• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tekanan Darah

Yang dimaksud dengan tekanan darah dalam penelitian ini adalah tekanan hidrostatik yang dihasilkan akibat adanya penekanan pada dinding pembuluh darah arteri pasien yang diukur dengan menggunakan alat. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah Sfigmomanometer Nova dan Stetoskop Littmann. Cara pengukuran dalam penelitian ini adalah melakukan pengukuran tekanan darah secara langsung pada pasien psoriasis vulgaris dalam posisi berbaring pada lengan tangan atas sebelah kanan. Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinal.

Dalam penelitian ini, tekanan darah pasien dibagi ke dalam beberapa kelompok :

1. Tekanan darah rendah apabila tekanan darah sistolik pasien < 90 mmHg atau tekanan darah diastolik < 60 mmHg.

2. Tekanan darah normal apabila tekanan darah sistolik 90 - 119 mmHg atau tekanan darah diastolik 60 - 79 mmHg.

3. Tekanan darah prehipertensi apabila tekanan darah sistolik berkisar antara 120 – 139 mmHg atau tekanan darah diastolik berkisar antara 80 - 89 mmHg.

4. Tekanan darah tinggi apabila tekanan darah pasien sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg atau pasien sedang mengkonsumsi obat antihipertensi.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan penelitian cross-sectional, artinya pengukuran variabel-variabel hanya dilakukan satu kali saja (Mukhtar, 2011) dan pengamatan hanya dilakukan pada satu saat (Ghazali et al., 2008).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit & Kelamin, RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 2013 – Agustus 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah setiap pasien psoriasis vulgaris yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis di Poliklinik Kulit & Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel Penelitian

Setiap populasi yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria inkulsi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien psoriasis vulgaris di RSUP Haji Adam Malik. b. Usia antara 20 – 70 tahun.

c. Bersedia untuk ikut menjadi subjek penelitian dengan mengisi dan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent).

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah setiap pasien yang tekanan darahnya tidak dapat diukur.

4.3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel yang diambil sama dengan populasi. Hal tersebut dikarenakan jumlah populasi yang berjumlah kurang dari 100 sehingga seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diambil dalam penelitian berupa jenis data sekunder yaitu data pasien dengan diagnosa psoriasis vulgaris di RSUP Haji Adam Malik yang diperoleh melalui rekam medis dan data primer, yaitu melalui wawancara mengenai identitas pasien dan juga pengukuran tekanan darah yang dilakukan secara langsung.

Menurut Canadian Hypertension Education Program (2013), persiapan sebelum dilakukannya pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut :

1. Idealnya, beritahukan pasien untuk tidak merokok atau meminum minuman yang mengandung kafein ± 30 menit sebelum pengukuran dilakukan.

2. Pemilihan cuff yang sesuai :

a. Lebar bladder cuff harus ± 40% dari lingkar lengan atas ( ± 12-14 cm   ukuran rata – rata dewasa).

b. Panjang bladder harus ± 80% dari lingkar lengan atas. 3. Pastikan kamar periksa tenang dan nyaman.

4. Perintahkan pasien untuk duduk (istirahat) selama 5 menit di kursi. Lengan diletakkan sejajar dengan jantung. Selama pemeriksaan, pasien diharapkan untuk tidak berbicara dan posisi kaki tidak dalam keadaan bersilangan.

5. Pastikan lengan yang akan diperiksa tidak ditutupi oleh pakaian. Pastikan juga tidak ada fistula arteri-vena untuk dialisa, skar (bekas luka) pemotongan arteri brakial, tanda – tanda limfedema.

6. Palpasi arteri brakial untuk memastikan pulsasinya baik.

7. Posisikan lengan sehingga arteri brakial pada fossa antekubiti berada sejajar dengan jantung.

8. Jika pasien duduk, letakkan lengan pada meja yang lebih tinggi sedikit dari pinggang pasien. Jika berdiri, untuk mempertahankan posisi lengan setinggi pertengahan dada penderita.

Selain itu, langkah – langkah untuk mengukur tekanan darah juga dijabarkan sebagai berikut :

1. Lilitkan bagian bladder cuff di medial lengan atas, tepat di atas arteri brakialis, bagian bawah cuff berada 2,5 cm proksimal fossa antekubiti, sejajar dengan letak jantung.

Pastikan lilitan cuff tidak terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Posisikan lengan pasien sehingga sedikit flexi pada sendi siku.

2. Sebelum memompa cuff, buka kunci sphygmomanometer terlebih dahulu kemudian kunci katub pompa (jangan terlalu kuat). Hadapkan sphygmomanometer ke arah pemeriksa.

3. Untuk menetapkan tingginya tekanan cuff, pertama-tama perkirakan tekanan sistolik dengan cara palpasi pada arteri radialis. Rasakan pulsasi arteri radialis dengan jari kedua dan ketiga tangan kiri, secara cepat pompa cuff hingga menggembung sampai pulsasi arteri radialis menghilang. Baca tekanan yang dihasilkan pada sphygmomanometer, kemudian tambahkan 30 mmHg. Jumlah tekanan tersebut merupakan target untuk menetapkan tingginya tekanan cuff pada saat pemeriksaan, sehingga dapat mencegah ketidaknyamanan yang

mungkin terjadi akibat tingginya tekanan cuff yang sebenarnya tidak diperlukan.

Hal ini juga mencegah error yang kadang-kadang disebabkan oleh ausculatory gap (merupakan silent interval yang muncul antara tekanan sistolik dan diastolik).

4. Kempiskan cuff dengan cepat dan sempurna, dan tunggu selama 15 – 30 detik. 5. Pemeriksa memasang stetoskop. Kemudian letakkan bell stetoskop diatas arteri

brakialis (pastikan seluruh pinggir bagian bell stetoskop tersebut menempel pada lengan, sehingga suara Korotkoff dapat didengar dengan jelas).

Karena suara Korotkoff tidak begitu kuat, maka sebaiknya didengar dengan bell stetoskop.

6. Pompa cuff sampai level yang telah ditetapkan tadi, kemudian kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik. Perhatikan dimana terdengar suara pertama kali dan ini merupakan tekanan sistolik.

7. Lanjutkan menurunkan tekanan secara perlahan sampai suara menghilang sempurna dan ini merupakan tekanan diastolik. Turunkan tekanan sampai angka 0.

8. Catat kedua tekanan tersebut. Tunggu selama 2 menit, ulangi pemeriksaan. Rata – ratakan hasil yang didapat. Jika 2 pembacaan tersebut berbeda sebesar 5 mmHg atau lebih, pemeriksaan diulang.

9. Pemeriksaan tekanan darah sebaiknya dilakukan pada kedua lengan. Normalnya, didapati perbedaan sebesar 5 mmHg, kadang – kadang bisa sampai 10 mmHg. Pemeriksaan yang berikutnya sebaiknya dilakukan pada lengan yang memiliki tekanan yang lebih tinggi.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data dari hasil pengukuran dan wawancara yang telah terkumpul selanjutnya akan diperiksa kembali kelengkapannya sebelum meninggalkan tempat penelitian. Kemudian, data tersebut akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program pengolahan data statistik dan disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan perhitungan distribusi frekuensi.

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Haji Adam Malik yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara yang telah ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa dimulai sejak tanggal 6 September 1991 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991. RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri atas pelayanan medis dan non medis dimana Poliklinik Kulit & Kelamin berada pada Lantai 4 Gedung P.

Selain itu, RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 yang merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

5.1.2. Hasil Analisa Deskriptif 1. Berdasarkan Jenis Kelamin

Data mengenai tekanan darah pada pasien psoriasis vulgaris dalam penelitian ini diperoleh dengan pengukuran secara langsung.

Tabel 5.1. Gambaran tekanan darah berdasarkan jenis kelamin.

Tekanan Darah Jenis Kelamin Jumlah Responden Laki-Laki Perempuan n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 1 12,5 1 50 2 20 Prehipertensi 5 62,5 1 50 6 60 TD tinggi 2 25 0 0 2 20 Total 8 100 2 100 10 100

Dari hasil pengukuran tekanan darah yang disajikan pada tabel 5.1., tidak dijumpai pasien psoriasis vulgaris yang tergolong tekanan darah rendah baik pada laki-laki maupun perempuan (0%). Dari semua responden laki-laki yang berjumlah 8 orang, didapati bahwa 1 orang (12,5%) yang tergolong tekanan darah normal, 5 orang (62,5%) tergolong prehipertensi, dan 2 orang (25%) tergolong tekanan darah tinggi. Dari semua responden perempuan yang berjumlah 2 orang, didapati 1 orang (50%) yang tergolong tekanan darah normal dan 1 orang (50%) lainnya tergolong prehipertensi.

2. Berdasarkan usia

Tabel 5.2. Gambaran tekanan darah berdasarkan usia.

Berdasarkan tabel 5.2., terlihat bahwa responden psoriasis vulgaris dengan usia diatas 40 tahun berjumlah 8 orang, dengan 2 orang (25%) tergolong dalam tekanan darah normal, 4 orang (50%) tergolong prehipertensi, dan 2 orang (25%) tergolong tekanan darah tinggi. Semua pasien psoriasis vulgaris yang berusia dibawah 40 tahun pada penelitian ini memiliki tekanan darah yang tergolong prehipertensi dengan jumlah 2 orang (100%).

Tekanan Darah Usia Jumlah Responden < 40 tahun > 40 tahun n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 0 0 2 25 2 20 Prehipertensi 2 100 4 50 6 60 TD tinggi 0 0 2 25 2 20 Total 2 100 8 100 10 100

3. Berdasarkan riwayat merokok responden

Data mengenai riwayat merokok responden, riwayat hipertensi dan psoriasis vulgaris pada keluarga responden dalam penelitian ini diperoleh melalui anamnesis.

Tabel 5.3. Gambaran tekanan darah berdasarkan riwayat merokok.

Tekanan Darah

Merokok

Jumlah Responden

Ada Tidak Ada

n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 1 16,67 1 25 2 20 Prehipertensi 3 50 3 75 6 60 TD tinggi 2 33,33 0 0 2 20 Total 6 100 4 100 10 100

Berdasarkan tabel 5.3. diatas, terlihat bahwa 6 orang responden psoriasis vulgaris dalam penelitian ini memiliki riwayat merokok, dengan 1 orang (16,67%) tergolong tekanan darah normal, 3 orang (50%) tergolong prehipertensi, dan 2 orang (33,33%) tergolong tekanan darah tinggi. Dari 4 orang responden yang tidak memiliki riwayat merokok, hanya 1 orang (25%) yang tergolong tekanan darah normal, sedangkan 3 orang lainnya (75%) tergolong prehipertensi.

4. Berdasarkan riwayat hipertensi pada keluarga

Tabel 5.4. Gambaran tekanan darah berdasarkan riwayat hipertensi.

Tekanan Darah

Riwayat Hipertensi pada Keluarga

Jumlah Responden

Ada Tidak Ada

n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 1 14,29 1 33,33 2 20 Prehipertensi 4 57,14 2 66,67 6 60 TD tinggi 2 28,57 0 0 2 20 Total 7 100 3 100 10 100

Berdasarkan tabel 5.4., terlihat bahwa 7 orang responden psoriasis vulgaris dalam penelitian ini memiliki riwayat hipertensi pada keluarganya, dengan 1 orang (14,29%) tergolong tekanan darah normal, 4 orang (57,14%) tergolong prehipertensi, dan 2 orang (28,57%) tergolong tekanan darah tinggi. Dari 3 orang responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarganya, 1 orang (33,33%) tergolong tekanan darah normal dan 2 orang lainnya tergolong prehipertensi (66,67%).

5. Berdasarkan riwayat psoriasis vulgaris pada keluarga

Tabel 5.5. Gambaran tekanan darah berdasarkan riwayat psoriasis.

Tekanan Darah

Riwayat Psoriasis vulgaris pada Keluarga

Jumlah Responden

Ada Tidak Ada

n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 1 25 1 16,67 2 20 Prehipertensi 2 50 4 66,67 6 60 TD tinggi 1 25 1 16,67 2 20 Total 4 100 6 100 10 100

Berdasarkan tabel 5.5., terlihat bahwa hanya terdapat 4 orang responden psoriasis vulgaris yang juga memiliki riwayat psoriasis vulgaris pada keluarganya, dengan 1 orang (25%) tergolong tekanan darah normal, 2 orang (50%) tergolong prehipertensi, dan 1 orang (25%) tergolong tekanan darah tinggi. Dari 6 orang responden yang tidak memiliki riwayat psoriasis vulgaris pada keluarganya, 1 orang (16,67%) tergolong tekanan darah normal, 4 orang (66,67%) tergolong prehipertensi, dan 1 orang (16,67%) tergolong tekanan darah tinggi.

6. Berdasarkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan tekanan darah

Tabel 5.6. Gambaran tekanan darah berdasarkan riwayat obat-obatan.

Tekanan Darah

Penggunaan obat-obatan yang dapat

memicu peningkatan TD Jumlah Responden

Ada Tidak Ada

n % n % n % TD rendah 0 0 0 0 0 0 Normal 1 33,33 1 14,29 2 20 Prehipertensi 1 33,33 5 71,43 6 60 TD tinggi 1 33,33 1 14,29 2 20 Total 3 100 7 100 10 100

Berdasarkan tabel 5.6., terlihat bahwa 3 orang responden psoriasis vulgaris dalam penelitian ini memiliki riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan tekanan darah, dengan 1 orang (33,33%) tergolong tekanan darah normal, 1 orang (33,33%) tergolong prehipertensi, dan 1 orang (33,33%) tergolong tekanan darah tinggi. Dari 7 orang responden yang tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan tekanan darah, 1 orang (14,29%) tergolong tekanan darah normal, 5 orang (71,43%) tergolong prehipertensi, dan 1 orang (14,29%) tergolong tekanan darah tinggi.

5.2. Pembahasan

Hasil penelitian terhadap gambaran tekanan darah berdasarkan jenis kelamin pada tabel 5.1. menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki yang menderita psoriasis vulgaris mengalami peningkatan tekanan darah, yaitu 2 orang tergolong tekanan darah tinggi (25%) dan 5 orang tergolong prehipertensi (67,5%). Penelitian oleh Anggara & Prayitno (2013) mendapatkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan secara statistik terhadap tekanan darah. Sebagian besar penelitian mengenai hubungan antara psoriasis vulgaris terhadap tekanan

darah hanya menerangkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat pada pasien psoriasis dibandingkan non-psoriasis (Ghiasi et al., 2011 ; Madanagobalane et al., 2012; Cohen et al., 2008).

Berdasarkan tabel 5.2., terlihat bahwa sebagian besar responden yang berusia diatas 40 tahun cenderung mengalami peningkatan tekanan darah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang oleh Sugiharto (2007) yang mendapatkan bahwa salah satu faktor yang terbukti sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi adalah umur 36–45 tahun (p=0,0001; OR adjusted 1,23; 95% CI 1,02–3,33), umur 45–55 tahun (p=0,0001; OR adjusted 2,22; 95% CI 1,09–5,53), umur 56–65 tahun (p=0,0001; OR adjusted 4,76; 95% CI 2,01–11,50), sehingga wajar apabila resiko peningkatan tekanan darah juga akan meningkat seiiring bertambahnya usia.

Dalam penelitian ini, pada tabel 5.3. terlihat lebih banyak responden yang merokok, yaitu sebanyak 6 orang, dan peningkatan tekanan darah dijumpai pada 5 orang responden penelitian yang merokok yaitu 3 orang tergolong prehipertensi (50%) dan 2 orang tergolong tekanan tinggi (33,33%). Penelitian yang dilakukan oleh Anggara & Prayitno (2013) menyatakan bahwa kebiasaan merokok berhubungan terhadap statistik tekanan darah. Akan tetapi, hasil yang sedikit berbeda didapatkan oleh Sugiharto (2007) yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok tidak terbukti sebagai salah satu faktor resiko terjadinya peningkatan tekanan darah. Hal tersebut kemungkinan karena adanya variabel lain yang lebih kuat sebagai faktor resiko hipertensi, mengingat pada penelitian tersebut semua variabel dianalisis secara bersama-sama.

Hasil penelitian pada tabel 5.4. menunjukkan bahwa dari 7 orang pasien psoriasis vulgaris yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarganya, peningkatan tekanan darah terlihat pada 6 orang (85,71%). Penelitian oleh Tozawa et al. (2001) dan Wandeler et al. (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah anggota keluarga yang memiliki riwayat hipertensi, semakin tinggi pula resiko untuk mendapatkan peningkatan tekanan darah pada keturunannya. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Sugiharto (2007) yang

menyatakan bahwa riwayat keluarga menjadi salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi.

Berdasarkan tabel 5.5., terlihat lebih banyak responden penelitian yang tidak memiliki riwayat psoriasis vulgaris pada keluarganya. Peningkatan tekanan darah juga lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memiliki riwayat psoriasis vulgaris pada keluarganya, yaitu 4 orang tergolong prehipertensi (66,67%) dan 1 orang tergolong tekanan darah tinggi (16,67%). Belum dijumpai penelitian mengenai bagaimana riwayat psoriasis pada keluarga mempengaruhi tekanan darah seseorang. Penelitian yang dilakukan hanya menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki riwayat psoriasis dalam keluarganya cenderung bermanifestasi klinis lebih dini (Murad & Tobin, 2012)

Hasil penelitian pada tabel 5.6. menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah terjadi pada 2 dari 3 orang (66,67%) yang memiliki riwayat mengkonsumsi obat-obat yang dapat memicu peningkatan tekanan darah, dan 6 dari 7 orang (85,71%) yang tidak memiliki riwayat mengkonsumsi obat-obat tersebut. Dalam penelitian ini, tidak diketahui pasti berapa lama dan dosis obat yang dikonsumsi oleh responden. Akan tetapi, setiap orang yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat memicu peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu tertentu dan dosis tertentu dapat mempengaruhi tekanan darahnya (Armstrong & Malone, 2003).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Sebagian besar responden psoriasis vulgaris dalam penelitian ini mengalami peningkatan tekanan darah, dengan 6 orang (60%) tergolong prehipertensi dan 2 orang (20%) tergolong tekanan darah tinggi.

2. Sebagian besar peningkatan tekanan darah dalam penelitian ini dijumpai pada responden laki-laki, yaitu 5 orang (62,5%) tergolong prehipertensi dan 2 orang (25%) tergolong tekanan darah tinggi.

3. Kebanyakan responden dengan usia diatas 40 tahun mengalami peningkatan tekanan darah, dengan 4 orang (50%) tergolong prehipertensi dan 2 orang (25%) tergolong tekanan darah tinggi.

4. Pada penelitian ini, responden yang memiliki riwayat merokok lebih banyak yang mengalami peningkatan tekanan darah, dengan 3 orang (50%) tergolong prehipertensi dan 2 orang (33,33%) tergolong tekanan darah tinggi.

5. Peningkatan tekanan darah lebih banyak terjadi pada responden psoriasis vulgaris yang memiliki riwayat hipertensi pada keluarganya, yaitu 4 orang (57,14%) tergolong prehipertensi dan 2 orang (28,57%) tergolong tekanan darah tinggi.

6. Sebagian besar responden yang mengalami peningkatan tekanan darah tidak memiliki riwayat psoriasis vulgaris pada keluarganya, yaitu 4 orang (66,67%) tergolong prehipertensi dan 1 orang (16,67%) tergolong tekanan darah tinggi.

7. Responden yang mengalami peningkatan tekanan darah kebanyakan tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan tekanan darah, yaitu 5 orang (71,43%) tergolong prehipertensi dan 1 orang (14,29%) tergolong tekanan darah tinggi.

6.2. Saran

1. Disarankan kepada setiap pasien psoriasis vulgaris untuk lebih sering memeriksakan tekanan darahnya, sehingga dapat menurunkan kejadian penyakit kardiovaskular dan secara tidak langsung mencegah terjadinya komplikasi yang dapat ditimbulkannya.

2. Disarankan kepada peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian serupa di tempat lain atau penelitian lainnya yang terkait dengan penelitian ini untuk menggunakan sampel yang lebih banyak, atau menggunakan jenis psoriasis yang lebih bervariasi, atau mencari hubungan diantara keduanya (psoriasis vulgaris terhadap tekanan darah), sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih memuaskan serta memperluas cakupan penelitian yang dilakukan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis

2.1.1. Deskripsi Umum / Definisi

Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kronik pada kulit, dengan dasar genetik yang kuat, disertai adanya perubahan secara kompleks pada pertumbuhan dan perkembangan epidermal, diikuti perubahan biokimia, imunologi, abnormalitas vaskular, serta sistem saraf yang masih belum diketahui

bagaimana hubungannya (Gudjonsson et al., 2008).

Psoriasis ditandai dengan adanya lesi berupa makula eritem berbatas tegas, ditutupi oleh skuama kasar berlapis, berwarna putih seperti mika, disertai fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz (Siregar, 2000).

2.1.2. Etiologi

Menurut Siregar (2000), Ada beberapa faktor predisposisi dan pencetus yang dapat menimbulkan penyakit ini.

Faktor – faktor predisposisi :

1. Faktor herediter bersifat dominan autosomal dengan penetrasi tidak lengkap.

2. Faktor – faktor psikis, seperti stress dan gangguan emosi.

3. Infeksi lokal. Infeksi menahun di daerah hidung dan telinga, tuberkulosis paru, dermatomikosis, artritis, dan radang menahun ginjal.

4. Penyakit metabolik, seperti diabetes mellitus yang laten. 5. Gangguan pencernaan, seperti obstipasi.

6. Faktor cuaca. Beberapa kasus menunjukkan tendensi untuk menyembuh pada

Faktor – faktor provokatif yang dapat mencetuskan atau menyebabkan penyakit ini bertambah hebat ialah :

1. Faktor Trauma. Gesekan dan tekanan pada kulit sering dapat menimbulkan lesi

psoriasis pada tempat trauma, dan ini disebut fenomena Koebner.

2. Faktor infeksi. Infeksi streptokokus di faring dapat merupakan faktor pencetus pada penderita dengan presdisposisi psoriasis. Pada bentuk psoriasis ini, sebaiknya dilakukan apusan tenggorokan untuk mencari infeksi lokal. Apabila infeksi tenggorokan sembuh, biasanya psoriasisnya juga akan sembuh.

3. Obat – obatan. Obat kortikosteroid merupakan obat bermata dua. Pada

permulaan, kortikosteroid dapat menyembuhkan psoriasis, tetapi apabila obat ini dihentikan penyakit akan kambuh kembali, bahkan lebih berat daripada sebelumnya menjadi psoriasis pustulosa atau generalisata. Obat lain seperti antimalaria (klorokuin) dan obat antihipertensi betablocker dapat memperberat penyakit psoriasis.

4. Sinar ultraviolet dapat menghambat pertumbuhan sel – sel epidermis, tetapi

apabila penderita sensitif terhadap sinar matahari, malahan penyakit psoriasis akan bertambah hebat karena reaksi isomorfik.

5. Stres psikologis. Pada sebagian penderita, faktor stres dapat menjadi faktor

pencetus. Penyakit ini sendiri dapat menyebabkan gangguan psikologis pada penderita, sehingga menimbulkan satu lingkaran setan, dan hal ini memperberat penyakit. Sering pengobatan psoriasis tidak akan berhasil apabila faktor stres psikologis ini belum dapat dihilangkan.

6. Kehamilan. Kadang- kadang wanita yang menderita psoriasis dapat sembuh

saat hamil, tetapi akan kambuh kembali sesudah bayinya lahir, dan penyakit ini akan kebal terhadap pengobatan selama beberapa bulan.

2.1.3. Patogenesis

Dalam proses terjadinya psoriasis, faktor genetik dan faktor imunologi merupakan dua hal penting yang memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan penyakit ini.

1. Faktor genetik

Hal yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis

berkaitan dengan HLA (Human Leukocyte Antigen). Psoriasis tipe I (awitan dini,

bersifat familial) berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57, dan Cw6. Psoriasis tipe II (awitan lambat, bersifat nonfamilial) berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkorelasi dengan HLA-B27 (Djuanda, 2010).

2. Faktor Imunologi

Sel T dan sitokin memegang peranan yang sangat penting dalam patofisiologi terjadinya psoriasis. Ekspresi secara berlebihan dari sitokin tipe-1

seperti IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IFN- dan TNF-α telah terbukti dijumpai pada

beberapa studi, termasuk ekspresi berlebih dari IL-8 yang memicu akumulasi neutrofil. IL-12 menjadi sinyal utama bagi perkembangan Th1, yang memicu pengeluaran dari IFN- . Sitokin tipe-2 seperti IL- 10 memegang pengaruh besar terhadap imunoregulasi dengan cara menghambat produksi sitokin proinflamasi tipe-1. IL-15 memicu berkumpulnya sel-sel inflamasi, angiogenesis dan produksi

sitokin inflamasi, seperti IFN- , TNF-α , dan IL-17, dimana semua sitokin

tersebut mengalami up-regulated pada psoriasis. Beberapa sitokin yang

mengalami down-regulated yaitu TGF- dan sel NK (Natural Killer) turut

memicu terjadinya proliferasi sel yang abnormal pada penderita psoriasis (James

Berikut gambar yang dapat menjelaskan bagaimana pengaruh faktor imunologi terhadap kejadian psoriasis.

Gambar 2.1. : Pengaruh faktor imunologi terhadap Psoriasis vulgaris.

Sumber : Nestle, F.O., Kaplan, D.H., Barker, J., 2009. Mechanisms of

Pembesaran dan pemanjangan papil dermis menyebabkan epidermo-dermal bertambah luas dan menyebabkan lipatan di bawah lapisan stratum spinosum bertambah banyak. Proses ini juga menyebabkan masa pertumbuhan kulit menjadi lebih cepat dan masa pertukaran kulit menjadi lebih pendek dari normal, dari 28 hari menjadi 3-4 hari. Stratum granulosum tidak terbentuk dan di dalam stratum korneum terjadi parakeratosis. Dengan pemendekan interval proses keratinisasi sel epidermis dan stratum basalis menjadi stratum korneum, proses pematangan dan keratinisasi gagal mencapai proses yang sempurna. Selain proses keratinisasi terganggu, proses biokimiawi di dalam masing-masing sel berubah. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat, di dalam sel epidermis, produksi tonofilamen keratin dan butir-butir keratohialin berkurang dan adenosin 35 monofosfat (AMP siklik) pada lesi psoriasis berkurang. Ini sangat penting dalam pengaturan aktivitas mitosis sel epidermis (Siregar, 2000).

2.1.4. Gambaran Klinis

Psoriasis memiliki ciri khas atau disebut tanda klasik yaitu lesi yang berwarna kemerahan (eritema), berbatas tegas lesi ditutupi oleh skuama kasar berlapis, berwarna putih seperti mika.

Lesi dari psoriasis ini memiliki predileksi di daerah scalp, kuku,

permukaan ekstensor dari ekstremitas atas dan bawah, regio umbilikal, dan juga

sakrum (James et al., 2006). Biasanya, lesi bersifat simetris, walau terkadang

dijumpai unilateral (Gudjonsson et al., 2008). Perasaan subjektif seperti rasa gatal

Dokumen terkait