• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2010 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU LAPORAN

STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

PROVINSI JAWA TIMUR

TAHUN 2010

(2)

P E M E R I N T A H P R O V I N S I J A W A T I M U R

BADAN LINGKUNGAN HIDUP (B L H)

Jl. Wisata Menanggal No. 38 Telp. (031) 8543852-53 Fax. 8543851 S U R A B A Y A

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas ijin dan kemurahan-NYA, Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (LSLHD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ini dapat diselesaikan sesuai dengan pedoman umum penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota – Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2009.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ini disusun dalam rangka memenuhi amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65 ayat 2 yaitu setiap orang berhakmendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Serta untuk mendokumentasikan perubahan dan kecenderungan kondisi lingkungan dalam setiap tahunnya, sehingga terjamin akses informasi lingkungan yang terkini dan akurat.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 berisi analisis keterkaitan atau hubungan sebab akibat dimana kegiatan manusia memberikan tekanan kepada lingkungan (pressure) dan menyebabkan perubahan pada sumber daya alam dan lingkungan baik secara kualitas maupun kuantitas (state), yang selanjutnya umpan balik terhadap tekanan melalui kegiatan manusia (response).

Karena itu saya sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak atas segala sumbangan pemikiran sehingga terselesainya Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010.

Akhirnya, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Jawa Timur, dan tak lupa kami mohon saran dan masukan yang konstruktif untuk penyempurnaan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur yang akan datang.

Surabaya, Maret 2010

KEPALA BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TIMUR

(3)

GUBERNUR JAWA TIMUR

SEKAPUR SIRIH

Kualitas dan kuantitas DAS Brantas secara signifikan menurun dari tahun ke tahun, hal ini terjadi karena tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Hutan yang seharusnya dijaga jenis dan luasannya ditebang dan dialih fungsikan, akibatnya jumlah mata air DAS Brantas menurun drastis sebesar 50%. Belum lagi limbah domestik, peternakan, pertanian dan industri yang dibebankan pada DAS Brantas menyebabkan kualitas DASBrantas bergeser dari peruntukannya.

Kondisi lingkungan hidup di Jawa Timur terangkum dalam Laporan Status

Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi Jawa Timur Tahun 2010yang

merupakanwujud aplikasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam hal keterbukaan informasi. Laporan SLHD ini dapat digunakan dalam menilai dan menentukan prioritas masalah, dan membuat

rekomendasi bagi penyusunan kebijakan dan perencanaan pembangunan

berkelanjutanPemerintah Provinsi Jawa Timur.

Keberhasilan pembangunan berkelanjutan tidak terlepas dari peran serta masyarakat, karena saya menyadari berbagai regulasi pengelolaan lingkungan hidup ternyata belum cukup, tanpa diiringi dengan upaya untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran semua pihak.

Sekian terima kasih, Semoga ALLAH SWT selalu memberikan petunjuk dan kekuatan kepada kita dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

GUBERNUR JAWA TIMUR

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv BAB I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang ... I-1 1.2. Gambaran Umum ... I-3 1.2.1. Geografis ... I-3 1.2.2. Topografi ... I-5 1.2.3. Struktur Geologi ... I-5 1.3. Isu Lingkungan Hidup ... I-6

BAB II. Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya

2.1. Lahan dan Hutan ...II-3 2.1.1. Topografi ... II-5 2.1.1.1. Lahan Pertanian ... II-9 2.1.1.2. Lahan Kritis ... II-13

2.1.1. Hutan ...II-15 2.2. Keanekaragaman Hayati ...II-19 2.3. Air ...II-22 2.3.1. Kondisi Kuantitas dan Kualitas Air ...II-23 2.3.1.1. Ketersediaan / Kuantitas Air ... II-24

2.3.1.2. Kuantitas Air di Jawa Timur ... II-27 2.4. Udara ... II-46 2.5. Pesisir dan Laut ... II-51 2.6. Iklim ... II-66 2.7. Bencana Alam ... II-71

BAB III. Tekanan Terhadap Lingkungan

3.1. Kependudukan ... III-1 3.2. Pemukiman... ... III-6 3.3. Kesehatan... ... III-10 3.4. Pertanian ... ... III-13 3.5. Industri... ... III-19 3.6. Pertambangan... III-19

(5)

3.7. Energi ... III-20 3.8. Transportasi ... III-21 3.9. Pariwisata ... III-22 3.10. Limbah B3 ... III-23

BAB IV. Upaya Pengelolaan Lingkungan

4.1. Pengelolaan Lahan... IV-2 4.2. Rehabilitasi Lahan... IV-9 4.3. Pengamanan Hutan... IV-11 4.4. Kegiatan Lain Rehabilitasi Lahan... IV-12 4.5. Pengawasan AMDAL... IV-13 4.6. Penegakan Hukum... IV-13 4.7. Peran Serta Masyarakat... IV-14 4.8. Kelembagaan... IV-33

(6)

BAB I

(7)

I.1. Latar Belakang

Sebagai tindak lanjut amanah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama pada Pasal 62 ayat 1, disebutkan bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup” dan ditegaskan dalam ayat 2 bahwa “Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain”.

Selaras dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), menekankan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan, memberikan dan atau menerbitkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Selain itu, di dalam melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan.

Untuk itu, sebagai perwujudan tranparansi dan akuntabilitas publik, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur menyusun Status Lingkungan Hidup Daerah yang disingkat SLHD Provinsi Jawa Timur Tahun 2010, melalui SLHD dapat diketahui tentang deskripsi, analisis dan presentasi informasi ilmiah mengenai kondisi, kecenderungan dan

(8)

pengaruh signifikan lingkungan yang optimum, status keberlanjutan ekosistem, pengaruhnya pada kegiatan manusia, serta pada kesehatan dan kesejahteraan sosioekonomis.

Laporan SLHD dimaksudkan untuk mendokumentasikan perubahan/ kecenderungan kondisi lingkungan dan juga akan menyediakan referensi dasar tentang keadaan lingkungan bagi pengambil kebijakan sehingga akan memungkinkan diambilnya kebijakan yang baik dalam rangka mempertahankan proses ekologis. Sedangkan tujuan dasar dalam penyusunan Laporan SLHD Provinsi Jawa Timur Tahun 2010, adalah :

• Menyediakan dasar bagi perbaikan pengambilan keputusan pada semua

tingkat;

• Meningkatkan kesadaran dan kefahaman akan kecenderungan dan

kondisi lingkungan;

• Memfasilitasi pengukuran kemajuan menuju keberlanjutan.

Selanjutnya guna mempermudah dalam presentasi suatu laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 ini, maka SLHD dibagi dalam dua buah buku yaitu :

1. Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (Buku I)

Berisi analisis keterkaitan antara perubahan kualitas lingkungan hidup (status), kegiatan yang menyebabkan terjadinya perubahan kualitas lingkungan hidup (tekanan), dan upaya untuk mengatasinya (respon).

2. Buku Kumpulan Data (Buku II)

Berisi data kualitas lingkungan hidup menurut media lingkungan (air, udara, lahan serta pesisir dan pantai), data kegiatan/hasil kegiatan yang menyebabkan terjadinya perubahan kualitas lingkungan hidup, data upaya atau kegiatan untuk mengatasi permasalahan lingkungan,

(9)

dan data penunjang lainnya yang diperlukan untuk melengkapi analisis.

I.2. Gambaran Umum I.2.1. Geografis

Provinsi Jawa Timur terletak pada 111˚0’ hingga 114˚4’ Bujur Timur, dan 7˚12’ hingga 8˚48’ Lintang Selatan. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur mencapai 46.428 km², terbagi ke dalam empat badan koordinasi wilayah (Bakorwil), 29 kabupaten, sembilan kota, dan 658 kecamatan dengan 8.457 desa/kelurahan (2.400 kelurahan dan 6.097 desa).

Secara umum wilayah Jawa Timur terbagi dalam dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah Kepulauan Madura yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur. Di sebelah utara, Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka, Samudera Indonesia, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah.

Panjang bentangan barat-timur sekitar 400 kilometer. Lebar bentangan utara-selatan di bagian barat sekitar 200 kilometer, sedangkan di bagian timur lebih sempit, hanya sekitar 60 kilometer. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 kilometer sebelah utara Jawa. Di sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau, paling timur adalah Kepulauan Kangean, dan paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian selatan terdapat dua pulau kecil, Nusa Barung dan Pulau Sempu.

(10)

Secara fisiografis, wilayah Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam tiga zona: zona selatan-barat (plato), merupakan pegunungan yang memiliki potensi tambang cukup besar; zona tengah (gunung berapi), merupakan daerah relatif subur terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi (dari Ngawi, Blitar, Malang, hingga Bondowoso); dan zona utara dan Madura (lipatan), merupakan daerah relatif kurang subur (pantai, dataran rendah dan pegunungan). Di bagian utara (dari Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Pulau Madura) ini terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan Kendeng yang relatif tandus.

Pada bagian tengah wilayah Jawa Timur terbentang rangkaian pegunungan berapi: Di perbatasan dengan Jawa Tengah terdapat Gunung Lawu (3.265 meter). Di sebelah selatan Nganjuk terdapat Gunung Wilis (2.169 meter) dan Gunung Liman (2.563 meter). Pada koridor tengah terdapat kelompok Anjasmoro dengan puncak-puncaknya Gunung Arjuno (3.239 meter), Gunung Welirang (3.156 meter), Gunung Anjasmoro (2.277 meter), Gunung Wayang (2.198 meter), Gunung Kawi (2.681 meter), dan Gunung Kelud (1.731 meter). Pegunungan tersebut terletak di sebagian Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Jombang.

Kelompok Tengger memiliki puncak Gunung Bromo (2.192 meter) dan Gunung Semeru (3.676 meter). Semeru, dengan puncaknya yang disebut Mahameru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Di bagian timur terdapat dua kelompok pegunungan: Pegunungan Iyang dengan puncaknya Gunung Argopuro (3.088 meter), dan Pegunungan Ijen dengan puncaknya Gunung Raung (3.332 meter). Pada bagian selatan terdapat rangkaian perbukitan, yakni dari pesisir pantai selatan Pacitan, Trenggalek, Tulungagung,

(11)

Blitar, hingga Malang. Pegunungan Kapur Selatan merupakan kelanjutan dari rangkaian Pegunungan Sewu di Yogyakarta.

I.2.2. Topografi

Provinsi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi tiga wilayah dataran, yakni dataran tinggi, sedang, dan rendah. Dataran tinggi merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata di atas 100 meter dari permukaan laut (Magetan, Trenggalek, Blitar, Malang, Batu, Bondowoso). Dataran sedang mempunyai ketinggian 45-100 meter di atas permukaan laut (Ponorogo, Tulungagung, Kediri, Lumajang, Jember, Nganjuk, Madiun, Ngawi). Kabupaten/kota (20) sisanya berada di daerah dataran rendah, yakni dengan ketinggian di bawah 45 meter dari permukaan laut.

Surabaya sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur merupakan kota yang letaknya paling rendah, yaitu sekitar 2 meter di atas permukaan laut. Sedangkan kota yang letaknya paling tinggi dari permukaan laut adalah Malang, dengan ketinggian445 meter di atas permukaan laut.

I.2.3. Struktur Geologi

Struktur Geologi Jawa Timur di dominasi oleh Alluvium dan bentukan hasil gunung api kwarter muda, keduanya meliputi 44,5 % dari luas wilayah darat, sedangkan bantuan yang relatif juga agak luas persebarannya adalah miosen sekitar 12,33 % dan hasil gunung api kwarter tua sekitar 9,78 % dari luas total wilayah daratan. Sementara itu batuan lain hanya mempunyai proporsi antara 0 - 7% saja.

(12)

Batuan sedimen Alluvium tersebar disepanjang sungai Brantas dan Bengawan Solo yang merupakan daerah subur. Batuan hasil gunung api kwater muda tersebar dibagian tengah wilayah Jawa Timur membujur kearah timur yang merupakan daerah relatif subur. Batuan Miosen tersebar disebelah selatan dan utara Jawa Timur membujur kearah Timur yang merupakan daerah kurang subur Bagi kepulauan Madura batuan ini sangat dominan dan utamanya merupakan batuan gamping.

Dari beragamnya jenis batuan yang ada, memberikan banyak kemungkinan mengenai ketersediaan bahan tambang di Jawa Timur. Atas dasar struktur, sifat dan persebaran jenis tanah diidentifikasi karakteristik wilayah Jawa Timur menurut kesuburan tanah :

Jawa Timur bagian Tengah, Merupakan daerah subur, mulai dari daerah kabupaten Banyuwangi. Wilayah ini dilalui sungai - sungai Madiun, Brantas, Konto, Sampean.

Jawa Timur bagian Utara, Merupakan daerah Relatif tandus dan merupakan daerah yang persebarannya mengikuti alur pegunungan kapur utara mulai dari daerah Bojonegoro , Tuban kearah Timur sampai dengan pulau Madura.

I.3. Isu Lingkungan Hidup.

Menurunnya kualitas lingkungan hidup di Jawa Timur kian hari semakin memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan adanya perubahan kualitas udara dan atmosfer yang terjadi secara berkelanjutan

yang membahayakan bagi kelangsungan kehidupan ekosistem.

(13)

aktifitas manusia melalui kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan dan pertanian. Selain itu, degradasi hutan yang disebabkan berbagai kegiatan ilegal terus meningkat, peralihan fungsi kawasan hutan menjadi permukiman, perkebunan, perindustrian, dan pertambangan; terjadinya kebakaran hutan; serta makin meningkatnya illegal logging. Degradasi hutan dan lahan kritis yang terus berlanjut menyebabkan daya dukung ekosistem terhadap pertanian dan pengairan makin menurun, dan mengakibatkan kekeringan dan banjir.

Dampak paling krusial yang saat ini perlu ditangani secara serius adalah masalah ketersediaan air dan pencemaran lingkungan. Berkurangnya kawasan hutan sebagai akibat lemahnya pelaksanaan sistem pengelolaan hutan menyebabkan terganggunya kondisi tata air dan ekosistem keanekaragaman hayati disekitarnya. Gejala ini terlihat dari berkurangnya ketersediaan air tanah terutama di daerah perkotaan, turunnya debit air waduk dan sungai pada musim kemarau yang mengancam pasokan air untuk pertanian dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA), membesarnya aliran permukaan yang mengakibatkan meningkatnya ancaman bencana banjir pada musim penghujan.

Kerusakan lingkungan hidup pada akhirnya akan membawa kerugian sosial ekonomi yang sangat besar bagi penduduk yang bermukim di wilayah itu khususnya, dan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, pembangunan ekonomi seharusnya mutlak diarahkan pada kegiatan yang ramah lingkungan sehingga pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan dapat dikendalikan, serta semestinya dapat diarahkan pada pengembangan ekonomi yang lebih memanfaatkan jasa lingkungan.

Dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan diatas dapat ditarik 5 (lima) Isu Pokok Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur Tahun 2010

(14)

yaitu :

Pengelolaan Hutan, Lahan dan Sumber Air

Kerusakan ekosistem hutan telah memberikan dampak pada konservasi lahan maupun kelangkaan sumber air. Kecenderungan ini telah tampak dari indikator menurunnya kualitas lingkungan hidup karena tekanan penduduk dan pemanfaatan berlebihan sumber daya alam yang melampaui daya dukung lingkungannya. Kasus pembalakan hutan secara liar, erosi dan longsor, rusaknya habitat biota, menurunnya biodiversitas, banjir dan kekeringan, berubahnya iklim, kebakaran hutan, masalah dampak sosial ekonomi akibat eksploitasi dan sebagainya, telah menjadikan masalah laten yang memerlukan pendekatan holistik dan bertahap guna menyelesaikan atau menangani masalah tersebut.

Berdasarkan penetapan SK Menteri Kehutanan No 417/Kpts‐II/ 1999, menetapkan bahwa luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Jawa Timur seluas 1.357.206,30 Ha atau 28,78% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dimana 82,86% dikuasai oleh Perhutani Unit II Jatim, 59,8% Hutan Produksi dan 23,07% Hutan Lindung. Sisa dari hutan dimaksud dikuasai oleh Balai atau instansi Pusat, sedangkan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur hanya menguasai 2,04% yaitu Tahura R. Soerjo (Dishut Jatim).

Kondisi eksisting luas hutan di Jawa Timur di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 1.067.749,17 Ha (BPN Jatim, 2010) atau 22,64% itu berarti Jawa Timur kekurangan 7,36% untuk mencapai kondisi ideal sesuai dengan pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai

(15)

dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat minimal 30 % dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proposional.

Berdasarkan kondisi eksisting tersebut, Hutan di Jawa Timur masih terdapat lahan kritis. Data BP Das Brantas menunjukkan bahwa lahan kritis di dalam kawasan hutan adalah 231.289,65 Ha, dan potensial kritis sebesar 196.020 Ha. Sehingga dengan berdasarkan pada hal tersebut luas hutan di Jawa Timur berkurang menjadi 836.459,52 (Kondisi eksiting Hutan-Lahan Kritis) atau tinggal 18% dari luas wilayah Jawa Timur.

Disamping itu, Data Perum Perhutani menyebutkan, bahwa 80 persen lebih hutan di Pulau Jawa adalah hutan produksi miskin jenis (monokultur), didominasi oleh jati 51,73 persen dan pinus 35,14 persen yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, atau penahan banjir. Artinya Provinsi Jawa Timur dengan prosentase luasan kawasan hutan yang tidak jauh berbeda amat rentan akan terjadinya bencana alam berupa banjir, erosi, dan tanah longsor.

Selanjutnya untuk kondisi lahan kritis, dengan mengacu pada laporan BP Das Brantas Provinsi Jawa Timur menunjukkan luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan berbasis Daerah Aliran Sungai Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 yaitu sebesar 2.692.892,777 Ha. Hal ini terjadi sebagai akibat kebutuhan manusia, sehingga penggunaan lahan sawah di Jawa Timur cenderungan mengalami penurunan luas lahan sawah. Dinas Pertanian Jawa Timur melaporkan bahwa penggunaan lahan sawah di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009 seluas 1.151.529 Ha, dimana dari luas dimaksud sekitar 6,3% belum difungsikan. Dari Luas seluruhnya lahan pertanian dimaksud, produksi yang dihasilkan sebesar

(16)

59,11 Ku/Ha dan tanaman padi masih terbesar yaitu 93,86% dari seluruh hasil pertanian di Jawa Timur.

Trend perubahan penggunaan sawah sejak tahun 2005 sampai dengan 2010, dapat digambarkan bahwa rata-rata perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman/bangunan sebesar 794,6 atau 40% dari total perubahan lahan selama 5 tahun, berubah menjadi lahan perindustrian sebesar 469,3 atau 23,7%, prasarana 4,8% (94,3 Ha), Lahan kering 4,1% (80,2 Ha) Tambak 13,9% (274,6 Ha) dan Lainnya sebesar 6,2% (123,1 Ha).

Selanjutnya untuk ketersediaan dan kebutuhan air tersebut di atas, jumlah total tahunan air yang tersedia di Jawa Timur masih lebih besar dari kebutuhan air Dengan kata lain, sampai tahun 2010 di Jawa Timur masih surplus air ditinjau dari volume air tahunan yaitu sebesar 56%. Meskipun jumlah air surplus tersebut cenderung semakin berkurang. Oleh karena itu dimasa mendatang dengan semakin meningkatnya penduduk dan pembangunan di Jawa Timur maka ketersediaan air akan menjadi masalah. Pada saat sekarangpun kalau kita lihat neraca air bulanan, dibeberapa tempat banyak mengalami defisit air, karena distribusi hujan bulanan tidak merata sepanjang tahun sehingga pada bulan-bulan tertentu di Jawa Timur secara keseluruhan akan mengalami defisit.

Dampak lain sebagai akibat kerusakan lahan dan hutan adalah keberadaan Mata Air. Berdasarkan laporan dari Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur mencatat pada tahun 2010 bahwa Jawa Timur mempunyai mata air sebanyak 4.389 buah tersebar di 30 kabupaten. Signifikasi data yang dirilis oleh Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur tidak sesuai dengan kekritisan hutan, karena pada tahun yang sama kondisi hutan di Jawa tinggal 18% atau berkurang + 10 %. Namun demikian karena proses

(17)

inventarisasi tidak pernah dilakukan update/perubahan sehingga dirasakan kesulitan untuk memastikan berapa kondisi terkini mata air di Jawa Timur.

Beberapa media massa melaporkan bahwa kondisi mata air yang tersebar pada 30 Kab/kota telah berkurang sebesar + 50%, dari sisa 50% dimaksud secara umum telah mengalami penurunan debit airnya. Sebagai gambaran sebagaimana laporan Perum Jasatirta I, menunjukkan bahwa kondisi awal, jumlah mata air di wilayah DAS Brantas sebanyak 1.597 buah yang tersebar 10 kabupaten. Kabupaten/Kota Malang dan terdapat 358 sumber mata air dan kota Batu sebanyak 109 sumber mata air.

Kondisi saat ini sumber mata air yang berada di Batu telah mengalami kekeringan 52 mata air dan 30 % berada di Kec. Bumiaji. Letak sumber mata air yang mengalami kekeringan tersebut 20 buah berada di lahan milik Perhutani dan 32 sumber mata air di lahan rakyat. Investigasi yang dilakukan di daerah Toyomerto - Gunung Arjuno dan Sumberdem - Gunung Kawi menunjukkan mengecilnya mata air yang ada dan bahkan hilangnya beberapa sumber mata air.

Sumber mata air terbesar Kali Brantas yaitu di Sumber Brantas, Kota Batu sebanyak 50% mata air hilang dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir. 11 (sebelas) mata air mengering, sedangkan 46 mata air

mengalami penurunan debit dari 10 m3

/ detik menjadi kurang dari 5 m3 / detik (Jumlah mata air tahun 2007: 170; tahun 2008: 111; tahun 2009: 46).

Permasalahan Wilayah Pesisir dan laut

Potensi ekosistem pesisir Provinsi Jawa Timur tersebar di 22 Kabupaten/Kota pesisir. Sumberdaya pesisir yang potensial berupa mangrove, terumbu karang, wisata bahari. Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir, mempunyai

(18)

fungsi ekologis penyedia nutrient biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan biota perairan, penahan abrasi, angin dan gelombang tsunami, penyerap limbah polutan, dan pencegah intrusi air laut ke daratan. Selain itu dari sisi fungsi ekonomisnya adalah sebagai penyedia kayu, pemanfaatan daun dan biji untuk bahan baku obat-obatan, kalau tidak dikendalikan hal ini menjadi salah satu penyebab keruasakan hutan mangrove.

Luas hutan mangrove kurang lebih 85.000 Ha atau 6,24% luas hutan di Jawa Timur, tumbuh di kawasan pesisir dan rentan terhadap kerusakan. Hutan mangrove yang mengalami kerusakan seluas 13.000 Ha; sebagai akibat adanya alih fungsi menjadi tambak, dan/atau peruntukan lain seperti industry dan pemukiman, termasuk penebangan yang dilakukan masyarakat. Dengan kondisi kerusakan yang makin parah tanpa upaya rehabilitasi, akan mempengaruhi produktifitas perikanan serta mengganggu fungsi-fungsi ekologisnya.

Selanjutnya untuk Luasan terumbu karang di Jawa Timur belum diketahui secara pasti, namun demikian hasil pengamatan menunjukan tingkat kerusakanya mencapai 60%. Keberadaan terumbu karang memberi pengaruh terhadap system ruang dan habitat jenis ikan karang dan sebangsanya. Kerusakan disebabkan oleh dampak penangkapan ikan dengan menggunakan potassium maupun bahan peledak. Hamparan terumbu karang antar lain di sekitar Pulau Bawean Kab. Gresik, Pulau Mandangin Kab. Sampang, Kab.Probolinggo, Madura Kepulauan Kab. Sumenep, Kab. Situbondo, Kab. Banywangi, Kab. Jember, Kab. Malang, Kab. Trenggalek, dan Kab. Pacitan.

Sebagian besar terumbu karang dijumpai dalam kondisi rusak, terutama disebabkan oleh aktivitas anthropogenic dengan digunakannya alat tangkap ikan yang kurang tepat, antar lain penggunaan pukat dasar. Pengaruh anthropogenic pada ekosistem terumbu karang bersifat

(19)

langsung ataupun tidak langsung. Kerusakan karang akibat penggunaan alat tangkap merupakan salah satu pengaruh langsung, adapun pengaruh tidak langsung dapat disebabakan oleh penurunan kualitas air seperti kekeruhan maupun pencemaran.

Menurut hasil kajian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur tahun 2009 menunjukkan bahwa banyak dijumpai terumbu karang mati yang tertutup turf algae dan lumpur, dan tidak dijumpai adanya jenis karang bercabang baik dari family Acroporidae maupun family lainya. Karang yang dijumpai kebanyakan merupakan jenis yang tahan terhadap kekeruhan seperti jenis karang massif (seperti Favites spp, Porites sp dan Platygira sp), karang submatif (Goniopora sp, Symphillia sp), karang merayap (Leptoseris sp), mushroom coral (Heliofungia actiniformis dan Halomitra pileus). Jenis dominan adalah Goniopora sp dan berbagai jenis sponge seperti Haliclona spp, Xestospongia testudinaria, Plakortis nigra dan Gelliodes sp.

Dan untuk kondisi Padang lamun Provinsi Jawa Timur menurut pendataan BPS dan DKP Jatim pada tahun 2010 seluas 1.442,59 Ha, dari luas dimaksud 805,22 Ha dalam kondisi baik, sedang : 267,19 Ha dan kondisi rusak 370,17 Ha. Bila dibandingkan dengan tahun 2006 s/d 2010 rata-rata mengalami penurunan 2 Ha. Dalam setiap tahunnya.

Permasalahan Pencemaran Air, Tanah dan Udara

Kualitas air sungai di Provinsi Jawa Timur cenderung semakin menurun, hal ini berakibat pada kualitas air bersih di Jawa Timur semakin terbatas. DAS Brantas, misalnya yang mempunyai panjang 320 km dengan luas 12.000 km2 yang mencakup kurang lebih 25% luas Propinsi Jawa Timur atau melewati 18 Kab/Kota di Jawa Timur, dan jumlah air per tahun 12 milyar m3.

(20)

untuk berbagai kebutuhan seperti sumber tenaga untuk pembangkit tenaga listrik, PDAM, irigasi, industri dan lain-lain. Saat ini kondisi DAS Brantas memburuk sebagai akibat :

a. DAS Brantas Bagian Hulu

Das Brantas Hulu berada pegunungan di Kab. Blitar, Kab. Malang, Kota Malang dan Kota Batu,kondisi saat mengkuatirkan sebagai akibat penebangan liar dan pengelolaan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah, hal ini menyebabkan peningkatan erosi lahan dan berakibat peningkatan sedimentasi, berkurangnya volume efektif waduk, penurunan base-flow pada musim kemarau panjang, kekeringan pada musim kemarau dan terjadinya banjir bandang di musim penghujan. Disamping itu matinya mata air DAS Brantas, degradasi dasar sungai dan penurunan kualitas air akibat pencemaran.

b. DAS Brantas Bagian Tengah

Wilayah ini berada di Kab/Kota Kediri, Kab. Tulungagung, Kab. Nganjuk, Kab. Jombang. telah terjadi kerusakan-kerusakan sebagai akibat eksploitasi pengerukan pasir. Aktivitas pengerukan ini sangat luar biasa. Hampir setiap jengkal 500 meter terlihat ada aktivitas pengerukan pasir, mulai dari para penyelam hingga memakai alat mekanik. Eksploitasi pengambilan pasir di sungai Brantas tiap tahunnya mencapai 1,6 juta meter kubik, padahal secara normal kapasitas pasir di sungai ini hanya sekitar 450 ribu meter kubik tiap tahun. Akibatnya dasar sungai terus tergerus dan rusaknya beberapa tanggul sungai, dampaknya sejumlah bangunan yang berada di sekitar lokasi DAS Brantas terancam tergerus. Seperti anjloknya dinding dam Jatimlerek di Jombang, keroposnya jembatan Senden dan jembatan Bansongan, Kediri.

(21)

c. DAS Brantas Bagian Hilir,

Kab/Kota Mojokerto, Kab. Sidoarjo, Kab. Gresik dan Kota Surabaya masuk wilayah hilir das brantas, tekanan terbesar pada wilayah ini penurunan kualitas air sebagai akibat pencemaran limbah domestik 50%, 40% dari Limbah industri dan 10 % dari Limbah Pertanian, Peternakan dan lainnya.

Disamping itu bagian tengah dan Hilir DAS Brantas harus menanggung beban limbah cair 330 ton per hari. Limbah cair tersebut dihasilkan oleh aktivitas manusia di sepanjang DAS Brantas yang meliputi limbah cair industri dan limbah domestik permukiman, rumah sakit, dan hotel. Terdapat 483 industri yang mempunyai pengaruh secara langsung dengan kontribusi pencemaran sebesar 125 ton per hari. Pencemaran ini mengakibatkan meningkatnya biaya operasional beberapa PDAM yang mengambil bahan baku air dari Sungai Brantas, Secara makro peningkatan pencemaran selama ini mengakibatkan naiknya biaya produksi PDAM sekitar 25 persen.

Sedangkan untuk masalah pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Kabupaten Banyuwangi dan Kota Surabaya nilai SO2 ambien di udara melebihi nilai standar Baku mutu, yaitu 0,1962 ppm untuk Kabupaten Banyuwangi dan 0,2451 ppm untuk Kota Surabaya.

Untuk mengetahui faktor risiko dari parameter tersebut dilakukan analisis dengan metode ARKL (Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan). mengacu pada nilai resiko RQ, Daerah yang paling beresiko yakni Kota Surabaya dengan nilai risiko (RQ) tertinggi. Waktu awal terjadinya penyakit akibat parameter SO2 tercepat ada di Kota Surabaya yaitu 3,5 tahun, disusul Banyuwangi yang akan berdampak dalam 4,4 tahun. SO2

(22)

atau sulfur dioksida adalah gas berbau yang dapat menyebabkan iritasi pernafasan.

Permasalahan Lingkungan Perkotaan

Permasalahan lingkungan yang paling utama di perkotaan adalah masalah pengelolaan sampah, banjir, emisi kendaraan bermotor, limbah cair domestik, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), penataan ruang kota dan sebagainya. Sebagai contoh pengelolaan limbah padat, produksi sampah di Surabaya dikumpulkan pada lokasi-lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sukolilo. Rata-rata produksi sampah di Surabaya sebesar 8.700 M3

/hari atau 2.436 ton/hari, sedangkan produksi sampah di Gresik rata-rata 1.580 M3

/hari atau 442,45 ton/hari. Hal ini ditambah dengan sistem pengelolaannya yang kurang tepat, yaitu dengan ‘open dumping’ dan bukan ‘sanitary landfil’ sehingga mengakibatkan umur TPA terbatas, pencemaran lindi cair,dan harus menyediakan lahan TPA baru. Permasalahan Sosial Kemasyarakatan

Dalam upaya pelestarian Kali Brantas, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah melakukan Gerakan Nasional tanam dan pelihara pohon yang telah dicanangkan oleh Presiden R.I pada tanggal 28 Nopember 2008, dan Gerakan Nasioanal semilyard, Program Kali Bersih (PROKASIH), Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), dan Patroli Air bersama dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur, Perusahaan Umum Jasa Tirta dan Polwiltabes Surabaya serta penegakan hukum dan pembinaan kepada industri. Berdasarkan hasil penilaian peringkat kinerja industri dalam pengelolaan lingkungan pada tahun 2008-2009 dari 89 industri sebanyak 62% mempunyai peringkat baik dan 38% berperingkat buruk dan telah diberikan peringatan. Peningkatan peringkat ini tidak lepas dari upaya kerjasama antara POLRI, PJT I Malang dan

(23)

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam kegiatan Patroli Air dan Penegakan Hukum. Pada tahun 2008 s/d 2010 telah dilakukan penegakan hukum terhadap 14 industri, 10 industri masih dalam proses pemberkasan/penyidikan, 3 industri telah diputuskan pengadilan, dan 1 industri diberikan SP3 karena belum cukup bukti.

Namun demikian Trend kontribusi beban pencemaran dari sumber limbah domestik menunjukan peningkatan yang signifikan. Karenanya pengendalian pencemaran DAS Brantas dari limbah domestik menjadi tanggung jawab kita bersama yaitu pemerintah dan masyarakat, karena tanpa dukungan masyarakat maka program-program pemerintah dalam pengendalian pencemaran air akan sulit untuk berhasil dengan baik. Untuk itu diperlukan kebersamaan semua pihak, karena disadari bahwa hal ini menyangkut perubahan perilaku, perubahan etika, dan sikap masyarakat. Ini diperlukan karena titik sentral apakah itu perusakan atau pencemaran, sentralnya adalah manusia itu sendiri. Kebersamaan semua pihak merupakan kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan.

(24)

BAB II

KONDISI LINGKUNGAN HIDUP

DAN KECENDERUNGANNYA

(25)

Jawa Timur terletak antara 111,0′ BT hingga 114,4′ BT dan Garis Lintang 7,12” LS dan 8,48 ‘LS dengan luas wilayah 47.154,7 Km2 atau 4.715.470,13 Hektar. Terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu Jawa Timur daratan dengan proporsi lebih luas hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Propinsi Jawa Timur dan wilayah Kepulauan Madura yang hanya sekitar 10 % saja.

Wilayah Jawa Timur mempunyai 229 pulau terdiri dari 162 pulau bernama dan 67 pulau tak bernama, dengan panjang pantai sekitar 2.833,85 Km. Batas-batas wilayah propinsi Jawa Timur sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan

Laut Jawa dan Pulau Kalimantan, Propinsi Kalimantan Selatan - Sebelah Selatan dengan

Samudra Indonesia - Sebelah Barat dengan

Propinsi Jawa Tengah - Sebelah Timur dengan

Selat Bali / Propinsi Bali

Secara adminitrasi pemerintahan Provinsi Jawa Timur terdiri dari 38 Kab/Kota, 662 Kecamatan dan 8.506 Desa/Kelurahan. Kabupaten Malang mempunyai jumlah kecamatan terbanyak yaitu 33 kecamatan sedangkan Kabupaten yang mempunyai jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah Kabupaten Lamongan yaitu sebesar 474 desa/kelurahan. Sementara itu, daerah dengan luas wilayah yang paling besar adalah Kabupaten Malang dengan luas total wilayah sebesar 3.518,73 km2 / 351,872.62 Ha / 7.46%

Gambar 2.1

(26)

dari total luas wilayah Jawa Timur (Tabel 2.1 dan Gambar 2.1 – Peta Penggunaan lahan Provinsi Jawa Timur).

Tabel 2.1.

Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur

No Kabupaten /Kota WilayahLuas (%) ∑ Kec N o Kabupaten /Kota Luas Wilayah (%) ∑ Kec KOTA 1 Surabaya 35,500.00 0.75 31 20 Ponorogo 150,291.00 3.19 21 2 Mojokerto 1,646.54 0.03 2 21 Madiun 101,086.00 2.14 15 3 Madiun 3,392.00 0.07 3 22 Trenggalek 126,140.00 2.68 14 4 Kediri 6,340.01 0.13 3 23 Tulungagung 113,167.00 2.40 19 5 Blitar 3,257.75 0.07 3 24 Nganjuk 122,433.00 2.60 20 6 Malang 11,005.66 0.23 5 25 Kediri 138,604.99 2.94 26 7 Pasuruan 3,657.90 0.08 3 26 Blitar 162,880.00 3.45 22 8 Probolinggo 5,211.84 0.11 5 27 Malang 351,872.62 7.46 33 9 Batu 18,986.71 0.40 3 28 Pasuruan 147,357.00 3.12 24 KABUPATEN 29 Probolinggo 169,616.65 3.60 24 10 Gresik 119,513.00 2.53 18 30 Lumajang 179,079.99 3.80 21 11 Sidoarjo 71,478.97 1.52 18 31 Jember 329,333.94 6.98 31 12 Mojokerto 96,936.00 2.06 18 32 Bondowoso 156,010.00 3.31 23 13 Jombang 115,950.01 2.46 21 33 Situbondo 163,849.99 3.47 17 14 Lamongan 181,280.00 3.84 27 34 Banyuwangi 345,669.00 7.33 24 15 Tuban 185,839.00 3.94 20 35 Bangkalan 124,888.00 2.65 18 16 Bojonegoro 230,706.00 4.89 27 36 Sampang 122,887.00 2.61 14 17 Pacitan 141,943.81 3.01 12 37 Pamekasan 79,126.00 1.68 13 18 Magetan 68,884.74 1.46 18 38 Sumenep 199,853.99 4.24 27 19 Ngawi 129,794.01 2.75 19 JUMLAH 4,715,470.13 100 662

Sumber data : Kanwil BPN Prop.Jatim, dan BPS Jatim tahun 2010

Seiring dengan berjalannya waktu, pengelolaan sumber daya alam yang kurang bijak telah memberikan tekanan pada stabilitas lingkungan. Terlebih dengan pertambahan jumlah penduduk yang penyebarannya tidak merata, semakin berkontribusi memberi tekanan terhadap sumber

(27)

Gambar 2.2.

Prosentase Vegetasi dan Non Vegetasi Lahan di Jawa Timur Tahun 2007 s/d 2009

daya alam. Itu sebabnya kejadian bencana alam meningkat secara signifikan paralel dengan rusaknya sumber daya alam dan lingkungan hidup. Karenanya berikut ini digambarkan kondisi lingkungan hidup di Jawa Timur dan kecenderungannya.

2

2..11..LLaahhaannddaannHHuuttaann

Berdasarkan data Menuju Indonesia Hijau (SLI, 2009), ditunjukkan bahwa prosentase lahan bervegatasi dan non vegetasi sejak tahun 2007 s/d 2009 tidak terlihat perubahan yang signifikan, sebagaimana gambar 2.2 yaitu perbandingan vegetasi dan non vegetasi mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,94%.

Data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur menunjukkan

bahwa Kondisi umum

tutupan lahan dan hutan di Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2007 – 2010, terjadi penambahan lahan Non pertanian sebesar 19.722 Ha atau 0,42% dari seluruh wilayah Jawa Timur, Perkebunan sebesar 2,68%

(126.561 Ha) dan Kawasan lainnya sebesar 0,69% (32.524 Ha), disamping itu khusus untuk lahan persawahan, lahan kering dan hutan terjadi pengurangan masing-masing sebesar 0,41% (-19.722 Ha), 0,29% (-13.757 Ha) dan kawasan hutan berkurang 3,09% (-145,908 Ha). Semuanya itu dapat diapreasikan pada gambar 2.3.

Disamping hal tersebut, berikut ini akan dijelaskan Tingkat kemiringan permukaan tanah yang merupakan salah satu faktor fisik

(28)

Gambar 2.3.

Luas Wilayah Menurut Tutupan Lahan Tahun 2007 -2010

pembangunan yang berlangsung di atasnya. Tingkat kemiringan tanah dinyatakan dengan persentase yang menunjukkan kondisi derajat kemiringan tanah, mulai dari yang rata, landai, curam sampai sangat curam. Kemiringan tanah dengan tingkat persentase yang semakin rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut semakin rata sedangkan

kemiringan tanah dengan tingkat presentase semakin tinggi

mengindikasikan wilayah tersebut semakin curam.

Berdasarkan data dari BPN Provinsi Jawa Timur, digunakan enam klasifikasi kemiringan tanah di

wilayah Provinsi Jawa Timur, yaitu

lereng 0-2%, lereng 2-15%,

lereng 15-40% dan lereng di atas

40%. Tingkat kemiringan di

wilayah Provinsi Jawa Timur yang

terbesar adalah tingkat

kemiringan 0-2% yaitu menempati

wilayah seluas 1.683.829,81 Ha (35,7 %), sedangkan tingkat kemiringan 15-40%, menempati wilayah paling kecil yaitu seluas 663.173,29 Ha (14,06). Dan kemiringan > 40 %, merupakan daerah seluas 965.147,39 Ha (20,47 %).

Selanjutnya wilayah dengan tingkat kemiringan 0-2% yang terbesar berada pada Kabupaten Banyuwangi seluas 122.539,56 Ha. Selanjutnya untuk wilayah dengan tingkat kemiringan tanah 2-15 % yang terbesar berada pada Kabupaten Malang seluas 133.381,57 Ha. Wilayah dengan tingkat kemiringan 15-40 % yang terbesar berada pada Kabupaten Malang seluas 76.630,41 Ha. Untuk wilayah dengan tingkat kemiringan 40 % yang terbesar berada pada Kabupaten Lumajang seluas 123.466,46 Ha dan Kabupaten Jember seluas 105.395,32 Ha.

(29)

Gambar 2.4.

2.1.1. Lahan

Pola penggunaan lahan pada hakekatnya adalah gambaran ruang dari hasil jenis usaha dan tingkat teknologi, jumlah manusia dan keadaan fisik daerah, sehingga pola penggunaan lahan di suatu daerah dapat mencerminkan kegiatan manusia yang berada di daerah tersebut. Karenanya Penggunaan lahan bersifat dinamis, artinya penggunaan tanah dapat berubah tergantung dari dinamika pembangunan dan kebutuhan masyarakat di suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, lingkungan dan kepentingan lainnya. Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, maka data luas dan letak penggunaan lahan menjadi sangat penting, terutama untuk mengetahui berapa lahan yang masih tersedia untuk suatu kegiatan.

Untuk itu Pola penggunaan tanah wilayah Provinsi Jawa Timur terdiri atas lima kelompok penggunaan tanah yaitu kawasan Non Pertanian 620,789.68 Ha (13.16 %), sawah seluas 1,110,848.54 Ha (23.56 %), Lahan Kering seluas 1,122,369.89 Ha (23.80 %), Perkebunan seluas 374,851.07 Ha (7.95 %), Hutan seluas 1,067,749.17 ha (22.64%), Lainnya seluas 418,861.78 ha (8.88 %). Atau dapat digambarkan pada Gambar 2.4.

Non Pertanian

Merupakan lahan yang digunakan untuk segala jenis bangunan, termasuk daerah sekitar yang dalam penggunaan sehari-hari berkaitan dengan keperluan pemukiman seperti rumah mukim, daerah industri,

(30)

daerah perdagangan, daerah perkantoran, daerah rekreasi, dan lain sebagainya. Terdapat secara mengelompok di sekitar / menyesuaikan arah aliran sungai, pola jalan, dan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk dapat berkembang. Luasan keseluruhan kurang lebih 620,789.68 Ha (13.16 %).

Penggunaan tanah non pertanian terluas terdapat di Kabupaten Jember yaitu 53.495,87 Ha dan yang terkecil terdapat di ota Mojokerto seluas 832,09 Ha. Lahan ini merupakan lahan yang tergolong sangat baik/subur dan permukaan datar dengan lereng tanah berkisar antara (0 - 2%) sampai dengan (2 – 8%). Sifat tanah tidak peka terhadap erosi, tekstur lempung pasiran dan mudah diolah. Permeabilitas tanah sedang, drainase baik sampai dengan sedang, terdapat genangan-genangan bersifat sementara.

− Persawahan

Secara umum lahan persawahan di Provinsi Jawa Timur dapat ditanami padi 2x satu tahun dengan luas kurang lebih 1.110.848,54 Ha (23,56%), Persawahan tersebar terdapat di seluruh wilayah

kabupaten/kota. Persawahan terluas terdapat di Kabupaten

Banyuwangi seluas 76.615,27 Ha. Lahan ini merupakan lahan yang tergolong sangat baik/subur dengan permukaan rata-rata datar dengan lereng tanah 0-8 persen. Tanah tidak peka terhadap erosi, tekstur lempung dan mudah diolah. Permeabilitas tanah sedang dengan drainase umumnya baik sampai sedang terdapat genangan-genangan kecil bersifat sementara dan setempat-setempat.

− Lahan Kering

Tegalan adalah pertanian kering semusim yang tidak pernah diairi dan ditanami dengan jenis tanaman umur pendek saja, tanaman keras

(31)

yang mungkin ada hanya pada pematang-pematang. Di Provinsi Jawa Timur, tanah tegalan mempunyai luasan kurang lebih 1.122.369,89 Ha (23,80%). Luas tegalan terbesar terletak di Kabupaten Malang seluas 100.221,42 Ha. Umumnya menempati kemiringan tanah (lereng 8-25%).

− Perkebunan

Perkebunan adalah usaha pertanian dengan komoditas tanaman keras/tahunan, pada umumnya dilakukan oleh perusahan/badan hukum maupun perorangan. Di Provinsi Jawa Timur, Perkebunan mempunyai luasan kurang lebih 374,851.07 Ha (7.95 %), Luas Perkebunan terbesar terletak di Kabupaten Banyuwangi seluas 96.730,15 Ha. Umumnya menempati kemiringan tanah bervariasai dari (lereng 8-45% dan lebih dari 45 %).

− Hutan

Hutan adalah suatu lapangan yang ditumbuhi pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Di Provinsi Jawa Timur, hutan menempati areal seluas 1.067.749,17 Ha (22,64%), dari luas hutan dimaksud terluas berada di Kabupaten

Banyuwangi seluas 109,085.76Ha. Penggunaan tanah hutan sebagian

besar menempati sebagian daerah bagian utara, barat dan bagian selatan.

− Lainnya

Penggunaan tanah lainnya adalah merupakan teori sisa dari seluruh penggunaan tanah yang ada di Provinsi Jawa Timur,terdiri dari berbagai macam penggunaan tanah terdiri dari sungai, jalan,

(32)

danau/waduk/rawa, tanah tandus, tanah rusak, dimungkinkan juga merupakan daerah pertambangan, padang, tanah terbuka, tanah terlantar, kawasan wisata dan lain-lain. Di Provinsi Jawa Timur menempati areal seluas 418.861,78 Ha (8,88%). Penggunaan tanah lain-lain ini mempunyai manfaat yang besar dan penting dalam pengaturan tata air, pencegah erosi, iklim, keindahan dan kepentingan strategis.

2.1.1.1. Lahan Pertanian

Karakteristik Ekosistem Lahan Pertanian berdasarkan kondisi geofisik dan alamiahnya, Wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi empat sub-wilayah, yaitu:

a. Wilayah dataran tinggi bagian tengah yang dikategorikan sebagai daerah subur dan sudah berkembang, mulai dari Ngawi hingga Banyuwangi.

b. Wilayah dataran rendah bagian utara yang dikategorikan sebagai daerah yang memiliki kesuburan medium dan sedang berkembang, mulai dari Bojonegoro, Gresik hingga Madura.

c. Wilayah pegunungan kapur bagian selatan yang dikategorikan sebagai

daerah kurang subur dan baru mulai berkembang, mulai dari Pacitan hingga Malang bagian selatan.

d. Pulau-pulau terpencil yang belum berkembang, terletak di Kabupaten Sumenep, Sampang, Gresik, Probolinggo, Jember dan Malang.

Pembagian wilayah tersebut di atas mengisyaratkan adanya potensi ekosistem lahan yang berbeda-beda dan menghendaki upaya pengelolaan yang berbeda pula. Konsepsi-konsepsi tentang ekosistem lahan dan pengelolaannya, mengisyaratkan bahwa lahan di suatu wilayah merupakan suatu sitem yang kompleks terdiri atas berbagai komponen

(33)

Gambar 2.5

Penggunaan Lahan Sawah di Jatim 2009

Gambar 2.6

yang saling berinteraksi

membentuk suatu struktur yang mantap dan perilaku-nya menghasilkan

keluaran-keluaran yang tertentu.

Demikian juga upaya

pengelolaannya melibatkan berbagai aktivitas menejerial yang biasanya mempunyai horison waktu panjang (50-100 tahun), terutama kalau melibatkan nilai investasi yang besar.

Karenanya sebagai akibat kebutuhan manusia, penggunaan lahan sawah di Jawa Timur cenderungan mengalami penurunan luas lahan. Dinas Pertanian Jawa Timur melaporkan bahwa penggunaan lahan sawah di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009 seluas 1.151.529 Ha, dimana dari luas dimaksud sekitar 6,3% belum difungsikan. Penggunaan lahan sawah dimaksud dapat dibagi dalam beberapa klas dan yang paling besar irigasi teknis yaitu sebesar 58,9% atau 686.265 Ha, pembagian lahan secara rinci dapat digambarkan dengan gambar 2.5.,

Dari Luas seluruhnya

lahan pertanian dimaksud,

produksi yang dihasilkan

sebesar 59,11 Ku/Ha dan tanaman padi masih terbesar yaitu 93,86% dari seluruh hasil pertanian di Jawa Timur.

Secara lengkap produksi

Tanaman Palawija di Jawa Timur 20.482.782 Ton dengan rincian dapat dilihat pada Gambar 2.6.

(34)

Secara makro, sebagaimana laporan BPS Jatim 2010, menunjukkan Struktur perekonomian Jawa Timur secara kumulatif selama Januari – Desember tahun 2010 masih didominasi oleh tiga sektor utama, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang kontribusi ketiganya sebesar 72,71 persen, sedikit agak menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 yang sebesar 72,90 persen. Kondisi ini bila dibandingkan dengan tahun 2000 kebawah dimana sektor pertanian memberikan sumbangan terbesar, saat ini sektor ini terus mengalami penurunan secara signifikan.

Trend perubahan penggunaan sawah sejak tahun 2005 sampai dengan 2010, dapat digambarkan bahwa rata-rata perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman/bangunan sebesar 794,6 atau terjadi perubahan dalam tiap tahunbnya sebesar 40%, berubah menjadi lahan perindustrian sebesar 469,3 atau 23,7%. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2.3. Bilamana ditinjau dari Kabupaten/Kota di Jawa Timur, tingkat perubahan lahan pertanian terbesar berada di Kabupaten Sidoarjo yaitu seluas 166,6 Ha atau kondisi lahan pertanian yang sebelumnya 23.369,8 Ha menjadi 23.203, 2 Ha.

Tabel 2.2

Perubahan Sawah Menjadi Non Sawah Provinsi Jatim 2005 s/d 2009 Berubah

menjadi

Perubahan Sawah menjadi non sawah Rerata

5 thn(ha) % 2005 2006 2007 2008 2009 Bangunan 1.560,8 348,5 1.521,5 406,5 135,5 794,6 40,2 Industri 529,5 797,5 325,0 620,6 74,1 469,3 23,7 Prasarana 106,7 50,2 297,1 14,1 3,4 94,3 4,8 Lahan kering 382,9 148,0 122,0 18,0 41,0 142,4 7,2 Perkebunan 264,7 54,7 66,7 14,7 0,0 80,2 4,1 Tambak 75,0 100,0 1.197,2 0,5 0,3 274,6 13,9 Lain-lain 253,3 59,0 295,5 - 7,7 123,1 6,2 Jumlah 3.172,9 1.557,9 3.825,0 1.074,3 262,0 1.978,4 100,0

(35)

Selanjutnya untuk lahan perkebunan sebagian besar dikuasai oleh masyarakat yaitu sebesar 823.555 Ha pada tahun 2010 dan negara hanya menguasai 111.006 Ha. Kapasitas Produksi pada tahun yang sama yaitu sebesar 1.582.257 Ton, dengan rincian 148.840 Ton Perkebunan Negara dan 1.433.417 Ton Perkebunan Rakyat. Bilamana dlihat trend luas lahan perkebunan sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 27.654,0 Ha dengan kapasitas produksi meningkat sebesar 50.958 Ton. Lebih lengkap lihat Tabel 2.4.

Tabel 2.3

Luas Lahan dan Produksi Perkebunan Besar dan Rakyat menurut Jenis Tanaman Provinsi Jawa Timur Tahun 2010

No. Jenis Tanaman

Tahun 2009 Tahun 2010

Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) Besar Rakyat Besar Rakyat Besar Rakyat Besar Rakyat

1. Karet 24.869 - 16.910 - 25.920 26.490 2. Kelapa 293.518 - 248.244 4.265 289.379 2.491 247.900 3. Kelapa sawit - - - 21.352 53.831 24.606 29.413 4. Kopi 95.216 - 52.217 - 31.023 22.984 17.877 4.800 5. Kakoa 22.984 - 4.800 - 1.345 57 4.091 53 6. Teh 2.460 - 3.653 - 5.952 35.855 1.298 9.540 7. Cengkeh 41.258 - 11.162 15.831 170.195 69.001 1.010.286 8. Tebu 186.026 - 1.079.000 1.350 110.657 1.116 79.545 9. Tembakau 112.007 - 79.822 1.291 465 10. Kapas 2.600 - 921 5.489 3.816 11. Jarak - - - 75.384 1.870 28.848 12. Kapuk Randu 79.972 - 30.017 3.968 4.126 1.236 13. Kina - - - 48.284 14.907 14. Jambu mete 45.997 - 4.553 3.639 748 15. Pala - - - 1.928 1.635 16. Kayu manis - - - 456 225 JUMLAH 145.529 761.378 77.580 1.453.719 111.006 823.555 148.840 1.433.417 JUMLAH TOTAL 906.907 1.531.299 1.531.299 1.582.257 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur 2010

2.1.1.1. Lahan Kritis

Penetapan lahan kritis mengacu pada lahan yang telah rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,

(36)

Gambar 2.7

pengatur iklim mikro dan retensi karbon. Berdasarkan kondisi vegetasi, kondisi lahan dapat diklasifikasikan sebagai sangat kritis, agak kritis, potensial kritis dan kondisi

normal. Berdasarkan kriteria tersebut, BP Das Brantas

Provinsi Jawa Timur

melaporkan luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan berbais Daerah Aliran

Sungai Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 yaitu sebesar 2.692.892,777 Ha, seperti terlihat pada Gambar 2.7.

Sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan adalah 409.349 Ha (BP Das Brantas, 2010), dan yang di dalam kawasan hutan (kawasan budidaya dan kawasan lindung) sebesar 14.217,65 Ha (perhutani Unit II Jawa Timur, 2010). Bila dilihat lahan kritis menurut kab/kota terbesar berada di kabupaten Banyuwangi yaitu sebesar 494.938,23 Ha dan Kabupaten Jember sebesar 314.636,87 Ha, secara lengkap lihat dapat dilihat pada Gambar 2.8.

(37)

2.1.2. HUTAN

Berdasarkan penetapan SK Menteri Kehutanan No

417/Kpts‐II/1999, menetapkan bahwa luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Jawa Timur seluas 1.357.206,30 Ha atau 28,78% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Sedangkan berdasarkan data dari Dinas kehutanan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 menunjukkan bahwa luas hutan di Jawa Timut adalah 1.364.399,61 Ha atau 28,93% dari luas daratan Jawa Timur atau selisih 0,15% bila dibandingkan dengan hasil penetapan SK MenHut tersebut. Dari luasan hutan tersebut dapat dibagi berdasarkan fungsinya :

a. Kawasan Hutan Lindung = 314.720,50 Ha,

b. Kawasan Hutan Produksi = 815.850,61 Ha

c. Kawasan Hutan Konservasi = 233.828,50 Ha

dari Kawasan Hutan Konservasi seluas 233.828,50 ha, terdiri dari :

a. Cagar Alam seluas : 10.957,90 ha

b. Suaka Margasatwa seluas : 18.008,60 ha

c. Taman Wisata Alam seluas : 297,50 ha

d. Taman Nasional seluas : 176.696,20 ha

e. Taman Hutan Raya seluas : 27.868,30 ha

Kalau dilihat dari pengelolanya, Hutan di Jawa Timur 82,86% dikuasai oleh Perhutani Unit II Jatim, 59,8% Hutan Produksi dan 23,07% Hutan Lindung. Sisa dari hutan dimaksud dikuasai oleh Balai atau instansi Pusat, sedangkan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur hanya menguasai 2,04% yaitu Tahura R. Soerjo (Dishut Jatim).

Kondisi eksisting luas hutan di Jawa Timur di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 1.067.749,17 Ha (BPN Jatim, 2010) atau 22,64% (Rincian dapat dilihat pada gambar 2.4.), itu berarti Jawa Timur kekurangan 7,36% untuk mencapai kondisi ideal. Berdasarkan data yang

(38)

Gambar 2.8

dirilis oleh BPN Jatim tahun 2010, kondisi eksisting luasan kawasan hutan terbesar terdapat di Kabupaten Banyuwangi yaitu 10,47%.

Selanjutnya berdasarkan pasal 18 ayat (2) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna

optimalisasi manfaat

lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat minimal 30 % dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proposional.

Disamping itu kondisi hutan yang masih belum optimum, Hutan di Jawa Timur masih terdapat lahan kritis, data BP Das Brantas menunjukkan bahwa lahan kritis di dalam kawasan hutan adalah 231.289,65 Ha, dan potensial kritis sebesar 196.020,00. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.8 Sehingga dengan berdasarkan pada hal tersebut luas hutan di Jawa Timur berkurang menjadi 836.459,52 (Kondisi eksiting Hutan-Lahan Kritis) atau tinggal 18% dari luas wilayah Jawa Timur.

Proses konversi hutan di Provinsi Jawa Timur terdapat

pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan oleh pihak lain

( Pemerintah/Instansi, Perusahaan swasta, BUMN, masyarakat ) yang digunakan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan yang melalui prosedur Tukar Menukar Kawasan Hutan seluas 5.392,30 ha yang tersebar di 114 Unit / lokasi.

(39)

Adapun penggunaan kawasan hutan yang melalui prosedural yaitu prosedur tukar menukar kawasan hutan tersebut diatas, berupa :

 Peruntukan pemukiman seluas 1.609,40 ha yang tersebar di 23 wilayah pengelolaan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

 Peruntukan perkebunan (perkebunan tebu) oleh PTPN XI seluas 1.110,68

ha yang berada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Kediri.

 Peruntukan Industri seluas 97,03 ha yang terdiri dari untuk pabrik, pabrik semen, PLTA.

 Peruntukan pertambangan seluas 140,75 ha diantaranya tambang batu marmer, andesit, batu besi, tambang minyak.

 Peruntukannya lain-lain seluas 2.434,44 ha terdiri dari untuk PLN, obyek wisata, waduk/bendungan/embung, TNI, pondok pesantren, tambak, LAPAN, Tempat Pelelangan Ikan (TPI / PPI).

Pemanfaatan / penggunaan kawasan hutan tersebut seluas 5.392,30 ha yang tersebar di Provinsi Jawa Timur, sebanyak 114 Unit / lokasi, pada hakekatnya cukup sesuai peruntukannya, dikarenakan dengan keberadaan terbangunnya lokasi - lokasi tersebut diharapkan dapat berdampak kepada perkembangan perekonomian khususnya masyarakat setempat dan pada umumnya perekonomian di Provinsi Jawa Timur.

Disamping itu, Data Perum Perhutani menyebutkan, bahwa 80 persen lebih hutan di Pulau Jawa adalah hutan produksi miskin jenis (monokultur), didominasi oleh jati 51,73 persen dan pinus 35,14 persen yang sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai penyangga kehidupan, penyimpan air, atau penahan banjir. Artinya Provinsi Jawa Timur dengan prosentase luasan kawasan hutan yang tidak jauh berbeda amat rentan akan terjadinya bencana alam berupa banjir, erosi, dan tanah longsor.

(40)

2

2..22..KKeeaanneekkaarraaggaammaannHHaayyaattii

Keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah keanekaragaman organisme yang hidup di berbagai kawasan baik di daratan, lautan, dan

ekosistem perairan lainnya. Didalamnya terdapat berbagai

keanekaragaman dalam satu spesies, antar spesies, dan keanekaragaman ekosistem/ kawasan.

Manfaat keanekaragaman hayati adalah untuk menjaga pelestarian fungsi dan tata air, tata udara, tata guna tanah, juga sangat strategis bagi pengembangan pertanian, yakni untuk pangan, sandang, papan, obat-obatan, dan energi biomassa secara berelanjutan, selain sebagai potensi ekowisata.

Tabel 2.4.

Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui dan Dilindungi Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 - 2010

No. Golongan 2008 2009 2010 Jumlah spesies diketahui Jumlah spesies dilindungi Jumlah spesies diketahui Jumlah spesies dilindungi Jumlah spesies diketahui Jumlah spesies dilindungi 1 Hewan menyusui 16 6 16 8 23 23 2 Burung 35 9 35 30 83 83 3 Reptil 3 3 3 1 3 3 4 Amphibi 2 0 2 - 2 - 5 Ikan - - - 1 - 1 6 Keong - - - 2 - 6 7 Serangga - - - 15 8 Tumbuh-tumbuhan - - - - - 6 Jumlah 18 42 137

Sumber : BBKSDA Jawa Timur, 2010

Jumlah spesies dilindungi di Jawa timur menunjukkan trend meningkat sejak tahun 2008. Pada tahun 2008, jumlah spesies dilindungi di Jawa Timur mencapai 18 jenis, selanjutnya meningkat menjadi 42 spesies pada tahun 2009 dan 137 spesies pada tahun 2010. Spesies dilindungi pada tahun 2010 terdiri dari : hewan menyusui 16,79% ,

(41)

burung 60,58%, reptil 2,19%, ikan 0,73%, moluska 4,38%, serangga 10,95%, dan tumbuhan 4,38%.

Jumlah spesies hewan menyusui pada tahun 2010 meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah spesies meningkat dari 8 spesies pada tahun 2009 menjadi 23 spesies pada tahun 2010. Golongan burung juga meningkat dari 30 spesies pada tahun 2009 menjadi 83 spesies pada tahun 2010. Peningkatan jumlah hewan menyusui dan burung didukung oleh identifikasi spesies baik di dalam maupun diluar kawasan, selain beberapa jenis yang mulai ditangkarkan di Jawa Timur.

Selanjutnya, golongan reptil meningkat dari 1 spesies menjadi 3 spesies. Ketiga reptil yang ditemukan merupakan penyu hijau, penyu sisik dan ular sanca bodo. Penyu hijau ditangkarkan di Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo dan di Sukomade, Taman Nasional Meru Betiri. Spesies ikan dilindungi yang diketahui adalah Belida Jawa (Nothopterus spp.), keberadaan spesies ini diketahui dari penggagalan pengiriman spesies ini dari Tulungagung ke Gorontalo. Spesies keong yang diketahui keseluruhan mempunyai habitat ekosistem terumbu karang.

Peningkatan jumlah spesies didukung oleh identifikasi di lapangan maupun penggagalan penyelundupan dan ketidaklengkapan dokumen pengiriman baik ke dalam maupun keluar negeri. Golongan serangga meningkat menjadi 15 spesies pada tahun 2010 yang keseluruhan spesies tidak ditemukan pada tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah spesies serangga didukung adanya penangkaran ke-15 jenis kupu-kupu yang dilindungi.

Keanekaragaman hayati merupakan salah satu indikator kelestarian lingkungan, karena dapat menggambarkan berfungsinya sistem ekologi pada sebuah ekosistem. Jumlah spesies yang diketahui dan dilindungi di wilayah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 dapat dilihat pada tabel ....

(42)

Beberapa spesies yang dalam status terancam adalah Elang Laut, Elang Bodo, Madu Sriganti, Perkutut, Jalak Putih (Burung); Tupai, Kalong, Lutung, Kucing Hutan, Macan Tutul, Trenggiling (Hewan Menyususi); Ular Sowo, Biawak (Reptilia); Katak Kebun, Katak Sawah (Amphibia) (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Timur, 2009).

(43)

Gambar 2.9

Kapasitas Curah Hujan berdasarkan Station Pemantauan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010

2

2..33.. AAiirr

Peningkatan jumlah penduduk membawa banyak konsekuensi, diantaranya terhadap kecukupan penyediaan air. Berdasarkan dugaan para ahli kelangkaan air bersih akan terjadi dalam beberapa tahun yang akan datang. Pada tahun 2040 ketersediaan air bersih akan berkurang sebanyak 50% dari jumlah kebutuhan, hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, semakin panjangnya masa harapan hidup serta hampir selalu terjadi pemborosan dalam setiap pemakaian air.

Secara umum tingkat konsumsi air bersih per kapita (rumah tangga pelanggan PDAM) menurut standar kuantitas WHO sebesar 150 liter per

hari, yaknii

mencapai 37.1 m3

per orang atau

setara dengan

101.64 liter per hari. Karenanya kuantitas dan kualitas air di sumber-sumber air

di daratan perlu

dijaga, karena air adalah salah satu

kebutuhan dasar

bagi makhluk hidup dalam melangsungkan keberlanjutan hidupnya. Mengambil standar WHO tersebut, dengan jumlah penduduk 37.476.011 jiwa pada tahun 2010, maka kebutuhan air bersih di Jawa Timur

seharusnya 1.390.360.008 m3 per orang atau setara dengan

(44)

Kecenderungan kebutuhan air sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Berdasarkan data jumlah penduduk dan tingkat pendapatan penduduk dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa kebutuhan air bersih di Jawa Timur cenderung terus meningkat.

Tabel 2.6

Sifat Hujan Jawa Timur Tahun 2010 BULAN SIFAT HUJAN ( % ) CURAH HUJAN ( mm ) ATAS NORMAL NORMAL BAWAH NORMAL JANUARI 41,67 30,30 28,03 43 – 1153 FEBRUARI 42,97 35,16 21,88 46 – 745 MARET 57,50 24,17 18,33 63 – 696 APRIL 73,98 14,63 11,38 53 – 747 MEI 97,56 1,63 0,81 56 – 1270 JUNI 65,62 17,19 17,19 0 – 638 JULI 86,61 5,51 7,87 0 – 311 AGUSTUS 77,05 3,28 19,67 0 – 435 SEPTEMBER 100 - - 37 – 1507 OKTOBER 70,16 16,94 12,90 28 – 1018 NOPEMBER 62,6 19,1 18,3 12 – 873 DESEMBER 49,62 28,24 22,14 51 – 806 Sumber data : BMG Juanda, 2010

2.3.1.Kondisi Kuantitas dan Kualitas Air

Untuk

mengetahui kondisi

kuantitas dan kualitas dapat dilihat dari curah

hujan, sebagaiamana

Gambar 2.9. Disamping

itu sebaran hujan

menurut tempat tidak merata, yaitu tinggi di pantai selatan dan

(45)

semakin rendah ke arah utara dan dari ujung barat ke arah timur juga semakin menurun jumlah hujannya. Berdasarkan waktu, distribusi hujanpun tidak merata, dimana lebih dari 80% dari seluruh hujan turun dalam periode Desember s/d bulan Mei dan sisanya sebesar 20% turun pada bulan Agustus hingga bulan Nopember. Berdasarkan laporan Badan Meteorololgi dan Geofisika Jawa Timur (GMG-Juanda) menunjukkan bahwa Intensitas hujan di Jawa Timur Tahun 2010 (Gambar 2.10) adalah curah hujan dibagi hari hujan,dari data curah hujan kita peroleh sifat hujan yang terdiri dari Atas Normal,Normal dan Bawah Normal. Dari hasil evaluasi bulanan di ketahui sepanjang tahun 2010 di Jawa Timur sifat hujannya di atas normal artinya sebagian besar Kab/Kota intensitas hujannya tinggi.

2.3.1.1. Ketersedian/Kuantitas Air di Jawa Timur

Ketersediaan air di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2009 mencapai 54.524,25 milyard m3, yang terbagi atas air permukaan sebesar 44.285,32 milyar m3 per tahun dan ketersediaan air

tanah sebesar

10.238,93 milyar m3.

Sumber daya air

tersebut dimanfaatkan

dalam berbagai

bentuk kepentingan

penggunaan yaitu :

kepentingan domes-

tik : 5.861,06 Juta m3/tahun, industri : 132,08 Juta m3/tahun, dan pertanian sebesar 18.112,36 Juta m3/tahun. Sedangkan yang belum

(46)

digunakan sebesar 30.418,75 Juta m3/tahun (laporan Pengairan Dalam Angka, Tahun 2010).

Berdasarkan angka-angka perkiraan ketersediaan dan kebutuhan air tersebut di atas, jumlah total tahunan air yang tersedia di Jawa Timur masih lebih besar dari kebutuhan air (Gambar 2.11). Dengan kata lain, sampai tahun 2010 di Jawa Timur masih surplus air ditinjau dari volume air tahunan. Meskipun jumlah air surplus tersebut cenderung semakin berkurang. Oleh karena itu dimasa mendatang dengan semakin meningkatnya penduduk dan pembangunan di Jawa Timur maka ketersediaan air akan menjadi masalah. Pada saat sekarangpun kalau kita lihat neraca air bulanan, dibeberapa tempat banyak mengalami defisit air, karena distribusi hujan bulanan tidak merata sepanjang tahun sehingga pada bulan-bulan tertentu di Jawa Timur secara keseluruhan akan mengalami defisit.

Tabel 2.5

Fluktuasi Debit yang mengalami Kritis dan Ambang Kritis Provinsi Jawa Timur 2010

No. Nama Sungai

Debit (m3/dtk) Fluktuasi

Ket

Maks Min Max-Min

I Bengawan Solo

1 K.Bengawan Solo Kauman 270,63 38,78 231,9 Kritis

2 K. Bengawan Solo Napel 1197,3 196,19 1.001,1 Kritis

3 K. Grindulu 92,54 1,34 91,2 Ambang Kritis

4 K. Lorok 104,24 8,78 95,5 Ambang Kritis

5 K. Solo Padangan 960,8 12,03 948,8 Kritis 6 K. Madiun Ngawi 1398,9 6,84 1.392,1 Kritis

7 K. Kening 98,26 0 98,3 Ambang Kritis

8 K. Solo babat 1862,32 277,7 1.584,6 Kritis

9 K. Solo Karang geneng 1336,41 258,6 1.077,8 Kritis

II. Brantas

10 K. Pundensari 295,21 200,43 94,8 Ambang Kritis

11 K. Brantas 964,20 347,00 617,2 Kritis

Sumber : Data Pengairan dalam Angka Th 2010.

Disisi lain sebagaimana gambaran kondisi lahan dan hutan di Jawa Timur, ternyata kondisi air permukaan bila dilihat dari fluktuasi debit

(47)

maximum dan minimum, dapat dicermati bahwa tingkat kerusakan sebuah DAS di Jawa Timur dapat dilihat pada table 2.5. di adalah aliran maksimum (Q-maks) yang besar dan aliran minimum (Q-min) yang kecil, sehingga nisbah Q-maks/Q-min adalah besar.

Dampak lain sebagai akibat kerusakan lahan dan hutan adalah keberadaan Mata Air. Berdasarkan laporan dari Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur mencatat pada tahun 2010 bahwa Jawa Timur mempunyai mata air sebanyak 4.389 buah tersebar di 30 kabupaten. Signifikasi data yang dirilis oleh Dinas Pengairan Provinsi Jawa Timur tidak sesuai dengan kekritisan hutan, karena pada tahun yang sama kondisi hutan di Jawa tinggal 17% atau berkurang + 11 %. Namun demikian karena proses inventarisasi tidak pernah dilakukan update/perubahan sehingga dirasakan kesulitan untuk memastikan berapa kondisi terkini mata air di Jawa Timur.

Beberapa media massa melaporkan bahwa kondisi mata air yang tersebar pada 30 Kab/kota telah berkurang sebesar + 50%, dari sisa 50% dimaksud secara umum telah mengalami penurunan debit airnya. Sebagai gambaran sebagaimana laporan Perum Jasatirta I, menunjukkan bahwa kondisi awal, jumlah mata air di wilayah DAS Brantas sebanyak 1.597 buah yang tersebar 10 kabupaten. Kabupaten/Kota Malang dan terdapat 358 sumber mata air dan kota Batu sebanyak 109 sumber mata air.

Kondisi saat ini sumber mata air yang berada di Batu telah mengalami kekeringan 52 mata air dan 30 % berada di Kec. Bumiaji. Letak sumber mata air yang mengalami kekeringan tersebut 20 buah berada di lahan milik Perhutani dan 32 sumber mata air di lahan rakyat. Investigasi yang dilakukan di daerah Toyomerto - Gunung Arjuno dan Sumberdem - Gunung Kawi menunjukkan mengecilnya mata air yang ada dan bahkan hilangnya beberapa sumber mata air.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan, tingkat efektivitas beserta faktor-faktor saja yang dapat menentukan efektivitas, dan kontribusi pajak hotel

Diagram ini dibuat untuk rancangan atau desain sistem pengendalian pada PLC yang kemudian diagram Ladder ini dibuat dalam data mnemonic untuk ditransfer ke CPU PLC melalui

Sistem ini merupakan sistem pengatur tegangan pada bagian output, input yang diberikan yaitu berasal dari energi matahari yang di konversi menjadi energi listrik oleh

Simpulan dari penelitian ini adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe AIR mampu meningkatkan penilaian ranah afektif, kognitif dan psikomotor dan

Tim Geriatri adalah suatu tim multidisipliner yang bekerja secara multidisipliner, interdisiplin untuk menangani masalah kesehatan usia lanjut.Tim ini

a. Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur perhubungan dan transportasi. Meningkatnya kualitas sarana dan prasana pelayanan kesehatan dasar dan

RUPST Danamon menyetujui antara lain Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Perseroan tahun buku 2012, menyetujui pembayaran dividen sebesar Rp 1.203.561.900.000 kurang lebih Rp