• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN MANDIRI

PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN

Oleh :

ANAK AGUNG SRI INDRAWATI, SH., MH.

NIP. 1957 1014 1986 01 2001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

(2)
(3)

iii

KATA PENGANTAR

"OM SWASTYASTU"

Fuji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulisan Laporan Penelitian Mandiri dengan judul " PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN "

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penysunan laporan ini penulis mendapatkan banyak bantuan baik moril dan materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan yang berbahagia ini, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam penelitian sampai selesainya laporan ini.

Mengingat keterbatasan wawasan pemikiran dan pengetahuan penulis, tentunya dalam laporan ini akan masih dijumpai berbagai kelemahan. Oleh karena itu segala petunjuk, saranserta kritik sangat penulis harapkan, dan akan diperhatikan dengan sebaik-baiknya demi kesempurnaan laporanpenelitian ini.

Akhir kata; penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

“OM SANTHI SHANTI SHANTI OM”

Denpasar, Desember 2018

Penulis

(4)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis ... 6

2. Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengertian dan Fungsi Harta Perkawinan ... 7

2.2 Jenis-jenis Harta Perkawinan ... 11

2.2.1 Harta Bawaan ... 11

2.2.2 Harta Penghasilan ... 17

2.2.3 Harta Pencaharian ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

(5)

v

3.1 Jenis Penelitian ... 25

3.2 Jenis Pendekatan ... 25

3.3 Sumber Bahan Hukum ... 26

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 26

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan ... 28

4.2 Terbentuknya Harta Bersama dalam Perkawinan ... 30

BAB V PENUTUP ... 40

5.1 Simpulan ... 40

5.2 Saran-saran ... 40

DAFTAR BACAAN ... 41

(6)

vii ABSTRAK

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentunya akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Sedangkan akibat hukum dalam hubungan perkeluargaan diatur oleh hukum keluarga dan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dalam perkawinan merupakan masalah yang menarik untuk diteliti, terkait terbentuk dan pembagian harta bersama dalam perkawinan.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan/statue approach dan menggunakan bahan hukum untuk teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.

Hasil penelitian ini adalah terbentuknya harta bersama dalam perkawinan semenjak terjadinya perkawinan dan pembagiannya terhadap harta bersama adalah dibagi dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah suami atau istri.

Kata Kunci: Perceraian, Harta Bersama.

(7)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman adat istiadat yang ada di Indonesia mempunyai perbedaan baik mengenai sistem hukumnya maupun jenis-jenis kebudayaannya, Walaupun demikian dalam Negara Republik Indonesia yang tercipta suasana kesatuan cita-cita bangsa, perbedaan-perbedaan tersebut disatukan dengan lambang Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda-beda adat istiadat dan kebudayaan dari masyarakat Indonesia tatapi tetap bersatu di bawah naungan Pancasila sebagai dasar Negara.

Dengan berbedanya sistem hukum masing-masing daerah ini sering menjadi penghambat terjadinya perkawinan karena tidak adanya kesamaan budaya kedua belah pihak dan ada pada akhirnya menimbulkan ketegangan antara mereka.

Di samping itu perbedaan tersebut juga menimbulkan persoalan dalam harta benda dan merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga.

1

Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yang merupakan hukum perkawinan nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia berikut Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah

1Wantjik Saleh K., 1974, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 35.

(8)

Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980, tentang Ijin Perkawinan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang pada prinsipnya semuanya menginginkan suatu tujuan perkawinan yang seperti yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan dalam pasal (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa". Untuk mencapai tujuan perkawinan ini, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, menentukan:

1. Harus dipenuhi syarat sahnya perkawinan sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan sebagai berikut:

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu".

2. Pasal 39 menentukan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundang-undangan tersendiri.

(9)

3. Perkawinan yang telah dinyatakan sah menurut undang-undang ini mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan suami istri, harta benda dalam perkawinan dan kedudukan anak.

4. Demikian pula jika terjadi perceraian, mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan suami istri, anak dan harta benda perkawinan.

Khusus mengenai harta benda dalam perkawinan maupun perceraian diatur dalam Pasal 35-37 Undang-undang Perkawinan yang menentukan sebagai berikut:

Pasal 35 :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 :

(1) Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37 :

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hnkumnya masing-masing.

(10)

Berdasarkan Pasal 35 s/d 37 Undang-undang Perkawinan ini dapat diketahui, bahwa mengenai harta benda perkawinan ini ditentukan bahwa jika dalam suatu perkawinan tidak ditentukan lain, maka harta diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Apa yang dimaksud tidak ditentukan lain dalam pasal 35 ayat 2 tidak ada penjelasannya. Namun apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Lebih lanjut dan penjelasan pasal 37 dijelaskan yang dimaksud dengan hukum masing- masing ialah Hukum Agama, Hukum Adat dan hukum-hukum lainnya.

Mengingat bahwa di Indonesia terdapat berbagai variasi hukum agama, hukum adat, maka melalui tulisan ini diteliti khususnya tentang pelaksanaan pembagian harta bersama bila terjadi perceraian.

Berdasarkan dari latar belakang di atas menarik untuk diteliti masalah tersebut, yang diberi judul: ''PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA”.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan latar belakang di atas, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah terbentuknya harta bersama dalam perkawinan?

2. Bagaimanakah pembagian harta bersama apabila terjadinya perceraian?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam pembahasan masalah ini perlu dipaparkan mengenai ruang lingkup

isi pokok yang akan dibahas atau diuraikan agar tidak terjadi hal-hal yang

(11)

menyimpang dari ketentuan masalah yang seharusnya dibahas. Dalam tulisan ini akan dibahas sekitar masalah:

1. Dalam permasalahan yang pertama, lingkupan permasalahannya mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan.

2. Dalam permasalahan yang kedua, lingkupan permasalahannya mengenai pembagian harta bersama bila terjadi perceraian.

1.4 Tujuan Penelitian

Setiap tulisan yang bersifat ilmiah sudah barang tentu di dalamnya terkandung maksud dan tujuan penulisannya. Tujuan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

1. Tujuan umum

a. Untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya di bidang Hukum Perkawinan.

b. Untuk memahami dan mendalami pembagian harta bersama dalam terjadinya perceraian.

2. Tujuan khusus

a. Untuk lebih memahami terbentuknya harta bersama dalam perkawinan.

b. Untuk memahami dan mendalami pembagian harta bersama dalam terjadi

perceraian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

(12)

1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum yakni Hukum Perdata terutama dalam hubungannya dengan Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam terjadinya Perceraian sesuai dengan Undang-undang No. l Tahun 1974.

Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat menemukan argumentasi- argumentasi hukum baru yang bermanfaat bagi pengembangan Hukum Perdata khususnya yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada

masyarakat dan pemuka Desa dalam menyelesaikan permasalahan pembagian

harta bersama jika terjadi perceraian.

(13)

7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Fungsi Harta Perkawinan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedang harta bawaan dari masing-masing pihak suami-istri dan harta benda yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan apabila perkawinan terputus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (penjelasan Pasal 35, 37, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

Menurut Hukum Adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami-istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan yang sah, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang bersal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah semuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianutnya setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri tersebut

2

.

2Hilman Hadikusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma I), h. 155.

(14)

Sesungguhnya harta perkawinan ini merupakan modal kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehari- hari, suami istri dan anak-anaknya di dalam suatu rumah (serumah).

3

Di dalam suatu rumah keluarga kecil (Dezin, Belanda) dan satu rumah keluarga besar (Familio, Belanda) yang setidak-tidaknya dari satu rumah tangga kakek atau nenek, kita tidak dapat begitu saja memisahkan antara harta perkawinan yang disebut harta keluarga dengan harta kerabat oleh karena masyarakat adat ada yang bersedikan kekeluargaan (kerukunan keluarga) semata- mata. Begitu pula ada suami istri yang bertanggung jawab atas kehidupan dengan anak-anaknya saja, tetapi ada juga suami istri yang tidak semata-mata terikat bertanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya.

Sesungguhnya tidak dapat dielakan karena perkembangan masyarakat yang kian hari bertambah maju, kehidupan kekerabatan itu akan terdesak oleh kehidupan serumah saja, terutama kalau dilihat bagaimana kehidupan masyarakat di kota-kota besar, tetapi oleh karena kehidupan masyarakat itu lebih banyak di desa dan masih ada hubungannya dengan kehidupan desa, maka kesadaran hukum masayarakat desa masih harus diperhatikan. Masih merupakan kenyataan bahwa di lingkungan masyarakat adat kekerabatan kehidupan keluarga masih teratur dan anak-anak masih terpelihara untuk tidak menjadi kabur keinginannya. Maka dari itu kedudukan harta perkawinan kita kenal sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri dan anak-anaknya, maka dari itu

3Soerojo Wignjodipuro, 1985, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbii Gunung Agung, Jakarta,, h. 149.

(15)

harta perkawinan dapat kita golongkan dalam beberapa macam sebagaimana kita kenal di bawah ini:

1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu harta bawaan.

2. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan, yaitu harta penghasilan.

3. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, disebut hadiah perkawinan.

4

Perkawinan bertujuan untuk memperoleh keturunan di samping tujuan pokok itu juga untuk dapat bersama-sama hidup pada suatu masyarakat dalam perikatan kekeluargaan.

Fungsi perkawinan tersebut hanya mungkin dicapai bila di antara suami istri saling membantu melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan keperibadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

5

Guna keperluan hidup bersama-sama tersebut diperlukan suatu kekayaan duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai ongkos- ongkos kehidupan mereka sehari-hari beserta anak-anaknya, kekayaan duniawi inilah yang disebut harta perkawinan, harta kekayaan yang merupakan duniawi guna memenuhi segala keperluan hidup. Keluarga kecil ini wajib dibedakan dari harta perkawinan dengan harta kerabat ini sangat lemah dan tidak mudah dilihat

4Hilman Hadikusuma I, Op. Cit, h, 157.

5 Lili Rastiji, 1982, Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Alumni, Bandung, h. 2.

(16)

tetapi juga kadang-kadang sangat jelas dan tegas. Dalam suatu keluarga atau masyarakat di mana hubungan kekeluargaan atau ikatan kerabat masih kuat kadang-kadang kekuasaan kerabat itu mencampuri pula urusan harta keluarga, tetapi sebaliknya apabila ketentuan-ketentuan keluarga kecil yang memegang peranan lebih penting dalam struktur kemasyarakatan yang bersangkutan maka pengaruh kekerabatan menjadi lebih sekali dan ternyata dalam proses perkembangan jaman ini gejala dalam hukum adat memperlihatkan apa yang disebut keluarga kecil atau serumah ini akan terdiri dari suami istri dan anak- anaknya. Keluarga kecil atau serumah ini dalam masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar yang merantau ke luar daerah aslinya ke daerah lain di Indonesia makin lama makin lebih melepaskan diri dari ikatan keluarga yag lebih luas.

Jadi harta perkawinan atau harta keluarga yang demikian pada umumnya diperuntukkan pertama-tama bagi keperluan keluarga kecil, yaitu suami istri dan anak-anaknya untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pengadaan harta atau kekayaan yang merupakan harta serumah dalam suatu rumah tangga bagi suatu keluarga yang baru pada umumnya di samping harta yang dimiliki oleh kedua suami istri itu sebelum mereka mengadakan perkawinan, biasanya mereka pun telah mendapatkan harta dari keluarga atau pihak orang tua masing-masing.

Hal ini misalnya walaupun kedua suami istri pada waktu muda adalah orang-

orang mampu atau berada, biasanya orang tua sesuai dengan hukum yang ada di

masyarakat tersebut tidak sampai hati kalau tidak memberikan anak-anaknya harta

sedikit dari masing-masing keluarga baik dari pihak laki-laki maupun wanita.

(17)

2.2 Jenis-jenis Harta Perkawinan 2.2.1 Harta Bawaan

Harta bawaan ini, baik harta bawaan istri maupun harta bawaan suami yang masih dapat dibedakan lagi, antara lain:

a. Harta peninggalan

Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta barang-barang yang dibawa oleh suami istri ke dalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaannya dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris.

Harta itu tidak dibagi-bagi kepada setiap ahli waris, para ahli waris hanya mempunyai hak mewarisi. Seperti di daerah Lampung dalam adat mereka perkawinan anak tertua laki-laki akan selalu diikutsertakan dengan harta peninggalan orang tuanya untuk mengurus dan membiayai kehidupan adik-adiknya, demikian juga di daerah Bali apabila harta peninggalan karena sesuatu kebutuhan hidup yang mendesak akan dijual maka ia harus minta persetujuan dan pendapat para ahli waris lain.

b. Harta warisan

Yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami istri ke dalam perkawinan, yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan, dan yang seperti di Bali disebut "bebaktaan".

Barang-barang bawaan istri yang berasal dari pemberian barang-

barang warisan orang" tuanya seperti "sesan" di Lampung, dalam bentuk

(18)

perkawinan jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga. Kecuali yang menyangkut hukum agama, seperti mas kawin yang merupakan hak milik pribadi si istri.

Di Daerah Pasemah, harta asal warisan yang diikutsertakan orang tuanya pada mempelai wanita ke dalam suatu perkawinan nampaknya tetap menjadi hak penguasaan dan pemilikan istri untuk diwariskan pada anak- anaknya. Bila ia meninggal sebelum mempunyai keturunan maka barang- barang itu dibawanya kembali ke tempat asalnya.

6

Di daerah Lampung dan Batak yang melarang terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan jujur maka istri tidak berhak membawa kembali barang-barang pemberian orang tua dan kerabatnya yang telah masuk ke dalam perkawinan. Apabila kerabat istri meminta kembali barang-barang bawaan itu berarti menghendaki pecahnya hubungan kekerabatan itu (antar besan). Maka uang jujur harus dikembalikan lagi, apabila hal ini sampai terjadi maka pertentangan akan menjadi berlarut-larut dan kerabat yang bersangkutan dapat didenda oleh masyarakat adat dikarenakan merusak adat.

c. Harta hibah atau wasiat

Yang dimaksud di sini adalah atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus.

6Ter Har B. dan K. Ng. Soebekti Poesponoto, 1980, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 222.

(19)

Harta bawaan hibah atau wasiat ini dikuasai oleh suami atau istri yang menerimanya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga atau rumah tangga lainnya sesuai dengan amanat yang menyerahi harta itu. Harta hibah atau wasiat ini dapat diteruskan kepada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat setempat.

7

Di Aceh orang tua bisa menghibahkan rumah dan pekarangan untuk anak perempuan sebelum pewaris itu wafat dengan berwasiat.

8

Biasanya hibah atau wasiat itu jumlah hartanya tidak boleh melebihi sepertiga dari semua harta yang ada dan merupakan harta warisan. Walaupun tidak ada larangan hibah atau wasiat itu dapat ditarik kembali namun apabila hal itu sudah terucapkan jarang sekali akan ditarik kembali.

Hukum adat tidak menentukan bahwa hibah atau wasiat itu bersifat rahasia, terbuka atau tertulis sendiri tetapi jika mungkin itu dapat saja dilakukan namun yang bisa berlaku adalah menurut hukum adat setempat yang mana cukup diucapkan di hadapan istri dan anak-anaknya dan keluarga dekat lainnya.

9

Bagi keluarga yang mengikuti ajaran agama Islam maka hibah atau wasiat itu harus diucapkan di hadapan saksi-saksi dan harus ada kesesuaian dari si penerima hibah. Baik hukum Adat maupun hukum Islam ucapan hibah atau wasiat dapat ditarik kembali oleh yang mengucapkan selama ia masih hidup baik dalam bentuk ucapan maupun dalam bentuk perbuatan, misalnya harta hibah atau wasiat itu bukan diserahkan pada si wajib menerimanya tetapi malahan dijual kepada orang lain.

7Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 159.

8Hilman Hadikusuma, 1980, Hukum Adat Waris. Penerbit Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Hilman Hadikusuma III), h. 68.

9Hilman Hadikusuma I, Op.Cit., h. 222.

(20)

d. Harta pemberian atau hadiah

Yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat yang mungkin juga orang lain karena hubungan baik, misalnya ketika akan melangsungkan perkawinan anggota kerabat memberi mempelai pria, ternak untuk dipelihara guna bekal kehidupan rumah tangganya atau kerabat wanita memberi mempelai wanita barang-barang perabot rumah tangga untuk dibawa ke dalam perkawinan sebagai barang bawaan. Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang dikuasai atau dimiliki istri atau suami yang berasal dari warisan terpisah kedudukannya dengan yang bersal dari hibah sampai barang-barang tersebut diteruskan pada anak-anaknya. Oleh karena kedudukan barang-barang warisan itu adalah hak penguasaan dan pemilikan suami istri bersangkutan dalam hubungannya dengan pewarisannya.

Jadi jika perkawinan putus karena salah satu dari istri atau suami wafat atau karena cerai hidup tanpa meninggalkan anak, maka harta bawaan asal warisan itu harus kembali ke keluarga asal, sedang harta bawaan hasil hibah atau dikuasai oleh ahli waris yang wafat.

10

Akan tetapi kalau dilihat Pasal 35 dan Pasal 36 ayat 2, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa Pasal 35 berbunyi: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak

10Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h. 90.

(21)

tidak menentukan lain. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat (2) berbunyi:

mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan sendirinya kalau kita menganalisis bunyi Pasal 35 dan 36 ayat (2) mengenai harta bawaan yang kami uraikan di atas tadi merupakan suatu pertentangan dengan Undang-undang perkawinan, sedang Undang- undang Perkawinan menghendaki bahwa harta bawaan berada di tangan masing-masing sepanjang tidak ditentukan lain.

Dalam hal cerai hidup biasanya harta bersama dibagi sama rata, akan

tetapi harta asal atau harta bawaan tidak dikembalikan pada asalnya. Perlu

dicatat bahwa di kalangan orang Batak perceraian tidak perlu si istri keluar

dari ikatan kekeluargaan suaminya, sehingga tidak ada kebutuhan untuk

membagi harta bersama oleh karena ia tetap berada dalam lingkungan sosial

yang sama. Masalah yang timbul bila istri keluar dari ikatan suaminya adalah

mengenai harta kekayaan, di dalam hal ini perceraian tersebut maka terhadap

pembagian harta kekayaan tersebut diputus oleh rapat pemuka-pemuka

masyarakat yang memutuskan berapa bagian istri yang didasarkan pada besar

kecilnya kesalahan yang pernah diperbuat bahkan kemungkinan besar ia tidak

memperoleh apa-apa karena kesalahannya yang besar, kemudian kalau ada

utang yang pertama-tama dipakai untuk melunasinya adalah masing-masing

harta bawaan atau harta asal. Apabila harta tadi tidak mencukupi maka barulah

(22)

harta bersama dipergunakan untuk maksud tersebut dengan perbandingan yang serasi dan sesuai.

Menurut Undang-undang Perkawinan, Pasal 35 maka ditentukan bahwa:

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri maupun harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing.

Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.

11

Apabila perkawinan putus pembagian harta perkawinan dilakukan menurut hukumnya masing-masing. Pendapat R. Wirjono Prodjodikoro, tentulah tidak sesuai dengan kedudukan harta perkawinan dalam suatu masyarakat adat yang patrilinial yang menganut adat perkawinan jujur seperti berlaku di kalangan masyarakat adat Lampung, oleh karena di sini pada dasarnya baik istri maupun harta bawaannya setelah masuk dalam ikatan perkawinan jujur seperti berlaku di kalangan adat Lampung, oleh karena di sini pada dasarnya baik istri maupun harta bawaannya setelah masuk dalam ikatan perkawinan menjadi milik bersama dan dikuasai suami dan diatur serta dimanfaatkan bersama dengan istrinya.

12

11Soerjono Sukarto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, h. 63.

12Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, h. 90.

(23)

Dalam masyarakat Bali terdapat harta guna kaya (druwe Gabro) pengurusannya dilakukan oleh pihak suami sesuai dengan sistem kekeluargaan patrilinial yang terdapat dalam masyarakat hukum adat di Bali.

13

Dalam masyarakat Adat Lampung yang beradat Pepaduan tidak dibolehkan adanya cerai istri dan cerai harta perkawinan, begitu pula sebaliknya dalam sistem kekerabatan patrilinial dengan bentuk perkawinan semenda pada dasarnya semua harta perkawinan itu dikuasai istri dan dimanfaatkan bersama-sama dengan suami. Ada kemungkinan istri dalam perkawinan jujur dengan suami mendapat pemberian barang-barang tetap dari orang tua atau kerabatnya, barang tetap seperti ini walaupun telah menjadi barang bawaan namun oleh karena letaknya masih di tempat kerabat istri, maka pengawasannya masih dipengaruhi oleh kekuasaan kerabat istri, dengan demikian penguasaan suami atas tanah tersebut masih dibatasi oleh kekuasaan kerabat istri.

2.2.2 Harta Penghasilan

Ada kalanya suami atau istri sebelum melangsungkan perkawinan telah menguasai atau memiliki harta kekayaan tersendiri, baik yang berupa barang tetap, maupun benda bergerak yang didapat mereka dari usaha dan tenaga hasil pemikiran sendiri termasuk juga utang piutang perseorangan. Adapun harta atau barang hasil usaha sendiri ini tidak saja terdapat di kota-kota di kalangan masyarakat yang telah maju, tetapi juga terdapat di kalangan masyarakat tani di pedesaan, harta penghasilan ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat,

13Beni I Wayan, 1978, Hukum Adat dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia (UU No. I Tahun 1974), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar, h. 31.

(24)

pemiliknya dapat juga melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa bermusyawarah dengan anggota kerabat yang lain atau keluarga yang lain. Namun demikian apabila barangnya adalah barang tetap pada umumnya masih hak ketetanggaan (nastingarecht). Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi istri akan dapat bertambah banyak dengan adanya pemberian barang- barang dari suami sebagai pemberian perkawinan.

14

Mas kawin yang pada umumnya berlaku di kalangan masyarakat beragama Islam dan barang-barang yang sifatnya pribadi lainnya, juga barang magis atau denda adat yang harus dibayar suami kepada istri seperti yang terdapat di Kalimantan. Di Daerah Sumatera Selatan harta kekayaan penghasilan suami sebelum disebut harta penantian. Di Bali tidak dibedakan antara hasil istri atau hasil suami sebelum perkawinan kesemuanya itu disebut guna kaya.

2.2.3 Harta Pencaharian

Dengan dasar modal yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing- masing dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinan, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal, mereka berusaha dan mencari rejeki bersama- sama sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat berwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama yang disebut harta pencaharian tidak merupakan persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan suami aktif bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga dan ke semua harta kekayaan yang

14Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 161.

(25)

didapat suami istri itu adalah hasil pencaharian yang berbentuk harta bersama suami istri atau disebut di Bali drue gabro.

15

Dalam hubungan sehari-hari istri sebagai ibu rumah tangga dapat menjadi bendaharawan rumah tangga yang berperan membantu mengurus harta kekayaan.

Ada kalanya dalam melaksanakan usaha bersama ini suami istri mencari hasil pencaharian mereka bersifat saling bantu membantu, misalnya suami mencangkul, istri menanam bibit, suami berbelanja mencari barang dagangan istri menunggu di toko dan lain-lain, atau bukan saja bantu membantu tenaga melainkan memasukkan modal kerja yang mungkin berasal dari harta bawaan mereka masing-masing guna mendapatkan keuntungan dari usaha bersama itu, harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan itu pengaturannya termuat dalam Bab VII pada Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37.

Pasal 35 ayat (1), menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dari bunyi Pasal 35 ayat (1) tentang pengertian harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

Undang-undang tidak menyebutkan atas jerih payah siapa harta benda itu diperoleh, di pihak lain harta benda macam apa saja yang dikualifisir menjadi harta bersama itu, sehingga di sini dapat dipersoalkan apakah harta kekayaan atau harta benda yang bersifat seperti hak cipta yang diperoleh seorang suami atas istri selama perkawinan juga menjadi harta bersama. Seperti halnya dengan barang asal yang tetap terikat kepada kesatuan kerabat asal maka lazim pulalah bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri,

15Hilman Hadikusuma I, Op. Cit., h. 162.

(26)

sehingga merupakan harta kekayaan (bagian dari harta keluarga) yang bila perlu khususnya dalam hal putusnya perkawinan suami istri dapat menuntut hak atas harta tersebut masing-masing untuk sebagian.

16

Penjelasan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan menerangkan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing- masing, sedang menurut Pasal 30 Undang-undang Perkawinan, maka perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian b. Perceraian

c. Atas putusan pengadilan

Bila penjelasan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan di atas dihubungkan dengan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan, kemudian dihubungkan pula dengan Pasal 37 Undang-undang termaksud, yang menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing., maka sebenarnya apa yang diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan ini sudah tertampung pengaturannya dalam Pasal 35 dan Pasal 38 undang-undang termaksud. Terulangnya Pasal 37 terhadap perkawinan pada Pasal 19 Peraturan Pelaksanaan Perkawinan, PP Nomor 10 Tahun 1975, mengenai alasan perceraian. Walaupun demikian penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan telah memberikan suatu kelebihan, keterperincian dan keterangan terhadap maksud dari persatuan hukumnya masing-masing.

16Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h.50.

(27)

Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan ini menyatakan, yang dimaksud hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Perkataan hukum lainnya pada Pasal 37 Undang-undang Perkawinan ini maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain daripada hukum agama, umpanya hukum Perdata Barat (BW) yang pengaturan harta bersama terhadap golongan orang-orang Timur Asing Tionghoa, orang- orang golongan Eropa yang dipersamakan dengan mereka yang berada di Indonesia.

Terbukanya hukum lain dari hukum agama adat bagi pengaturan harta bersama ini adalah untuk menghindari adanya atau terjadinya kekacauan hokum dalam tatanan hukum Negara kita.

17

Akan tetapi bagaimanakah pengaturan harta bersama ini kalau suami istri yang semula ketika melangsungkan perkawinan sama-sama agama Islam tetapi kemudian si istri memeluk agama Hindu yang justru kepindahan istri ke agama lain mengakibatkan perkawinan mereka menjadi putus, sehingga suami istri berbeda agamanya dan berebeda pula hukum agamanya. Berbeda agama antara suami istri bukan saja menimbulkan persoalan hukum mana yang harus diterapkan dalam mengatur harta bersama (membagi harta bersama itu).

Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang menyatakan mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, kalau kita melihat kedua bunyi pasal tersebut bahwa harta bersama

17Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit: Alumni Bandung, h. 29.

(28)

dapat dipergunakan atau dipakai oleh suami atau istri untuk apa saja dan berapa pun banyaknya asal ada persetujuan kedua belah pihak.

18

Adanya hak suami atau istri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak adalah sudah sewajarnya, mengingat bahwa kedudukan dan hak suami istri adalah seimbang dalam lingkungan kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat di mana masing-masing berhak melaksanakan perbuatan hukum sebagaimana hal ini ditegaskan dengan jelas dalam pasal 31 ayat (1) dalam Undang-undang Perkawinan, ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang mensejajarkan antara hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dan kehidupan masyarakat modern, yang sekarang sangat jauh sekali berbeda dengan kehidupan masyarakat sebelum adanya Undang-undang perkawinan dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melaksanakan perbuatan hukum.

Pada pasal 108 KUHPer, yang menyatakan:

Seseorang istri biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal sekaligus, namun ia tidak boleh menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankan atau memperolehnya baik dengan cuma- cuma ataupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam akta atau ijin tertulis dari suaminya, seorang istri biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta atau mengangkat suatu perjanjian sekali pun, namun tidaklah ia karena itu berhak menerima suatu pembayaran atau memberi pelunasan atas itu tanpa ijin yang tegas dari suaminya.

18Ibid, h. 29.

(29)

Pasal 110:

Seorang istri biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu biar ia melakukan harta pencaharian atas usaha sendiri sekali pun namun ia tidak bolehlah ia menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya.

19

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa suami istri sama-sama berhak untuk menggunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik, syarat kedua belah pihak saling menyetujui hendaknya dipahami sedemikian rupa secara luas di mana tidaklah dalam segala hal mengenai penggunaan atau pemakai harta bersama ini, dan diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak secara formil dan secara tegas. Dalam beberapa hal terbukti persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai persetujuan yang diam-diam misalnya dalam hal mempergunakan atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari ini adalah untuk menghindari kekakuan suami istri dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat.

Tinjauan di beberapa daerah mengenai harta pencaharian di daerah Minangkabau yang dimaksud harta suarang adalah harta yang diperoleh suami istri karena keduanya bekerja bersama-sama, misalnya keduanya berdagang di pasar dan sebagainya. Di daerah Bali harta guna kaya yang diperoleh perseorangan suami atau istri baru dianggap harta bersama atau drue gabro setelah berjalan tiga tahun dalam ikatan perkawinan.

20

19Lili Rasjidi, Op. Cit., h. 182.

20Beni I Wayan, Op. Cit., h. 30.

(30)

Di kalangan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan dari usaha bersama yang menyebabkan adanya harta pencaharian, apabila terjadi perselisihan harus dinilai beberapa banyak modal dan kerja suami istri selama pengumpulan harta pencaharian itu.

Di dalam melaksanakan usaha dan pemanfaatan harta pencaharian selanjutnya suami istri bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan bersama, keputusan yang diambil oleh suami tidak semua harus dianggap telah disepakati istri, oleh karena keputusan suami dapat ditolak oleh istri dengan nyata dikarenakan ia tidak setuju, misalnya suami membuat perjanjian hutang tanpa pengetahuan dan persetujuan istri, maka apabila istri menolak pembayaran yang harus bertanggung jawab hanya suami dengan harta kekayaan sendiri. Demikian juga dapat terjadi sebaliknya karena perbuatan istri yang tidak diketahui dan disetujui suami. Jadi menurut hukum adat kemungkinan istri ikut bertanggung jawab atas hutang suami bahkan ada kalanya anggota kerabat lain yang ikut pula menanggung hutang itu, tetapi kebanyakan yang berlaku istri tidak dapat bertanggung jawab atas hutang suami yang tidak diketahui dan disetujuinya. Di lingkungan masyarakat adat kekerabatan yang kuat pengaruh hutang istri atau hutang suami merupakan hutang bersama, sedang pada lingkungan masyarakat adat yang tidak bersendikan kekerabatan hal itu perlu adanya pemisahan.

21

I Gusti Putu Gede Suwira, selaku Bendesa di Desa Adat Padangsambian Kota Denpasar menyebutkan demikian adanya bahwa hutang istri atau hutang suami adalah merupakan hutang bersama yang harus dibayar bersama dan kadang-kadang keluarga pun ikut menanggung hutang tersebut.

21Hilman Hadikusuma III, Op. Cit., h. 165.

(31)

25

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, ada 2 jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis.

22

Penelitian yang akan diselenggarakan ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.

23

Penelitian hukum normatif ada juga yang menyebutnya sebagai penelitian yang memfokuskan analisa pada norma hukum dan meletakkan norma hukum sebagai obyek penelitian.

24

Empiris (Empirical) adalah sesuatu yang berdasarkan eksperimen maupun observasi terhadap fakta atau perkembangan fakta.

25

3.2 Jenis Pendekatan

Berkaitan dengan penelitian ini dipergunakan beberapa jenis pendekatan sehingga diperoleh suatu pembahasan permasalahan penelitian yang komprehensif. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang- undangan (the statue approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach). Permasalahan penelitian dikaji dengan mempergunakan interprestasi hukum dengan uraian yang argumentatif berdasarkan teori, azas, dan konsep hukum yang relevan.

22Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, h.15.

23Ibid.

24Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 62-63.

25Henry Campbell dalam I.E. Wyasa Putra, 2005, Penelitian Hukum Empiris; Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 9.

(32)

3.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas seperti perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan, dan putusan hakim.

26

Sementara bahan hukum sekunder (secondary sources), yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dari bahan hukum primer, seperti pendapat dari para ahli, yang dapat berupa semua publikasi tentang hukum, buku teks, jurnal hukum, komentar atas putusan hakim.

27

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi dan diklasifikasikan serta dilakukan pencatatan secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi- konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

28

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang berhasil diinventarisir, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dianalisis secara kualitatif dan komprehensif.

26Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta, h. 142.

27Ibid.

28Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98.

(33)

Kualitatif, artinya menguraikan bahan-bahan hukum yang mempunyai kualitas

dengan bentuk kalimat yang teratur, runut, logis, dan efektif, sehingga

memudahkan menginterprestasikannya. Sementara komprehensif, artinya analisa

dilakukan secara mendalam yang meliputi berbagai aspek sesuai dengan luas

lingkup penelitian. Setelah dianalisa selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut

disajikan secara deskriptif analisis.

(34)

28 4.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran Agama ialah mempersulit terjadinya peceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, akibat perbuatan amnesia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.

29

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Di dalam penjelasan disebutkan bahwa alasan-alasan yang menjadi dasar untuk bercerai adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, penjudi.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

29Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 160.

(35)

5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

30

Putusnya Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan

Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Perkawinan dapat putus, karena kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan, ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan.

Menurut ketentuan Pasal 39 ditegaskan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Melalui Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai putusnya perkawinan terdapat di dalam Bab VIII Pasal 38 yang terdiri dari tiga macam, yakni:

a. Karena kematian;

b. Karena perceraian;

c. Atas keputusan Pengadilan.

30Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 116.

(36)

Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan ini dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata dapat kita lihat di dalam buku I Titel X Pasal 199 di sana disebutkan secara limitative bahwa perkawinan ini terputus, karena:

a. Kematian

b. Keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti perkawinan dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima Bab 18 (delapan belas).

c. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini.

d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.

Setelah kita ketahui beberapa hal mengenai putusnya perkawinan baik menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Kitab Undang- undang Hukum Perdata, akhirnya penulis hanya membatasi pada pokok pembahasan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang putus karena kematian;

2. Perkawinan yang putus karena putusan hakim setelah terjadi perpisahan meja atau tempat tidur;

3. Perkawinan yang putus karena perceraian.

4.2 Terbentuknya Harta Bersama dalam Perkawinan

Ada istilah lain tentang persatuan/percampuran harta kekayaan, yaitu

kebersamaan harta kekayaan. Menurut sejarah maka dapatlah dikatakan, bahwa

(37)

pengertian tentang persatuan harta kekayaan ini berasal dan diambil dari Germania Kuno pada abad masa pertengahan. Dalam Hukum Romawi sendiri tiada dikenal persatuan harta kekayaan itu, artinya suami istri tetap memiliki harta kekayaan sendiri-sendiri.

31

Dalam pengertian hak milik bersama yang terikat tidak dapat ditunjukkan bagian masing-masing, artinya tidak dapat ditentukan bahwa milik suami atau istri itu adalah separo-separo, sebagian milik suami dan sebagian lagi milik istri. Akan tetapi dapat dengan tepat dinyatakan bahwa suami istri itu masing-masing mempunyai hak bagian-bagian mereka masing-masing. Adanya milik bersama terhadap barang-barang yang sedemikian ini adalah sudah merupakan gejala umum dalam hukum adat, gejala dan asas umum pada hakikatnya adalah merupakan konskwensi dari proses umum dalam perkembangan adat, yaitu bahwa makin lama makin jelas kuatnya pertumbuhan kedudukan hukum, somah (keluarga terdiri atas suami istri) di dalam suatu persekutuan hukum.

Menurut Ter Haar, di daerah Minangkabau timbulnya somah ini memang kurang maju. Oleh karena itu, maka daerah ini, harta seorang ini (harta bersama), hanyalah dianggap ada apabila suami dan istri bekerja bersama-sama untuk mendapatkan barang-barang itu, misalnya mereka bekerja bersama-sama atau bersama-sama menyelenggarakan perusahaan. Hasil kerja sama yang erat dan mempunyai tujuan tertentu dan sempit inilah yang menjadi milik bersama. Tetapi

31Soetojo Prawirohamijoyo R. dan Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan Keluarga, Penerbit: Alumni, Bandung , h. 58.

(38)

juga di Minangkabau ini nampak jelas adanya suatu perubahan dalam perkembangan masyarakat, yaitu gejala-gejala yang terwujud dalam penggantian rumah family dengan rumah keluarganya (somah) dan rumah keluarga inilah yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam memperluas dibentuknya harta bersama suami istri itu. Di lain-lain daerah yang mengenal adanya milik bersama suami istri, menganggap termasuk milik bersama suami istri segala kekayaan yang selama berlangsungnya perkawinan, diperoleh suami atau istri, asal saja dua- duanya bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama- kelamaan menjadi sangat luas dan kabur, sehingga istri yang pekerjaannya di rumah saja yang pekerjaannya berupa memelihara anak dan mengurus rumah tangga sudah dianggap bekerja juga. Sehingga juga dalam hal ini semua kekayaan yang didapat oleh suami menjadi milik bersama itu sudah wajar, sebab meskipun tidak bekerja sendiri untuk memperoleh barang-barang tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, si suami telah menerima bantuan yang sangat berharga serta yang sangat mempengaruhi secara tidak langsung tambah atau kurangnya milik bersama itu. Apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari itu, istri dapat melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung istri ini juga membantu dalam memelihara atau memperbesar milik bersama suami istri. Oleh karena itu maka anggapan umum kini mengatakan bahwa barang yang diperoleh dalam masa perkawinan selalu menjadi milik bersama.

32

32Soerojo Wignjodipuro, Op. Cit., h. 158.

(39)

Jadi harta bersama adalah harta yang diperoleh sebagai hasil usaha bersama antara suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah pihak manakah harta itu. Sehubungan dengan harta bersama, dapat dikemukakan suatu Keputusan Mahkamah Agung, tanggal 7 Nopember 1956 No.51/K/Sip/1956 yang merupakan salah satu Yurisprudensi Hukum Adat yang mengatur tentang harta bersama.

Yurisprudensi ini menetapkan, bahwa menurut hukum adat semua harta yang diproleh selama perkawinan termasuk dalam gono gini, meskipun hanya mungkin hasil kegiatan suami istri.

33

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan, bahwa segala harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dalam wujud apapun harta itu adalah termasuk ke dalam harta bersama. Tidak ditentukan syarat apa yang harus dipenuhi agar harta itu digolongkan ke dalam harta bersama. Yang terpenting adalah harta itu diperoleh selama perkawinan, tidak dipersoalkan apakah istri ikut aktif dalam memperoleh harta itu ataukah harta itu nyata adalah hasil jerih payah dari suami sendiri.

Adapun yang termasuk ke dalam harta bersama suami istri dalam perkawinan meliputi:

33Hilman Hadikusuma II, Op. Cit., h. 70.

(40)

1. Segala hasil yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dengan bermodalkan harta benda perkawinan, baik itu harta benda bersama maupun harta bawaan.

2. Segala penghasilan suami atau istri pribadi baik itu sebagai pedagang maupun sebagai pegawai negeri.

Selama perkawinan berlangsung segala harta yang termasuk dalam harta bersama diatur dan diurus suami istri bersama. Maksudnya adalah segala tindakan yang menyangkut harta kekayaan bersama harus dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dari suami istri.

4.3 Pembagian Harta Bersama dalam Terjadinya Perceraian

Sejak mulai perkawinan terjadilah percampuran antara harta kekayaan suami dengan istri, hal tersebut apabila tidak ada perjanjian lain. Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tidak dapat dirubah lagi selama perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974, memberikan pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan yang didasarkan pada pola hukum adat yaitu yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dimiliki oleh masing-masing.

Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum tersebut ia harus

meletakkan keinginannya itu dalam suatu perjanjian kawin. Perjanjian yang

demikian ini harus diadakan sebelum pernikahan ditutup dan harus diletakkan

dalam perjaniian itu tak dapat dirubah selama perkawinan. Undang-undang

menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan tetap ini demi

melindungi kepentingan pihak ketiga.

(41)

Dalam perjanjian perkawinan dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan istri, beberapa benda tertentu tidak akan termasuk percampuran itu, juga seorang yang memberikan sesuatu benda kepada salah satu pihak dapat diperjanjikan bahwa meskipun akan berlaku percampuran kekayaan antara suami dan istri, benda yang demikian itu akan menjadi milik pribadi yang memperolehnya.

Hak mengurus harta kekayaan bersama berada ditangan suami yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan yang sangat luas.

34

Selain pengurusan itu tak bertanggung jawab kepada siapa pun juga, pembatasan terhadap kekuasaan hanya terletak pada larangan untuk memberikan dengan percuma benda-benda yang tak bergerak atau seluruh atau sebagian dari semua benda-benda yang bergerak pada orang lain selain kepada anaknya sendiri yang lahir dari perkawinan itu. Terhadap kekuasaan suami yang sangat luas itu kepada istri hanya diberikan hak atau untuk apabila si suami melakukan pengurusan yang sangat buruk meminta kepada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan, selain tindakan tersebut yang dapat diambil oleh istri di dalam perkawinan ia juga diberikan hak untuk apabila perkawinan pecah melepaskan haknya atas kekayaan bersama, tindakan ini dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang bersama baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun istri sendiri. Menghindari diri dari hutang pribadi misalnya biaya perbaikan rumah pribadi si istri. Selanjutnya dapat diterapkan bahwa uang dari buku tabungan pos, meskipun sudah jatuh

34Hilman Hadikusuma III, Op.Cit, h. 68.

(42)

dalam kekayaan bersama, si istri dapat memakai menurut kehendaknya sendiri dan begitu pula halnya dengan gajinya asal saja mengenai hal ini untuk keperluan keluarga.

Pada umumnya dianggap mungkin bahwa si suami dengan suatu kuasa khusus mengusahakan istrinya untuk bertindak atas nama kekayaan bersama, dan sudah tentu si suami dapat memberikan mengenai pekerjaan sendiri dari si istri.

Pencabutan yang demikian itu untuk dapat berlaku perlu diumumkan. Jikalau suami istri tidak mempunyai benda-benda pribadi, soal tanggung jawab terhadap hutang-hutang tersebut mudah saja akan tetapi itu menjadi agak sulit salah satu diantaranya antara lain mempunyai kekayaan bersama juga mempunyai harta kekayaan pribadi orang dikatakan bertanggung jawab jika ia dapat dituntut di muka hakim, sedangkan bendanya dapat disita. Untuk menetapkan tanggung jawab suatu hutang haruslah ditetapkan terlebih dahulu apakah hutang itu bersifat pribadi ataukah suatu hutang bersama. Untuk suatu hutang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat hutang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda pribadi.

Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi maka dapatlah benda kekayaan bersama disita. Akan tetapi jika suami yang membuat hutang benda kekayaan istri tidak dapat disita dan sebaliknya.

Terhadap harta kekayaan bersama, maka untuk pertama-tama harus disita

harta kekayaan bersama tersebut dan bila ini tidak mencukupi maka dapatlah

benda pribadi dari suami atau istri yang membuat hutang itu pula disita, dan ini

sudah tidak menjadi soal. Tetapi yang menjadi masalah apakah untuk hutang

(43)

bersama yang dibuat oleh si suami, benda pribadi si istri dapat disita atau sebaliknya. Mengenai masalah ini ada beberapa pendirian tetapi pemecahannya yang paling memuaskan dan paling sesuai dengan semangat Undang-undang adalah suami selalu dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang-hutang bersama yang dibuat oleh suaminya.

4.4 Pembagian Harta Bersama dalam Pelaksanaannya Jika Terjadi Perceraian

Harta bersama pada prinsipnya berasal dari harta pencaharian, yaitu harta yang diperoleh sebagai hasil kerja sama dari suami istri selama berada dalam ikatan perkawinan. Harta bersama (drue gabro) dalam suatu keluarga yang kekal, berada dalam kekuasaan dan pengawasan dari suami dan istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama (drue gabro) itu. Pada prinsipnya segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan dari suami istri, bahkan transaksi-transaksi tertentu sering dilakukan oleh suami istri secara bersama-sama.

Dalam hal perkawinan bubar karena perceraian harta bersama (drue gabro) itu harus dibagi dua antara suami dengan istri. Perceraian ini akan terjadi

apabila dalam suatu keluarga mengalami cekcok secara terus menerus dan tidak

mungkin hidup rukun kembali dalam suatu keluarga. Sehubungan dengan

perceraian dapat saya kemukakan suatu pandangan adat yang mengatur sebagai

berikut:

(44)

Perceraian pada keluarga Bali adalah hal yang terpaksa, hal yang sudah tak dapat didamaikan lagi di antara suami dan istri. Terutama bagi pihak wanita, cerai adalah hal yang hina, sebab kedudukan wanita yang sudah kawin telah keluar dari lingkungan keluarganya.

35

Apabila hal ini kita kaitkan dengan ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka di mana dalam Pasal 39 ayat (1) mengatur: "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Jadi menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan, bahwa perceraian sah bila dilakukan di depan sidang pengadilan.

Apabila terjadi perceraian, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi harta bersama (drue gabro) yang ada dalam rumah tangga tersebut. Pengaturan harta bersama menurut ketentuan hukum adat dalam terjadinya perceraian adalah sebagai berikut: "antara suami dan istri akan sama-sama berhak atas bagian harta bersama (drue gabro)". Adapun bagian yang diterima oleh masing-masing pihak suami istri menurut adat adalah didasarkan atas pertimbangan 2 : 1 (sarambet sesuhun), yaitu 2 (dua) untuk suami dan 1 (satu) untuk istri. Bahkan ada juga

pembagian didasarkan atas perimbangan 1:1. Sehubungan dengan pembagian harta bersama (drue gabro) saya akan mengemukakan dua pandangan sarjana hukum adat yang satu sama lain saling berhubungan. Adapun sarjana tersebut, adalah Soeripto berpendapat, bahwa:

35Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ), Penerbit Kedua (II), h. 107.

(45)

Bilamana ada perceraian hidup (bukan disebabkan kesalahan istri (janda) maka pada umumnya harta drue gabro (jawa: gono-gini) akan dibagi menurut perimbangan serembet sesuhunan (jawa: sepikul segandeng), 2:1, satu bagian untuk bekas istri/janda dan dua bagian untuk bekas suami atau drue gabro dibagi dengan perimbangan 1 : 1.

36

Apabila diberikan pendapat sarjana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembagian harta bersama (drue gabro) belumlah menunjukkan satu kesatuan, karena masih menunjukkan adanya dua kemungkinan, yaitu berdasarkan perimbangan 2:1, atau dapat juga didasarkan perimbangan 1:1, dan lebih jauh dapat juga disimpulkan bahwa berlaku bagi perceraian yang bukan disebabkan oleh karena kesalahan istri/janda.

Djaren Sar agih mengemukakan, bahwa “Perceraian disebabkan istri berbuat zinah menimbulkan akibat yang merugikan pihak istri, kadang-kadang ia mengembalikan jujur yang pernah ia terima dan meninggalkan ikatan perkawinan dengan tidak membawa apa-apa.

37

Setelah melihat pandangan para sarjana tersebut mengenai pendapatnya terhadap pembagian harta bersama, maka dapat dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian dan ada keturunan atau anak sebelum mereka bercerai maka pembagian harta bersama menurut hukum adat akan tetap dengan perimbangan 2:1, karena yang akan mengurus dan bertanggung jawab terhadap anak atau keturunannya tersebut adalah pihak suami, sehingga dengan demikian perimbangan 2:1, tersebut sesungguhnya satu untuk bagian suami, satu untuk bagian si anak dan satu bagian lagi untuk si istri, dan hal ini kalau dilihat dalam lingkungan masyarakat patrilinial.

36Soeripto, Op. Cit. h. 142.

37Djaren Saragih, Op. Cit., h. 86.

(46)

40 5.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terbentuknya harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh sebagai hasil usaha bersama suami istri sejak terjadinya perkawinan, dengan tidak mempersoalkan hasil jerih payah suami atau istri.

2. Pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian adalah:

a. Harta bawaan suami istri terbagi kepada para pihak masing- masing.

b. Harta yang diperoleh karena penghasilan selama perkawinan dibagi menurut masing-masing agama dan kepercayaan.

5.2 Saran

1. Agar suami dan istri dalam hal terjadi perceraian mempertimbangkan, tidak merugikan salah satu pihak terkait harta bersama.

2. Hendaknya suami dan istri membagi harta bersama secara adil tanpa

mempersoalkan hasil jerih payah masing-masing.

(47)

41 A. BUKU-BUKU

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.

Beni I Wayan, 1978, Hukum Adat dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia (UU No. I Tahun 1974), Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.

Djaren Saragih, 1977, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung.

Hans Kelsen, 2008, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung.

Henry Campbell dalam I.E. Wyasa Putra, 2005, Penelitian Hukum Empiris;

Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Hilman Hadikusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung.

______, 1980, Hukum Adat Waris. Penerbit Alumni, Bandung.

______, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju, Bandung.

Iman Sudiyat, 1981, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Lili Rastiji, 1982, Alasan-alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Alumni, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Pranada Media, Jakarta.

Ronny Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soerojo Wignjodipuro, 1985, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Penerbit Gunung Agung, Jakarta.

Soerjono Sukarto, 1980, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dari context diagram selanjutnya digambarkan dua proses utama yang terdapat dalam perangkat lunak yang dikembangkan, dituangkan dalam diagram arus data level 0 seperti dapat

4 Baik 3 Cukup 2 Perlu bimbingan 1 Keterampilan proses membuat prediksi Siswa membuat dugaan sementara sesuai dengan materi yang diberikan dengan relevan dan

89 https://steemit.com/myanmar/@kowinnhtunn/english-speaking- exercise-online-3-ff7e80d54983e BICARA. 90

Bagi mereka yang membangun rumah ibadah/tempat pendidikan atau menyediakan dana un-tuk pembangunan atau pengadaan rumah ibadah/tempat pendidikan termasuk dalam kategori Firman

Pengendalian penerbitan sertifikat tanah hak milik pada Kantor Pertanahan Kota Tangerang, sebaiknya dilakukan berdasarkan langkah- langkah pengendalian, seperti, penetapan

Dengan mengetahui dan memahami pemberian nama gelar abdi dalem, memberikan manfaat untuk IPS, sebagai ilmu pengetahuan yang bisa disampaikan dan dapat dijalankan dalam

Instagram menjadi sosial media yang banyak sekali peluang untuk berbisnis para penggunanya bisa dimanfaatkan sebagai media komunikasi pemasaran, melalui share foto-foto

Alternatif pengembangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan instrumen tes berbasis kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam kategori