BAB III METODOLOGI PENELITIAN
D. Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisis data, peneliti berusaha untuk memberikan uraian mengenai hasil penelitian. Tahap ini merupakan tahap lanjutan
setelah peneliti membaca novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Teknik ini dilakukan dengan mendata hasil temuan satu persatu, lalu menganalisisnya. Agar pembaca lebih mudah memahami analisis, maka penulis memberi kode penamaan tuturan untuk setiap bagian dari novel, beserta halamannya. Terdapat enam bagian dalam novel, yaitu dengan judul Pindah, Waskito, Tugas, Perkenalan, Lingkungan, dan Pertemuan. Maka penulis memberi kode sebagai berikut: B.1: untuk tuturan yang terdapat pada bagian berjudul Pindah; B.2: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Waskito; B.3: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Tugas; B.4: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Perkenalan; B.5: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Lingkungan; B.6: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Pertemuan.
1. Tuturan (B.2, hlm.23)
“Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku. “Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu
satunya lagi?”
“Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.”
“Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!”4
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci membandingkan tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat tinggal yang sekarang (Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari, saat perjalan menuju sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: ….
4
33
HASIL PENELITIAN
A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini
Berdasarkan landasan teori pada Bab II, maka diperoleh tabel tuturan sebagai berikut.
No. Kode, Hlm
Penutur Tuturan Keterangan
1. B.2, hlm. 23
Anak Sulung Bu Suci
Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu.
Bu Suci Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan.
Mematuhi maksim kesederhanaan dan maksim permufakatan Anak Sulung Bu Suci
Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu satunya lagi? Bu Suci Gadung. Di tempat kakek
lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.
Mematuhi maksim kesederhanaan Anak
Sulung Bu Suci
Karena tempat kakek lebih luas dari rumah kita di sana.
Mematuhi maksim kesederhanaan dan permufakatan Bu Suci Di sana itu bukan rumah kita,
Sayang. Sekarang, di
Semarang inilah rumah kita!
Melanggar maksim permufakatan 2. B.2, hlm. 23 Anak Sulung Bu Suci
Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat Bu Suci Purwodadi kota kecil. Kantor
Bapak dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari.
Mematuhi maksim kesimpatisan
3. B.2, hlm.24
Bu Suci Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini! Anak
Sulung Bu
Apanya yang bagus? Melanggar maksim permufakatan
Suci
Bu Suci Perhatikan baik-baik!
Atapnya lain dari atap yang di sana itu. Gedungnya
demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya? Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini.
4. B.2, hlm. 24
Kepala Sekolah
Ini Bu Suci. Selama beberapa hari, dua kelas digabung. Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah
mengajar sepuluh tahun lamanya.
Mematuhi maksim penghargaan
Murid-murid
(diam) Mematuhi maksim
kedermawanan 5. B.2,
hlm.25-26
Bu Suci Siapa tahu di mana rumah Waskito?
Murid-murid
(Tangan-tangan juga tidak diacungkan, dua kelompok berbisik-bisik).
Melanggar maksim kedermawanan
Bu Suci Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat?
Murid-murid
(Tidak ada jawaban). Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Kalau ada yang tahu, cobalah
menengok ke sana. Jangan-jangan dia sakit.
Mematuhi maksim kesimpatisan
6. B.2, hlm. 26
Bu Suci Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!
Mematuhi maksim kesimpatisan
Raharjo (Tidak menjawab) Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Ya Raharjo?
Raharjo (Menghindari pandangan Bu Suci)
Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Mengapa tidak menjawab,
Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?
Raharjo Tahu, Bu. Mematuhi maksim
permufakatan Bu Suci Lalu? Terlalu jauh buat
kamu?
Raharjo Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!
Melanggar maksim permufakatan
7. B.2, hlm. 26
Bu Suci Mengapa kamu tidak singgah selama ini? Apakah kamu tidak ingin mengetahui mengapa dia tidak masuk? Raharjo (Menggerakan badan ke
kanan, ke kiri).
Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Siapa lagi yang mengetahui
rumah Waskito?
Murid-murid
(Tidak ada yang
mengacungkan lengan).
Melanggar maksim kedermawanan 8. B.2,
hlm. 27
Bu Suci Marno! Coba, tolonglah Bu Suci! Beritahu mengapa kamu tidak mau menengok
Waskito.
Marno Takut, Bu. Mematuhi maksim
kesederhanaan Bu Suci Mengapa? Raharjo! Ganti
kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumah Waskito!
Raharjo Marno saja, Bu! Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Kamu yang menjadi ketua
kelas di sini. Saya kira kamu seharusnya memberitau apa yang terjadi di dalam
kelasmu. Bu Suci orang baru di sini, bukan? Kamulah yang memberi penjelasan apa yang saya perlukan mengenai kelas
ini.
Raharjo (Menghindari pandangan Bu Suci)
Melanggar maksim kedermawanan 9. B.2,
hlm. 27
Raharjo Rumahnya besar, Bu. Selalu ada anjing yang
menggonggong di halamannya.
Murid lain Dia orang kaya, Bu. Bu Suci Hanya itu? Apa lagi
lain-lainnya? Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.
Melanggar maksim permufakatan 10. B.2, hlm. 27-28 Murid perempuan
Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!
Melanggar maksim kedermawanan Murid
laki-laki
Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada.
Mematuhi maksim permufakatan Bu Suci O, ya? Mengapa? Karena
Waskito suka bergurau? Membikin keributan? Murid
perempuan
Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!
Melanggar maksim permufakatan Murid
perempuan
Dia jahat! Jahat sekali, Bu! Melanggar maksim penghargaan Bu Suci Ah, masa! Tidak ada
anak-anak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur,
ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!
Melanggar maksim permufakatan
Seorang murid
Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja! Mematuhi maksim kesederhanaan Melanggar maksim penghargaan 11. B.2, hlm. 28
Bu Suci Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?
Murid-murid
(Sepertiga kelas
mengacungkan lengan) Bu Suci Bagaimana terjadinya? Kalian
bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?
Murid Tidak, Bu! Melanggar maksim
permufakatan Raharjo Kalau saya, memang
bertengkar! Lalu dipukul!
Mematuhi maksim permufakatan Raharjo Kebanyakan kali tanpa ada
yang dipersoalkan, Bu. Tiba-tiba saja saya memecut atau memukul. Yang paling sering menjegal. Sesudah itu dia pura-pura tidak tahu! Bu Suci Bagaimana dia memukul?
Sampai berdarah?
Murid-murid
(Tidak ada jawaban) Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Menurut peraturan, kalau ada
luka berdarah, harus lapor kepada Kepala Sekolah. 12. B.2,
hlm. 29
Seorang murid
Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya, bengkak sebesar telur!
Bu Suci Apa kata orang tuamu? Seorang
murid
Saya bilang jatuh, Bu. Melanggar maksim kebijaksanaan Bu Suci Mengapa berdusta?
Seorang murid
Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.
Mematuhi maksim kesederhanaan
13. B.2, hlm. 29
Bu Suci Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito? Murid Saya dilempari batu-batu
besar, Bu. Untung tidak kena. Tetapi lampu sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah!
Bu Suci Kamu katakan bahwa Waskito yang
memecahkannya?
Murid Saya bilang tabrakan dengan teman.
Melanggar maksim kebijaksanaan Bu Suci Mengapa?
Murid Saya tidak suka Bapak bikin perkara di sekolah.
14. B.2, hlm. 29
Seorang murid
Lebih baik dia tidak masuk, Bu!
Murid lain Ya, mudah-mudahan dia pindah!
Mematuhi maksim permufakatan Murid lain
(2)
Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!
Melanggar maksim kedermawanan
15. B.2, hlm. 29
Raharjo Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain.
Bu Suci Dari sekolah mana? Raharjo Sekolah swasta, Bu.
Murid lain Bukan! SD negeri juga tapi di kota.
Melanggar maksim permufakatan Murid lain
(2)
Sekolah swasta, betul! Mematuhi maksim permufakatan Raharjo Memang SD swasta. Mematuhi maksim
permufakatan Raharjo Neneknya yang memasukan
dia di sana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.
16. B.2, hlm. 29-30
Bu Suci Waskito tinggal bersama neneknya?
Murid perempuan
Dulu, Bu. Sekarng sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.
Bu Suci Diambil kembali?
Raharjo Ya, Bu. Mematuhi maksim
permufakatan Bu Suci Apakah orang tuanya pernah
pindah ke kota lain atau bagaimana?
Raharjo Tidak tahu, Bu!
Bu Suci Dari siapa kalian mengetahui semua ini?
Raharjo (Tidak menjawab) 17. B.2,
hlm. 30
Bu Suci Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya?
Raharjo Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama neneknya.
Melanggar maksim permufakatan
Bu Suci Jadi dari mana kamu tahu semua itu?
Raharjo Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, lalu berteriak-teriak. Macam-macam yang dikatakan. Yang sering diulang-ulang: Seperti barang. Nih, begini, dilempar ke sana kemari. Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!
Murid lelaki
Kemudian menyebut kakeknya, neneknya, orang tuanya. Semua dicaci-maki! Kami yang ada di dekatnya terkena cambukan atau pukulan.
Murid Perempuan
Tidak semua jelas, Bu.
Paling-paling: aku benci! Aku benci!
18. B.2, hlm. 30
Murid perempuan
Anehnya, kalau dia kambuh begitu, yang menjadi sasaran pertama selalu Raharjo, Marno, Denok.
Rini Aku juga! Selalu kalau aku berada jauh pun, seolah-olah dia sengaja mencari aku untuk kena sabetannya!
Mematuhi maksim permufakatan
Marno Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya.
Mematuhi maksim kesederhanaan Raharjo Saya juga tidak tahu. Mematuhi maksim
permufakatan Denok Apalagi kami anak
perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia!
Mematuhi maksim permufakatan 19. B.3,
hlm. 36
Bu Suci Tua-tua masih paktek, Jeng. Nenek
Waskito
Hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja.
Mematuhi maksim kesedrhanaan
Bu Suci Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?
Nenek Waskito
Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji
pemerintah, Jeng! Katanya hanya supaya tidak
ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat
menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar. Mematuhi maksim kesederhanaan 20. B.3, hlm. 36 Nenek Waskito
Bekas sopir kami tadi datang, Jeng. Memberitahu anaknya ketabrak kolt, sekarang di rumah sakit. Dia sama tua dengan Bapak, tidak bekerja
lagi. Jaga warung bersama isterinya. Bayangkan, akan masuk rumah sakit orang harus bayar dulu sebagian. Mau cari hutangan ke mana! Bu Suci Untung dia kenal Anda
berdua!
Mematuhi maksim penghargaan Nenek
Waskito
Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit. Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran untuk lain-lainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik bis atau Daihatsu.
Mematuhi maksim kesederhanaan
21. B.3, hlm. 37-38
Nenek Waskito
Anak kami belum pernah menghukum, apalagi memukul Waskito! Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniahsebagai ganti
perhatian yang diinginkan. Saya pernah menyaksikan sendiri anak-anak saudara saya. Mereka baru sadar akan kekeliruannya jika kena tangan ayah dan ibu mereka. Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis atau bujukan, dia mungkin harus dipukul. Ah, kalau Anda melihat dia di rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah diberitahu mana yang baik dan mana yang jelek. Seumpama anak berjalan, kaki menyuntuh pot sehingga jatuh pecah. Di rumah kami, saya bilang: hati-hati kalau berjalan, Sayang! Tolong sekarang tanaman dan pot pecah itu dibenahi!
Seumpama ibunya ada,
langsung dia akan membela: ah, enggak apa-apa, nanti saya ganti. Biar pembantu yang membenahi! Nah begitu setiap kali waskito berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak bersikap rapi dan teratur, Jeng.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito) Nenek
Waskito
Saya akui bahwa bapaknya Waskito menjadi laki-laki yang seperti sekarang karena didikan serta pengaruh suami saya. Dia cerdas, pandai, tetapi kaku dan sukar bergaul. Oleh karena itu, setelah kawin lalu mempunyai anak, menjadi bapak yang kakau pula. Didampingi istri yang tidak tahu-menahu soal
Melanggar maksim penghargaan
pendidikan! Naluri punwanita itu tidak punya! Kalau anak rewel, dia mau menggendong, mau memberi makanan atau barang permainan. Tetapi permainan itu diberikan saja begitu! Tidak ditunjukan
bagaimanacaranya supaya benda itu menarik bagi si anak. Jadi, bayi hanya memegangi benda permainan tanpa dapat
mempergunakannya. Jika memang anak sudah memiliki dasar aktif, lain halnya. Tetapi yang umum, anak-anak memerlukan diajak bicara, dibujuk dengan kata-kata ataupun ciuman, belaian. Saya menjadi cerewet mengulang-ulanginya memberitahukan hal ini kepada mereka, Jeng. Baik secara diskusi serius maupun bergurau. Dengan Bapak sendiri, berpuluh-puluh tahun hidup bersama, saya tidak berhasil mempengaruhi dia. Ketika anak kami masih muda, bapaknya terlalu mengarahkan dia ke berbagai lapangan. Semua serba bersungguh-sungguh. Di antaranya, katanya harus bisa memaikan satu alat musik!
Bu Suci (Memperhatikan tuturan Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Katanya lagi, yang paling anggun dan kelihatan serius adalah biola. Maka bapaknya Waskito pun dileskan supaya dapat menggesek biola. Dengan sendirinya dijubeli dengan serba pengetahuan musik klasik. Tidak itu saja! Pergaulannya juga diteliti. Suami saya berpendapat bahwa anaknya “hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua saderajat dengan kami. Artinya sependidikan. Kalau bisa malahan suami saya mengenal orang tua itu! Waktu kawin pun, seumpama bapaknya bilang tidak menyetujui pilihan anak kami, pastilah tidak jadi!
Melanggar maksim kesederhanaan
Nenek Waskito
Padahal kalau keputusan-keputusan lain, saya dapat mempengaruhi Bapak, Jeng! Bu Suci (Bu Suci terdiam)
22. B.3, hlm. 40-41
Nenek Waskito
Anak kami hanya satu, Jeng. Ya
bapak Waskito itu!”
demikianlah si nenek menjawab pertanyaanku. Dialah satu-satunya yang hidup setelah saya mengalami lima kali keguguran. Kata orang saya lemah.
Maklumlah kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak punya anak, katanya si isteri gabuk, steril. Kalau terus-menerus keguguran, katanya
kandungannya yang lemah. Sekarang sudah banyak bacaan medical, saya baru tahu bahwa hal itu bisa saja disebabkan karena bibit laki-laki yang steril atau yang lemah. Zaman saya dulu, belum ada pendalaman pemeriksaan yang macam-macam di sini. Jadi, ya semua salah saya. Tetapi akhirnya,
Mematuhi maksim kesederhanaan
setelah banyak tinggal di tempat tidur, anak saya bisa selamat seorang. Dapat dimengerti mengapa suami saya ingin menjadikan anak itu manusia yang diidamkannya. Apalagi anak lelaki.
Bu Suci Tetapi Ibu „kan juga
memberikan didikan! Nenek
Waskito
Oh, tidak banyak, Jeng!
Sewaktu bayi, kemudian kanak-kanak, saya memang turut membesarkannya. Tetapi sebegitu dia dapat berpikir sendiri, bapaknyalah yang menjadi model. Suami saya menjadi pusat dunia, dicontoh segala-galanya. Kalau anak saya duduk sambil menggoyangkan kursi, saya tegur karena gerakannya membahayakan selain mungkin merusak kursi pula. Jawabnya: Bapak juga begitu. Kalau saya jelaskan karena bapaknya memakai gigi depan palsu sehingga tidak mudah menahan untuk tidak membunyikan suara hirupannya, dia tidak percaya. Hingga dia besar, menjadi insinyur, tepat segala-galanya adalah potret bapaknya.
Nenek Waskito
Suami yang mencari makan, Jeng. Biar dia yang memutuskan dan mengambil prakarsa dalam hidup ini. Mematuhi maksim kesederhanaan 23. B.3, hlm. 41-43 Nenek Waskito
Seminggu sekali, dia kami beri
„upah‟ untuk kepatuhannya
Bu Suci Padahal kelakuan sopan dan menolong mengerjakan tugas-tugas kecil itu sebenarnya kewajiban biasa, Bu. Apakah dengan memberi upah uang itu tidak membuat anak menjadi mata-duitan?
Nenek Waskito
Semula juga kami berpikir begitu, Jeng! Tetapi teman kami, ahli ilmu jiwa anak
mempunyai debatan yang meyakinkan kami. Katanya, anak seperti Waskito berada dalam umur-umuran yang masih bisa dirobah. Dan cara terbaik untuk merobahnyaadalahdengan jalan ini. Dia biasa memegang ribuan rupiah tanpa berbuat sesuatu pun yang berguna bagi orang lain. Cukup merengek, mengatakan kebohongan, tiba-tiba lima ribu diulurkan ke tangannya. Dia harus
disadarkan, bahwa hidup tidak selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya! Jadi, uang merupakan keperluan utama. Kemudian, setelah sebulan dua bulan tinggal bersama kami ternyata kami melihat bahwa dia juga memerlukan perhatian dan dialog.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito) Nenek
Waskito
Itu semua disebabkan karena omongan pembantu, Jeng.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito) Nenek
Waskito
Waskito mengatakan ingin mempunyai burung parkit. Dia sering bercerita bahwa teman sekelasnya memilikinya. Kadang-kadang cucu kami bermain ke sana, dan kami tahu siapa anak itu. Untuk membeli dengan uangnya sendiri, tabungannya belum mencapai. Burung itu cukup mahal, sebaiknya dibeli berpasangan. Lalu kakeknya berunding dengan saya. Sejak Waskito tinggal bersama kam, suami saya banyak berobah. Kebanyakan kali,keputusan tentang anak itu dipasrahkan kepada saya. Tiba-tiba saya merasa lebih berguna dalam
hidup ini, Jeng! Barangkali karena suami saya terpengaruh dengan umur, atau oleh rekan-rekannya yang banyak
mengetahui dalam persoalan anak-anak. Begitulah, kami berdua setuju akan membelikan burung parkit, asal Waskito berjanji mengurus sendiri peliharaannya. Dia harus memberi makanan dan
minuman sebelum berangkat ke sekolah, sore membersihkan kurungan dan sebagainya. Waskito sanggup. Nah, begitu, Jeng. Pada suatuhari,dia sedang mencuci sangkar si parkit, datang seorang pembantu dari rumah orang tuanya. Sudah biasa demikian, sering ada yang membawakan pakaian, makanan atau buah. Saya tidak dapat mencegah ibunya mengirim sesuatu, bukan? Ketika kembali di rumah sana, si ibu tanya kepada pembantu Waskito sedang apa, jawabannya ya jujur: sedang mencuci kurungan burung. Katanya, langsung saja menantu saya menjadi gusar! Dia mengadu kepada suaminya bahwa Waskito di rumah kakek dan neneknya diperlakukan seperti pembantu. Anak itu harus diambil kembali! Bu Suci (Bu Suci merasa kasihan
terhadap Waskito, mendengar cerita Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Bukan maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat mencintainya!
Mematuhi maksim kesimpatisan
Bu Suci (Mendengarkan cerita Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Dua hari sebelum kejadian itu, Waskito pulang dari sekolah
mengatakan, bahwa penjaga halaman di sana sedang membuat cangkokan kembang soka. Yang saya punyai di kebun ini berwarna merah dan satu lagi putih. Sedangkan di sekolah, berwarna kuning. Kata Waskito, Jeng, penjaga sekolah dia beri uang supaya membikin cangkokan buat saya.
Bu Suci (Bu Suci mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek Waskito
Dia anak baik, Jeng.Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi. Baru kali itulah saya merasa rangkulan
lengannya yang tidak ragu-ragu dan erat. Dulu, kalau saya cium, tidak pernah mau ganti
menunjukan kesayangannya. Tangannya terlukai saja di samping tubuh.
Mematuhi maksim penghargaan
24. B.4, hlm. 54
Waskito Tidak, Bu! Saya disini saja! Melanggar maksim permufakatan Bu Suci Mengapa? (sambil mengatur
anak-anak lain) Bu Suci Narsih ke bangku
sana,dibelakang! Di samping Rusidah!
Bu Suci Kalau kamu tidak mau pindah, coba katakan apa sebabnya! Pasti ada alasanmu, bukan? (mengarah pandangan pada Waskito)
Waskito (Tetap tinggal di tempat semula) Bu Suci Baiklah! Saya kira, saya tahu
mengapa kamu tidak mau pindah!
25. B.4, hlm. 55
Bu Suci Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawa semuanya sendiri.
Waskito (Beberapa saat kemudian, Waskito datang ke kantor membawa buku tugas)
Bu Suci Terimakasih! Nanti akan saya periksa. Mematuhi maksim penghargaan 26. B.4, hlm. 56 Murid perempuan
Ah, Waskito! Mengapa sih kamu!
Bu Suci Kalau terdengar lagi kapur yang dilempar, Waskito, akan saya geledah dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari
sakumu sebagai pembayar kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena