BAB III METODE PENELITIAN
3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang berhasil diinventarisir, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dianalisis secara kualitatif dan komprehensif.
26Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta, h. 142.
27Ibid.
28Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98.
Kualitatif, artinya menguraikan bahan-bahan hukum yang mempunyai kualitas dengan bentuk kalimat yang teratur, runut, logis, dan efektif, sehingga memudahkan menginterprestasikannya. Sementara komprehensif, artinya analisa dilakukan secara mendalam yang meliputi berbagai aspek sesuai dengan luas lingkup penelitian. Setelah dianalisa selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif analisis.
28 4.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran Agama ialah mempersulit terjadinya peceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, akibat perbuatan amnesia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.29
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa alasan-alasan yang menjadi dasar untuk bercerai adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, penjudi.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
29Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 160.
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.30
Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan
Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Perkawinan dapat putus, karena kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan.
Menurut ketentuan Pasal 39 ditegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai putusnya perkawinan terdapat di dalam Bab VIII Pasal 38 yang terdiri dari tiga macam, yakni:
a. Karena kematian;
b. Karena perceraian;
c. Atas keputusan Pengadilan.
30Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 116.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X Pasal 199 di sana disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini terputus, karena:
a. Kematian
b. Keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti perkawinan dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima Bab 18 (delapan belas).
c. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini.
d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.
Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan baik menurut undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi pada pokok pembahasan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang putus karena kematian;
2. Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi perpisahan meja atau tempat tidur;
3. Perkawinan yang putus karena perceraian.
4.2 Terbentuknya Harta Bersama dalam Perkawinan
Ada istilah lain tentang persatuan/percampuran harta kekayaan, yaitu kebersamaan harta kekayaan. Menurut sejarah maka dapatlah dikatakan, bahwa
pengertian tentang persatuan harta kekayaan ini berasal dan diambil dari Germania Kuno pada abad masa pertengahan. Dalam Hukum Romawi sendiri tiada dikenal persatuan harta kekayaan itu, artinya suami istri tetap memiliki harta kekayaan sendiri-sendiri.31
Dalam pengertian hak milik bersama yang terikat tidak dapat ditunjukkan bagian masing-masing, artinya tidak dapat ditentukan bahwa milik suami atau istri itu adalah separo-separo, sebagian milik suami dan sebagian lagi milik istri. Akan tetapi dapat dengan tepat dinyatakan bahwa suami istri itu masing-masing mempunyai hak bagian-bagian mereka masing-masing. Adanya milik bersama terhadap barang-barang yang sedemikian ini adalah sudah merupakan gejala umum dalam hukum adat, gejala dan asas umum pada hakikatnya adalah merupakan konskwensi dari proses umum dalam perkembangan adat, yaitu bahwa makin lama makin jelas kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum, somah (keluarga terdiri atas suami istri) di dalam suatu persekutuan hukum.
Menurut Ter Haar, di daerah Minangkabau timbulnya somah ini memang kurang maju. Oleh karena itu, maka daerah ini, harta seorang ini (harta bersama), hanyalah dianggap ada apabila suami dan istri bekerja bersama-sama untuk mendapatkan barang-barang itu, misalnya mereka bekerja bersama-sama atau bersama-sama menyelenggarakan perusahaan. Hasil kerja sama yang erat dan mempunyai tujuan tertentu dan sempit inilah yang menjadi milik bersama. Tetapi
31Soetojo Prawirohamijoyo R. dan Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit: Alumni, Bandung , h. 58.
juga di Minangkabau ini nampak jelas adanya suatu perubahan dalam perkembangan masyarakat, yaitu gejala-gejala yang terwujud dalam penggantian rumah family dengan rumah keluarganya (somah) dan rumah keluarga inilah yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam memperluas dibentuknya harta bersama suami istri itu. Di lain-lain daerah yang mengenal adanya milik bersama suami istri, menganggap termasuk milik bersama suami istri segala kekayaan yang selama berlangsungnya perkawinan, diperoleh suami atau istri, asal saja dua-duanya bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama-kelamaan menjadi sangat luas dan kabur, sehingga istri yang pekerjaannya di rumah saja yang pekerjaannya berupa memelihara anak dan mengurus rumah tangga sudah dianggap bekerja juga. Sehingga juga dalam hal ini semua kekayaan yang didapat oleh suami menjadi milik bersama itu sudah wajar, sebab meskipun tidak bekerja sendiri untuk memperoleh barang-barang tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, si suami telah menerima bantuan yang sangat berharga serta yang sangat mempengaruhi secara tidak langsung tambah atau kurangnya milik bersama itu. Apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari itu, istri dapat melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung istri ini juga membantu dalam memelihara atau memperbesar milik bersama suami istri. Oleh karena itu maka anggapan umum kini mengatakan bahwa barang yang diperoleh dalam masa perkawinan selalu menjadi milik bersama.32
32Soerojo Wignjodipuro, Op. Cit., h. 158.
Jadi harta bersama adalah harta yang diperoleh sebagai hasil usaha bersama antara suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah pihak manakah harta itu. Sehubungan dengan harta bersama, dapat dikemukakan suatu Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 7 Nopember 1956 No.51/K/Sip/1956 yang merupakan salah satu Yurisprudensi Hukum Adat yang mengatur tentang harta bersama.
Yurisprudensi ini menetapkan, bahwa menurut hukum adat semua harta yang diproleh selama perkawinan termasuk dalam gono gini, meskipun hanya mungkin hasil kegiatan suami istri.33
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan, bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dalam wujud apapun harta itu adalah termasuk ke dalam harta bersama. Tidak ditentukan syarat apa yang harus dipenuhi agar harta itu digolongkan ke dalam harta bersama. Yang terpenting adalah harta itu diperoleh selama perkawinan, tidak dipersoalkan apakah istri ikut aktif dalam memperoleh harta itu ataukah harta itu nyata adalah hasil jerih payah dari suami sendiri.
Adapun yang termasuk ke dalam harta bersama suami istri dalam perkawinan meliputi:
33Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 70.
1. Segala hasil yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dengan bermodalkan harta benda perkawinan, baik itu harta benda bersama maupun harta bawaan.
2. Segala penghasilan suami atau istri pribadi baik itu sebagai pedagang maupun sebagai pegawai negeri.
Selama perkawinan berlangsung segala harta yang termasuk dalam harta bersama diatur dan diurus suami istri bersama. Maksudnya adalah segala tindakan yang menyangkut harta kekayaan bersama harus dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dari suami istri.
4.3 Pembagian Harta Bersama dalam Terjadinya Perceraian
Sejak mulai perkawinan terjadilah percampuran antara harta kekayaan suami dengan istri, hal tersebut apabila tidak ada perjanjian lain. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat dirubah lagi selama perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, memberikan pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum adat yaitu yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dimiliki oleh masing-masing.
Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum tersebut ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian kawin. Perjanjian yang demikian ini harus diadakan sebelum pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam perjaniian itu tak dapat dirubah selama perkawinan. Undang-undang menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan tetap ini demi melindungi kepentingan pihak ketiga.
Dalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan istri, beberapa benda tertentu tidak akan termasuk percampuran itu, juga seorang yang memberikan sesuatu benda kepada salah satu pihak dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan istri, benda yang demikian itu akan menjadi milik pribadi yang memperolehnya.
Hak mengurus harta kekayaan bersama berada ditangan suami yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas.34 Selain pengurusan itu tak bertanggung jawab kepada siapa pun juga, pembatasan terhadap kekuasaan hanya terletak pada larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang tak bergerak atau seluruh atau sebagian dari semua benda-benda yang bergerak pada orang lain selain kepada anaknya sendiri yang lahir dari perkawinan itu. Terhadap kekuasaan suami yang sangat luas itu kepada istri hanya diberikan hak atau untuk apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk meminta kepada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan, selain tindakan tersebut yang dapat diambil oleh istri di dalam perkawinan ia juga diberikan hak untuk apabila perkawinan pecah melepaskan haknya atas kekayaan bersama, tindakan ini dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang bersama baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun istri sendiri. Menghindari diri dari hutang pribadi misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si istri. Selanjutnya dapat diterapkan bahwa uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh
34Hilman Hadikusuma III, Op.Cit, h. 68.
dalam kekayaan bersama, si istri dapat memakai menurut kehendaknya sendiri dan begitu pula halnya dengan gajinya asal saja mengenai hal ini untuk keperluan keluarga.
Pada umumnya dianggap mungkin bahwa si suami dengan suatu kuasa khusus mengusahakan istrinya untuk bertindak atas nama kekayaan bersama, dan sudah tentu si suami dapat memberikan mengenai pekerjaan sendiri dari si istri.
Pencabutan yang demikian itu untuk dapat berlaku perlu diumumkan. Jikalau suami istri tidak mempunyai benda-benda pribadi, soal tanggung jawab terhadap hutang-hutang tersebut mudah saja akan tetapi itu menjadi agak sulit salah satu diantaranya antara lain mempunyai kekayaan bersama juga mempunyai harta kekayaan pribadi orang dikatakan bertanggung jawab jika ia dapat dituntut di muka hakim, sedangkan bendanya dapat disita. Untuk menetapkan tanggung jawab suatu hutang haruslah ditetapkan terlebih dahulu apakah hutang itu bersifat pribadi ataukah suatu hutang bersama. Untuk suatu hutang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat hutang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda pribadi.
Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi maka dapatlah benda kekayaan bersama disita. Akan tetapi jika suami yang membuat hutang benda kekayaan istri tidak dapat disita dan sebaliknya.
Terhadap harta kekayaan bersama, maka untuk pertama-tama harus disita harta kekayaan bersama tersebut dan bila ini tidak mencukupi maka dapatlah benda pribadi dari suami atau istri yang membuat hutang itu pula disita, dan ini sudah tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi masalah apakah untuk hutang
bersama yang dibuat oleh si suami, benda pribadi si istri dapat disita atau sebaliknya. Mengenai masalah ini ada beberapa pendirian tetapi pemecahannya yang paling memuaskan dan paling sesuai dengan semangat Undang-undang adalah suami selalu dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang bersama yang dibuat oleh suaminya.
4.4 Pembagian Harta Bersama dalam Pelaksanaannya Jika Terjadi Perceraian
Harta bersama pada prinsipnya berasal dari harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh sebagai hasil kerja sama dari suami istri selama berada dalam ikatan perkawinan. Harta bersama (drue gabro) dalam suatu keluarga yang kekal, berada dalam kekuasaan dan pengawasan dari suami dan istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama (drue gabro) itu. Pada prinsipnya segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan dari suami istri, bahkan transaksi-transaksi tertentu sering dilakukan oleh suami istri secara bersama-sama.
Dalam hal perkawinan bubar karena perceraian harta bersama (drue gabro) itu harus dibagi dua antara suami dengan istri. Perceraian ini akan terjadi
apabila dalam suatu keluarga mengalami cekcok secara terus menerus dan tidak mungkin hidup rukun kembali dalam suatu keluarga. Sehubungan dengan perceraian dapat saya kemukakan suatu pandangan adat yang mengatur sebagai berikut:
Perceraian pada keluarga Bali adalah hal yang terpaksa, hal yang sudah tak dapat didamaikan lagi di antara suami dan istri. Terutama bagi pihak wanita, cerai adalah hal yang hina, sebab kedudukan wanita yang sudah kawin telah keluar dari lingkungan keluarganya.35
Apabila hal ini kita kaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka di mana dalam Pasal 39 ayat (1) mengatur: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Jadi menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan, bahwa perceraian sah bila dilakukan di depan sidang pengadilan.
Apabila terjadi perceraian, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi harta bersama (drue gabro) yang ada dalam rumah tangga tersebut. Pengaturan harta bersama menurut ketentuan hukum adat dalam terjadinya perceraian adalah sebagai berikut: "antara suami dan istri akan sama-sama berhak atas bagian harta bersama (drue gabro)". Adapun bagian yang diterima oleh masing-masing pihak suami istri menurut adat adalah didasarkan atas pertimbangan 2 : 1 (sarambet sesuhun), yaitu 2 (dua) untuk suami dan 1 (satu) untuk istri. Bahkan ada juga
pembagian didasarkan atas perimbangan 1:1. Sehubungan dengan pembagian harta bersama (drue gabro) saya akan mengemukakan dua pandangan sarjana hukum adat yang satu sama lain saling berhubungan. Adapun sarjana tersebut, adalah Soeripto berpendapat, bahwa:
35Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ), Penerbit Kedua (II), h. 107.
Bilamana ada perceraian hidup (bukan disebabkan kesalahan istri (janda) maka pada umumnya harta drue gabro (jawa: gono-gini) akan dibagi menurut perimbangan serembet sesuhunan (jawa: sepikul segandeng), 2:1, satu bagian untuk bekas istri/janda dan dua bagian untuk bekas suami atau drue gabro dibagi dengan perimbangan 1 : 1.36
Apabila diberikan pendapat sarjana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembagian harta bersama (drue gabro) belumlah menunjukkan satu kesatuan, karena masih menunjukkan adanya dua kemungkinan, yaitu berdasarkan perimbangan 2:1, atau dapat juga didasarkan perimbangan 1:1, dan lebih jauh dapat juga disimpulkan bahwa berlaku bagi perceraian yang bukan disebabkan oleh karena kesalahan istri/janda.
Djaren Saragih mengemukakan, bahwa “Perceraian disebabkan istri berbuat zinah menimbulkan akibat yang merugikan pihak istri, kadang-kadang ia mengembalikan jujur yang pernah ia terima dan meninggalkan ikatan perkawinan dengan tidak membawa apa-apa.37
Setelah melihat pandangan para sarjana tersebut mengenai pendapatnya terhadap pembagian harta bersama, maka dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian dan ada keturunan atau anak sebelum mereka bercerai maka pembagian harta bersama menurut hukum adat akan tetap dengan perimbangan 2:1, karena yang akan mengurus dan bertanggung jawab terhadap anak atau keturunannya tersebut adalah pihak suami, sehingga dengan demikian perimbangan 2:1, tersebut sesungguhnya satu untuk bagian suami, satu untuk bagian si anak dan satu bagian lagi untuk si istri, dan hal ini kalau dilihat dalam lingkungan masyarakat patrilinial.
36Soeripto, Op. Cit. h. 142.
37Djaren Saragih, Op. Cit., h. 86.
40 5.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terbentuknya harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh sebagai hasil usaha bersama suami istri sejak terjadinya perkawinan, dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah suami atau istri.
2. Pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian adalah:
a. Harta bawaan suami istri terbagi kepada para pihak masing-masing.
b. Harta yang diperoleh karena penghasilan selama perkawinan dibagi menurut masing-masing agama dan kepercayaan.
5.2 Saran
1. Agar suami dan istri dalam hal terjadi perceraian mempertimbangkan, tidak merugikan salah satu pihak terkait harta bersama.
2. Hendaknya suami dan istri membagi harta bersama secara adil tanpa mempersoalkan hasil jerih payah masing-masing.
41 A. BUKU-BUKU
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Beni I Wayan, 1978, Hukum Adat dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia (UU No. I Tahun 1974), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
Djaren Saragih, 1977, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.
Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung.
Henry Campbell dalam I.E. Wyasa Putra, 2005, Penelitian Hukum Empiris;
Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Hilman Hadikusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung.
______, 1980, Hukum Adat Waris. Penerbit Alumni, Bandung.
______, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju, Bandung.
Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Lili Rastiji, 1982, Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Alumni, Bandung.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta.
Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soerojo Wignjodipuro, 1985, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.
Soerjono Sukarto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung.
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta.
Soetojo Prawirohamijoyo R. dan Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit Alumni, Bandung.
Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ), Penerbit Kedua (II).
Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Ter Har B. dan K. Ng. Soebekti Poesponoto, 1980, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
Wantjik Saleh K., 1974, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KUHPer (BW) terjemahan Subekti R. dan Tjitrosudibio R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974), Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-undagn Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Penjelasannya, Aneka, Semarang.