dari gagal jantung kiri. Gejala lainnya yang ditemukan adalah bengkak di kedua kaki. Ini merupakan salah satu gejala dari gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik yang mendukung gagal jantung kongestif adalah adanya ronki di basal paru, yang menandakan gagal jantung kiri dan adanya edema tungkai, kardiomegali, dan hepatomegali, yang merupakan temuan pemeriksaan fisik pada gagal jantung kanan. Diagnosis dapat ditegakkan dari kriteria Framingham yang terdiri dari kriteria mayor  ( paroxysmal nocturnal dyspnea / orthopnea, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop S3, peninggian tekanan vena jugularis > 16 cm H2O, waktu sirkulasi > 25 detik, dan refluks hepatojugular) dan kriteria minor (edema ekstremitas, batuk malam hari, dyspnea d’effort, hepatomegali, efusi pleura,  penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, dan takikardia). Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Dari kriteria ini pasien ini sudah dapat didiagnosis gagal jantung kongestif dimana telah terdapat 3 kriteria mayor yaitu :  paroxysmal nocturnal  dyspnea / orthopnea, ronki paru, dan kardiomegali, serta 3 kriteria minor yaitu edema ekstremitas, dyspnea d’effort, dan hepatomegali.

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan dengan jantung tidak  dapat memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. CHF dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya  beban kerja dari jantung. CHF diikuti oleh peningkatan volume darah yang abnormal dan cairan interstisial jantung. Karena itu pembuluh vena dan kapiler umumnya melebar diisi darah. Istilah gagal jantung termasuk kongesti ke paru dengan gagal  jantung kiri dan edema perifer dengan gagal jantung kanan. Penyebab dasar gagal  jantung kongestif antara lain penyakit jantung arteriosklerosis, penyakit hipertensi,  penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar, dan penyakit jantung kongenital.

Diagnosis anatomi yang dipikirkan pada pasien ini adalah Penyakit Katup Jantung (Penyakit Jantung Rematik)–Mitral Stenosis Insufisiensi. Hal ini berdasarkan dari hasil anamnesis dimana pasien memiliki riwayat penyakit katup (klep) jantung  bocor 7 tahun yang lalu dan dari hasil pemeriksaan fisik : pada palpasi iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, dan teraba thrill; pada  perkusi didapatkan pembesaran jantung serta pada auskultasi terdengar bunyi bising  jantung sistolik dan diastolik derajat 5 di apeks dan menjalar ke aksila. Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks (iktus kordis) kuat angkat, sering ada getaran (thrill) sistolik di apeks, dan bising sistolik yang terdengar di apeks menjalar ke aksila merupakan temuan-temuan pemeriksaan fisik pada insufisiensi mitral. Sementara hasil pemeriksaan fisik pada pasien yang mengarah pada stenosis mitral adalah adanya kardiomegali, iktus kordis kuat angkat, dan terdengar bunyi  bising jantung diastolik.

Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah suatu kondisi dimana terjadi kelainan  pada katup jantung yang menetap, bisa berupa penyempitan atau kebocoran, sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung rematik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.

Sementara itu, untuk diagnosis etiologi yang dipikirkan pada pasien ini adalah demam rematik. Ini berdasarkan dari hasil anamnesis dimana pasien memiliki riwayat  pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu. Saat itu, pasien mengeluhkan keluar cairan berwarna putih kekuningan seperti nanah dari telinga kanan dengan  jumlah yang sedikit, tetapi keluar setiap hari. Pasien juga mengeluhkan telinga kanan  berdenging, demam, sakit kepala, penurunan berat badan, dan kelemahan otot apabila  berjalan jauh. Selain itu, dikeluhkan juga nyeri dan bengkak pada lutut yang  berpindah-pindah (mulanya pada lutut kanan kemudian pindah ke lutut kiri). Ini  berarti telah terjadi artralgia dan poliartritis migrans. Kedua kaki dirasakan bergerak 

sendiri (spontan) tidak terkontrol. Hal ini menandakan bahwa pasien kemungkinan mengalami khorea sydenham.

Diagnosis demam rematik dapat ditegakkan dari kriteria Jones (1992) yang terdiri dari kriteria mayor (karditis, poliartritis migrans, khorea sydenham, eritema marginatum, dan nodulus subkutan) dan kriteria minor (artralgia, demam, meningkatnya LED dan atau C reactive protein, dan Interval PR memanjang).

Diagnosis demam rematik ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor ditambah dengan adanya bukti infeksi Streptococcus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok yang positip atau tes antigen Streptococcus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat. Dari kriteria ini pasien ini sudah dapat didiagnosis demam rematik dimana telah terdapat 2 kriteria mayor yaitu : poliartritis migrans dan khorea sydenham, dan 1 kriteria minor yaitu : demam. Hal ini diperkuat  pula oleh pasien pernah mengalami infeksi telinga, yang diperkirakan otitis media

sebelum munculnya keluhan-keluhan di atas. Demam rematik biasanya terjadi dalam  jangka waktu 1-4 minggu setelah infeksi Streptococcus β hemolyticus grup A misalnya tonsillitis, nasofaringitis, dan otitis media. Ini berarti, 7 tahun yang lalu  pasien pernah menderita demam rematik.

Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran nafas bagian atas, terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf   pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.

Pasien ini perlu diberikan terapi non medikamentosa berupa : tirah baring, terapi oksigen 3 L/menit, terapi cairan RL 10 tetes/menit, terapi nutrisi diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan, dan edukasi untuk  membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi.

Terapi medikamentosa yang diusulkan pada pasien ini adalah : digoxin 2 x 0,25 mg, ISDN 3 x 5 mg, spironolactone 1 x 100 mg, bisoprolol 1 x 10 mg, captopril 2 x 12,5 mg, penisilin V 2 x 200 mg, dan meloksikam 1 x 15 mg.

Digoxin (digitalis) diberikan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Digitalis diberikan bila terdapat aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau gagal jantung yang tidak respon terhadap ACE-Inhibitor + β-blocker + diuretik. Pada pemeriksaan EKG didapatkan fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response, sehingga  pemberian digitalis diindikasikan pada pasien ini.

ISDN (isosorbid dinitrat) diberikan untuk menurunkan venous return (venodilator) sehingga menurunkan preload yang pada akhirnya dapat mengurangi edema paru.

Spironolactone sebagai diuretik diberikan untuk mengurangi kelebihan cairan dengan memacu ekresi natrium dan air melalui ginjal. Dipilih spironolactone yang merupakan diuretik hemat kalium untuk mencegah ekskresi kalium sehingga mengurangi terjadinya hipokalemia karena intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3.5 meq/L).

Bisoprolol yang merupakan betabloker kardioselektif diberikan untuk  menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard, sehingga kebutuhan oksigen miokard berkurang, disamping perfusi miokard (suplai oksigen) sedikit meningkat, karena regangan dinding jantung berkurang.

Captopril yang merupakan ACE-Inhibitor diberikan sebagai vasodilator. Vasodilator menunjukkan efektivitas klinis dalam mengurangi gejala gagal  jantung. ACE inhibitor nerupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif 

dan lebih baik dari vasodilator lain. Kerja ACE inhibitor pada jantung adalah menurunkan resistensi vaskular, vena dan tekanan darah, menyebabkan  peningkatan curah jantung.

Penisilin V diberikan untuk mencegah serangan ulangan demam rematik, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup-katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung.

Meloksikam sebagai analgesik anti-inflamsi diberikan untuk mengatasi keluhan nyeri lutut pada pasien. Meloksikam yang merupakan NSAIDS COX-2 selektif  diberikan untuk menghindari iritasi mukosa lambung karena pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati dan memiliki riwayat sakit maag. Apabila diberikan  NSAID yang bukan merupakan COX-2 selektif dikhawatirkan dapat mengiritasi mukosa lambung sehingga memperparah penyakit gastritis (maag)  pada pasien.

Penatalaksanaan lain pada pasien dengan mitral stenosis insufisiensi adalah  pembedahan terindikasi bila ada tanda-tanda klinis. Tindakan bedah yang dapat

dilakukan berupa perbaikan atau penggantian katup mitral.

Pemeriksaan penunjang lanjutan yang diusulkan pada pasien ini adalah  pemeriksaan laboratorium lanjutan (LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT),  pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O), röntgen Thoraks PA, dan pemeriksaan

Pemeriksaan LED dilakukan untuk menilai aktivitas demam rematik karena LED akan meningkat pada penderita dengan demam rematik yang akut. Pemeriksaan kadar asam urat dilakukan untuk mengetahui apakah pada pasien terdapat hiperurisemia atau tidak. Kadar SGOT dan SGPT diperiksa untuk menilai fungsi hati, karena pada gagal jantung kongestif dimana terjadi bendungan pada hati akan menunjukkan fungsi hati yang terganggu. Pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi kuman Streptococcus. Röntgen Thoraks PA dilakukan untuk mengetahui adanya pembesaran jantung. Ekokardiografi  pada insufisiensi mitral digunakan untuk mengevaluasi gerakan katup, ketebalan serta adanya perkapuran pada aparatus mitral. Sementara ekokardiografi pada stenosis mitral diperiksa untuk menentukan derajat stenosis katup mitral, dimensi ruang-ruang  jantung, ada tidaknya kelainan penyerta seperti stenosis atau regurgitasi aorta, serta

ada tidaknya trombus pada atrium kiri.

BAB V KESIMPULAN

Demam rematik dan penyakit jantung rematik sudah lama diketahui dan dikenal dan merupakan penyebab kecacatan pada katup jantung. Penyakit ini paling sering mengenai anak pada usia sekitar 10 tahun dan dewasa muda. Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan penyakit jantung sebagai akibat adanya sisa (sekuele) dari demam reumatik yang ditandai dengan cacatnya katup jantung. Demam rematik (DR) terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.

Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa sesak napas. Didiagnosis Penyakit Jantung Rematik–Mitral Stenosis Insufisiensi dengan Gagal Jantung Kongestif. Selama dirawat di rumah sakit, pasien perlu mendapatkan terapi non medikamentosa berupa tirah baring, terapi oksigen, terapi cairan, terapi nutrisi, dan edukasi untuk membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi; serta medikamentosa berupa digoxin, ISDN, spironolactone, bisoprolol, captopril, penisilin V, dan meloksikam. Rencana pemeriksaan lanjutan adalah pemeriksaan laboratorium (LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT), pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O), röntgen Thoraks PA, dan pemeriksaan ekokardiografi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gray, HH., Dawkins, KD., Morgan, JM., Simpson, IA.  Lecture Notes Kardiologi. Alih bahasa : Azwar Agoes & Asri Dwi Rachmawati. Edisi 4. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2005.

2. Madiyono, B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir  Milenium Kedua dalam  Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik . Editor : Kaligis RWM., Kalim H., Yusak M., et al. Jakarta. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. 2001.

3. Harimurti, GM. Demam Reumatik dalam  Buku Ajar Kardiologi. Editor : Lily Ismudiati Rilantono, Faisal Baraas, Santoso Karo Karo, & Poppy Surwianti Roebiono. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001.

4. Hermanu, Alif, et al.  Factors Affecting School Performance in Children with  Rheumatic Heart Disease. Last update 2001. Available from

http://www.idai.or.id/pi/journal .

5. Meador RJ., Russel IJ., Davidson A., et al.  Acute Rheumatic Fever . Available from: http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm

6. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC.  Farmakologi Ulasan Bergambar . Alih  bahasa: Azwar Agoes. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.

Dalam dokumen RHD-MSI + CHF (Halaman 43-51)

Dokumen terkait