• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR: KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR: KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA SKRIPSI"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH:

HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT 130701048

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT NIM 130701048

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Hariadi Susilo, M.Si. Emma Marsela, S.S, M.Si.

NIP 19580505 197803 1 001 NIDT 199101152017042001

Program Studi Sastra Indonesia Ketua,

Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P.

NIP 19590907 198702 1 002

(3)

Skripsi ini diterima oleh panitia ujian Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana.

PANITIA UJIAN

No Nama Jabatan Tanda Tangan

1 Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. Ketua ...

2 Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. Sekretaris ...

3 Drs. Hariadi Susilo, M.Si. Anggota ...

4 Emma Marsella, S.S, M.Si. Anggota ...

5 Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota ...

6 Drs. Irwansyah, M.S. Anggota ...

(4)

PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Adapun bagian- bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang dijadikan sebagai sumber referensi telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Oktober 2017 Penulis,

Haryati Margharetha Hutasoit

(5)

ABSTRAK

KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT

TUNGKOT TUNGGAL PANALUAN DI DESA TOMOK KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR:

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA

OLEH:

HARYATI MARGHARETHA HUTASOIT Sastra Indonesia FIB USU

Penelitian ini mendeskripsikan tentang bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir. Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat ukiran wajah tujuh manusia dan beberapa hewan yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari kayu tertentu dan memiliki kesaktian. Tungkot Tunggal Panaluan menjadi warisan budaya yang secara turun-temurun dimanfaatkan serta dilestarikan oleh suku Batak Toba. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, wawancara dan dokumenter. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori antropologi sastra. Hasil penelitian ini, terdapat enam nilai budaya yang dapat mendeskripsikan bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat Batak Toba di desa Tomok. Keenam nilai budaya tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri (a) nilai tanggung jawab.

Kata kunci: kearifan lokal, cerita rakyat, antropologi sastra.

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perlindungan dan kemurahan-Nya memberkati penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul ”Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir:

Kajian Antropologi Sastra” ini dibuat untuk memenuhi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, kritik dan saran dari berbagai pihak, baik berupa moral maupun materi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih dengan setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M. S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M. A, Ph. D. selaku Wakil Dekan I, Ibu Dra. Heristina Dewi, M. Pd. selaku Wakil Dekan II, dan Prof. Dr.

Ikhwanuddin Nasution, M. Si. selaku Wakil Dekan III.

2. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia, dan Bapak Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I. dan Ibu Emma Marsella, S.S, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dengan sepenuh hati dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

4. Bapak dan Ibu staf pengajar di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, dan kepada Bapak Slamet yang membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

5. Orangtua penulis, Bapak St J. Hutasoit dan Ibu T. Simamora, ketiga saudara-saudariku: keluarga Abang B. Hutasoit, Amd. / H.Sinulingga, S.E.

Kakak Mawar Hutasoit, S.pd. dan Adikku Putri Hutasoit, kasih dan hormatku buat kalian, semoga keluarga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. (Terimakasih untuk dukungan materi dan moral yang telah kalian berikan untukku). Juga kepada seluruh keluarga besar yang turut dalam memberikan motivasi kepada penulis mulai dari awal hingga sampai menyelesaikan studi.

6. Teman-teman seperjuangan stambuk 2013, Senior dan Junior Program Studi Sastra Indonesia-USU yang turut memberikan semangat kepada penulis, dan teristimewa buat yang terkasih Simson Aritonang, Amd. yang selalu sabar membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi.

7. Bapak, Ibu, dan Saudara yang bersedia menjadi informan saat penulis mengadakan penelitian di desa Tomok.

8. Semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, semoga selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

(8)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih.

Medan. Oktober 2017 Penulis,

Haryati Margharetha Hutasoit

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok... 26

Gambar 4.2 Tortor Tungkot Tunggal Panaluan ... 30 Gambar 4.3 Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan.30 Gambar 4.4 Drama ritual Tungkot Tunggal Panaluan... 31

Gambar 4.5 Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak diisi kekuatan gaib ... 34

Gambar 4.6 Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang serta sorban di kepala yang diiringi gondang sabangunan ... 36 Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata ... 37

(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 4

1.3 Rumusan Masalah ... 4

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Kearifan Lokal... 7

2.1.2 Cerita Rakyat ... 11

2.1.3 Samosir ... 12

2.2 Tinjauan Pustaka ... 13

2.3 Landasan Teori ... 15

(11)

2.3.1 Antropologi Sastra... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Metode Penelitian ... 17

3.2 Lokasi, Sampel dan Waktu Penelitian ... 17

3.3 Sumber Data ... 17

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 18

3.5 Teknik Analisis Data ... 19

BAB IV PEMBAHASAN ... 21

4.1 Asal Usul Tungkot Tunggal Panaluan ... 21

4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan ... 22

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Simpulan ... 41

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN I Data Informan ... 47

LAMPIRAN II Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 49

LAMPIRAN III Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan ... 50

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Samosir merupakan daerah yang sangat kaya dengan warisan budaya leluhurnya. Kekayaan warisan leluhur ini patut disyukuri karena memiliki kekayaan khazanah budaya suku Batak Toba yang tidak ternilai. Warisan budaya Samosir dapat kita lihat mulai dari potensi alam lingkungan terutama, adat-istiadat, upacara ritual, sakral, sistem pengetahuan tradisional, senjata tradisional, tempat-tempat bersejarah, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber daya dan merupakan modal utama bagi pengembangan, peningkatan dan pemanfaatan secara optimal. Dengan pemanfaatan warisan budaya akan mendukung upaya memelihara, menumbuhkan, mengembangkan apresiasi dan kreatifitas masyarakat, sebagai upaya pelestarian budaya bangsa.

Artha (2004:28) mengatakan bahwa warisan budaya menuntut kita untuk membicarakan tentang konsep benda cagar budaya yang telah resmi dipakai oleh pemerintah dalam undang-undang yang memberikan perlindungan kepada benda- benda cagar budaya, yang juga merupakan warisan budaya. Di kabupaten Samosir, yang paling bertanggung jawab melestarikan kebudayaan adalah pemerintah daerah itu sendiri, baik melalui dinas-dinas yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Seyogianya pemerintah daerah melakukan berbagai upaya untuk mengelola dan melestarikan warisan budaya leluhur kita yang sangat kaya dan beragam tersebut.

(13)

Pelestarian itu sendiri harus memiliki tiga unsur sekaligus, yaitu adanya unsur perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya itu sendiri.

Sibarani (2012:127-128) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam serta lingkungan sosialnya. Pada umumnya untuk menghadapi dua ruang interaksi itu manusia memiliki kearifan dari tiga sumber yaitu dari nilai budaya yang kita sebut dengan kearifan lokal, aturan pemerintah yang lebih modern, dan agama. Dengan tiga sumber kearifan itu manusia menjalani kehidupannya dalam ruang interaksi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pada gilirannya, kedua ruang interaksi itu memproduksi nilai dan norma budaya baru yang berlaku pada komunitasnya dan yang berbeda dengan nilai budaya pada komunitas lainnya. Nilai dan norma budaya semacam itu menjadi kearifan lokal baru yang telah mengalami transformasi. Nilai-nilai tersebut cukup arif sebagai landasan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, kearifan lokal adalah nilai dan norma budaya yang menjadi acuan tingkah laku manusia untuk menata kehidupannya.

Sebagai pendekatan baru dalam dunia sastra, maka antropologi memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan masyarakat tertentu, serta menemukan makna/nilai yang terkandung dalam setiap aspek budayanya. Koentjaraningrat (Ratna, 2011:395) mengatakan antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.

(14)

Menurut Endraswara (2008:109) analisis antropologi sastra akan mengungkapkan berbagai hal, antara lain: (1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. (2) peneliti akan mengungkap akar tradisi serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam karya sastr, dalam kaitan ini tema-tema tradisional yang diwariskan turun-temurun akan menjadi perhatian tersendiri. (3) kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra. (4) peneliti juga perlu memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu. (5) kajian diarahkan pada unsur- unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut. (6) perlu dilakukan kajian terhadap simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat pengagumnya.

Cerita rakyat pada suku Batak Toba sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakatnya hingga saat ini. Penelitian ini akan membahas tentang cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan. Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat ukiran wajah tujuh manusia dan beberapa hewan yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari kayu tertentu dan memiliki kesaktian. Tungkot Tunggal Panaluan menjadi warisan budaya yang secara turun-temurun dimanfaatkan serta dilestarikan oleh suku Batak Toba terkhusus pada masyarakat Samosir sebagai daerah asal-usul suku Batak Toba.

Menurut cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta terlarang dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan dan Si Boru Tapi Nauasan. Mereka melanggar norma dengan melakukan hubungan badaniah sehingga mendapatkan karma yaitu ditelan pohon piu-piu tanggulon (hau

(15)

tada-tada) dan tidak dapat terbebaskan. Ada lima orang datu yang berusaha membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh pohon tersebut.

Hingga akhirnya, seorang datu terakhir berhasil memotong pohon tersebut dan menjadikannya sebuah tongkat dengan ukiran menyerupai rupa manusia dan hewan yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut menjadi tongkat sakti yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti untuk meminta hujan, menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, dan membantu dalam peperangan.

Berdasarkan kebudayaan yang terdapat pada cerita tersebut seperti seninya, kesaktian dan pelestariannya, teori antropologi sastra yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau, hadir untuk menganalisis bentuk kearifan lokal masyarakat Batak Toba pada Tungkot Tunggal Panaluan.

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan sebuah penelitian akan mengalami kesulitan tanpa batasan masalah yang akan menjadikan penelitian terarah dan terfokus terhadap tujuan penelitian. Batasan masalah dalam penelitian ini terfokus pada bentuk kearifan lokal Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

(16)

1) Bagaimanakah asal-usul Tungkot Tunggal Panaluan menurut masyarakat desa Tomok?

2) Bagaimanakah bentuk kearifan lokal pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk mendeskripsikan bagaimana asal-usul Tungkot Tunggal Panaluan menurut masyarakat desa Tomok.

2) Untuk mendeskripsikan bentuk kearifan lokal yang terdapat pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini : 1.4.2.1 Manfaat Teoritis:

1) Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami bentuk-bentuk kearifan lokal pada Tungkot Tunggal Panaluan.

2) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan bagi pembaca yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada pembaca untuk memahami teori antropologi sastra untuk menganalisis kearifan lokal dalam karya sastra.

(17)

1.4.2.2 Manfaat Praktis:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih melestarikan kearifan lokal kebudayaan masing-masing disetiap suku yang ada di Indonesia.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kearifan lokal kebudayaan daerah dan kesusastraan Indonesia.

3) Memberikan informasi kepada pembaca tentang bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan.

(18)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep

2.1.1 Kearifan Lokal

Sibarani (2012:177) mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebijaksanaan dan pengetahuan asli suatu mayarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Dengan defenisi ini, kita memahami bahwa kearifan lokal itu bukan hanya nilai budaya, tetapi dapat juga dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat dan mencapai peningkatan kesejahteraan serta pembentukan kedamaian. Setiap etnik di Indonesia memiliki banyak nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan masyarakat. Nilai-nilai budaya dari berbagai etnik di Indonesia pada umumnya saling mengisi dan saling melengkapi untuk satu kearifan lokal.

Menurut Sibarani (2012:133) jenis-jenis kearifan lokal itu antara lain (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (17) rasa syukur.

Suyanto (dalam Sibarani, 2012:135) mengatakan untuk pembangunan karakter bangsa Indonesia, kearifan lokal menjadi sumber penting yang harus dimiliki oleh generasi penerus bangsa. Pembentukan karakter berarti mengajarkan kearifan-

(19)

kearifan lokal pada generasi muda. Karakter adalah sikap dan cara berpikir, berperilaku, dan berinteraksi sebagai ciri khas seseorang individu dalam hidup, bertindak, dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa. Dalam naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan delapan belas (18) nilai karakter yang akan dikembangkan atau ditanamkan kepada anak-anak dan generasi muda bangsa Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut adalah: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.

Kebudayaan lokal sejatinya menunjuk kepada karakteristik masing-masing keragaman setiap suku di Indonesia. Karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku masyarakatnya. Setiap etnis mempunyai nilai budaya sendiri dan proses pewarisannya dalam pembentukan karakter masyarakat pendukungnya.

Menurut Djamaris dkk (1996:3), nilai budaya dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya alam hubungan manusia dengan orang lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri. Selanjutnya Djamaris dkk, menjelaskan nilai budaya tersebut sebagai berikut:

(20)

1. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan

Perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan, sebagai Yang Suci, Yang Mahakuasa, adalah hubungan yang paling mendasar dalam hakikat keberadaan manusia di dunia ini. Berbagai cara dan bentuk dilakukan manusia untuk menunjukkan cinta kasih mereka kepada Tuhan, karena mereka ingin kembali dan bersatu dengan Tuhan. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan Tuhan adalah nilai ketakwaan, suka berdoa, dan berserah diri.

2. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam.

Alam merupakan kesatuan kehidupan manusia di mana pun dia berada.

Lingkungan ini membentuk, mewarnai, ataupun menjadi objek timbulnya ide-ide dan pola pikir manusia. Manusia memandang alam karena masing-masing kebudayaan memiliki persepsi yang berbeda tentang alam. Ada kebudayaan yang memandang alam sebagai sesuatu yang dahsyat, ada pula kebudayaan memandang alam untuk ditaklukkan manusia, dan ada kebudayaan lain yang menganggap manusia hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan alam adalah nilai penyatu dan pemanfaatan alam.

3. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi. Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena dia berusaha mengelompokkan diri dengan anggota masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan

(21)

kepentingan diri sendiri. Kepentingan yang diutamakan dalam kelompok atau masyarakat adalah kebersamaan.

4. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain

Sebagaimana telah dinyatakan dalam nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat bahwa manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya hidup dalam kesatuan kolektif, manusia dipastikan selalu berhubungan dengan manusia lain. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah nilai keramahan dan kesopanan, penyantun/kasih sayang, kesetiaan, dan kepatuhan kepada orang tua.

5. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Disamping itu, manusia juga merupakan mahhluk individu yang mempunyai keinginan pribadi untuk meraih kepuasan dan ketenangan hidup, baik lahariah dan bataniah. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri adalah harga diri, kerja keras, kerendahan hati, bertanggung jawab, dan menuntut ilmu.

Pada penelitian ini, terdapat enam nilai budaya yang dapat mendeskripsikan bentuk kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat Batak Toba di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir.

Keenam nilai budaya tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli

(22)

sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri (a) nilai tanggung jawab.

2.1.2 Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra berupa cerita yang lahir, hidup dan berkembang pada beberapa generasi dalam masyarakat tradisional, baik masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum, disebarkan secara lisan, menngandung survival, bersifat anonim, serta disebarkan diantara kolektif tertentu dalam kurun waktu yang cukup lama (Sisyonodkk, 2008:4). Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Mengenal cerita rakyat adalah bagian dari mengenal sejarah dan budaya suatu bangsa.

Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore ditilik dari segi isinya dan anggapan masyarakat terhadap tokoh-tokoh maupun ceritanya, maka cerita merupakan tradisi folk. Menurut Dananjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:1)

(23)

Brunvand membedakan folklor menjadi tiga macam, yaitu: 1) Folklor lisan (verbal folklore), 2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Secara praktis ketiganya dapat dikenali dari bentuk masing-masing, yaitu oral (mentifact), sosial (sociafact), dan material (artifact).

Folklor lisan terdiri atas: a) ungkapan tradisional (pepatah, peribahasa, semboyan), b) nyanyian rakyat (nyanyian untuk menidurkan anak seperti nina bobok), c) bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, bahasa rahasia, bahasa remaja dan sebagainya), d) teka-teki (berbagai bentuk tanya jawab pada umumnya untuk mengasah pikiran), e) cerita rakyat (mite, legenda, sage). Folklor setengah lisan, di antaranya: a) drama rakyat (ketoprak, ludruk, wayang kulit, legendria, arja), b) tari (serimpi, maengket, pendet), c) upacara (kelahiran, perkawinan, kematian), d) permainan dan hiburan rakyat (sembunyi-sembunyian, teka-teki), e) adat kebiasaan (gotong-royong, menjenguk orang mati), f) pesta rakyat (sekaten, pesta kesenian Bali). Folklor nonlisan di antaranya: a) material (mainan, makanan, arsitektur, alat-alat, musik, pakaian, perhiasan, obat-obatan dan sebagainya), b) bukan material (bunyi musik, banyi gamelan, bahasa isyarat) (Ratna, 2011:102).

2.1.3 Samosir

Kabupaten Samosir merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kabupaten Samosir adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai.

(24)

Kabupaten Samosir terletak diantara 2°24ˈ-2°25ˈLU 98°21ˈ-99°55ˈBT dan memiliki luas 1.419,5 km2, dengan populasi total 150.187 jiwa serta kepadatan 105,8 jiwa/km2. Kabupaten Samosir terdiri dari tiga belas kecamatan; sepuluh kecamatan berada di Pulau Samosir dan tiga kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan, yaitu: Harian, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, Sitiotio, Pangururan Utara, Rianiate Raya, Buhit Bersatu, Lontung, dan terdiri dari 106 kelurahan/desa, termasuk salah satunya adalah desa Tomok.

Kabupaten Samosir memiliki batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Utara dengan kabupaten Karo dan kabupaten Simalungun.

• Sebelah Selatan dengan kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Humbang Hasundutan

• Sebelah Barat dengan kabupaten Dairi dan kabupaten Pakpak Bharat.

• Sebelah Timur dengan kabupaten Toba Samosir

2.2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka berfungsi untuk memaparkan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Penelitian Turi-turian Tungkot Tunggal Panaluan sudah pernah diteliti oleh Suryana A Silalahi (2012), Mahasiswa Universitas Negeri Medan dalam skripsinya yang berjudul “Cerita Rakyat Mengenai Kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir (Antara Fakta dan Mitos)” menguraikan bahwa dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, terdapat keterkaitan antara

(25)

fakta dan mitos. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa di dalam cerita tersebut terdapat fakta sejarah, yaitu berupa bukti peninggalan Tongkat Tunggal Panaluan itu sendiri dan berbagai mitos yang membumbui dan menghiasi cerita tersebut sehingga menarik untuk didengarkan. Dalam kisah kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan, fakta dan mitos merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dilepaspisahkan dari kisah itu sendiri. Fakta dan mitos telah membaur menjadi satu sehingga merupakan kisah yang mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Mitos mengenai kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan didukung oleh fakta bahwa masih ada bukti peninggalan Tongkat Tunggal Panaluan itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fakta mengenai kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan ini didukung oleh mitos-mitos yang membuatnya menjadi satu kisah yang utuh. Ada sebagian masyarakat yang berpersepsi positif, ragu-ragu dan negatif terhadap kisah kesaktian Tunggal Panaluan ini. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor seperti pengalaman, kepercayaan, pendidikan dan lain-lain. Namun hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar jika masyarakat memiliki persepsi tersendiri terhadap kesaktian Tunggal Panaluan tersebut baik berupa tanggapan positif maupun negatif. Karena pada dasarnya merupakan suatu proses yang terjadi dalam pengamatan seseorang terhadap orang lain. Jadi setiap orang tidak terlepas dari proses persepsi dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Wipan Manik (2015), Mahasiswa Universitas Negeri Medan dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna” hasil penelitiannya menyatakan; 1. Tongkat Tunggal Panaluan memiliki panjang 1,70 m, dengan garis tengah 5 - 6 cm, dan diukir dalam kayu yang istimewa, yaitu kayu donggala atau kayu piu – piu tangguli (kayu keras),

(26)

kayu yang keras berwarna agak kehitam-hitaman ini tidak mudah busuk atau rusak, serta mudah dipahat dan diukir, makin tua makin indah warnanya, ujung bagian atas Tongkat dihiasi dengan surai rambut kuda berwarna hitam, atau seikatan bulu ayam berwarna tiga (putih, merah dan hitam bonang Manalu). Sekarang Tongkat Tunggal Panaluan muncul dengan berbagai variasi bentuk diciptakan dengan menggunakan teknik pahat yang digunakan sebagai cinderamata yang terdapat pada kios Wisata Samosir. Tongkat Tunggal Panaluan mengalami perubahan bentuk, yaitu terciptanya cinderamata Tongkat Tunggal Panaluan yang mempunyai bentuk yang lebih kreatif dan menarik. 2. Makna yang terkandung pada Tunggal Panaluan adalah sebuah tongkat sakti yang dimiliki oleh raja atau datu orang batak yang memberikan kekuatan, dapat menangkal roh jahat, menjadikan tanah menjadi subur, mengobati orang sakit, mendatangkan dan memberhentikan hujan dan menjadikan tongkat tersebut menjadi senjata untuk melawan musuh, sebagai tongkat penjelmaan dari Tuhan Sang Khalik dan sekarang tongkat yang di miliki oleh raja atau datu orang Batak untuk memimpin acara seremonial daerah mereka masing-masing, menjadikan sebuah tongkat yang sakral bagi masyarat di Samosir.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Antropologi Sastra

Menurut Ratna (2011:6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkapnya. Oleh karena kajian antropologi sangat luas, maka kaitannya

(27)

dengan sastra dibatasi pada antropologi budaya, sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri, yaitu sastra sebagai hasil aktifitas kultural, baik dalam bentuk kasar, sebagai naskah (artifact), maupun interaksi sosial (socifact) dan kontemplasi diri (mentifact).

Secara umum antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai kelompok variable yang berinteraksi, sedangkan sastra menjadi identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia secara simbolis. Simbol-simbol budaya sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi sastra. Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra.

Sastra adalah warisan budaya yang memuat pola-pola kehidupan masyarakat.

Antropologi sastra akan memburu makna sebuah ekspresi budaya dalam sastra. Sastra dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis. Oleh karena itu, konteks budaya dalam sastra menjadi ciri khas astropologi sastra.

Ciri khas antropologi sastra adalah aspek kebudayaan, khususnya masa lampau. Dikaitkan dengan masa lampau tersebut, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti yang diwariskan oleh nenek moyang. Walaupun dikaitkan dengan masa lampau, karya sastra dalam konteks kebudayaan memiliki banyak manfaat yang mencerminkan nilai yang dapat membangun karakter bangsa.

(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

Bogdan dan Taylor menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2016:4).

3.2 Lokasi, Sampel dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Tomok, kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Jarak dari Medan ke Samosir adalah 246,8 km.

3.2.2 Sampel Penelitian

Informan yang dipilih adalah enam orang penduduk yang berdomisili di lokasi penelitian dengan tidak menentukan batas umur.

3.2.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2017 dan 4 – 6 Oktober 2017.

3.3 Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini adalah:

Judul : Seni Patung Batak dan Nias

Penulis : M. Saleh B. A.

(29)

Penerbit : Direktorat Jendral Kebudayaan

Tahun : 1980

Tebal Buku : 202 Halaman

Cetakan : Pertama

Warna Sampul : Kuning Kecoklatan

Gambar Sampul :

Data sekunder dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dari beberapa informan serta hasil rekaman (dokumenter).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Studi Pustaka

Menurut Tantawi (2014:61) teknik penelitian kepustakaan adalah suatu teknik penelitian yang menggunakan buku sebagai objek penelitian.

Pada penelitian ini, akan diperoleh data dan informasi mengenai objek penelitian melalui buku. Peneliti memulai dengan membaca cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan, selanjutnya mencatat data-data yang dapat dianalisis menggunakan analisis antropologi sastra.

(30)

2) Wawancara

Menurut Sugiono (2009:317) wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui tanya jawab. Dengan wawancara, peneliti akan medapatkan informasi tentang Tungkot Tunggal Panaluan dengan hasil yang lebih mendalam dan akurat. Dengan demikian, hal-hal yang diragukan dapat dibenarkan. Untuk mendapatkan informasi, peneliti akan melakukan teknik mencatat dan merekam suara dari informan supaya tidak kehilangan informasi sedikitpun dari penjelasan yang diberikan informan ketika wawancara berlangsung. Adapun alat yang digunakan seperti pulpen, kertas daftar pertanyaan dan jawaban yang telah dipersiapkan serta alat rekam.

3) Dokumenter

Dokumenter digunakan untuk melengkapi penelitian ini. Peneliti akan mengumpulkan foto-foto maupun rekaman video yang berhubungan dengan Tungkot Tunggal Panaluan pada masyarakat di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir. Hasil dokumenter akan dipadukan dengan semua data yang diperoleh sehingga dapat mencapai tujuan penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriftif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskripsi mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam

(31)

masyarakat serta situasi-situasi, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.

Menurut Nasir (dalam Tantawi, 2014:66) metode deskriftif yaitu mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena dengan fenomena pada objek yang diteliti. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut.

(32)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Asal Usul Tungkot Tunggal Panaluan

Dahulu kala ada seorang raja yang memiliki anak kembar seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil hingga beranjak dewasa mereka selalu bersama- sama dan saling menyayangi layaknya sepasang kekasih. Suatu ketika, raja mengetahui kedua anaknya telah berhubungan suami istri. Lalu raja mengungsikan anaknya ke hutan lantaran malu kepada penduduk desa. Saat di hutan, anak perempuan itu memanjat pohon tada-tada yang sedang berbuah. Saat mengambil buahnya dia ditelan pohon itu hingga kepalanya saja yang tersisa. Dengan segera anak laki-laki itupun memanjat pohon tersebut dengan maksud menolong adiknya, namun dia juga ikut ditelan oleh pohon tersebut dan hanya kepalanya saja yang tersisa.

Keesokan harinya saat raja datang ke hutan mengantarkan makanan untuk anaknya, raja mendengar suara tangisan meminta tolong. Raja mencari asal suara dan menemukan kedua anaknya telah ditelan pohon dan tak dapat membebaskan diri.

Raja bergegas berlari pulang ke desa untuk mencari pertolongan. Setelah menemukan seorang datu yang bersedia untuk menolongnya, mereka pun pergi ke hutan untuk membebaskan anaknya dari tawanan pohon tersebut. Namun saat datu menyentuh pohon itu, dia juga ditelan oleh pohon itu dan hanya kepalanya saja yang tersisa. Hal tersebut juga terjadi sampai pada datu yang kelima. Hingga akhirnya raja pun

(33)

membawa datu yang keenam. Datu tersebut berkata, bahwa semua yang ditelan oleh pohon tersebut tidak dapat lagi diselamatkan. Lalu datu itupun menebang pohon itu.

Saat pohon tersebut ditebang, kepala kedua anak raja dan kelima datu itu lenyap ditelan pohon itu seluruhnya. Kemudian datu yang menebang pohon itu kesurupan, dia dimasuki oleh kelima roh datu yang telah lenyap ditelan pohon itu. Roh itu meminta supaya pohon tersebut diukir menjadi tongkat yang menyerupai wajah mereka, dan berjanji akan memenuhi segala keinginan siapapun yang memintanya, sebab kesaktian mereka menyatu yang dapat mengabulkan segala permintaan orang yang memakainya. Hal tersebut dipenuhi oleh raja dan datu tersebut, mereka mengukir pohon itu menjadi sebuah tongkat yang dinamai Tungkot Tunggal Panaluan.

Sumber cerita: Informan K. Sidabutar

4.2 Bentuk Kearifan Lokal Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan

Bentuk kearifan lokal dalam nilai budaya yang dikelompokkan berdasarkan kategori hubungan manusia pada cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan adalah sebagai berikut:

4.2.1 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan 4.2.1.1 Nilai Religius

Nilai religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain Sibarani, 2012:135). Religi mencakup

(34)

kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Harahap dkk, 1987:133).

Kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon merupakan agama suku, yaitu suku Batak khususnya Batak Toba. Mulajadi Na Bolon adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh umat Ugamo Malim (Parmalim). Agama Parmalim meyakini Debata Mulajadi Na Bolon dapat berhubungan kepada manusia yang masih hidup, baik untuk maksud mendatangkan berkah atau untuk mendatangkan malapetaka (Tambunan E.H, 1982:66). Teks berikut menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba memiliki kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon.

“Melihat keadaan kemarau tersebut membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya:

“Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Na Bolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan? hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya” (Seni Patung Batak dan Nias: 49)

Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Na Bolon dan meminta agar bayi itu disucikan. Kepercayaan tersebut terdapat pada penggalan teks berikut ini:

(35)

“Guru Hatimbulan memotong seekor lembu untuk mengadakan pesta martutu aek (memberi nama) kepada kedua anaknya tersebut. Ia mengundang semua penatua-penatua dan kepala kampung dalam perjamuan itu” (Seni Patung Batak dan Nias: 49)

Pesta acara martutu aek ataupun pemberian nama kepada bayi yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba pada umumnya dipertimbangkan dengan cermat, karena suku Batak Toba meyakini nama dan tondi (roh) harus sejalan. Jika mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka dilanjutkan makan bersama dengan menyembelih seekor lembu sebagai ucapan syukur. Setelah Kristen masuk ke tanah Batak, adat martutu aek kemudian menjadi sama dengan babtisan Kristen (tardidi) yang dilaksanakan di Gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada bayi.

Selanjutnya Tambunan E.H mengatakan, orang Batak Toba baik secara pribadi maupun secara kelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa manusia.

Pengakuan demikian nyata benar dalam kehidupan sehari-hari adanya hasrat manusia secara keseluruhan menyerahkan diri kepada kuasa yang dimaksud itu. Hal itu mendorong setiap individu dalam masyarakat supaya tunduk kepada kuasa tersebut sesuai dengan cara bagaimana menghormati kuasa itu sendiri. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan agar terhindar dari bahaya.

Hal ini terdapat pada kutipan teks berikut ini:

“Datu Parmanuk Koling memulai ritualnya, ia berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan kedua anak Guru Hatimbulan” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)

(36)

Dalam teks tersebut Datu Parmanuk Koling melaksanakan penghormatan melalui doa dan membaca mantra kepada kuasa roh. Penghormatan dilakukan untuk meminta pertolongan supaya membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan. Selain melaksanakan penghormatan melalui doa dan membaca mantra, memberikan persembahan kepada roh nenek moyang adalah menjadi sebuah tradisi bagi suku Batak Toba untuk menghormati leluhurnya, seperti pada penggalan teks berikut ini:

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata bahwa mereka harus memberikan persembahan kepada semua roh yaitu roh tanah, roh air, roh kayu supaya dapat membebaskan kedua anak Guru Hatimbulan” Seni Patung Batak dan Nias: 52)

Teks tersebut menunjukkan suku Batak Toba memiliki kepercayaan bahwa memberikan persembahan kepada semua roh dapat memberikan pertolongan kepada mereka dalam menyelesaikan suatu masalah. Tradisi dan kepercayaan demikian tetap dilaksanakan dan dilestarikan suku Batak Toba terhadap penggunaan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut informan P. Situmorang, Tungkot Tunggal Panaluan dipercayai dapat digunakan untuk berkomunikasi kepada Mulajadi Na Bolon dan kepada para roh nenek moyang. Selain itu, Tungkot Tunggal Panaluan juga dipercayai dapat memanggil hujan, menahan hujan dan mengobati segala macam penyakit sesuai dengan permintaan orang yang melaksanakan ritualnya. Proses menggunakan atau manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan tidaklah sembarangan.

Sebelum manortor, datu maupun raja melaksanakan ritual, dalam ritualnya datu maupun raja harus mamele (memberikan persembahan) kepada roh nenek moyang.

Persembahan itu berupa segala jenis makanan parbaringin (parmalim) zaman dulu.

(37)

Datu maupun raja akan mengucapkan mantranya dan mendoakan apa yang diinginkannya. Tongkat tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1

Tungkot Tunggal Panaluan disimpan di Museum Tomok.

4.2.2 Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat 4.2.2.1 Nilai Peduli Sosial

Nilai peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Sibarani, 2012:135).

Oleh karena itu, kepedulian sosial adalah minat atau ketertarikan kita untuk membantu orang lain. Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri

(38)

urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian. Nilai peduli sosial itu terdapat pada teks berikut ini:

“Beberapa hari setelah itu, seorang datu bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan kepada Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan datu Si Parpansa Ginjang dan menyediakan semua yang diminta oleh datu tersebut.” (Seni Patung Batak dan Nias : 51)

Datu adalah seseorang yang mempunyai keahlian ataupun kemampuan di luar daya normal manusia awam. Pada masyarakat Batak Toba, datu bersedia memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal tersebut tampak pada penggalan teks cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan tersebut, yaitu datu membantu Guru Hatimbulan dalam membebaskan anaknya dari tawanan pohon.

Sikap tersebut, merupakan sikap peduli sosial pada orang lain yang membutuhkan.

Nilai peduli sosial tersebut masih dapat ditemukan pada masyarakat suku Batak Toba dalam kearifan Tungkot Tunggal Panaluan. Menurut kesaksian informan K. Sidabutar, pernah melihat seorang datu meletakkan Tungkot Tunggal Panaluan disisinya saat menyembuhkan penyakit seseorang. Tungkot Tunggal Panaluan tidak hanya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit saja, tetapi kesaktiannya juga dapat memenuhi segala yang diinginkan oleh sipemiliknya.

(39)

4.2.2.2 Nilai Pelestarian dan Kreativitas Budaya

Pelestarian adalah sebagai kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi (Ranjabar, 2006:115).

Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Defenisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya selanjutnya menjadi kebiasaan.

Menurut Keterangan P. Situmorang, masyarakat di desa Tomok selalu melestarikan dan membudidayakan Tungkot Tunggal Panaluan setiap tahunnya pada bulan Juli dengan melaksanakan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara horja bius (bersifat sakral sebagai upacara persembahan kepada leluhur Ompung Raja Sidabutar yang telah mendirikan kampung Tomok). Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai dalam acara horja bius bukanlah tongkat yang asli, karena Tungkot Tunggal Panaluan yang asli disimpan di Pusuk Buhit yang merupakan tempat penyimpanan harta peninggalan raja-raja Batak di zaman dahulu dan tidak pernah dikeluarkan.

Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dipakai di acara tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon yang memiliki kemampuan memberi kesaktian pada Tungkot tersebut. Selain untuk tujuan menghormati leluhur dan meminta perlindungan kepada nenek moyang, tortor Tungkot Tunggal Panaluan juga bertujuan untuk meperkenalkan kebudayaan suku Batak Toba kepada generasi di desa itu dan kepada wisatawan yang datang ke desa Tomok. Hal tersebut dibenarkan oleh

(40)

informan Lusiana Silalahi. Dia menyaksikan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang dibawakan oleh raja Sidabutar dalam acara horja bius. Dalam acara tersebut juga dipertunjukkan drama yang mengisahkan asal mula terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan. Informan K. Sidabutar juga mengutarakan bahwa masyarakat di desa Tomok sering manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan sebagai bentuk pelestariannya supaya kebudayaan itu tidak terhapuskan ditelan kemajuan zaman.

Begitu juga dengan Informan Pebri Sidabutar, dia pernah menyaksikan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan dalam acara pagelaran seni dan budaya yang diadakan pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dalam acara tersebut, yang melaksanakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan adalah agama Parmalim.

Namun, dia menerangkan bahwa selain yang beragama Parmalim juga boleh mengadakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan seperti pada acara horja bius dan hari hari penting lainnya. Demikian juga dengan yang dikatakan informan Op. Yesaya Sidabutar, yang mengatakan Tungkot Tunggal Panaluan tetap dibudidayakan dan ditampilkan sebagai pertunjukan maupun drama dalam setiap acara penting di desa Tomok sebagai bentuk pelestarian masyarakat Batak Toba terhadap budaya leluhurnya. Ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kekuatan magis hanya didapati di zaman dulu saat masyarakat Batak Toba masih memeluk agama Parmalim. Pertunjukan Tungkot Tunggal Panaluan yang ditampilkan di zaman sekarang adalah untuk tujuan melestarikan budaya Batak Toba, dan tidak ada lagi kekuatan magis maupun mantra yang sesunguhnya. Dia juga menambahkan bahwa Tortor Tungkot Tunggal Panaluan telah menjadi kearifan lokal di desa Tomok, karena tortor tersebut selalu dibawakan dalam event tetap yaitu horja

(41)

bius di desa Tomok. Tortor Tungkot Tunggal Panaluan dapat dilihat pada gambar 4.2, dan 4.3 pada acara pagelaran seni yang diadakan di desa Tomok.

Gambar 4.2

Tortor Tungkot Tunggal Panaluan

Gambar 4.3

Pertunjukan drama asal usul terjadinya Tungkot Tunggal Panaluan

(42)

Gambar 4.4

Drama ritual Tungkot Tunggal Panaluan

Pada teks berikut ini terdapat pernyataan bagaimana pemanfaatan selanjutnya pada Tungkot Tunggal Panaluan yang diamanatkan oleh roh yang bersemayam pada tongkat tersebut:

“Lalu roh itu berkata:

“Baiklah, biarlah begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk meminta hujan, menahan hujan, menolak bala, mengobati wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri dan membantu dalam peperangan” (Seni Patung Batak dan Nias: 53)

Tungkot Tunggal Panaluan yang dibudidayakan oleh masyarakat suku Batak Toba terdapat pada keterangan P. Situmorang, yang menyatakan bahwa Tungkot Tunggal Panaluan tidak boleh dipergunakan dan dipatortorhon oleh sembarangan orang, karena yang dapat mempergunakannya hanyalah raja (seseorang yang bermarga asli dari keturunan di desa dimana Tungkot Tunggal Panaluan

(43)

dipatortorhon, seperti di desa Tomok hanya marga Sidabutarlah yang dapat manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan). P. Situmorang pernah dimintai untuk patortorhon Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok. Namun, P. Situmorang menolak karena dia bukanlah keturunan marga asli di desa Tomok tetapi, dia adalah keturunan marga Situmorang yang pernah diperistri oleh raja Sidabutar di jaman dahulu. Menurut kesaksian P. Situmorang di desa Tomok pernah ada dua orang yang bermarga Sigiro dan Sagala manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan, setelah usai manortor mereka jatuh sakit dan tidak lama kemudian akhirnya meninggal dunia.

Kejadian tersebut diyakini oleh masyarakat desa akibat mereka manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan dengan sembarangan orang yang bukan raja di desa itu.

Pernyataan tersebut juga didapat dari informan K. Sidabutar yang mengatakan bahwa orang yang melaksanakaan ritual maupun tortor Tungkot Tunggal Panaluan harus dilakukan oleh seorang raja yang merupakan pemimpin marga di desanya dan memiliki penjaga badan supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya saat menjalankan ritual maupun tortor. Hal itu terbukti, karena telah terjadi kehilangan nyawa seseorang yang sembarangan melakukan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan tersebut. Selanjutnya Pebri Sidabutar mengatakan, pada acara pagelaran seni dan budaya yang dia saksikan, Tungkot Tunggal Panaluan dipertunjukkan oleh beberapa orang. Seseorang diantaranya memegang Tungkot Tunggal Panaluan sambil kesurupan dan seperti berbicara kepada Tungkot Tunggal Panaluan, dalam pagelaran tersebut mereka melaksanakan ritualnya untuk meminta hujan sambil diiringi gondang dan tortor oleh beberapa orang lainnya. Beberapa saat kemudian seketika itupun turun hujan. Begitu juga dengan pernyataan Op. Yesaya Sidabutar yang

(44)

mengatakan bahwa Tungkot Tunggal Panaluan sebagai tongkat yang sakti digunakan oleh pemimpin adat yang beragama parbaringin (parmalim) untuk meminta hujan dan menolak bala saat musim kemarau panjang.

Masyarakat suku Batak Toba memiliki budaya dengan ragam kesenian yang menarik. Ragam kesenian tersebut mulai dari seni rupa, seni musik, seni tari dan seni untuk ekonomiyang hidup dan menyatu dengan adat istiadat dan sisi religi kehidupan masyarakatnya.

a. Seni Rupa

Keterampilan memahat dan mengukir merupakan bagian dari seni rupa yang ditekuni oleh beberapa masyarakat suku Batak Toba. Kutipan teks berikut ini menunjukkan bahwa masyarakat suku Batak Toba kuno telah mengenal seni rupa dalam mengukir.

“Datu Si Parpansa Ginjang berkata kepada Guru Hatimbulan:

“Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah sesuai gambaran dari orang-orang yang ditelan oleh pohon ini”

Guru Hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk lima orang datu, dua orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular. Setelah selesai mengukir tongkat tersebut menjadi sembilan rupa, maka semua orang kembali ke kampung Guru Hatimbulan. (Seni Patung Batak dan Nias: 53)

Teks diatas dibenarkan dalam pernyataan informan K. Sidabutar yang menyatakan Tungkot Tunggal Panaluan adalah tongkat berukir tujuh wajah manusia dan lima diantaranya wajah datu bolon (dukun besar) yang memiliki bermacam kesaktian sesuai kemampuan kelima datu bolon yang terukir dalam tungkot tersebut.

Tungkot Tunggal Panaluan yang asli sudah tidak diketahui lagi keberadaannya.

(45)

Namun, Tungkot Tunggal Panaluan telah diduplikat yang tetap memiliki kesaktian karena tungkot tersebut telah diisi kekuatan magis oleh seorang datu bolon. Setiap pemimpin marga Batak Toba memiliki Tungkot Tunggal Panaluan, bahkan suku lain dan warga negara lain pun pernah memiliki tungkot yang sakti tersebut. Di masa sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kesaktian sudah tidah tidak pernah dibuat lagi, karena datu bolon tidak bersedia lagi untuk mengisi kekuatan pada Tungkot Tunggal Panaluan. Kebenaran tersebut dapat dilihat pada gambar 4.5.

Gambar 4.5

Salah satu ukiran menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan yang tidak diisi kekuatan gaib.

(46)

b. Seni Musik dan Seni Tari

Tambunan E.H (1986:85) mengatakan, seni musik dan seni tari merupakan seni yang selalu dibawakan dengan bersamaan. Seni musik pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan alat-alat instrumen gendang yang terbuat dari bahan perunggu, yang disebut ogung atau gong. Upacara pukul gong berkaitan dengan kuasa magis, iramanya begitu rapat dikaitkan dengan kepercayaan kepada nenek moyang. Upacara gong diadakan sambil manortor (menari) untuk memohon kemenangan, kesehatan dan kehidupan sejahteraan kepada Mulajadi Na Bolon. Irama tortor disesuaikan dengan irama gong. Seni musik dan seni tari tersebut terdapat pada teks berikut:

“Ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, Guru Hatimbulanmengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang diukir pada tongkat tersebut. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor, maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Laludatu Si Parpansa Ginjang manortor, melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-orangyang ditelan pohon itu dan mulai berbicara satupersatu”(Seni Patung Batak dan Nias: 52)

Masyarakat suku Batak Toba mulanya memainkan gong dan tortor untuk memuja Mulajadi Na Bolon. Pelestarian dan kreativitas oleh masyarakat tersebut akhirnya menjadikan tarian itu menjadi umum dan dijadikan seni budaya suku Batak Toba.

Menurut informan P. Situmorang, datu maupun raja yang menggunakan atau manortorhon (menarikan) Tungkot Tunggal Panaluan harus menggunakan jubah, yaitu memakai ulos godang serta sorban dikepala. Manortorhon Tungkot Tunggal

(47)

Panaluan harus diiringi gondang sabangunan dan para pengikutnya juga bersama- sama ikut manortor, dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4.6

Manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan menggunakan ulos godang serta sorban di kepala yang diiringi gondang sabangunan.

c. Seni untuk Ekonomi

Nilai pelestarian dan kreativitas budaya pada masyarakat Batak Toba tercermin dari mempertahankan nilai-nilai seni budayanya, serta kebiasaan memunculkan ide atau gagasan menjadikan karya selanjutnya dan menyesuaikan dengan situasi yang selalu berubah dan berkembang.

Menurut P. Situmorang, bentuk kreativitas masyarakat di desa Tomok terhadap pelestarian Tungkot Tunggal Panaluan yaitu mereka mengukir kayu menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan dan menjadikannya sebagai cendramata dari desa Tomok. Namun, Tungkot Tunggal Panaluan yang dijadikan cendramata tidaklah

(48)

memiliki kesaktian, karena Tungkot tersebut tidak diisi kekuatan magis. Selanjutnya P. Situmorang juga menambahkan, walaupun Tungkot Tunggal Panaluan yang dijual di kios-kios desa Tomok yang dijadikan cendramata tidak memiliki kesaktian, namun kita tidak boleh manortorhonna dengan sembarangan. Karena manortorhon Tungkot Tunggal Panaluan adalah harus untuk tujuan yang baik dan dilakukan dengan ritual yang benar serta dipatortorhon dengan baik.

Selanjutnya dijelaskan Informan T. Siahaan yang kesehariannya menjual Tungkot Tunggal Panaluan di kios miliknya, dia membeli Tungkot Tunggal Panaluan dari pengrajin seni rupa yang berkediaman di desa Tomok. Menurut pengakuannya, Tungkot Tunggal Panaluan yang merupakan salah satu cendramata dari desa Tomok sangat laris dibeli oleh para wisatawan negara maupun mancanegara. Ibu T. Siahaan menjual Tungkot Tunggal Panaluan mulai dari Rp.

100.000 sampai Rp 1.500.000 sesuai dengan jenis ukiran dan ukurannya, dapat dilihat pada gambar 4.7 berikut ini:

Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata.

(49)

4.2.2.3 Nilai Peduli Sesama

Peduli dengan sesama adalah memperhatikan dan memahami sesama manusia. Sikap peduli terhadap sesama akan menimbulkan rasa saling memiliki dalam lingkungan masyarakat, sehingga mereka akan saling melindungi satu sama lain. Kepedulian terhadap sesama ini dapat ditujukan dengan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan memberikan kenyamanan kepada orang lain. Demikian halnya dalam lingkungan keluarga Batak Toba, sangat dominan dengan sikap peduli terhadap sesamanya atau terhadap anggota warganya (Ritonga dkk, 1998:72). Hal tersebut terdapat pada penggalan teks berikut ini:

“Setelah selesai pesta tersebut, ada beberapa kerabat menasehatkan Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya diasuh bersama-sama, yang satu kiranya dibawa ke barat dan yang satu lagi dibawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar dan juga berlainan jenis kelamin. Hal ini sangat tidak menguntungkan menurut para penatua” (Seni Patung Batak dan Nias: 50)

Sikap yang ditunjukkan oleh beberapa kerabatnya kepada Guru Hatimbulan merupakan kepedulian yang bertujuan kebaikan. Kerabat Guru Hatimbulan berniat untuk melindungi maupun mencegah bilamana terjadi hal yang tidak menguntungkan bagi mereka. Sikap tersebut merupakan sikap yang mencerminkan nilai peduli sesama.

4.2.2.4 Nilai Gotong Royong

Sibarani (2014:8) mengatakan bahwa gotong royong merupakan kearifan lokal berupa kegiatan sosial dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau beban.

(50)

Kearifan lokal yang tercermin dalam kegiatan sosial ini berasal dari nilai budaya luhur yang dipraktikkan nenek moyang pada zaman dahulu. Pekerjaan atau beban itu mungkin tergolong pada kepentingan sosial dan juga tergolong kepentingan individu, yang keduanya membutuhkan bantuan orang banyak. Ada beberapa jenis gotong royong berdasarkan ungkapan terminologis sebagai memori kolektif masyarakat Batak Toba tentang gotong royong. Salah satu jenis-jenis gotong royong itu adalah gotong royong marsiurupan. Marsiurupan adalah gotong royong yang dilakukan untuk saling membantu kepada keluarga atau warga yang membutuhkan. Masyarakat suku Batak Toba selalu mencerminkan sikap gotong royong marsiurupan dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini terdapat pada penggalan teks berikut ini:

“Dari informasi dan petunjuk yang Guru Hatimbulan cari maka bertemulah dia dengan seorang datu yang bernama datu Parmanuk Koling. Guru Hatimbulan menceritakan kejadian itu dan mengajak datu Parmanuk Kolingpergi untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yang ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)

“Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa.Mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dengan mencari datu lain” (Seni Patung Batak dan Nias: 51)

Sikap mewujudkan bekerja bersama-sama tersebut adalah sikap marsiurupan (tolong-menolong) yang dilakukan masyarakat sekampung Guru Hatimbulan.

Seorang datu dan banyak orang memberikan bantuan kepada Guru Hatimbulan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

(51)

4.2.3. Kearifan Lokal dalam Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri 4.2.3.1 Nilai Tanggung Jawab

Menurut Sibarani (2012:135) nilai tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai tanggung jawab terdapat pada teks berikut ini :

Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit membuat sebuah gubuk dan membawa anak-anaknya kesana.Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anak-anaknya tersebut.(Seni Patung Batak dan Nias: 49)

Sikap tanggung jawab merupakan kewajiban yang seharusnya orang tua lakukan terhadap anaknya dilakukan oleh Guru Hatimbulan. Dia membuat tempat tinggal kepada anaknya dan setiap hari tetap membawakan makanan untuk anaknya walau telah melakukan kesalahan dan dicela oleh masyarakat.

(52)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1) Cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan diawali dari kisah cinta terlarang dari dua orang saudara kembar berlainan jenis yaitu Si Aji Donda Hatahutan dan Si Boru Tapi Nauasan. Mereka melanggar norma dengan melakukan hubungan badaniah sehingga mendapatkan karma yaitu ditelan pohon piu-piu tanggulon (hau tada-tada) dan tidak dapat terbebaskan. Ada lima orang datu yang berusaha membebaskan mereka namun gagal dan justru ikut ditelan oleh pohon tersebut. Sampai akhirnya, seorang datu terakhir berhasil memotong pohon tersebut dan menjadikannya sebuah tongkat dengan ukiran menyerupai rupa manusia dan hewan yang ikut ditelan pohon tersebut. Tongkat tersebut menjadi tongkat sakti yang disebut Tungkot Tunggal Panaluan. Sejak saat itu Tungkot Tunggal Panaluan dipakai dalam segala macam fungsi menurut keinginan yang menggunakan tongkat tersebut.

2) Tungkot Tunggal Panaluan kemudian di duplikat oleh pengukir dan diisi dengan ilmu mistis/gaib oleh datu bolon. Setiap raja yaitu pemimpin marga Batak Toba, datu, bahkan beberapa suku lainpun memiliki Tungkot Tunggal Panaluan yang memiliki kesaktian. Suku Batak Toba selalu mengadakan ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan untuk menghormati leluhur dan meminta bantuan yang pada umumnya untuk mendatangkan hujan di musim

(53)

kemarau, membantu dalam peperangan, menolak bala, dan mengobati penyakit.

3) Dimasa sekarang Tungkot Tunggal Panaluan yang diisi dengan ilmu mistis/gaib sudah tidak dikeluarkan lagi lantaran suku Batak Toba telah memiliki pada umumnya kepercayaan Kristen yang bertentangan dengan kekuatan tersebut. Namun, para pengrajin seni rupa di desa Tomok tetap mengukir kayu menyerupai Tungkot Tunggal Panaluan. Ukiran tersebut dipakai dalam kebutuhan melestarikan budaya Batak Toba dan dijadikan salah satu jenis cendramata dari desa Tomok.

4) Di desa Tomok, setiap tahunnya diadakan upacara adat horja bius. Dalam upacara ini diadakan acara ritual dan tortor Tungkot Tunggal Panaluan.

Ritual yang diadakan adalah meminta ijin kepada leluhur yang bertujuan ingin melestarikan budaya suku Batak Toba. Acara ini dilakukan untuk mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang mereka dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka miliki yang juga berguna untuk menarik wisatawan ke desa tersebut. Cerita Rakyat Tungkot Tunggal Panaluan juga sering dipertunjukkan dalam drama dan ditarikan dengan diiringi gondang menyerupai kegiatan yang dilakukan oleh nenek moyang suku Batak Toba. Pertunjukan ini diselenggarakan di hari hari perayaan, pagelaran seni ataupun event-event di desa itu.

5) Seluruh kegiatan masyarakat desa Tomok terhadap Tungkot Tunggal Panaluan merupakan sebuah bentuk kearifan lokal, karena hal tersebut merupakan kebijaksanaan dan pengetahuan asli mayarakat tersebut yang

(54)

berasal dari nilai luhur tradisi budaya suku Batak Toba. Bentuk kearifan lokal itu terdapat pada nilai budaya berdasarkan kategori hubungan manusia, yaitu (1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan (a) nilai religius, (2) Nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat (a) nilai peduli sosial (b) nilai pelestarian dan kreativitas budaya yaitu seni rupa, seni tari, seni musik dan seni untuk ekonomi (c) nilai peduli sesama (d) nilai gotong royong, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri (a) nilai tanggung jawab.

5.2 Saran

Setelah melakukan penelitian tentang kearifan lokal dalam cerita rakyat Tungkot Tunggal Panaluan di desa Tomok kecamatan Simanindo kabupaten Samosir: kajian antropologi sastra, maka peneliti mengajukan saran seperti berikut:

1) Peneliti berharap supaya budaya masyarakat Batak Toba tetap dapat dipertahankan, dilestarikan dan memiliki budaya populer.

2) Peneliti berharap supaya suku Batak Toba khususnya di desa Tomok bersatu hati dan pikiran dalam mempertahankan dan melestarikan budaya leluhurnya.

3) Peneliti mengharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan pembaca terhadap kekayaan budaya yang dimiliki suku Batak Toba.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Artha, Arwan Tuti dan Heddy shri Ahimsa-Putra. 2004. Jejak Masa Lalu, Sejuta Warisan Budaya. Yogyakarta: Kunci Ilmu.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.

Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Djamaris, Edward dkk. 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.

Harahap, Basyral Hamidy dkk. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta:

Sanggar Willem Iskander.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Moleong, Lexy J. 2016. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nazir. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

(56)

Ritonga, Ahmad Husin dkk. 1998. Pemberdayaan Nilai Budaya dalam Rangka Mewujudkan Keluarga Sejahtera Daerah Sumatera Utara. Medan: Bagian Proyek P2NB Sumatera Utara.

Saleh, M. 1980. Seni Patung Batak dan Nias. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sibarani, Robert. 2014. Kearifan Lokal Gotong Royong pada Upacara Adat Etnik Batak Toba. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfa Beta.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.

Tantawi, Isma. 2014. Bahasa Indonesia Akademik. Bandung: Citapustaka Media.

Tambunan, E. H. 1982. Segelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya: Sebagai Sarana Pembangunan. Bandung: Tarsito.

Sumber internet:

Manik, Wipan. 2015, “Analisis Visual Tongkat Tunggal Panaluan Ditinjau Dari Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna”. (Skripsi). Medan: Universitas Negeri Medan (http://digilib.unimed.ac.id/1946/8/8.%20CHAPTER%20l.pdf) Diakses 5 Agustus 2017.

Gambar

Gambar 4.7 Tungkot Tunggal Panaluan sebagai cendramata.

Referensi

Dokumen terkait

analisis sumber dan penggunaan modal kerja merupakan alat analisa keuangan yang sangat penting bagi financial manager ataupun para calon kreditur serta bagi bank dalam

karyawannya, maka perlu terlebih dahulu dijelaskan apa yang menjadi sasaran dari pada pelatihan tersebut. Dalam pelatihan tersebut ada beberapa sasaran utama yang

Diagram alir sistem pada gambar 1 di atas menggambarkan alur program yang dibuat, yaitu pertama program akan membaca file konfigurasi yang berisi pengaturan database, rincian

PEMBELAJARAN KANJI DASAR MELALUI APLIKASI JA SENSEI PADA MAHASISWA POLTEKES TNI AU BANDUNG. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri

Kelompok ikan 1 mempunyai distribusi yang luas di perairan waduk ini, dan kelompok tersebut berasosiasi cukup kuat terhadap kelom- pok pakan 2 (tumbuhan, detritus dan zooplank-

Meskipun di antara motif ukir rumah gadang tersebut adalah variasi dari ragam hias yang telah ada, tetapi masing-masing motif memilliki makna filosofis yang dalam bagi

Negeri 49 Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya dan data berupa nilai hasil belajar siswa menggunakan metode penemuan terbimbing dengan materi penjumlahan pecahan biasa di kelas