• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Landasan Teori

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet.36

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

setelah semua bahan hukum terkumpul dalam skripsi ini, selanjutnya bahan tersebut diseleksi dan dikelompokkan dengan bahan hukum lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Setelah itu dianalisa dengan teknik analisis deskripsi. Teknik analisis deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi. Tujuan digunakannya analisis deskripsi adalah untuk memberikan uraian yang utuh atas permasalahan yang ada pada skripsi ini sehingga mendapatkan kebenaran formil.

36

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DAN PERKEMBANGAN

JEMAAT AHMADIYAH DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan bagaimana perkembangan HAM bidang hak sipil dan politik yang ada di Indonesia seperti sejarah HAM di indonesia dan latar belakang diratifikasinya ICCPR oleh Indonesia. Setelah pembahasan tersebut, dilanjutkan dengan perkembangan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Indonesia dan latar belakan terjadinya diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah.

2.1. Perkembangan Hak Asasi Manusia bidang Sipil dan Politik di Indonesia

2.1.1. Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hak Asasi Manusia (HAM) bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia. Sejarah HAM dapat dilihat dari perkembangan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional.

Konstitusi Indonesia yang pertama yakni Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) belum mengenal Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat menjadi HAM). UUD 1945 hanya menyebutkan tentang hak warga negara sebagaimana terdapat di dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31. Penggunaan konsep hak warga negara tersebut secara implisit tidak mengakui paham natural right yang memandang bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki sebagai manusia karena ia lahir sebagai manusia.1 Hak warga negara yang dinyatakan dalam UUD 1945 hanya mencakup warga negara

1

Lihat Rhona K.M. Smith et AL, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet.I, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 240.

20

Indonesia yang telah mendapat pengakuan melalui peraturan perundang-undangan yang ada.

Konsep natural rights mulai digunakan sejak tanggal 31 Januari 1950 ketika Undang-undang Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) menggantikan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat pada bagian V UUD RIS, khususnya dari Pasal 7 hingga Pasal 33, yang mengatur tentang hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang juga mencakup pengakuan terhadap hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Dalam konteks HAM tentu dapat dinilai bahwa UUD RIS lebih progresif dibandingkan UUD 1945.

Pada tanggal 15 Agustus 1950 Indonesia mengganti UUD RIS dengan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Ada tiga perbedaan antara UUD RIS dengan UUDS. Pertama kebebasan bertukar agama atau berkeyakinan yang dijamin dalam Pasal 18 UUD RIS dihilangkan dalam Pasal yang sama pada UUDS 1950. Kedua, pada UUDS diatur mengenai hak berdemonstrasi dan mogok yang sebelumnya tidak diatur pada UUD RIS, ketiga dasar perekonomian sebagaimana dimuat di dalam Pasal 33 UUD 1945 diadopsi kedalam Pasal 38 UUDS.2

Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengembalikan berlakunya UUD 1945 kemudian menjadi lembar sejarah dalam perjalanan HAM Indonesia. Hal ini menjadi bukti kemunduran dalam HAM karena konsep natural rights kembali diubah ke hak warga negara.

2

L.G. Saraswati, et Al, 2006, HAK ASASI MANUSIA Teori Hukum Dan Kasus, Filsafat UI Press, Depok, h.58.

21

Pada masa rezim orde baru, isu HAM tidak pernah berkembang bahkan mengalami stagnasi. Bahkan sejumlah pelanggaran HAM hingga pelanggaran HAM berat juga terjadi di periode kepemimpinan ini.

Angin segar perubahan mulai terlihat pada masa transisi di bawah kepemimpinan BJ Habibie. Rencana pemajuan HAM yang disusun sudah masuk pada ranah status hukum HAM. Sehingga perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori HAM, tetapi sudah mengarah pada basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) atau dimasukkan dalam Undang-undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Pada tanggal 5 Agustus 1998 terbitlah TAP MPR Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.4 Isi dari TAP MPR tersebut adalah menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh rakyat Indonesia, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai HAM.5 Salah satu bukti pemajuan HAM era kepemimpinan B.J. Habibie adalah diterbitkannya Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Amandemen ke II UUD 1945 dilakukan pada era pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid kemudian menjadi tonggak sejarah penting.

3

Rhona K.M. Smith, Op.cit, h. 242. 4

http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dokumen/tap-mpr-xvii-1998-hak-asasi-manusia_0.pdf

5

Lihat Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

22

Penambahan bab X UUD 1945 tentang HAM menambah terjaminnya hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk rakyat. Dengan dinyatakannya HAM dalam konstitusi menjadikan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

2.1.2. Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional di Bidang Hak Sipil dan Politik di Indonesia

Sub bab 2.1.1 sebelumnya telah menguraikan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM telah tertuang di dalam konstitusi dan peratuan perundang-undangan nasional. Hal ini ternyata dianggap belum sepenuhnya memadai. Pemerintah Indonesia memandang bahwa pemajuan dan perlindungan HAM membutuhkan legitimasi dari sejumlah instrumen HAM internasional.

Pembahasan mengenai Hubungan Hukum Internasional (HI) dan Hukum Nasional (HN) mengetengahkan isu mengenai transformasi HI ke dalam HN. Salah satu cara yang sering dipraktikkan negara-negara adalah melalui ratifikasi sebagai suatu perbuatan negara yang dalam taraf internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani perutusannya.6 Adapun definisi hukum mengenai ratifikasi dapat dilihat dalam Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi

(ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan penyetujuan

(approval).

6

Sugeng Istianto, 2014, Hukum Internasional, cet. V, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.94.

23

Itikad melakukan ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional dapat dilihat di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KEPRES RANHAM I) pada tanggal 15 Agustus 1998. Dalam Pasal 2 ayat (2) KEPRES RANHAM I dinyatakan bahwa tugas panitia nasional hak asasi manusia di antaranya melakukan persiapan pengesahan (ratifikasi) perangkat internasional di bidang hak-hak asasi manusia dan melakukan pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang hak-hak asasi manusia yang telah disahkan (diratifikasi).

Dalam perkembangannya, Indonesia telah meratifikasi sejumlah kovenan internasional di bidang hak sipil dan politik. Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Ellimination of all Forms Against Women) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Selanjutnya, Konvenan Internasional tentang Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Rasial (Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999. Terakhir, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights yang selanjutnya disebut UU Ratifikasi ICCPR) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

24

2.1.3. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Oleh Indonesia

Sebagaimana telah disinggung dalam sub bab 2.1.2 sebelumnya, Indonesia telah meratifkasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights yang selanjutnya disingkat dengan ICCPR) melalui Undnag-Undang Nomor 12 tahun 2005. Kovenan ini biasanya disebut sebagai“International Bill of Human Rights” atau prasasti internasional tentang hak asasi manusia.

ICCPR secara prinsipil mengatur hak-hak sipil dan politik yang sangat mendasar, kebebasan yang sangat mendasar, tanggung jawab dan kewajiban negara pihak. Hak-hak tersebut dimuat dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, Pasal 6 memuat ketentuan hak untuk hidup. Adapun ketentuan yang memuat bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat dinyatakan dalam Pasal 7. Sedangkan, Pasal 8 memuat ketentuan melarang perbudakan, melarang perdagangan budak, dan melarang kerja paksa atau kerja wajib. Lebih lanjut, pengaturan bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang wenang dinyatakan dalam Pasal 10. Kemudian, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktual nya.

Lebih lanjut Pasal 18 ICCPR menetapkan bahwa hak setiap orang atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan serta perlindungan atas hak tersebut. Isu kebebasan menyatakan pendapat dimuat dalam Pasal 19. Sedangkan,

25

ketentuan yang menyatakan bahwa pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan dinyatakan dalam Pasal 20. Pengakuan hak berkumpul yang damai terdapat dalam Pasal 21. Lebih lanjut, Pasal 22 mengatur tentang hak setiap orang untuk berserikat dan berkumpul. Pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melakukan pernikahan nya dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari pada pihak diatur dalam Pasal 23. Pasal 24 mengatur tentang hak atas kewarganegaraan. Konsep hak politik yakni setiap warga negara ikut serta dalam penyelenggaran urusan publik, memilih dan dipilih, serta mempunyai akses yang sama untuk mengisi jabatan publik dinyatakan dalam Pasal 25. Pasal 26 memuat ketentuan tentang persamaan kedudukan semua orang di mata hukum. Dalam Pasal 27 dinyatakan bahwa melindungi golongan minoritas yang mungkin ada di negara pihak.

Kebebasan mendasar yang diatur pada ICCPR antara lain bahwa setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu. Dalam Pasal 12 dinyatakan bahwa untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun secara sewenang-wenang dapat dirampas hak nya untuk memasuki wilayah sendiri. Selanjutnya Pasal 13 dinyatakan bahwa pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak kovenan hanya dapat melalui hukum dan kecuali ada alasan-alasan yang kuat

26

mengenai keamanan nasional. Konsep persamaan di depan hukum dan praduga tak bersalah dimuat Dalam Pasal 14. Lebih lanjut, Pasal 16 memuat ketentuan hak setiap orang untuk diakui di hadapan hukum dimanapun ia berada. Konsep hak atas privasi dimuat dalam Pasal 17 yang menyatakan tidak boleh dicampurinya secara sewenag-wenang atau secara tidak sah masalah-masalah privasi, keluarga, rumah, atau surat menyurat seseorang. Kewajiban negara untuk menghormati hak-hak yang ada dalam ICCPR diatur dalam Pasal 2.

Diratifikasinya ICCPR menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun tahun 2005 tentunya memiliki makna yang mendalam dalam rangka pemajuan pnghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM khususnya di lingkup hak sipil dan politik. Diratifikasinya ICCPR tentu saja karena tidak melanggar pancasila sebagai Ideologi dan sumber utama dari seluruh hukum yang berlaku di Indonesia.7

Makna terpenting lainnya bagi Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR adalah mewujudkan perintah Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mengamatkan bahwa pemajuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Komitmen bangsa Indonesia sebagai masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM juga melatarbelakangi Indonesia meratifikasi ICCPR.

7

Lihat Konsideran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

27

2.2. Penyebaran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia

2.2.1. Sejarah Awal Masuknya Jemaat Ahmadiyah di Indonesia

Nama Ahmadiyah bukanlah nama yang tidak memiliki makna. Nama Ahmadiyah berasal dari bahasa Arab yakni yang terpuji karena kejujuran dan keluhuran moral yang bersangkutan.8 Ahmadiyah adalah suatu sekte messiah

dalam Islam.9 Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1989.10 Ahmadiyah tidaklah berbeda dengan organisasi gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang menggunakan kitab suci yang sama dengan agama Islam pada umumnya dan masih menggunakan Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah" yang artinya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul allah.11 Secara umum dikenal bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Keberadaan Ahmadiyah sudah ada sebelum Negara Indonesia merdeka.12 Bahkan tidak sedikit kaum Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan.13

Sejumlah pengikut Jemaat Ahmadiyah juga turut membantu perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Tercatat R. Muhyiddin merupakan pengikut Jemaah Ahmadiyah yang dibunuh oleh Belanda pada tahun 1946.14 Selain itu, dikenal pula Maulana Abdul Wahid dan Maulana Ahmad Nurudin

8

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 13. 9

M. A. Suryawan,2005, Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, cet.I, Azzahra Publishing,Tangerang, h. 6.

10

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 12. 11

Ibid, h.12-13. 12

http://www.kompasiana.com/afriadiocu/jemaat-ahmadiyah-krucil-banjarnegara-jawa-tengah_54f929f5a333112b058b476e, diunduh tanggal 28 Agustus 2015. 13

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, 2011, Ahmadiyah Dan KeIndonesiaan Kita, Pustaka Masyarakat Setara, tanpa tempat terbit, h.12

14 Ibid.

28

sebagai penyiar radio yang menyampaikan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. 15

Masing-masing kelompok Ahmadiyah juga membentuk organisasi. Ahmadiyah Qadian dengan Jemaat ahmadiyah Indonesia (selanjutnya disingkat dengan JAI) yang mendapatkan badan hukum melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: JA 5/23/13 tgl. 13-3-1953. Ahmadiyah Lahore membentuk organisasi yang bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang mendapat badan hukum nomor IX tanggal 30 April 1930.16

Sejarah masuknya Ahmadiyah Qaidan ke Indonesia tidak lepas dari peran tiga pemuda yang berasal dari pulau sumatra yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.17 Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo sebagai pusat studi Islam, keinginan tersebut urung dilakukan karena guru mereka menyarankan agar pergi India dengan pertimbangan bahwa negara di Asia selatan tersebut mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam.18 hingga akhirnya pemuda itu pun tiba di kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam, atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore.19

Pada perkembangan selanjutnya, tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut jamiah Ahmadiyah.20 Merasa

15 Ibid. 16

https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah#Ahmadiyah_menurut_pengikutnya diakses

pada tanggal 13 Agustus 2015. 17

Ibid., h.16. 18

http://www.wikiwand.com/id/Ahmadiyyah diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. 19

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 16. 20

29

puas dengan pengajaran di sana, ketiganya mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian.21

Atas permohonan mereka kepada Khalifatul Masih II, maka dikirimlah utusan pertama Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia pada tahun 1925 Yaitu Hz.Mlv.Rahmat Ali ra.22 Dari Aceh Maulana Rahmat Ali Haot menuju ke Jakarta untuk mengembangkan ajaran ahmadiyah. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat sehingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dan menjadikan R. Muhyiddin sebagai ketua pertamanya.23

Pada tanggal 13 Maret 1953 keberadaan Jemaat Ahmadiyah telah disahkan di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.A.5/23/13 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 26 tanggal 31 Maret 1953.24 Surat keputusan dari Menteri Kehakiman tersebut adalah bukti kuat bahwa Jemaat Ahmadiyah bukanlah Jemaat yang ilegal. Ahmadiyah di Indonesia juga bukan ajaran yang sesat karena Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Anggaran Dasar (selanjutnya disingkat dengan AD) Jemaat Ahmadiyah Indonesia.25 Bahkan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakarta Pusat Nomor 0628/Ket/1978 yang ditujukan kepada Noertolo, S.H yang menjabat sebagai

21 Ibid. 22

http://www.alislam.org/Indonesia/latar.html#Ahmadiyah diakses tanggal 29 agustus 2015

23

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h.17. 24

H. Munasir Sidik, 2008, Dasar-Dasar Hukum Dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah, cet. II, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jakarta, h.35.

25

30

Wakil Ketua Ahmadiyah Indonesia, menegaskan status Jemaat Ahmadiyah sebagai sebagai Badan Hukum berdasarkan Statsblaad 1870 No. 64.26

Pada tanggal 5 juni 2003 Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia telah mengakui keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan sifat kekhususan kesamaan agama Islam. Hal itu dapat dilihat pada Surat Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi dengan Nomor Inventarisasi: 75 / D.I / VI / 2003.27

Dari sifatnya, Jemaat ahmadiyah merupakan organisasi kerohanian dan bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik.28 Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 3 (2) AD Jemaat Ahmadiyah Indonesia bahwa tujuan Jemaat Ahmadiah Indonesia adalah mengembangkan ajaran agama Islam, ajaran Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasalam menurut Alquran, Sunnah dan Hadis, dan membina dan memelihara persatuan dan kesatuan Bangsa Serta meningkatkan kemampuan para anggotanya baik dalam bidang sosial, pendidikan, kebudayaan, akhlak, amal bakti maupun kerohanian.29

Dokumen terkait