• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech pada novel pertemuan dua hati karya NH. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech pada novel pertemuan dua hati karya NH. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh Mia Nurdaniah NIM 1110013000095

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

i

MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. Skripsi. Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.

Kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting saat berinteraksi dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, kesantunan berbahasa memiliki peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Novel sebagai media ajar dapat digunakan pengajar untuk menyampaikan pengajaran mengenai kesantunan berbahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Manfaat dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat teoritis yang dapat memberikan wawasan tentang kesantuan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas dan manfaat praktis yang dapat memberikan sumber referensi baru untuk penelitian selanjutnya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber data primer yang merupakan sumber data pokok berupa novel karya Nh. Dini yang berjudul Pertemuan Dua Hati dan sumber sekunder yang merupakan buku ataupun sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (1) membaca keseluruhan data primer sambil memahami isi dari data tersebut, (2) pengumpulan data, yaitu menandai hal-hal penting yang terdapat pada sumber primer. Hasil penelitian menunjukkan lebih banyak tuturan yang mematuhi maksim kesantunan berbahasa menurut Leech. Berikut adalah jumlah hasil penelitian, terdapat 45 tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini sangat layak untuk dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia pada materi yang berhubungan dengan novel, terutama mengenai membaca novel. Walaupun novel Nh. Dini adalah novel lama, namun Nh. Dini sangat piawai menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki nilai kehidupan untuk pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua dalam mendidik anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran mengenai membaca novel, siswa pun dapat mempelajari kesantunan berbahasa yang terdapat dalam novel dan dapat langsung dipraktekkan pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi sosial, baik dalam lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.

(5)

ii

MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. The title of the research paper is

“Language Politeness Principle Based on Leech in the Novel Entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its Implication towards Teaching Learning Process in Senior

High School”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.

Language politeness is the important aspect when someone interact with other people. In the education environment, language politeness has an important role in the students speaking ability. Novel as the media of teaching learning process can be used by the teacher to convey materials about language politeness. The aim of this research is to know language politeness principle based on Leech in the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its implication towards teaching and learning process in Senior High School. The benefit of this research includes two aspects; the theoretic benefit which could give knowledge about language politeness on teaching and learning process in Senior High School, and practical benefit which could give new reference source for the next research.

This research used descriptive method with pragmatic approach. The source of data that used in this research is divided into two: the primary source of the data that is the main source in the form of novel by Nh. Dini entitled Pertemuan Dua Hati, and secondary source of the data in the form of book or another source related to the problem of object research. Collecting data technique that is used in this research were in this following list; (1) read overall the primary source and try to understand about its content, (2) collected the data, marking important things in the primary source.

Result of the research showed that most of the discourses obey the language politeness maxim based on Leech. The following is the amount of research result, there were forty-five discourses which obey the politeness principle and thirty-eight discourses which contravene the politeness principle. Based on the result of the research, it could be said that the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini is very suitable to be used as a material for teaching and learning Bahasa Indonesia in the topic related with novel, especially about reading a novel. Even though this novel belongs to old novel, Nh. Dini is very adept of using language style that is easy to be understood by the readers and has so many life values for the readers, especially for the teacher and the parents who educate their children. Students are not only able to acquir the material about reading novel, but also able to study about language politeness from the novel and able to practice it directly in their daily life in every social situation, not only in the society environment but also in the school environment.

(6)

iii

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala nikmat dan karunia-Nya serta limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang yang berjudul ”Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Strata (S1) pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Faktultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan inipenulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1) Dra. Nurlena Rifai, M. A., P.h.D., selaku Dekan FTIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2) Didin Syafruddin, M. A., Ph.D., selaku PLT Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;

3) Dra. Hindun, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi;

4) Djoko Kentjono, M.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, bimbingan serta kesabaran dalam membimbing penulis;

(7)

iv

serta adik-adik Agung Permana dan M. Argya. Raffa yang senantiasa mendoakan, memberikan dorongan moral, dan moril, serta memotivasi penulis sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik;

7) Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010, terimakasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini;

8) Aris Fadilah, Deby Rachma Rizka, Nisa Kurniasih, Rizka Amalia Sapitri, Widia Cahya Pratami, Ajeng Rosmala, Siti Halimatussadiah, Anggi Pramesti. Terimakasih telah mundukung, mengingatkan, membantu, menyemangati penulis dalam proses pembuatan skripsi; 9) Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca.

Jakarta, 21 November 2014

(8)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

A. Pragmatik ... 7

1. Pengertian Pragmatik ... 7

2. Kesantunan ... 8

3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ... 8

4. Konteks ... 15

B. Sastra ... 17

a.Pengertian Sastra ... 17

b.Pengertian Novel ... 18

c.Jenis-Jenis Novel ... 20

d.Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel ... 21

e.Biografi Nh. Dini ... 23

f. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ... 25

C. Penelitian Relevan ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Metode Penelitian... 30

B. Sumber Data ... 31

C. Metode Pengumpulan Data ... 31

(9)

vi

A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati

Karya Nh. Dini ... 33

B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ... 60

C. Hasil Analisis Prinsip Kesantunan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ... 103

D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 103

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Simpulan ... 106

B. Saran ... 107

(10)

vii Lampiran 1 Surat Pernyataan Karya Sendiri Lampiran 2 Lembar Uji Referensi

Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 4 Surat Bimbingan Skripsi

(11)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang berkaitan erat dengan tindak tutur. Konteks dalam suatu tindak tutur adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila seorang mitra tutur menafsirkan maksud dari penutur tanpa memperhatikan konteks maka dapat dikatakan orang itu belum sepenuhnya menangkap informasi atau tujuan apa yang disampaikan oleh penutur. Begitu pula dengan penutur, jika ia berbicara seenaknya saja sekedar basa-basi tanpa memperhatikan konteks, maka tujuan dari tuturan tersebut pun tidak tercapai.

Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur maka penutur harus memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan budaya dan adat istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, sikap dan sebagainya yang menggambarkan identitas diri seseorang. Maka dari itu kesantunan merupakan hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan orang lain agar hubungan baik selalu terjaga. Pragmatik, dalam hal ini kesantunan berbahasa dapat dilihat dari karya sastra, misalnya novel.

Sastra merupakan karya lisan ataupun tulisan yang menggambarkan, dan membahas segala macam kehidupan manusia. Kehidupan dalam sastra dibangun oleh tema, penokohan, alur cerita, latar maupun gaya bahasa pengarang dalam penciptaannya. Bahasa yang digunakan pada sastra pun bukan bahasa sehari-hari, tapi bahasa yang memiliki ciri khas, ciri khas tersebut diciptakan oleh para pengarang agar menambah keindahan dari karya sastra yang dihasilkan.

(12)

dan situasi yang pengarang alami diolah sedemikian rupa sehingga menciptakan karya sastra berupa novel.

Totalitas ekspresi pengarang yang dituangkan dalam karyanya yang berupa novel menjadi lebih hidup karena disisipkan interaksi antar tokoh dalam suatu konteks atau situasi kehidupan sehari-hari. Konteks atau situasi kehidupan sehari-hari pada novel biasanya berkaitan dengan masalah pendidikan, percintaan, kemiskinan, kekuasaan, kekeluargaan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, novel dapat dikaji menggunakan ilmu pragmatik tentang kesantunan berbahasa karena terdapat interaksi antar tokoh dengan konteks atau situasi seperti pada kehidupan sehari-hari.

Aspek kesantunan sangat penting saat berinteraksi dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, aspek kesantunan memiliki peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Hal tersebut berkaitan dengan buku yang digunakan dalam pengajaran terutama pada pelajaran Bahasa Indonesia. Pada siswa SMA kelas XI terdapat pelajaran tentang

“menceritakan isi novel”, maka dapat dijadikan media untuk siswa

mendapatkan pengajaran kesantunan. Siswa dapat mengetahui kesantunan dari buku yang bahasanya santun, dan memiliki amanat yang bermanfaat bagi kehidupan siswa.

(13)

menyelesaikan masalah Waskito, dan ingin membantu membimbingnya agar menjadi anak yang lebih baik. Namun, disaat yang bersamaan anak kedua bu Suci dinyatakan menyidap penyakit ayan oleh dokter, maka harus dijaga dan tidak boleh beraktivitas. Bu Suci pun merasa ingin di kelas untuk mengetahui perkembangan Waskito, namun di sisi lain dia harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Karena bu Suci tidak memiliki informasi yang cukup tentang Waskito, akhirnya ia memutuskan untuk ke kediaman kakek, dan nenek Waskito. Di sana bu Suci mendapatkan informasi, bahwa Waskito sebenarnya bukanlah anak nakal hanya saja orangtuanya salah mendidiknya. Dari situ bu Suci mulai mendekati Waskito, ia membuat Waskito lebih dianggap ada keberadaannya oleh teman-teman sekelasnya. Waskito dipercayakan oleh bu Suci melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan, termasuk mengantarkan makanan kepada anak bu Suci yang sedang di rumah sakit. Di akhir cerita, Waskito berhasil menjadi anak yang baik, dan dapat naik kelas.

(14)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Kurangnya siswa dalam menggunakan kesantunan dalam berbahasa. 2. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran bahasa.

3. Keterbatasan kemampuan siswa dalam memahami kesantunan berbahasa.

4. Rendahnya minat siswa dalam membaca karya sastra. 5. Kurangnya presentase pengajaran sastra pada siswa SMA. 6. Tindak tutur tidak hanya terjadi pada karya sastra.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada prinsip kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini yang diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.

D. Perumusan Masalah

Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka diperlukan rumusan masalah dalam suatu penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya N.H Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas?

E. Tujuan Penelitian

(15)

berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.

F. Manfaat Penelitian Manfaat teoretis

Dapat memberikan wawasan tentang kesantunan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Manfaat praktis

Dapat memberikan sumber referensi baru untuk mahasiswa lain yang ingin meneliti hal yang sama dengan penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yaitu:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan ini penulis akan memaparkan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori

Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian sastra, pengertian novel, jenis-jenis novel, unsur intrinsik dan ekstrinsik novel, biografi Nh. Dini, sinopsis novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, pengertian pragmatik, kesantunan, prinsip kesantunan Leech, penelitian relevan, serta implikasi penelitian dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.

BAB III : Metodologi Penelitian

(16)

teknik analisis data. BAB IV : Hasil Penelitian

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang gambaran umum prinsip kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini serta deskripsi, data, analisis data dan interpretasi data.

BAB V : Penutup

[image:16.595.110.519.144.590.2]
(17)

7

LANDASAN TEORI A. Pragmatik

1. Pengertian Pragmatik

Menurut Leech pada tahun 1983, fonologi, sintaksis dan semantic merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik merupakan bagian dari pengunaan tata bahasa (language use).1 Telah banyak ahli yang mendefinisikan pengertian pragmatik. Istilah pragmatik berasal dari pragmatika diperkenalkan oleh Charles Moris (1938).2 Dalam sumber lain

dikatakan pula, :”… pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang

berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam

komunikasi.”3

Pragmatik adalah telaah umum tentang cara kita menafsirkan kalimat dalam suatu konteks (unsur waktu dan tempat mutlak dituntut oleh suatu ujaran).4 Menurut Heatherington (1980:155), pragmatik adalah ilmu yang menelaah mengenai ucapakan-ucapan khusus dalam situasi-situasi tertentu dan memandang performasi ujaran sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konvensi sosial.5 Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). 6 Menurut Ninio dan Snow pada tahun 1998 dan Verschueren pada tahun 1999, pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama. 7

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan pragmatik adalah ilmu yang merupakan bagian dari linguistik, meneliti ujaran yang memiliki konteks dan digunakan dalam berkomunikasi. Cara penutur menafsirkan kalimat dalam

1

Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.20.

2

Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), h.60.

3

Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.16.

4

Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h.3.

5

Ibid., h. 3.

6

Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.8.

7 Soenjono Dardjowidjojo,

(18)

suatu konteks bergantung pada tanda yang melibatkan unsur waktu dan tempat yang digunakan setiap ujaran.

2. Kesantunan

Leech mengatakan bahwa “kesantunan merupakan ujaran yang membuat

orang lain dapat menerima dan tidak menyakiti perasaannya.” Sedangkan Yule menyatakan bahwa “kesantunan adalah usaha mempertunjukan kesadaran yang berkenaan dengan muka orang lain. Kesantunan dapat dilakukan dalam situasi

yang bergayut dengan jarak sosial dan keintiman.”8

Selanjutnya, Baryadi dalam PELBBA 18 mengartikan kesantunan sebagai “salah satu wujud

penghormatan seseorang kepada orang lain”.9

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, kesantunan adalah suatu usaha pola penyampaian pesan dengan menjaga perasaan mitra tutur dengan menghomati mitra tutur agar tidak menyakiti perasaannya dalam situasi tertentu. Cara penghormatan guna menjaga perasaan mitra tutur dilakukan dengan menjaga bahasa yang digunakan dalam berinteraksi, tidak asal bicara dan menyampaikan ujaran dengan bahasa yang sopan.

3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech

Prinsip kesantunan yang dianggap paling lengkap adalah prinsip kesantunan menurut Leech pada tahun 1983. Prinsip kesantunan ini dituangkan dalam enam maksim.

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual. Kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucaapan mitra tuturnya. Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan. Berikut ini enam maksim yang merupakan prinsip kesantunan menurut Leech:

8

George Yule dalam buku Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi , (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h. 67.

9 Yassir Nasanius (peny.),

(19)

1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Kurangi kerugian orang lain, tambahi keuntungan orang lain. Contoh:

Ibu : “Ayo dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.” Rekan Ibu : “Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?”

Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang ibu kepada teman dekatnya pada saat ia berkunjung ke rumahnya.

Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka mitra tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya.. Bandingkan pertuturan (25) yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan petuturan (26) yang melanggarnya.

(25) A: Mari saya bawakan tas Bapak! B: Jangan, tidak usah!

(26) A: Mari saya bawakan tas Bapak! B: Ini, begitu dong jadi mahasiswa!10 2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Menurut Leech dalam The Principles Of Pragmatics, maksim kedermawanan mengacu pada, “Minimize benefit to self: maximize cost to self.”11

Kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri. Contoh:

Bapak A : “Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.”

Bapak B : “Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!”

Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di sebuah perumahan ketika mereka sedang sama-sama merawat mobil masing-masing di garasi.12

10

Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 57.

11 Geoffrey Leech,

(20)

Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, maksim ini disebut juga sebagai maksim penerimaan, yaitu maksim yang menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan (27) dan (28) dipandang kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan (30).

(27) Pinjami saya uang seratus ribu rupiah! (28) Ajaklah saya makan di restaurant itu!

(29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah. (30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant.

Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain. Sebaliknya tuturan (29) dan (30) serasa lebih santun karena penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri.13

3) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Menurut Leech pada The Princiles Of Pragmatics, approbation maxim adalah sebagai berikut.

Minimize dispraise of other; maximize praise of other. An unflattering subtitle for the Approbation Maxim would be „the Flattery Maxim’ – but the term „flattery’ is generally reserved for insincere approbation. In its more important negative aspect, this maxim says „avoid saying unpleasant things about others, and more particulary, about h’. Hence whereas a compliment like What a marvelous meal you cooked! Is highly valued according to the Aprobation Maxim, †What an awful meal you cooked! Is not.14

Approbation maxim yang telah dijelaskan di atas berarti kurangi cacian pada orang lain, tambahi pujian pada orang lain. Approbatin maxim bisa diberi nama

lain, namun kurang baik, yaitu, „Maksim Rayuan‟ – tetapi istilah „rayuan‟

biasanya digunakan untuk pujian tidak tulus. Pada approbation maxim, aspek negatif yang paling penting, yaitu jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Karena itu, menurut approbation maxim, sebuah pujian seperti “Masakanmu enak

12

Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h.59.

13

Chaer, op. cit., h.57.

14

(21)

sekali” sangat dihargai, sedangkan ucapan “Masakanmu samasekali tidak enak!” tidak dihargai.

Contoh:

Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Business English.”

Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari

sini.”

Informasi Indeksal:

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.

Abdul Chaer menyatakan bahwa Approbation Maxim disebut juga maksim kemurahan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

(31) A: Sepatumu bagus sekali!

B: Wah, ini sepatu bekas; belinya juga di pasar loak.

(32) A: Sepatumu bagus sekali!

B: Tentu dong, ini sepatu mahal; belinya juga di Singapura!

Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha memaksimalkan keuntungan pada (B) mitra tuturnya. Lalu, mitra tutur pada (31) juga berupaya santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (B) pada (32) tidak berlaku santun.15

4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

15

(22)

Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri. Contoh:

Sekretaris A: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang

memimpin!

Sekretaris B: “ Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.”

Informasi Indeksal:

Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.

Dalam Kesantunan berbahasa, Modesty Maxim disebut sebagai maksim kerendahan hati. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(40) A: Kamu memang sangat berani.

B: Ah tidak; tadi „kan cuma kebetulan saja.

5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang orang lain, tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

Contoh:

Noni: “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”

Yuyun: “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Informasi Indeksal:

Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.16

16

(23)

Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa menyebut Agreement Maxim dengan sebutan maksim kecocokan, yang berarti menghendaki agar setiap penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka; dan meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.

(41) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.

B: Ya, memang!

(42) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat memalukan.

B: Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.

Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada (42), mengapa? Karena pada (42), B memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A. Namun bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan mitra tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan pernyataan mitra tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan berikut.

(43) A: Kericuhan dalam siding umum DPR itu sangat memalukan.

B: Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum anggota DPR saja.

Pertuturan (43) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.17

6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

17

(24)

Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83).

Contoh:

Ani: “Tut, nenekku meninggal.”

Tuti: “Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berdukacita.”

Informasi Indeksal:

Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. 18

Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, Sympathy Maxim disebut juga sebagai maksim kesimpatian. Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipasti kepada mitra tuturnya. Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46).

(45) A: Bukuku yang kedua puluh sudah terbit. B: Selamat ya, Anda memang orang hebat.

(46) A: Aku tidak terpilih jadi anggota legislatif; padahal uangku sudah banyak keluar.

B: Oh, aku ikut prihatin; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu mendatang.19

Berdasarkan pemaparan di atasa dapat disimpulkan bahwa menurut Leech prisip kesantunan ada 6, yaitu tact maxim (maksim kebijaksanaan), generosity maxim (maksim kedermawanan atau maksim penerimaan), approbation maxim (maksim penghargaan atau maksim

18

Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h.59.

19

(25)

kemurahan), modesty maxim (maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati), agreement maxim (maksim permufakatan atau maksim kecocokan), dan sympathy maxim (maksim simpati atau maksim kesimpatian). Keenam maksim pada prinsip kesantunan, dilihat dari keuntungan terhadap diri sendiri, pengorbanan, pujian, cacian, penyesuaian diri dan simpati serta antisimpati.

Maksim kemufakatan dan maksim simpati berhubungan dengan penilaian penutur kepada dirinya sendiri ataupun pada mitra tuturnya. Sedangkan maksim kebijaksanaan dan maksim kesederhanaan mempunyai kesamaan, karena keduanya berpusat pada orang lain. Maksim kedermawanan dan maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri, baik penutur ataupun mitra tutur.

4. Konteks

Dalam pragmatik, konteks sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan. Menurut KBBI, konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.20 Sedangkan menurut Mey pada tahun 1993, dalam F.X. Nadar adalah the surrounding, in the widest sense, that enable the participants the communication process their interaction intelligible, yang berarti situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Selain itu, pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijana pada tahun 1996, yang menyebutkann bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.21 Leech mengartikan konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan.22 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konteks sangat penting dalam pragmatik yang mengkaji makna dari setiap ujaran dalam suatu situasi. Konteks merupakan latar belakang yang sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur.

20

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi ke-3, h. 728.

21

F.X. Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.3-4.

22 Geoffrey Leech,

(26)

Menurut John. J. Gumperz dan Dell Hymes, konteks dapat mempermudah pola-pola komunikatif dengan menggunakan klasifikasi kisi-kisi yang diajukan Hymes yang dikenal dengan istilah SPEAKING. Istilah SPEAKING, merupakan akronim yang tiap hurufnya merupakan unsur dari konteks. Unsur-unsur itu adalah:

1) Setting dan scene / adegan (S). Setting mengacu pada waktu dan tempat. Contohnya adalah lingkungan yang secara fisik dapat dilihat pada peristiwa tutur berlangsung. Sedangkan dapat pula terjadi suatu ujaran tertentu menjelaskan scene/ adegan.

2) Participant/ peserta (P), termasuk penutur dan mitra tutur, yang menuturkan dan yang mendengarkan, pengirim dan penerima. Tuturan tersebut antara penutur dan mitra tutur dan pedengar yang saling berganti peran.

3) End/ hasil akhir (E), mengacu pada hasil akhir dari respon dalam percakapan yang dilakukan dan juga tujuan akhir personal yang dicari oleh peserta percakapan.

4) Act sequence/ urutan tindakan (A), mengacu pada bentuk dan isi yang actual dari kata-kata yang digunakan, sehingga terhubung antara apa yang dituturkan dengan urutan tindakan dengan tema yang actual saat itu.

5) Key/ Kunci (K), mengacu pada nada/ tone, perilaku atau semangat saat pesan tersebut digunakan, di antaranya adalah serius, bahagia, mencekam, menakutkan, kegembiraan, kelembutan. Kunci yang dimaksud adalah body language atau bahasa tubuh yaitu dengan perilaku gerak tubuh. 6) Instrument (I), mengacu pada pilihan channel/ jalur yaitu sesuatu yang

digunakan agar pesan itu dapat tersampaikan seperti ujaran lisan, tulisan, sms, dan bentuk ujaran yang digunakan seperti bahasa, simbol-simbol, kode dan dialek.

7) Norm/ cara interaksi dan interpretasi (N), merupakan perilaku tertentu yang berkaitan erat dengan peristiwa tutur, baik dari volume suara, ekspresi dan gerak tubuh bahkan diam.

(27)

ditandai dengan cara yang tidak biasa. 23 Menurut Swales pada tahun 1990 dirangkum dalam bahasa Indonesia, menyatakan bahwa suatu genre terdiri atas suatu kelas peristiwa-peristiwa komunikatif yang para anggotanya bersama-sama memiliki beberapa perangkat tujuan komunikatif.24

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hymes memberikan penjelas pada setiap unsur dengan akurat. Unsur dari akronim SPEAKING tersebut digunakan untuk memperjelas konteks setiap tuturan dalam analisis deskriptif pada BAB IV, yaitu peristiwa tutur, tempat, waktu, tujuan, mitra tutur dan situasi.

B. Sastra

1. Pengertian Sastra

Sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari.25 Karya sastra adalah karya imajinatif pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada waktu karya sastra itu diciptakan.26

Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Ças atau sâs dan –tra. Ças dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun intruksi. Akhiran –tra menunjukan satu sarana atau alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi ataupun pengajaran.27

Karya sastra (novel, cerpen, dan puisi) adalah karya imajinatif, fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Karya sastra adalah produk budaya, dan sebagai produk budaya karya sastra mencerminkan ataupun merepresentasikan realitas masyarakat sekitarnya dan pada zamannya. Dengan asumsi itu, karya

23

Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart Writing, 2014), h. 55-56.

24

Fatimah Djajasudarma, Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h.29.

25

A.A. Waskito, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: WahyuMedia, 2009), h. 508.

26

Yuana Agus Dirgantara, Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia, (Garudhawaca, 2012), h. 123.

27

(28)

sastra hanya mencerminkan jiwa zamannya saja.28

Dapat dikatakan bahwa sastra adalah karya imajinatif yang menggambarkan kehidupan sehari-hari namun bahasa yang digunakannya bukan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan pada karya sastra adalah bahasa yang mempunyai ciri khas pengarang, karena itu karya sastra disebut karya yang mempunyai keorsinilan pada penciptaannya. Bahasa yang digunakan mempunyai ciri khas karena sastra diciptakan untuk dinikmati pembacanya.

2. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari

kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena jika dibandingkan

dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian. 29

Novel merupakan genre sastra baru dibandingkan puisi, drama, dan lain-lain, karena novel baru muncul setelah jenis sastra lainnya. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai konteks seperti kehidupan sehari-hari. Ada beberapa pengertian novel yang dikemukakan oleh para ahli.

The American College Dictionary of Current English yang disebut dalam buku Henry Guntur Tarigan, menyebut novel adalah suatu cerita yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang menuliskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.30

Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu pendek.31 Novel merupakan cerita fiktif yang panjang. Di dalam novel terdapat

28

Ibid., h. 32-33.

29 Henry Guntur Tarigan,

Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2011), h. 164.

30

Ibid,. h. 164.

31 Burhan Nurgiyantoro,

(29)

tokoh, gerakan, dan kehidupan nyata yang diwakilkan pada jalan cerita yang mempunyai konflik.

Pengertian selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak sifat pelaku.32 Pengertian novel menurut R.J. Rees pada tahun 1973, “A fictitious prose narrative of considerable length in which characters and actions representative of real life are portrayed in a plot of more or less complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks.33

Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karangan prosa yang mencerminkan kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya yang digambarkan dalam suatu alur yang cukup kompleks dengan beragam bahasa keseharian yang mengandung ciri khas dari kepribadian pengarangnya. Dalam novel, setiap pelaku mempunyai watak dan berinterkasi antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, hal itu yang menonjol dalam novel dibandingkan dengan puisi. Dapat dibuktikan pada puisi tidak terdapat tokoh pun bisa dinikmati oleh pembaca.

3. Jenis-Jenis Novel

Novel memiliki kategori yang beragam, walaupun kategorisasi novel kerap kali menimbulkan pertentangan karena perbedaan pendapat antara pihak satu dengan pihak lainnya. Namun kategorisasi novel sangatlah diperlukan untuk mengetahui serta memahami karakteristik, dan cerita novel. Berikut ini adalah jenis novel dalam Teori Pengkajian Fiksi.

a. Novel serius

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru

32

Pusat Bahasa Depdiknas, op.cit., h. 788.

33 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim,

(30)

dengan cara pengucapan yang baru pula. Novel serius memerlukan daya konsentrasi yang tinggi, dan kemauan jika ingin memahaminya. Novel ini merupakan makna sastra yang sebenarnya. Pengalaman, dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti, dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan

sebuah “dunia-baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.34

Novel serius biasanya mengangkat cerita yang lebih kompleks, bukan hanya kisah asmara antara sejoli. Kisah asmara atau kisah cinta yang diangkat pada novel serius bukan hanya kepada pasangan tetapi bisa saja kepada keluarga, orang tua, teman dan lain sebagainya. Cerita yang disuguhkan dalam novel popular pun lebih rumit. Novel popular tidak berkiblat pada selera pembaca seperti novel popular. Karya novel popular biasanya lebih abadi dari novel popular yang tidak akan diingat pembaca dalam waktu yang lama.

b. Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya. Khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel ini pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya banyak dilupakan orang, apalagi denhan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada asa sesudahnya. Menurut Stanton dalam Teori Pengkajian Fiksi, novel popular lebih mudah dibaca, dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita.35

Novel popular tidak masuk dalam masalah kehidupan yang rumit, kebanyakan novel popular hanya menunjukan emosi-emosi yang biasa remaja

34

Nurgiyantoro, op. cit., h. 18-20.

35

(31)

alami, misalnya masalah asmara. Maka dari itu, jenis novel ini banyak diminati oleh kalangan remaja. Jika sudah habis jamannya, novel jenis ini tidak lagi diingat lagi. Jalan cerita novel popular biasanya sederhana karena novel popular mengincar selera pembaca.

Dari jenis-jenis novel yang disampaikan, maka novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini merupakan novel serius. Hal tersebut karena Pertemuan Dua Hati mengangkat masalah yang perlu direnungkan oleh para pembaca. Novel ini memiliki nilai kehidupan, dan nilai pendidikan yang tidak habis dimakan zaman.

4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel

Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu— di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.

a. Unsur Intrinsik

Unsur Intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. 36 Unsur intrinsik yang dimaksud dalam Wellek & Warren adalah sebagai berikut,

1) Sastra dan seni;

2) modus keberadaan karya sastra; 3) efoni, irama dan matra;

4) gaya dan stilistika;

5) citra, metafora, symbol, dan mitos; 6) sifat dan ragam fiksi naratif; 7) genre sastra;

36

(32)

8) penilaian; 9) sejarah sastra;37

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri, tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Warren, 1956 : 75—135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. 38

5. Biografi Nh. Dini

Bernama pena Nh. Dini atau N.H Dini, penulis novel dan biografi yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di Sekay Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Februari 1936. Ia mengenyam pendidikan di SMA Sastra Bojong pada tahun 1956, selanjutnya Kursus Pramugari Darat GIA Jakarta pada tahun 1956, dan dilanjutkan Kursus B-1 Jurusan Sejarah pada tahun 1957.

Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat yang bekerja di Konsulat Perancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960, namun bercerai pada

37Renne Wellek and Austin Wareen,

Teori Kesusastraan, oleh Melani Budianta, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 1993), h.160-338

38

(33)

tahun 1984. Dari pernikahannya tersebut Nh. Dini dikaruniai dua orang anak bernama Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang Coffin, sutradara dan animator film Despicable Me dan Despicable Me 2.

Nh. Dini diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara blak-blakan ke dalam tulisan. Kini ia tinggal di Yogyakarta walaupun kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan Paris. Ia mulai menulis sajak dan prosa berirama pada tahun 1951 dan membacakannya sendiri di RII Semarang, Jawa Tengah.

Pada tahun 1952, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke siaran nasional RRI Jakarta, dan karyanya mulai ditebitkan di majalah. Cerita-cerita pendeknya mulai diterbitkan majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat pada tahun 1953. Nh. Dini menulis naskah sandiwara radio yang dimainkan oleh kelompoknya sendiri yang diberi nama Kuncup Berseri di RRI Semarang, Jawa Tengah (1953). Ia sempat membentuk sandiwara di sekolahnya, SMA Sastra Bojong dan diberi nama Pura Bhakti pada tahun 1954. 39

Lebih dari 20 tahun ia berpindah-pindah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Tahun 1980 kembali ke Indonesia dan segera aktif dalam Wahana Lingkungan Hidup dan Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana. Tahun 1986 ia mendirikan Pondok Baca Nh. Dini, taman bacaan untuk anak-anak.

Pada tahun 1988, ia memenangkann hadiah pertama lomba penulisan cerpen dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan surat kabar Le Monde, Kedutaan Prancis di Jakarta, dan Radio Franche Internationale, dengan cerpen berjudul Le Nid de Poison dans le Bale de Jakarta.

Berbagai penghargaan telah diterimanya, antara lain: “Hadiah Seni untuk Sastra, 1989” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan); “Bhakti Upapradana

39

(34)

Bidang Sastra” (1991, Pemerintah Daerah Jawa Tengah); dan “South-East Asia

Writes‟ Award” (2003).

Karya:

a) Seri Cerita Kenangan

Sebuah Lorong di Kotaku (1989)

Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987)

Langit dan Bumi Sahabat Kami (1988)

Sekayu (1988)

Kuncup Berseri (1996)

Kemayoran (2000)

Jepun Negerinya Hiroko (2001)

Dari Parangakik ke Kampuchea (2003)

Dari Fontenay ke Magallianes (2005)

La Grande Borne (2007)

Hidup Memisahkan Diri (2008)

b) Novel-novel lain

Pada Sebuah Kapal (1985)

Pertemuan Dua Hati (1986)

Namaku Hiroko (1986)

Keberangkatan (1987)

(35)

Jalan Bandungan (2009)40

Nh. Dini merupakan pengarang wanita yang menempati kedudukan istimewa. Nh. Dini berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya.41

6. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini

Bu Suci adalah seorang guru Sekolah Dasar di Purwodadi. Purwodadi merupakan kota kecil yang gersang tetapi kota itu tempat kelahirannya. Ia adalah seorang guru yang bijak dan sangat menyayangi keluarganya serta murid-muridnya.

Bu Suci pindah ke Semarang karena tempat bekerja suaminya dipindahkan ke sana. Di Semarang ia tinggal dengan suami, ketiga anaknya, dan bibi yang menjaga anak-anaknya. Suami bu Suci orang yang pengertian dan selalu mendukung keinginan bu Suci. Semenjak pindah ke Semarang, bu Suci belum bekerja hanya di rumah saja menjaga anak-anaknya. Ia pun rindu dengan pekerjaannya, hingga suatu hari ia mengantar anaknya ke Sekolah dan ditawari menjadi guru di sana, bu Suci pun menerimanya.

Hari pertama dilalui bu Suci baik-baik saja, namun ada yang mengganjal dalam pikirannya. Hari kedua pun dilalui bu Suci dengan lancar, namun ia mulai mengetahui apa yang mengganjal dalam pikirannya itu. Seorang murid bernama Waskito telah menarik perhatiannya. Ia pun bertanya tentang Waskito pada teman-teman sekelasnya, namun tidak ada yang mau membuka mulut. Bu Suci semakin bingung dengan apa yang terjadi pada Waskito.

Sampai suatu saat, bu Suci akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ternyata Waskito adalah anak yang sukar, begitulah bu Suci menyebutnya. Sukar menurut bu Suci adalah anak yang nakal dan selalu membuat keonaran. Teman-teman Waskito merasa segan dan tidak mau bermasalah dengannya. Mengetahui hal tersebut, bu Suci semakin

40

Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 87-88.

41 Maman S. Mahayana,

(36)

ingin masuk lebih dalam ke masalah Waskito dan ingin menyelesaikannya. Hatinya terdorong untuk melakukan lebih dari apa yang dilakukannya sekarang.

Seolah-olah cobaan sedang menghampiri bu Suci. Anak kedua bu Suci dinyatakan mengidap penyakit ayan oleh dokter, sehingga harus dijaga dan tidak boleh banyak beraktivitas. Bu Suci pun harus menjaga anaknya, tapi di sisi lain, ia ingin sekali di kelas mengetahui perkembangan Waskito dan dia pun harus mengantar anaknya ke rumah sakit untuk berobat.

Untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut, bu Suci mendatangi rumah kakek dan nenek Waskito. Ia pun mendapatkan informasi tentang asal usul kenapa Waskito bersikap seperti itu. Menurut kakek dan neneknya, Waskito sebenarnya adalah anak yang baik tetapi karena orangtuanya memperlakukannya kurang baik maka Waskito menjadi anak yang nakal. Neneknya mengatakan bahwa ayahnya sering memukuli Waskito tanpa sebab yang jelas ketika Waskito melakukan kesalahan, bukan pengarahan yang diberikannya malah pukulan. Sementara ibunya terlalu memanjakan Waskito sehingga ia tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dahulu, sewaktu Waskito tinggal bersama kakek dan neneknya Waskito jadi anak yang disiplin dan tahu aturan, namun semenjak ia kembali kepada orang tuanya ia kembali menjadi anak yang nakal.

Bu Suci berusaha membantu permasalahan Waskito. Ia selalu memperhatikan sikap Waskito ketika sedang berada di kelas. Perlahan bu Suci mendekati Waskito, lalu memintanya mengantarkan makanan ke anaknya yang sedang sakit di rumah sakit. Hal tersebut dimaksudkan bu Suci agar Waskito tahu bahwa ia masih beruntung karena masih diberikan kesehatan dan dapat menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya tanpa harus melakukan hal-hal yang tidak berguna dalam hidupnya.

(37)

bu Suci untuk membuat sesuatu, hingga pekerjaannya mendapatkan penghargaan dari teman-temannya.

Kini Waskito tinggal bersama bibinya, sehingga sudah mulai mendapatkan pelajaran tentang kasih sayang. Waskito senang tinggal di sana meskipun keadaan ekonomi mereka sulit, bahkan kadang mereka harus berbagi makanan. Bu Suci mulai sedikit tenang melihat perubahan yang Waskito tunjukan.

Namun hal itu tidaklah berlangsung lama. Pada suatu hari, Waskito marah kepada seeorang yang menghina tanaman yang ia tanam. Padahal maksud dari seseorang itu hanyalah bercanda. Waskito mengacungkan sebuah cutter, namun bu Suci mengambil cutter dari tangan Waskito dengan berani. Karena kejadian tersebut, semua guru di sekolah sepakat untuk mengeluarkan Waskito dari sekolah. Hal itu dihalangi oleh bu Suci, ia meminta agar diberi waktu untuk membimbing Waskito dan mempertaruhkan pekerjaannya jika ia gagal. Ia pun menekankan kepada Waskito bahwa ia bisa berubah, jika ia gagal, selain Waskito harus pindah dari sekolah itu, pekerjaannya pun dipertaruhkan.

Hal buruk tersebut membuat Waskito dan bu Suci semakin dekat. Waskito sudah mulai memberanikan diri berbagi cerita kepada bu Suci. Waskoto naik kelas pada akhir semester, seluruh keluarganya sangat berterimakasih kepada bu Suci karena dapat membuat Waskito mengubah sikapnya bahkan dapat naik kelas. Seusai itu, Waskito ikut berlibur ke desa Purwodadi bersama keluarga bu Suci sesuai dengan janji bu Suci. Semenjak bertemu dengan Waskito, bu Suci merasa hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito.

C. Penelitian Relevan

Suatu penelitian yang baik, merupakan penelitian hasil dari diri sendiri, tidak boleh menyadur dari hasil penelitian orang lain. Sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan informasi baru. Informasi baru tentu saja didapatkan dari penelitian yang baru. Untuk menghindari adanya penyaduran, maka diperlukan penelitian yang relevan.

(38)

adalah judul skripsi yang terkait.

Pertama, Skripsi yang berudul „Realisasi Kesantunan Berbahasa Anak

Kelas X di SMA Muhammadyah 8 Ciputat‟ disusun oleh Lilis Suci Melati pada

tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti menganalisis kesantunan berbahasa menggunakan prinsip kesantunan Geoffrey Leech. Hasil dari analisis peneliti adalah bentuk petuturan yang terjadi pada kelas X-A di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat menunjukan lebih banyak yang melanggar prinsip kesantunan (politeness principle) di bandingkan yang mematuhinya.

Kedua, Skripsi yang berjudul „Bentuk Kesantunan Berbahasa Dalam Interaksi Verbal Pada Kegiatan Pembelajaran Nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Studi Kasus pada Kelas VII SMP Cilandak Jakarta Selatan Tahun Pelajaran 2011-2012‟ di susun oleh Ina pada tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti menganalisis bentuk kesantunan berbahasa pada kegiatan pembelajaran nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Dalam penelitiannya, peneliti memasukan empat maksim, yaitu maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kebijaksanaan, dan maksim kesederhanaan.

Ketiga, skripsi yang berjudul „Kesantunan Berbahasa Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami (Suatu Kajian Pragmatik) dan Implementasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA‟ disusun oleh Nurul Syaefitri pada tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis memfokuskan permasalahan pada penelitian pragmatik terkait kesantunan berbahasa dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan menggunakan prinsip kesantunan yang dirumuskan oleh Leech. Penulis juga mengaitkannya dengan implementasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang ada di SMA dengan membuat RPP. Kesimpulan yang penulis peroleh adalah tidak selamanya kata-kata seks atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks itu menjadi kata-kata yang tidak sopan dalam prinsip maksim kesantunan berbahasa menurut Leech.

(39)
(40)

30

METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data).1 Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik. Metode deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh. Metode deskriptif disebut juga sebagai metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.2

Pendekatan pragmatik mempelajari strategi-strategi yang ditempuh oleh penutur di dalam mengkomunikasikan maksud-maksud pertuturannya (I Dewa Putu Wijana dalam Kris Budiman (ed.), 2002: 57-58). Pendekatan Pragmatik mengasumsikan bahwa setiap tuturan dilandasi tujuan tertentu, dan setiap peserta tutur bertanggung jawab atas segala penyimpangan bentuk tuturan yang dibuatnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maksud-maksud tuturan, terutama maksud yang tersirat, hanya dapat teridentifikasi melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan mempertimbangkan secara seksama komponen situasi tutur atau konteks (I Dewa Putu Wijana, 1996:3). 3

Pendekatan pragmatik mempelajari proses penutur dalam berkomunikasi untuk menyampaikam maksud pada tuturannya. Pada pendekatan pragmatik, semua tuturan memiliki maksud tertentu dan dipertimbangkan konteks ujaran saat tuturan berlangsung.

1

Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4

2

Ibid,. h.9

3

Nurhayati, Realisasi Kesantunan Berbahasa dala Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya

Ah ad Tohari , , h. 7,

(41)

B. Sumber Data

Terdapat dua sumber data pada penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data-data yang didapatkan dari sumber data yang utama. Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah

Judul Buku : Pertemuan Dua Hati Penulis : N.H Dini

Jumlah Halaman : 88 Halaman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Keempat belas, Desember 2009

Sumber data sekunder adalah sumber data yang digunakan peneliti untuk menganalisis sumber data primer. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian.

C. Metode Pengumpulan Data 1. Membaca

Membaca adalah melihat lalu melafalkan apa yang tertulis. Dalam membaca, seorang pembaca bukan hanya melafalkan namun harus memahami isi dari yang tertulis. Pada penelitian ini, peneliti membaca sumber primer yaitu novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.

2. Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti membaca sumber primer. Pada tahap ini peneliti menentukan klasifikasi maksim kesantunan yang terdapat pada sumber primer.

D. Teknik Analisis Data

(42)

setelah peneliti membaca novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini. Teknik ini dilakukan dengan mendata hasil temuan satu persatu, lalu menganalisisnya. Agar pembaca lebih mudah memahami analisis, maka penulis memberi kode penamaan tuturan untuk setiap bagian dari novel, beserta halamannya. Terdapat enam bagian dalam novel, yaitu dengan judul Pindah, Waskito, Tugas, Perkenalan, Lingkungan, dan Pertemuan. Maka penulis memberi kode sebagai berikut: B.1: untuk tuturan yang terdapat pada bagian berjudul Pindah; B.2: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Waskito; B.3: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Tugas; B.4: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Perkenalan; B.5: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Lingkungan; B.6: untuk tuturan yang terdapat pada bagian yang berjudul Pertemuan.

1. Tuturan (B.2, hlm.23)

“Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku. “Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku. “Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu

satunya lagi?”

“Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.”

“Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah rumah kita!”4

Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci membandingkan tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat tinggal yang sekarang (Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari, saat perjalan menuju sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.

Analisis: ….

4

(43)
(44)

33

HASIL PENELITIAN

A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini

Berdasarkan landasan teori pada Bab II, maka diperoleh tabel tuturan sebagai berikut.

No. Kode, Hlm

Penutur Tuturan Keterangan

1. B.2, hlm. 23

Anak Sulung Bu Suci

Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu.

Bu Suci Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan.

Mematuhi maksim kesederhanaan dan maksim permufakatan Anak Sulung Bu Suci

Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu satunya lagi? Bu Suci Gadung. Di tempat kakek

lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.

Mematuhi maksim kesederhanaan Anak

Sulung Bu Suci

Karena tempat kakek lebih luas dari rumah kita di sana.

Mematuhi maksim kesederhanaan dan permufakatan Bu Suci Di sana itu bukan rumah kita,

Sayang. Sekarang, di

Semarang inilah rumah kita!

Melanggar maksim permufakatan 2. B.2,

hlm. 23

Anak Sulung Bu Suci

Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat Bu Suci Purwodadi kota kecil. Kantor

Bapak dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari.

Mematuhi maksim kesimpatisan

3. B.2, hlm.24

Bu Suci Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini! Anak

Sulung Bu

(45)

Suci

Bu Suci Perhatikan baik-baik!

Atapnya lain dari atap yang di sana itu. Gedungnya

demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya? Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini.

4. B.2, hlm. 24

Kepala Sekolah

Ini Bu Suci. Selama beberapa hari, dua kelas digabung. Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah

mengajar sepuluh tahun lamanya.

Mematuhi maksim penghargaan

Murid-murid

(diam) Mematuhi maksim

kedermawanan 5. B.2,

hlm.25-26

Bu Suci Siapa tahu di mana rumah Waskito?

Murid-murid

(Tangan-tangan juga tidak diacungkan, dua kelompok berbisik-bisik).

Melanggar maksim kedermawanan

Bu Suci Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat?

Murid-murid

(Tidak ada jawaban). Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Kalau ada yang tahu, cobalah

menengok ke sana. Jangan-jangan dia sakit.

Mematuhi maksim kesimpatisan

6. B.2, hlm. 26

Bu Suci Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!

Mematuhi maksim kesimpatisan

(46)

Raharjo (Menghindari pandangan Bu Suci)

Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Mengapa tidak menjawab,

Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?

Raharjo Tahu, Bu. Mematuhi maksim

permufakatan Bu Suci Lalu? Terlalu jauh buat

kamu?

Raharjo Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!

Melanggar maksim permufakatan

7. B.2, hlm. 26

Bu Suci Mengapa kamu tidak singgah selama ini? Apakah kamu tidak ingin mengetahui mengapa dia tidak masuk? Raharjo (Menggerakan badan ke

kanan, ke kiri).

Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Siapa lagi yang mengetahui

rumah Waskito?

Murid-murid

(Tidak ada yang

mengacungkan lengan).

Melanggar maksim kedermawanan 8. B.2,

hlm. 27

Bu Suci Marno! Coba, tolonglah Bu Suci! Beritahu mengapa kamu tidak mau menengok

Waskito.

Marno Takut, Bu. Mematuhi maksim

kesederhanaan Bu Suci Mengapa? Raharjo! Ganti

kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumah Waskito!

Raharjo Marno saja, Bu! Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Kamu yang menjadi ketua

kelas di sini. Saya kira kamu seharusnya memberitau apa yang terjadi di dalam

(47)

ini.

Raharjo (Menghindari pandangan Bu Suci)

Melanggar maksim kedermawanan 9. B.2,

hlm. 27

Raharjo Rumahnya besar, Bu. Selalu ada anjing yang

menggonggong di halamannya.

Murid lain Dia orang kaya, Bu. Bu Suci Hanya itu? Apa lagi

lain-lainnya? Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.

Melanggar maksim permufakatan

10. B.2, hlm. 27-28

Murid perempuan

Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!

Melanggar maksim kedermawanan Murid

laki-laki

Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada.

Mematuhi maksim permufakatan Bu Suci O, ya? Mengapa? Karena

Waskito suka bergurau? Membikin keributan? Murid

perempuan

Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!

Melanggar maksim permufakatan Murid

perempuan

Dia jahat! Jahat sekali, Bu! Melanggar maksim penghargaan Bu Suci Ah, masa! Tidak ada

anak-anak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur,

ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!

(48)

Seorang murid

Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!

Mematuhi maksim kesederhanaan Melanggar maksim penghargaan 11. B.2,

hlm. 28

Bu Suci Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?

Murid-murid

(Sepertiga kelas

mengacungkan lengan) Bu Suci Bagaimana terjadinya? Kalian

bergelut? Bertengkar kemudian berkelahi?

Murid Tidak, Bu! Melanggar maksim

permufakatan Raharjo Kalau saya, memang

bertengkar! Lalu dipukul!

Mematuhi maksim permufakatan Raharjo Kebanyakan kali tanpa ada

yang dipersoalkan, Bu. Tiba-tiba saja saya memecut atau memukul. Yang paling sering menjegal. Sesudah itu dia pura-pura tidak tahu! Bu Suci Bagaimana dia memukul?

Sampai berdarah?

Murid-murid

(Tidak ada jawaban) Melanggar maksim kedermawanan Bu Suci Menurut peraturan, kalau ada

luka berdarah, harus lapor kepada Kepala Sekolah. 12. B.2,

hlm. 29

Seorang murid

Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya, bengkak sebesar telur!

Bu Suci Apa kata orang tuamu? Seorang

murid

Saya bilang jatuh, Bu. Melanggar maksim kebijaksanaan Bu Suci Mengapa berdusta?

Seorang murid

Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.

(49)

13. B.2, hlm. 29

Bu Suci Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito? Murid Saya dilempari batu-batu

besar, Bu. Untung tidak kena. Tetapi lampu sepeda saya pecah. Saya kena mara

Gambar

gambaran umum prinsip kesantunan berbahasa  dalam
tabel sebagai berikut.

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan sorbitol dalam medium purifikasi untuk menghasilkan jumlah sel viabel dan konsentrasi sorbitol yang

Implementasi yang dilakukan adalah dengan melakukan studi lebih lanjut mengenai cara proses pemanfaatan limbah menjadi energi listrik menggunakan metode fuel

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang:.. Nama

[r]

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang:.. Nama

Tahap ini merupakan tahap akhir yang dilakukan dalam proses kreativitas untuk mewujudkan sebuah garapan karya seni tabuh kreasi, yaitu menjadikan suatu kesatuan

Sedangkan pada gambar paling kanan, latar belakng gelap dengan sebagian objek manusia mendapat pencahayaan dari kiri, sehingga pada bagian kanan tubuh wanita

Teknik menggambarkan gerak sangat dikuasai, terbukti dengan cara Onong menggambarkan figur dalam keadaan menari, kaki kanan disilangkan ke belakang diimbangi dengan tangan