• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa masyarakat Tionghoa dan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi perayaan ritual Bakar Tongkang .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat penelitian ini.

3.4.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Bagansiapiapi khususnya di kelenteng Ing Hok Kiong. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat dimana diadakannya perayaan ritual Bakar Tongkang, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai masyarakat Tionghoa.

Bab IV Pembahasan

4.1. Masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi

Bagansiapiapi memiliki komunitas masyarakat Tionghoa yang sangat besar. Menurut data yag penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota Bagansiapiapi komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tong'an (Tang Ua) di Xiamen, provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku Tiociu, sedangkan dari suku Khek (Hakka), Hailam (Hainan) dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.

Etnis china di Bagansiapiapi terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan lebih mengedepankan hubungan kerja. Mereka mengingatkan kita pada kebesaran Jengis Khan dan Timur Leng, namun mereka mempunyai selera kuliner yang tinggi, kehalusan budaya dan kepatuhan pada peraturan. Banyak tokoh informal China yang lahir dan besar di kota Bagansiapiapi. Mereka dapat menjadi contoh bagi kita dalam membentuk rasa persaudaraan yang kental dan kesetiakawanan. Kemampuan mereka dalam mengolah bahan baku menjadi produk bernilai tinggi seharusnya menjadi acuan kita dalam membangun negeri ini. Syukurlah, bahwa etnis China di Bagansiapiapi ini adalah bagian dari bangsa kita. Tidak sulit untuk belajar pada mereka bagaimana membangun negara ini dengan kegigihan dan kerja keras, asal kita menempatkan mereka berdiri sejajar, mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak dikurangi atau dilebihkan. Rentang waktu, akan terbukti bahwa etnik China di Bagansiapiapi akan menjadi aset berharga yang mengharumkan nama bangsa. (Sudarno M; 2005, 12)

perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing - masing, di mana dari perkumpulan - perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru.

Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong / Yayasan Sosial Marga Sad Eka (六桂堂), Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong / Yayasan Samvara Dharma Wijaya (江夏堂/黃氏宗親會), Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong

(陳氏穎川堂), Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong (九龍堂), Perkumpulan

Marga Coa Cei Yong Tong (濟陽堂), Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho / Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li, Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han Kang/Yayasan Mulia Dharma Abadi (韓江公會), dan sebagainya.

Jumlah masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi setiap tahunnya mengalami perubahan, dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi dimana setelah lulus Sekolah Menengah Atas mereka akan merantau disuatu tempat dan mencoba peruntungan dikota tersebut, setelah merasa berhasil masyarakat Tionghoa perantauan akan membawa keluarga yang masih berdomisili di kota Bagansiapiapi untuk hijrah ke perantauan begitu juga sebaliknya. Dimana masyarakat Tionghoa dari kota lain juga banyak yang memilih untukberdomisili di kota Bagansiapiapi membawa serta seluruh keluarganya.

Disini penulis melampirkan jumlah penduduk masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota Bagansiapiapi berupa hasil sensus pendudu pada Tahun 2010.

Di Kecamatan Bangko

Etnis Tiong Hoa

Kelurahan Jenis Kelamin Jumlah L P Bagan Hulu 330 267 597 Bagan Timur 575 539 1,114 Bagan Kota 1,696 1,566 3,262 Bagan Barat 1,953 1,888 3,841 Bagan Jawa 215 193 408 Jumlah 4,769 4,453 9,222 Sumber : Sensus Penduduk 2010

4.2. Bakar Tongkang

4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang

Menurut data yang penulis peroleh dari Humas Pemkab Rokan Hilir, dikatakan bahwa Bakar Tongkang diperkirakan sudah dilaksanakan sejak tahun 1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi,Rokan Hilir, terutama bagi masyarakat Tionghoa, Bakar Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak akan lekang dimakan waktu. Karena itu tradisi ini terus dipelihara dari generasi ke generasi.

Menurut penuturan staf Humas Pemkab Rohil bapak Syahdan, dikatakan Ritual Bakar Tongkang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat Tionghoa dari provinsi Fujian – China. Menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Mereka orang Tiongkok yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada tahun 1825. Masa migrasi di Thailand tidak berlangsung lama. Orang Tiongkok pendatang dimusuhi penduduk asli hingga terjadi kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, mereka pun pergi. Kemudian mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari tempat

Saat dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada

Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan. Tidak lama, pada keheningan malam tiba – tiba mereka melihat cahaya samar – samar . Mereka yakin dimana ada cahaya, disitulah ada daratan. Mereka mengikuti arah cahaya, hingga sampai di daratan Selat Malaka.

Pejuang masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bun Ping, An Un Siong, Ang Sien In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah kemudian dianggap sebagai leluhur di Bagansiapiapi.

Keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan, begitu juga dilaut. Dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah Bagansiapiapi. Bagi mereka yang menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik, segera mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang ke Bagansiapiapi. Sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.

Keahlian menangkap ikan yang dimiliki nelayan mendorong penangkapan hasil laut semakin berlimpah. Hasil laut yang berlimpah diekspor ke berbagai benua, hingga menjadi terkenal. Bahkan Bagansiapiapi diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia, Setelah Norwegia.

Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi, masyarakat Tionghoa di sana membangun sebuah kelenteng pada 1875, diberi nama Kelenteng IN Hok Kiong. Pada 1982 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di sinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh, asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.

Menurut hasil wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi dan beberapa pemuka adat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa versi dari asal usul kata Bagansiapiapi. Ada yang menyerbutkan asal – usul kata Bagansiapiapi dari asal petunjuk api yang secara mistis oleh Dewa Kie Ong Ya, saat para leluhur meminta petunjuk. Versi lain mengatakan cahaya terang yang dilihat oleh para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang – kunang. Alasan ini,karena dulu masih mudah ditemukan kunang – kunang di Bagansiapiapi.

Ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata api, nama sejenis pohon di rawa – rawa yang biasanya disebut pohon api – api. Dikarenakn pada saat dulu di perairan Bagansiapiapi banyak sekali ditemukan tempat atau alat penangkapan ikan dan rawa – rawa yang ditumbuhi oleh pohon api – api.

Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari ancaman penguasa Silam. Kapal yang dipimpin

Ang Mei Kui, terdapat patung Dewa King Ong Ya dan lima dewa, dimana

panglimanya disebut Tai Sun Ong Ya. Patung – patung ini para pelayar bawa dari tanah Tiongkok. Menurut keyakinan para pelayar, dewa ini akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya para pelayar menetap di kota Bagansiapiapi.

Sebagai menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, mereka membakar wangkang ( tongkang ) yang dilakukan setiap tahun. Menurut hasil wawancara penulis terhadap beberapa masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan, ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya ( dewa Laut ) yang memiliki cirri khas tersendiri dan tidak ditemui ditempat lain di Indonesia.

4.3. Makna Ritual Bakar Tongkang

Bakar Tongkang atau yang biasa disebut dengan Go Ge Cap Lak menjadi salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan nasional. Indonesia adalah Negara mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural (majemuk) artinya masyarakat serba ganda dalam kepercayaannya, ganda dalam ragam kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi bersatu dalam satu Bangsa dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda tetapi dalam satu kesatuan juga.

Didalam masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal menjadi salah satu keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tidak sebatas kesatuan berupa tarian-tarian, lukisan, teater atau film. Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah eksis sepanjang abad lamanya yaitu Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go GeCap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana menyentuh dan membangun semangat Komunitas Bagan Siapi-api untuk pulang kampung. Dan pada tahun ini tradisi ritual bakar tongkang jatuh pada tanggal 4 di bulan july kalender masehi.

Perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan prosesi Ritual Bakar Tongkang tahun ini sama halnya perayaan beberapa tahun terakhir, sangat semarak dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada Ritual Bakar Tongkang yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagan Siapi-api. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya. Dimana menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya merupakan dewa keselamatan dan dewa pembawa rejeki serta kesejahteraan bagi masyarakat kota Bagansiapiapi.

4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan Lokal 4.3.1.1 Prosesi Ritual Tan Ki

Tradisi dan kepercayaan lokal atas prosesi Ritual Bakar Tongkang dipercaya masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi menjadi bagian momentum perayaan Ulang Tahun Dewa Kie Ong Ya, terutama upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang berkaitan dengan kepercayaan arah pencarian rezeki ; Perayaan Ritual Bakar Tongkang ini untuk memperingati Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Shun Ong Ya yang memberi pencerahan keselamatan dan kesejahteraan. Keyakinan kosmologis ini masih sangat kental dipercaya dengan melakukan prosesi Ritual Bakar Tongkang setiap tahun. Tradisi dan kepercayaan lokal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kisah perjalanan dan pembangunan Kota Bagansiapiapi oleh Perantau Tionghoa pada Era 1820-an.

Berawal dari pelayaran dengan Kapal Tongkang yang selamat telah menciptakan inspirasi dan kreasi budaya oleh warga Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi untuk memperingati keselamatan mereka menggunakan Kapal Tongkang secara kebetulan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya, telah menjadi penyelamat sehingga dalam memperingati keselamatan tersebut perlu dilakukan prosesi Ritual dengan cara membakar Replika Kapal Tongkang sebagai manifestasi keselamatan, kemakmuran dan kejayaan yang dibimbing oleh kepercayaan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun 1920-an

Menjelang perayaan Ritual Bakar Tongkang dibentuk panitia untuk membuat replika Kapal Tongkang dan meletakkannya di kelentengIng Hok Kiong. Replika kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya, dengan ukuran replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram. Sehari menjelang puncak kegiatan acara prosesi Ritual sudah dimulai pada pukul 00.00 tanggal 15 bulan kelima

Imlek yang jatuh pada tanggal 03 july 2012. Kelenteng itu dikhususkan bagi penghormatan dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Pada tanggal 16 bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 04 july Juni 2012 dimulai Upacara Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah pencapaian spiritual yang membawa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menuju buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar warnanya mengingatkan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pada ketidak kekalan semua benda, termasuk kehidupan manusia. Adapun makna tersirat dari simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak wangi dan pudar warnanya adalah untuk menghargai setiap momen kehidupan kita dan tidak terikat pada setiap proses kehidupan manusia.

Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai lilin besar dan tinggi bercahaya memilii makna bahwa pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi kegelapan dunia untuk mencapai penerangan sempurna, serta dupa (Hio) yang yang ragam wanginya dimeja altar sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya.

Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat dengan nyala lilin dan dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang baik dan perbuatan yang tulus. Memberi persembahan merupakan salah satu cara membentuk potensi aura positif dalam diri masyarakat Tionghoa Bagansispispi dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran manusia. Persembahan dalam upacara sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sebagai wujud memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan untuk kebaikan semua makhluk.

Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki, keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan kehidupan, pada saat itulah permintaan tersebut diucapkan. Pada tanggal 17 bulan lima kalender imlek seluruh rombongan suhu spiritual yang disebut Tan Ki yang berasal dari berbagai kelenteng di kota Bagansiapiapi hadir silih berganti memberi penghormatan spiritual kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Setiap Tan Ki berpakaian khas tradisional yang mewakili dewa - dewi yang menjadi bagian spiritualitas Tan Ki (suhu spiritual) contohnya Tan Kie dari kelenteng Dewi Kwan Im akan mengenakan pakaian putih - putih dengan memegang cawan dan kuas. Para Tang Ki bersujud berhadapan dewa - dewi memberi ungkapan rasa hormat yang mendalam, kemudian mengelilingi meja altar sembahyang untuk membangkitkan kualitas aura spiritual.

Para Tan Ki yang berprosesi pada ritual di Kelenteng Ing Hok Kiong diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja altar persembahan. Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan Ki yang membawa pedang membacokan senjata itu ketubuhnya. Tan Ki yang membawa bola duri secara atraktif memukulkan bola duri ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah segar mengalir dari kepala dan badan tanpa membahayakan jiwa. Ada juga para Tan Ki yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi kanan. Sejumlah orang-orang yang membawa tandu yang telah terisi dengan kekuatan spiritualitas pun bergerak dengan kekuatan dan kecepatan tinggi membuat sejumlah orang pembawa tandu terhujung-hujung, beragam adegan doa dan upacara. Hadirnya Tan Ki dari berbagai kelenteng dengan mengenakan kostum pakaian, aneka macam simbol dan aksesoris budaya yang khas dalam puncak upacara sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong memberi warna kehidmatan dan aura energi kedamaian, menyucikan dan menumbuhkan sifat-sifat positif dalam pikiran.

Dalam prosesi ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi essensi kepercayaan seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah

kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sebagai kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha (rezeki) serta mata pencaharian bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Dimana jika tiang layar utama Kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama Kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil darat.

Menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi ritual Bakar Tongkang mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, pengalaman ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama Kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual Bakar Tongkang. Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan - kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

4.3.1.2 Makna Peran Tan Ki

Setiap Tan Ki yang berasal berbagai kelenteng-kelenteng dari masing-masing tradisi dan aliran dengan kemampuan spiritual masing-masing-masing-masing membaca mantra yang menjadi media berkomunikasi dengan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya serta Dewa-Dewi Kelenteng di Ing Hok Kiong mereka mengucapkan mantra berulang-ulang, memohon sesuatu kepada Dewa-Dewi di Kelenteng Ing Hok Kiong. Boleh dikatakan mantra adalah dialog jiwa spiritual

mengandung pesan dan Roh yang khusus. Setiap umat yang berminat dan berkepentingan untuk mendapatkan berkah senantiasa melalui media kemampuan spiritual Tan Ki untuk mendapatkan berkah dari Dewa-Dewi, pesan dan kekuatan Roh yang khusus datang masuk kejiwa spiritual Tan Ki yang secara spiritual khusus memberkahi permintaan untuk penyembuhan dan pemberkatan keselamatan, keberuntungan, jodoh, menghilangkan bala atau musibah dan lainnya. Setiap prosesi Upacara Sembahyang diiringi dengan tetabuhan yang dipukul terus menerus dengan irama nada yang bergelombang naik turun seperti memberi kekuatan semangat dan aura spiritual para Tan Ki.

Tan Ki memiliki kemampuan spiritual dengan mantra menjadi media komunikasi menyampaikan pesan khusus yang diciptakan oleh orang yang istimewa. Mantra digunakan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan akrab dengan berbagai Dewa-Dewi untuk memberi penyembuhan bagi yang sakit atau memberi dukungan pemberkatan. Setiap Tan Ki menjadi praktisi pembaca mantra mengetahui kebutuhan Rohani, jiwa keinginan dan bantuan dibutuhkan oleh umat yang mengajukan permohonan atas berbagai penyelesaian masalah dan pemberkatan kehidupan yang dihadapi.

Setiap Tan Ki dengan kemampuan spiritual mantra memiliki pesannya sendiri-sendiri, mempunyai pesan khusus yang diterima dari komunikasi dengan Dewa-Dewi umntuk memenuhi permohonan umat yang bermaksud untuk memperoleh penyembuhan atau pemberkatan atau memberi perlindungan

keselamatan hidup, atau meningkatkan kualitas spiritual bagi umat yang belajar meditasi.

Tan Ki inilah yang menjadi Ikon Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang, setelah melakukan persembahan dan dialog selesai, para Tan Ki segera melanjutkan aktivitas dengan atraksi-atraksi kemudian keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, para Tan Ki sudah dalam kondisi jiwa raga seperti keadaan tidak sadarkan diri pandangan dan tatapan matanya seperti kosong dan kepala terus bergerak mengikuti iringan suara gemuruh tabuhan. Suara gemuruh tabuhan merupakan manifestasi penguatan spiritual dalam bentuk yang menyentuh, membangkitkan kekuatan spiritual para Tan Ki. Mendengarkan bunyi gemuruh tabuhan adalah salah satu cara yang indah untuk membangkitkan energi kedamaiaan, energi kesadaran dan energi-energi lain yang menjaga dan melawan energi negatif.

4.3.2.

Pada tanggal 04 Juli 2012 (GO Ge Cap Lak) yaitu pada tanggal 16 bulan kelima Imlek. Kira-kira berdasarkan kebiasaan beberapa kali Ritual Bakar Tongkang akan bergerak kurang lebih pada pukul 16.00 Replika Kapal Tongkang di arak keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, Replika Kapal Tongkang seberat kurang lebih 400 Kilogram itu digotong oleh puluhan orang utusan dari seluruh

Dokumen terkait