• Tidak ada hasil yang ditemukan

3

3..11.. KKeeppeenndduudduukkaann

Hasil sensus penduduk tahun 2010 di Jawa Timur, menunjukkan bahwa penduduk Jawa Timur sebesar 37.476.011 jiwa, terdiri dari 18.488.290 laki-laki dan 18.987.721 perempuan. Selama periode lima puluh tahun (1961-2010)

penduduk Jawa Timur hanya bertambah tujuh per sepuluh kali lipat yaitu dari 21.823.020 orang, pada tahun 1961 menjadi 37.476.011 orang pada tahun 2010. Jumlah penduduk di setiap Kab./Kota bervariasi, dari yang tertinggi Kota Surabaya dengan jumlah penduduk 2.765.980 orang dan yang terendah Kota Mojokerto sejumlah 120.132 orang.

Sejak tahun 2000 pertumbuhan penduduk di Jawa Timur sudah dibawah 1,00 persen per tahun. Kabupaten/Kota yang memiliki tingkat laju pertumbuhan di atas 2,00 persen hanya Kabupaten Sidoarjo tepatnya 2,21 persen, ternyata bencana lumpur Sidoarjo yang terjadi mulai tahun 2007 tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan di daerah tersebut, sehingga pemerintah perlu berhati-hati dengan tingkat pertumbuhan penduduk dikaitkan dengan luasan wilayah. Sementara Kab./Kota yang memiliki tingkat laju pertumbuhan terendah adalah Kabupaten Ngawi sebesar 0,05 persen, bahkan Kabupaten Lamongan tumbuh minus 0,02 persen per tahun.

Kepadatan penduduk Jawa Timur rata-rata adalah 795 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota bervariasi, kepadatan penduduk tertinggi di Jawa Timur pada umumnya berada di daerah perkotaan yaitu Kota Malang, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Kota Probolinggo, Kota Batu, dan Kota Surabaya, dimana kepadatan paling tinggi berada di Surabaya, hal ini sesuai dengan

sebutannya sebagai Kota

Metropolitan dimana kepadatan- nya sepuluh kali lipat kepadatan rata-rata di Jawa Timur yaitu 7.791 Jiwa/ km2 (kepadatan rata-rata Jatim 795 jiwa/km2), sedang kepadatan penduduk terendah berada di Kab. Pacitan 321 jiwa/km2.

Tingkat kepadatan yang tinggi di suatu daerah akan berdampak meningkatkan kepadatan dan tingkat pertumbuhan penduduk di daerah sekitarnya. Tingkat kepadatan yang tinggi di Kota Surabaya berdampak eksploitasi lahan di Kab. Sidoarjo, Kab. Gresik, dan Kab. Mojokerto dengan peruntukkan lahan sebagai tempat pemukiman khususnya bagi sebagian penduduk yang bekerja di Kota Surabaya. Daerah-daerah tersebut menjadi alternatif lokasi pembangunan perumahan sederhana hingga Real estate, akibatnya tingkat pertumbuhan di Kab. Sidoarjo dan Kab. Gresik menjadi tertinggi di Jawa Timur.

Begitu pula yang terjadi di Kota Malang yang berdekatan dengan Kota Batu, karena tekanan penduduk di Kota Malang yang merupakan

kota pendidikan menyebar ke Kota Batu dan Kabupaten Malang. Kondisi eksisting menunjuk- kan eksploitasi lahan di Kota Batu sudah sampai pada kondisi yang memprihatinkan, padahal seharusnya Kota Batu merupakan daerah resapan air untuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang harus dijaga hutannya sebagai tutupan lahan. Kondisi tata guna lahan Kota Batu saat ini mulai berubah menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertanian semusim, akibatnya 50 % mata air DAS Brantas di Kota Batu telah mati dan sisanya sebanyak 57 mata air telah berkurang kuantitasnya dan dalam kondisi

kritis.

Berdasarkan kelompok

umur dan jenis kelamin, piramida

penduduk Jawa Timur

menunjukkan jumlah penduduk mulai anak-anak 0-4 th meningkat hingga usia 10-14 th, kemudian menurun mulai usia 45-49 tahun hingga tua 65+ th.

Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Jawa Timur menunjukkan angka sex rasio

rata-rata 97 yang berarti

penduduk perempuan lebih

Gambar 3.3. Kepadatan Penduduk Jawa Timur Tahun 2010

Gambar 3.4. Piramida Penduduk Jawa Timur Tahun 2010

Laki-laki

banyak dibanding laki-laki, angka ini hampir sama di seluruh Kab./Kota di Jawa Timur, kecuali di Kab. Kediri, Kab. Malang dan Kota Batu yang memiliki sex rasio 101 yang berarti penduduk laki-laki lebih banyak dibanding penduduk perempuan.

Penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh tiga komponen demografi yaitu kelahiran (birth), kematian (death) dan perpindahan penduduk (migration). Kelahiran yang terjadi akan bersifat penambahan sedang kematian akan bersifat pengurangan terhadap jumlah penduduk. Begitu pula halnya dengan migrasi, jumlah penduduk yang masuk bersifat penambahan dan penduduk yang keluar bersifat pengurangan.

Angka migrasi di Kab./Kota Jawa Timur sangat fluktuatif, dari 38 Kab./Kota yang memiliki angka migrasi posistif tertinggi adalah Kab Sidoarjo, Kab. Gresik dan Kab. Lamongan, berarti jumlah penduduk yang datang ke daerah tersebut lebih banyak dibanding jumlah penduduk yang pindah. Sedangkan di Kab./Kota yang lain jumlah penduduk yang datang seimbang dengan yang pindah, kecuali Kota Kediri memiliki angka migrasi negatif yang berarti jumlah peduduk yang pindah lebih banyak dibanding penduduk yang datang.

Kejadian penduduk yang datang tercacat pada bulan Mei, Juni dan Juli, bagaimana hal tersebut bisa terjadi diperlukan penelitian lebih lanjut,

apakah terkait dengan tahun ajaran baru ataukah hal lain. Jenis kelamin penduduk yang bermigrasi antara laki-laki dan perempuan jumlahnya relatif sama di semua daerah, hal ini berarti bahwa migrasi tersebut dilakukan oleh penduduk yang berpasangan atau suami istri.

Sebaran penduduk Jawa Timur ditinjau dari tempat tinggal meliputi penduduk yang bertempat tinggal di daerah pegunungan atau di pantai dan pesisir, khusus untuk penduduk di pantai dan pesisir yang terbanyak berada di Kab. Lumajang dan Pasuruan, penduduk tersebut pada umumnya berprofesi sebagai nelayan atau petani tambak atau petani garam.

Angka melek huruf merupakan salah satu indikator pendidikan yang

digunakan untuk mengukur keberhasilan program-program

pemberantasan buta huruf terutama di daerah pedesaan dimana jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah/tidak tamat SD masih cukup tinggi. Indikator angka melek huruf dapat digunakan untuk mengukur kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media dan kemampuan penduduk untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis.

Tingkat pendidikan tertinggi bagi penduduk di Jawa Timur diatas umur 10 tahun menunjukkan bahwa masih cukup banyak penduduk yang tidak/belum sekolah yaitu sebesar 3.476.789 orang, dari jumlah tersebut lebih banyak didominasi perempuan (2.656.382 orang) yaitu 3 kali dari jumlah laki-laki (820.407 orang). Kondisi ini terjadi dimungkinkan karena masih rendahnya kesadaran untuk menyekolahkan anak, adanya prinsip di masyarakat pedesaan bahwa “anak perempuan tidak perlu bersekolah karena nantinya hanya akan di rumah saja sebagai ibu rumah tangga”, disamping kemungkinan karena tingkat ekonomi penduduk masih rendah/miskin sehingga tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya.

Daerah yang memiliki penduduk tidak/belum pernah sekolah terbesar adalah Kab. Jember disusul daerah-daerah di kepulauan Madura.

Pendidikan tertinggi tidak tamat SD, SD, dan SLTP antara laki-laki dan perempuan jumlahnya sama, perbedaan cukup menyolok terjadi pada tingat pendidikan SLTA dimana laki-laki dengan pendidikan tertinggi SLTA lebih banyak dibanding perempuan. Sedangkan apabila diperhatikan antara tingkat pendidikan, menunjukkan bahwa setelah lulus SD hanya 50 persen saja meneruskan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SLTP), yaitu 6.317.311 orang lulusan SD dan lulusan SLTP 3.703.935 orang. Sedangkan dari tingkat pendidikan SLTP ke SLTA jumlahnya hampir sama, maka dapat diasumsikan bahwa setelah lulus SLTA pada umumnya dilanjutnya ke SLTA.

Di seluruh daerah Jawa Timur, pendidikan SD masih mendominasi, disusul status pendidikan SLTP dan SLTA, kecuali Kota Surabaya dimana SLTA merupakan status pendidikan yang cukup dominan. Sedangkan status pendidikan Diploma, S1, S2 atau S3 masih sangat rendah di semua Kab./Kota, hal ini berarti bahwa masih belum semua atau masih sangat sedikit penduduk Jawa Timur yang dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi.

Kebutuhan sekolah di Jawa Timur sangat besar hal ini dapat dilihat dari bentuk piramida penduduk dimana penduduk usia sekolah paling besar. Pada saat ini sudah tersedia cukup banyak sekolah baik negeri maupun swasta, untuk tingkat SD paling banyak dimiliki Kab. Malang, Kab. Jember dan Kab. Sumenep serta Kabupaten di kepulauan Madura lainnya, keadaan ini sudah menjawab permasalahan tingginya penduduk yang tidak/belum pernah sekolah di daerah yang bersangkutan.

Gambar 3.6. Tingkat Pendidikan Penduduk Jawa Timur per Kab,/Kota

Gambar 3.7. Jumlah sekolah di Jawa Timur per Kab,/Kota

3

3..22.. PPeerrmmuukkiimmaann

Diketahui secara luas bahwa kaum miskin menanggung konsekuensi terbesar dari kerusakan lingkungan untuk berbagai alasan :

a. Mata pencaharian sebagian besar kaum miskin terkait langsung

dengan mutu dan produktivitas sumber daya alam (air, tanah, hutan, perikanan).

b. Keluarga miskin memiliki tingkat akses terendah ke jasa dan manfaat

lingkungan seperti air minum, sanitasi, energi bersih.

c. Rumah tangga yang berpenghasilan rendah lebih rentan terhadap bencana alam dan antropogenik karena mereka biasanya hidup di daerah beresiko lebih tinggi.

Laki-laki Perempuan

d. Kaum miskin tidak mampu menghadapi kerusakan lingkungan seefektif segmen masyarakat yang lebih berada.

Kaum miskin pada umumnya memiliki mata pencaharian terkait

dengan lingkungan, misalkan

terkait dengan hutan, kehilangan hutan akan memperlemah mata pencaharian, sehingga kaum miskin akan menjadi lebih kesulitan dalam memenuhi kehidupannya. Rumah tangga miskin di Jawa Timur tahun 2010 mencapai jumlah 3.332.264 orang atau 33% dari total jumlah rumah tangga di Jawa Timur. Sebaran rumah tangga miskin Kab./Kota paling besar di Kota Blitar (47 %) disusul Kab. Pasuruan dan Kab. Pacitan. Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi

syarat kesehatan diantaranya

memiliki jamban sehat, tempat

pembuangan sampah, sarana air

bersih, sarana pembuangan air

limbah, dsb. Penurunan kualitas lingkungan akibat kependudukan beriringan dengan kondisi pemukiman, semakin banyak penduduk memiliki

rumah sehat maka kualitas lingkungan akan semakin terjaga.

Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan kebutuhan air bersih semakin bertambah. Berbagai upaya dilakukan agar akses masyarakat terhadap air air bersih meningkat, salah satunya melalui pendekatan partisipatori yang mendorong masyarakat berperan aktif dalam pembangunan perpipaan air bersih di daerahnya. Air bersih yang

Gambar 3.8. Rumah Tangga Miskin di Jawa Timur Tahun 2010

dimiliki dan dipergunakan oleh masyarakat Jawa Timur berasal dari sumur sebesar 57,80%, air ledeng 14,75 %, dan air sungai 13,8 %.

Penggunaan air ledeng sebagai sumber air minum terbesar terdapat di Kota Surabaya yaitu 301.190 rumah tangga dan Kab. Malang sebesar 183.420 rumah tangga. Penggunaan sungai sebagai sumber air minum terbesar terjadi di Kabupaten Malang (190.052 rumah tangga) dan Kab. Pasuruan (108.793 rumah tangga). Untuk penggunaan air

hujan sebagai air minum

terbesar di Kab. Jember (6.668 rumah tangga) dan Kab. Malang

(6.378 rumah tangga).

Sedangkan untuk air minum

yang berasal dari sumur,

pengguna terbesar di Kabupaten Jember (516.133 rumah tangga) dan Kab. Kediri (340.502 rumah tangga).

Upaya peningkatan kualitas air bersih akan berdampak positif apabila diikuti perbaikan sanitasi yang meliputi kepemilikan jamban, pembuangan air limbah dan sampah dilingkungan sekitar kita. Pengelolaan sampah, air limbah maupun tinja yang tidak memenuhi syarat dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan mengurangi resiko penyakit . Pengelolaan sampah di Jawa Timur dengan sistem pengelolaan ke TPS dan TPA menggunakan transportasi angkutan sebanyak 11,47 persen, 10,50 persen ditimbun dan 3 persen, sedang sebanyak 74,91 persen penduduk pengelola sampah dengan cara lainnya, diantaranya dengan cara memilah sampah, dan memanfaatkannya menjadi kompos. Data ini belum sepenuhnya akurat karena belum tersedia data di semua Kab./Kota.

Dalam penyediaan sarana tempat buang air besar pada umumnya masyarakat sudah memiliki jamban sendiri, jamban bersama atau jamban

Gambar 3.10.

umum, tetapi dari data menunjukkan masih banyak jumlah tempat buangan akhir tanpa septik tank. Untuk sanitasi rumah tangga, total rumah tangga yang belum memiliki tangki septik adalah 2.585.273 rumah tangga atau sebesar 25,36 persen dari total rumah tangga di Provinsi Jawa Timur menghasilkan limbah cair domestik yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Kab./Kota yang terbanyak tidak memiliki tanki septik adalah Kab. Blitar dan Kab. Banyuwangi sedangkan yang paling sedikit tidak memiliki tanki septik adalah Kab Situbondo dan Kota Blitar.

Gambar 3.11. Rumah Tangga dan sumber air minum per Kab./Kota

Kab./Kota yang memiliki tempat buang air besar sendiri terbesar berada di Kota Surabaya disusul Kab. Lumajang, sedangkan yang paling besar memiliki tempat buang air besar umum adalah Kab. Trenggalek dan Kab. Lumajang.

Gambar 3.13. Rumah Tangga dan tempat buangan akhir tinja tanpa tanki septik

3

3..33.. KKeesseehhaattaann

Untuk menggambarkan situasi derajat kesehatan di Provinsi Jawa Timur digunakan indikator-indikator pembangunan kesehatan antara lain mortalitas, morbiditas dan status gizi. Mortalitas atau kejadian kematian dalam masyarakat seringkali digunakan sebagai indikator dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Data kematian di masyarakat pada umumnya diperoleh melalui survei karena sebagian besar kejadian kematian terjadi di rumah, sedangkan data kematian yang ada di fasilitas kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan.

Gambar 3.14. Jumlah kelahiran menurut Kab./Kota

Perempuan usia subur di Jawa Timur dengan umur antara 19 s.d 49 tahun berjumlah 10.126.152 orang dan pada tahun 2010 terjadi jumlah

anak lahir sebanyak 28.967 anak. Kejadian anak lahir paling banyak terjadi di Kabupaten Jember (2040 bayi) disusul Kab. Trenggalek (1.904 bayi). Apabila ditinjau dari jenis kelamin maka anak lahir laki-laki dibanding perempuan pada umumnya hampir sama di seluruh Kab./Kota di Jawa Timur, kecuali Kab. Jember dan Kab. Trenggalek lebih banyak anak lahir perempuan dibanding laki-laki. Sedangkan jumlah anak lahir paling sedikit terjadi di Kota Batu dan Kota Pasuruan.

Umur harapan hidup adalah keberhasilan pembangunan kesehatan serta sosial ekonomi, salah satunya dapat diukur melalui peningkatan Umur harapan hidup penduduk di wilayah tersebut.

Gambar 3.15. Prosentase Kematian

Umur harapan hidup waktu lahir adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada tahun tertentu. Umur harapan hidup digunakan untuk menilai derajat kesehatan dan kualitas kesejahteraan masyarakat.

Gambar 3.16. Jumlah kematian menurut Kab./Kota

Dalam tahun 2010 di Jawa Timur terjadi kematian sejumlah 16.556 orang, dengan perbandingan 51,94 persen laki-laki dan 48,06 persen perempuan. Sebaran angka kematian di wilayah Kab./Kota paling banyak terjadi Kota Kediri sejumlah 1.855 orang disusul Kab. Ponorogo

yang paling sedikit terjadi di Kota Batu dan Kota Blitar. Apabila ditinjau dari jenis kelamin maka angka kematian laki-laki dibanding perempuan di seluruh wilayah Jawa Timur relatif sama, kecuali Kota Kediri dan Kota Surabaya angka kematian laki-laki lebih banyak 100 orang dibanding angka kematian perempuan.

Gambar 3.17. Jumlah penyakit utama di Jawa Timur

Angka kesakitan pada penduduk di Jawa Timur khususnya pada penyakit utama tampak bahwa infeksi akut lain pernapasan atas paling dominan terjadi, tercatat 1.696.975 penderita atau 24,3 persen dari seluruh penderita untuk berbagai jenis penyakit, diikuti penyakit pulpa dan jaringan periapikal dan penyakit otot dan jaringan. Sedangkan penyakit diare menempati peringkat ke enam dengan jumlah penderita 389.460 orang atau 5,58 persen, sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Dari hasil survei SDKI 2002-2003, prevalensi diare pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun adalah laki-laki 10,8% dan perempuan 11,2%, sedangkan berdasarkan umur prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6-11 bulan (19,4%), 12-23 bulan (14,8%).

Beberapa kasus penyakit dapat terjadi karena buruknya kualitas lingkungan, diantaranya penyakit diare, DHF, malaria, TBC, dan sebagainya. Berdasarkan cacatan Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2010 menunjukkan bahwa diare merupakan kasus penyakit yang paling banyak terjadi di seluruh Kab./Kota, kasus terbanyak terjadi di Kota Mojokerto sebanyak 67.835 kasus, Kab. Probolinggo 47.134 kasus dan Kab. Pasuruan 45.974 kasus.

Selanjutnya penyakit malaria merupakan salah satu penyakit yang juga dapat terpicu karena buruknya kualitas lingkungan, Indonesia merupakan negara dengan angka kesakitan dan kematian akibat malaria cukup tinggi. Malaria masih endemis di beberapa wilayah Jawa Timur yaitu pantai selatan, kepulauan Sumenep dan sekitar gunung wilis. Kasus penyakit malaria di Jawa Timur paling menonjol terjadi di Kab. Lumajang sebanyak 5.406 kasus, selanjutnya Kab. Pacitan 285 kasus dan Kab. Trenggalek 231 kasus.

Peningkatan sanitasi lingkungan dapat menekan kasus penyakit pada penduduk, disamping diperlukan pula pelayanan kesehatan melalui rumah sakit klinik, dokter pribadi, bidan, dan sebagainya. Dalam operasional pelayanan kesehatan dapat timbul limbah domestik (sampah), limbah cair, maupun limbah infeksius (limbah B3), agar limbah dimaksud tidak menjadi sumber penularan penyakit maka perlu dilakukan pengelolaan sesuai ketentuan yang berlaku, limbah cair harus diolah

dengan Instalasi Pengolah Limbah (IPAL) sehingga effluent air limbah memenuhi baku mutu yang berlaku, limbah infeksius (limbah B3) harus dibakar di Incinerator dengan efisiensi pembakaran mencapai 9,99 % dan suhu diatas 1.000 derajad celcius. Jumlah limbah cair dari Rumah sakit di Jawa Timur pada tahun 2010 adalah 1.379,49 m3/hari sedang limbah padat 105,52 m3/hari (data ini merupakan data sementara, karena belum semua rumah sakit tercatat limbah yang dihasilkan).

3

3..44.. PPeerrttaanniiaann

Pertanian merupakan sektor ekonomi unggulan di Jawa Timur, karena lahan pertanian di Jawa Timur sangat subur sehingga masa tanam padi bisa mencapai 3 kali dalam satu tahun. Berbagai upaya pemerintah Jawa Timur dilakukan agar produksi pertanian terus meningkat seiring dengan harapan peningkatan perekonomian petani. Dibalik manfaat dari pertanian, ternyata sektor pertanian berpotensi mencemari lingkungan, yaitu dari penggunaan pupuk dan insektisida dapat mencemari air permukaan. Disamping hal tersebut sektor pertanian juga menghasilkan gas rumah kaca berupa CO2 dan CH4 terutama dari lahan sawah, kegiatan peternakan, dan aplikasi penggunaan pupuk urea, gas rumah kaca tersebut menjadi penyumbang terjadinya pemanasan global. .

Pada tahun 2010 luas lahan sawah di Jawa Timur tercatat sebesar 1.080.861 Ha dengan produksi rata-rata sebesar 59,11 ton/Ha, frekuensi penanaman 1 kali sampai 3 kali dalam satu tahun. Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang memiliki lahan sawah terluas adalah Kab. Lamongan sebesar 83.829 Ha atau 7,8% dari seluruh luas sawah di Jawa Timur dan Kab Jember seluas 80.110 Ha atau 7,4%, frekuensi penanaman pada umumnya 2 kali dalam satu tahun.

Gambar 3.19. Luas lahan Pertanian menurut frekuensi tanam dalam se tahun

Lahan sawah yang sangat produktif dengan frekuensi tanam 3 kali dalam se tahun paling luas terdapat di Kab. Ngawi, Kab. Bondowoso, Kab. Banyuwangi, Kab. Jember, dan Kab. Sidoarjo. Sedangkan daerah yang memiliki lahan sawah dengan dominasi frekuensi tanam 1 kali dalam se tahun berada di Kab. Pamekasan, Kab. Sampang, Kab. Sumenep, dan Kab. Grsik.

Gambar 3.20. Produksi palawija Jawa Timur tahun 2010

Produksi tanaman

palawija berdasar jenis tanaman di Jawa Timur pada tahun 2010, tampak bahwa produksi padi paling mendominasi yaitu sebesar 11.259.085 ton atau 54,97 % dari

produksi tanaman palawija,

disusul jagung 5.266.720 ton atau 25,71 % dan kedele 3.222.636 ton atau 15,73 %.

Jawa Timur memiliki potensi perkebunan cukup bagus, beberapa produksi perkebunan yang menjadi andalan adalah karet, kopi, cengkeh, tebu dan kelapa sawit, dan sebagainya. Perkebunan besar yang terluas adalah perkebunan kopi 31.023 Ha dan karet 25.920 Ha, sedang perkebunan rakyat yang terluas adalah perkebunan kelapa 289.379 Ha

dominan dari perkebunan besar adalah cengkeh 69.001 ton dan 26.490 ton, dari perkebunan rakyat adalah cengkeh 1.010.286 ton dan kelapa 247.900 ton. Sejak tahun 2010 Jawa Timur memiliki perkebunan kelapa sawit baik dari perkebunan besar (21.352 Ha) dan perkebunan rakyat (53.831 Ha), dengan hasil 29.413 ton dan 24.606 ton.

Gambar 3.21. Penggunaan pupuk untuk perkebunan menurut jenis

tanaman

Gambar 3.22. Penggunaan pupuk untuk perkebunan

Jenis pupuk yang sering digunakan pada tanaman perkebunan adalah pupuk organik sebesar 189.473 ton atau 43,33 % dari seluruh pupuk yang dipergunakan untuk tanaman perkebunan dan NPK sebesar 97.405 ton atau 14,73% . Jenis tanaman kakao dan kopi lebih banyak menggunakan pupuk organik dibandingkan pupuk kimia, tanaman tembakau dan tebu lebih banyak menggunakan pupuk SP.36, sedangkan pupuk urea dipergunakan pada semua jenis tanaman namun jumlahnya sedikit hanya pada tanaman tebu diperlukan urea banyak banyak.

Gambar 3.23. Penggunaan pupuk untuk padi dan palawija menurut

jenis tanaman

Gambar 3.24. Penggunaan pupuk untuk perkebunan

Jenis pupuk yang sering digunakan pada tanaman padi dan palawija adalah pupuk urea sebesar 1.075.242,26 ton atau 44,84 % dari seluruh pupuk yang dipergunakan untuk tanaman padi dan palawija dan SP.36 sebesar 705.288,85 ton atau 29,4 % . Jenis tanaman padi cukup banyak menggunakan pupuk urea, SP.36, Phonska, dan ZA, tanaman jagung cukup banyak menggunakan pupuk urea, SP.36, dan Phonska, sedangkan tanaman kedele, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar relatif hanya sedikit menggunakan pupuk.

Gambar 3.25. Prosentase hewan ternak

Gambar 3.26. Prosentase hewan unggas

Data luas perubahan lahan pertanian tahun 2009 menunjukkan di Jawa Timur telah terjadi perubahan lahan pertanian seluas 261,96 Ha, perubahan yang terbesar untuk perumahan seluas 135,47 dan industri seluas 74,06 Ha.

Potensi hewan ternak di Jawa Timur pada tahun 2010 tercatat sebesar 7,62 juta ekor, meliputi sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, kuda, dan babi. Jenis hewan ternak terbesar adalah sapi potong 3,75 juta ekor atau 49 % dan kambing 2,82 juta ekor atau 37 %.

Kabupaten Sumenep memiliki jumlah sapi potong terbanyak di Jawa Timur

Dokumen terkait