• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriftif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskripsi mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam

masyarakat serta situasi-situasi, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.

Menurut Nasir (dalam Tantawi, 2014:66) metode deskriftif yaitu mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena dengan fenomena pada objek yang diteliti. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Asal Usul Tungkot Tunggal Panaluan

Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki anak kembar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil hingga beranjak dewasa mereka selalu bersama-sama dan saling menyayangi layaknya sepasang kekasih. Suatu ketika, raja mengetahui kedua anaknya telah berhubungan suami istri. Lalu raja mengungsikan anaknya ke hutan lantaran malu kepada penduduk desa. Saat di hutan, anak perempuan itu memanjat pohon tada-tada yang sedang berbuah. Saat mengambil buahnya dia ditelan pohon itu hingga kepalanya saja yang tersisa. Dengan segera anak laki-laki itupun memanjat pohon tersebut dengan maksud menolong adiknya, namun dia juga ikut ditelan oleh pohon tersebut dan hanya kepalanya saja yang tersisa.

Keesokan harinya saat raja datang ke hutan mengantarkan makanan untuk anaknya, raja mendengar suara tangisan meminta tolong. Raja mencari asal suara dan menemukan kedua anaknya telah ditelan pohon dan tak dapat membebaskan diri.

Raja bergegas berlari pulang ke desa untuk mencari pertolongan. Setelah menemukan seorang datu yang bersedia untuk menolongnya, mereka pun pergi ke hutan untuk membebaskan anaknya dari tawanan pohon tersebut. Namun saat datu menyentuh pohon itu, dia juga ditelan oleh pohon itu dan hanya kepalanya saja yang tersisa. Hal tersebut juga terjadi sampai pada datu yang kelima. Hingga akhirnya raja pun

membawa datu yang keenam. Datu tersebut berkata, bahwa semua yang ditelan oleh pohon tersebut tidak dapat lagi diselamatkan. Lalu datu itupun menebang pohon itu.

Saat pohon tersebut ditebang, kepala kedua anak raja dan kelima datu itu lenyap ditelan pohon itu seluruhnya. Kemudian datu yang menebang pohon itu kesurupan, dia dimasuki oleh kelima roh datu yang telah lenyap ditelan pohon itu. Roh itu meminta supaya pohon tersebut diukir menjadi tongkat yang menyerupai wajah mereka, dan berjanji akan memenuhi segala keinginan siapapun yang memintanya, sebab kesaktian mereka menyatu yang dapat mengabulkan segala permintaan orang yang memakainya. Hal tersebut dipenuhi oleh raja dan datu tersebut, mereka mengukir pohon itu menjadi sebuah tongkat yang dinamai Tungkot Tunggal Panaluan.

Sumber cerita: Informan K. Sidabutar

4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan

Bentuk kearifan lokal dalam nilai budaya yang dikelompokkan berdasarkan kategori hubungan manusia pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan adalah sebagai berikut:

4.2.1 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan 4.2.1.1 Nilai Religius

Nilai religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain Sibarani, 2012:135). Religi mencakup

kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Harahap dkk, 1987:133).

Kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon merupakan agama suku, yaitu suku Batak khususnya Batak Toba. Mulajadi Na Bolon adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh umat Ugamo Malim (Parmalim). Agama Parmalim meyakini Debata Mulajadi Na Bolon dapat berhubungan kepada manusia yang masih hidup, baik untuk maksud mendatangkan berkah atau untuk mendatangkan malapetaka (Tambunan E.H, 1982:66). Teks berikut menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba memiliki kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon.

“Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya:

“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Na Bolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya” (Seni Patung Batak dan Nias: 49)

Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Na Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan. Kepercayaan tersebut terdapat pada penggalan teks berikut ini:

“Guru Hatimbulan memotong seekor lembu untuk mengadakan pesta martutu aek (memberi nama) kepada kedua anaknya tersebut. Ia mengundang semua penatua-penatua dan kepala kampung dalam perjamuan itu” (Seni Patung Batak dan Nias: 49)

Pesta acara martutu aek ataupun pemberian nama kepada bayi yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba pada umumnya dipertimbangkan dengan cermat, karena suku Batak Toba meyakini nama dan tondi (roh) harus sejalan. Jika mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka dilanjutkan makan bersama dengan menyembelih seekor lembu sebagai ucapan syukur. Setelah Kristen masuk ke tanah Batak, adat martutu aek kemudian menjadi sama dengan babtisan Kristen (tardidi) yang dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada bayi.

Selanjutnya Tambunan E.H mengatakan, orang Batak Toba baik secara pribadi maupun secara kelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia.

Pengakuan demikian nyata benar dalam kehidupan sehari-hari adanya hasrat manusia secara keseluruhan menyerahkan diri kepada kuasa yang dimaksud itu. Hal itu mendorong setiap individu dalam masyarakat supaya tunduk kepada kuasa tersebut sesuai dengan cara bagaimana menghormati kuasa itu sendiri. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya.

Hal ini terdapat pada kutipan teks berikut ini:

“Datu Parmanuk Koling memulai ritualnya, ia berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan kedua anak Guru Hatimbulan” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)

Dalam teks tersebut Datu Parmanuk Koling melaksanakan penghormatan melalui doa dan membaca mantra kepada kuasa roh. Penghormatan dilakukan untuk meminta pertolongan supaya membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan. Selain melaksanakan penghormatan melalui doa dan membaca mantra, memberikan persembahan kepada roh nenek moyang adalah menjadi sebuah tradisi bagi suku Batak Toba untuk menghormati leluhurnya, seperti pada penggalan teks berikut ini:

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata bahwa mereka harus memberikan persembahan kepada semua roh yaitu roh tanah, roh air, roh kayu supaya dapat membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan” Seni Patung Batak dan Nias: 52)

Teks tersebut menunjukkan suku Batak Toba memiliki kepercayaan bahwa memberikan persembahan kepada semua roh dapat memberikan pertolongan kepada mereka dalam menyelesaikan suatu masalah. Tradisi dan kepercayaan demikian tetap dilaksanakan dan dilestarikan suku Batak Toba terhadap penggunaan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut informan P. Situmorang, Tungkot Tunggal Panaluan dipercayai dapat digunakan untuk berkomunikasi kepada Mulajadi Na Bolon dan kepada para roh nenek moyang. Selain itu, Tungkot Tunggal Panaluan juga dipercayai dapat memanggil hujan, menahan hujan dan mengobati segala macam penyakit sesuai dengan permintaan orang yang melaksanakan ritualnya. Proses menggunakan atau manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan tidaklah sembarangan.

Sebelum manortor, datu maupun raja melaksanakan ritual, dalam ritualnya datu maupun raja harus mamele (memberikan persembahan) kepada roh nenek moyang.

Persembahan itu berupa segala jenis makanan parbaringin (parmalim) zaman dulu.

Datu maupun raja akan mengucapkan mantranya dan mendoakan apa yang diinginkannya. Tongkat tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1

Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok.

4.2.2 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat 4.2.2.1 Nilai Peduli Sosial

Nilai peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Sibarani, 2012:135).

Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain. Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri

urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian. Nilai peduli sosial itu terdapat pada teks berikut ini:

“Beberapa hari setelah itu, seorang datu bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan kepada Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan datu Si Parpansa Ginjang dan menyediakan semua yang diminta oleh datu tersebut.” (Seni Patung Batak dan Nias : 51)

Datu adalah seseorang yang mempunyai keahlian ataupun kemampuan di luar daya normal manusia awam. Pada masyarakat Batak Toba, datu bersedia memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut tampak pada penggalan teks cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan tersebut, yaitu datu membantu Guru Hatimbulan dalam membebaskan anaknya dari tawanan pohon.

Sikap tersebut, merupakan sikap peduli sosial pada orang lain yang membutuhkan.

Nilai peduli sosial tersebut masih dapat ditemukan pada masyarakat suku Batak Toba dalam kearifan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut kesaksian informan K. Sidabutar, pernah melihat seorang datu meletakkan Tungkot Tunggal Panaluan disisinya saat menyembuhkan penyakit seseorang. Tungkot Tunggal Panaluan tidak hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit saja, tetapi kesaktiannya juga dapat memenuhi segala yang diinginkan oleh sipemiliknya.

4.2.2.2 Nilai Pelestarian dan Kreativitas Budaya

Pelestarian adalah sebagai kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi (Ranjabar, 2006:115).

Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Defenisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya selanjutnya menjadi kebiasaan.

Menurut Keterangan P. Situmorang, masyarakat di desa Tomok selalu melestarikan dan membudidayakan Tungkot Tunggal Panaluan setiap tahunnya pada bulan Juli dengan melaksanakan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara horja bius (bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok). Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai dalam acara horja bius bukanlah tongkat yang asli, karena Tungkot Tunggal Panaluan yang asli disimpan di Pusuk Buhit yang merupakan tempat penyimpanan harta peninggalan raja-raja Batak di zaman dahulu dan tidak pernah dikeluarkan.

Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai di acara tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon yang memiliki kemampuan memberi kesaktian pada Tungkot tersebut. Selain untuk tujuan menghormati leluhur dan meminta perlindungan kepada nenek moyang, tortor Tungkot Tunggal Panaluan juga bertujuan untuk meperkenalkan kebudayaan suku Batak Toba kepada generasi di desa itu dan kepada wisatawan yang datang ke desa Tomok. Hal tersebut dibenarkan oleh

informan Lusiana Silalahi. Dia menyaksikan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang dibawakan oleh raja Sidabutar dalam acara horja bius. Dalam acara tersebut juga dipertunjukkan drama yang mengisahkan asal mula terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan. Informan K. Sidabutar juga mengutarakan bahwa masyarakat di desa Tomok sering manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan sebagai bentuk pelestariannya supaya kebudayaan itu tidak terhapuskan ditelan kemajuan zaman.

Begitu juga dengan Informan Pebri Sidabutar, dia pernah menyaksikan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara pagelaran seni dan budaya yang diadakan pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dalam acara tersebut, yang melaksanakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan adalah agama Parmalim.

Namun, dia menerangkan bahwa selain yang beragama Parmalim juga boleh mengadakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan seperti pada acara horja bius dan hari hari penting lainnya. Demikian juga dengan yang dikatakan informan Op. Yesaya Sidabutar, yang mengatakan Tungkot Tunggal Panaluan tetap dibudidayakan dan ditampilkan sebagai pertunjukan maupun drama dalam setiap acara penting di desa Tomok sebagai bentuk pelestarian masyarakat Batak Toba terhadap budaya leluhurnya. Ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kekuatan magis hanya didapati di zaman dulu saat masyarakat Batak Toba masih memeluk agama Parmalim. Pertunjukan Tungkot Tunggal Panaluan yang ditampilkan di zaman sekarang adalah untuk tujuan melestarikan budaya Batak Toba, dan tidak ada lagi kekuatan magis maupun mantra yang sesunguhnya. Dia juga menambahkan bahwa Tortor Tungkot Tunggal Panaluan telah menjadi kearifan lokal di desa Tomok, karena tortor tersebut selalu dibawakan dalam event tetap yaitu horja

bius di desa Tomok. Tortor Tungkot Tunggal Panaluan dapat dilihat pada gambar 4.2, dan 4.3 pada acara pagelaran seni yang diadakan di desa Tomok.

Gambar 4.2

Tortor Tungkot Tunggal Panaluan

Gambar 4.3

Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan

Gambar 4.4

Drama ritual Tungkot Tunggal Panaluan

Pada teks berikut ini terdapat pernyataan bagaimana pemanfaatan selanjutnya pada Tungkot Tunggal Panaluan yang diamanatkan oleh roh yang bersemayam pada tongkat tersebut:

“Lalu roh itu berkata:

“Baiklah, biarlah begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk meminta hujan, menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri dan membantu dalam peperangan” (Seni Patung Batak dan Nias: 53)

Tungkot Tunggal Panaluan yang dibudidayakan oleh masyarakat suku Batak Toba terdapat pada keterangan P. Situmorang, yang menyatakan bahwa Tungkot Tunggal Panaluan tidak boleh dipergunakan dan dipatortorhon oleh sembarangan orang, karena yang dapat mempergunakannya hanyalah raja (seseorang yang bermarga asli dari keturunan di desa dimana Tungkot Tunggal Panaluan

dipatortorhon, seperti di desa Tomok hanya marga Sidabutarlah yang dapat manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan). P. Situmorang pernah dimintai untuk patortorhon Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok. Namun, P. Situmorang menolak karena dia bukanlah keturunan marga asli di desa Tomok tetapi, dia adalah keturunan marga Situmorang yang pernah diperistri oleh raja Sidabutar di jaman dahulu. Menurut kesaksian P. Situmorang di desa Tomok pernah ada dua orang yang bermarga Sigiro dan Sagala manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan, setelah usai manortor mereka jatuh sakit dan tidak lama kemudian akhirnya meninggal dunia.

Kejadian tersebut diyakini oleh masyarakat desa akibat mereka manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan dengan sembarangan orang yang bukan raja di desa itu.

Pernyataan tersebut juga didapat dari informan K. Sidabutar yang mengatakan bahwa orang yang melaksanakaan ritual maupun tortor Tungkot Tunggal Panaluan harus dilakukan oleh seorang raja yang merupakan pemimpin marga di desanya dan memiliki penjaga badan supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya saat menjalankan ritual maupun tortor. Hal itu terbukti, karena telah terjadi kehilangan nyawa seseorang yang sembarangan melakukan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan tersebut. Selanjutnya Pebri Sidabutar mengatakan, pada acara pagelaran seni dan budaya yang dia saksikan, Tungkot Tunggal Panaluan dipertunjukkan oleh beberapa orang. Seseorang diantaranya memegang Tungkot Tunggal Panaluan sambil kesurupan dan seperti berbicara kepada Tungkot Tunggal Panaluan, dalam pagelaran tersebut mereka melaksanakan ritualnya untuk meminta hujan sambil diiringi gondang dan tortor oleh beberapa orang lainnya. Beberapa saat kemudian seketika itupun turun hujan. Begitu juga dengan pernyataan Op. Yesaya Sidabutar yang

mengatakan bahwa Tungkot Tunggal Panaluan sebagai tongkat yang sakti digunakan oleh pemimpin adat yang beragama parbaringin (parmalim) untuk meminta hujan dan menolak bala saat musim kemarau panjang.

Masyarakat suku Batak Toba memiliki budaya dengan ragam kesenian yang menarik. Ragam kesenian tersebut mulai dari seni rupa, seni musik, seni tari dan seni untuk ekonomiyang hidup dan menyatu dengan adat istiadat dan sisi religi kehidupan masyarakatnya.

a. Seni Rupa

Keterampilan memahat dan mengukir merupakan bagian dari seni rupa yang ditekuni oleh beberapa masyarakat suku Batak Toba. Kutipan teks berikut ini menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba kuno telah mengenal seni rupa dalam mengukir.

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata kepada Guru Hatimbulan:

“Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah sesuai gambaran dari orang-orang yang ditelan oleh pohon ini”

Guru Hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk lima orang datu, dua orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular. Setelah selesai mengukir tongkat tersebut menjadi sembilan rupa, maka semua orang kembali ke kampung Guru Hatimbulan. (Seni Patung Batak dan Nias: 53)

Teks diatas dibenarkan dalam pernyataan informan K. Sidabutar yang menyatakan Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat berukir tujuh wajah manusia dan lima diantaranya wajah datu bolon (dukun besar) yang memiliki bermacam kesaktian sesuai kemampuan kelima datu bolon yang terukir dalam tungkot tersebut.

Tungkot Tunggal Panaluan yang asli sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.

Namun, Tungkot Tunggal Panaluan telah diduplikat yang tetap memiliki kesaktian karena tungkot tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon. Setiap pemimpin marga Batak Toba memiliki Tungkot Tunggal Panaluan, bahkan suku lain dan warga negara lain pun pernah memiliki tungkot yang sakti tersebut. Di masa sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kesaktian sudah tidah tidak pernah dibuat lagi, karena datu bolon tidak bersedia lagi untuk mengisi kekuatan pada Tungkot Tunggal Panaluan. Kebenaran tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5.

Gambar 4.5

Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak diisi kekuatan gaib.

b. Seni Musik dan Seni Tari

Tambunan E.H (1986:85) mengatakan, seni musik dan seni tari merupakan seni yang selalu dibawakan dengan bersamaan. Seni musik pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan alat-alat instrumen gendang yang terbuat dari bahan perunggu, yang disebut ogung atau gong. Upacara pukul gong berkaitan dengan kuasa magis, iramanya begitu rapat dikaitkan dengan kepercayaan kepada nenek moyang. Upacara gong diadakan sambil manortor (menari) untuk memohon kemenangan, kesehatan dan kehidupan sejahteraan kepada Mulajadi Na Bolon. Irama tortor disesuaikan dengan irama gong. Seni musik dan seni tari tersebut terdapat pada teks berikut:

“Ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Guru Hatimbulanmengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang diukir pada tongkat tersebut. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor, maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Laludatu Si Parpansa Ginjang manortor, melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-orangyang ditelan pohon itu dan mulai berbicara satupersatu”(Seni Patung Batak dan Nias: 52)

Masyarakat suku Batak Toba mulanya memainkan gong dan tortor untuk memuja Mulajadi Na Bolon. Pelestarian dan kreativitas oleh masyarakat tersebut akhirnya menjadikan tarian itu menjadi umum dan dijadikan seni budaya suku Batak Toba.

Menurut informan P. Situmorang, datu maupun raja yang menggunakan atau manortorhon (menarikan) Tungkot Tunggal Panaluan harus menggunakan jubah, yaitu memakai ulos godang serta sorban dikepala. Manortorhon Tungkot Tunggal

Panaluan harus diiringi gondang sabangunan dan para pengikutnya juga bersama-sama ikut manortor, dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4.6

Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang serta sorban di kepala yang diiringi gondang sabangunan.

c. Seni untuk Ekonomi

Nilai pelestarian dan kreativitas budaya pada masyarakat Batak Toba tercermin dari mempertahankan nilai-nilai seni budayanya, serta kebiasaan memunculkan ide atau gagasan menjadikan karya selanjutnya dan menyesuaikan dengan situasi yang selalu berubah dan berkembang.

Menurut P. Situmorang, bentuk kreativitas masyarakat di desa Tomok terhadap pelestarian Tungkot Tunggal Panaluan yaitu mereka mengukir kayu menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan dan menjadikannya sebagai cendramata dari desa Tomok. Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dijadikan cendramata tidaklah

memiliki kesaktian, karena Tungkot tersebut tidak diisi kekuatan magis. Selanjutnya P. Situmorang juga menambahkan, walaupun Tungkot Tunggal Panaluan yang dijual di kios-kios desa Tomok yang dijadikan cendramata tidak memiliki kesaktian, namun kita tidak boleh manortorhonna dengan sembarangan. Karena manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan adalah harus untuk tujuan yang baik dan dilakukan dengan ritual yang benar serta dipatortorhon dengan baik.

Selanjutnya dijelaskan Informan T. Siahaan yang kesehariannya menjual Tungkot Tunggal Panaluan di kios miliknya, dia membeli Tungkot Tunggal Panaluan dari pengrajin seni rupa yang berkediaman di desa Tomok. Menurut pengakuannya, Tungkot Tunggal Panaluan yang merupakan salah satu cendramata dari desa Tomok sangat laris dibeli oleh para wisatawan negara maupun mancanegara. Ibu T. Siahaan menjual Tungkot Tunggal Panaluan mulai dari Rp.

100.000 sampai Rp 1.500.000 sesuai dengan jenis ukiran dan ukurannya, dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut ini:

Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata.

4.2.2.3 Nilai Peduli Sesama

Peduli dengan sesama adalah memperhatikan dan memahami sesama

Peduli dengan sesama adalah memperhatikan dan memahami sesama

Dokumen terkait